PERUBAHAN-PERUBAHAN DALAM PERWAKAFAN
(Upaya Optimalisasi Perwakafan di Indonesia)
Oleh:
Suhairi*
Abstrak
Umat Islam di Indonesia telah lama melaksanakan wakaf.
Hal tersebut terbukti dengan sarana ibadah maupun pendidikan yang dibangun di
atas tanah wakaf serta pembangunannya dilakukan dengan konsep wakaf. Akan
tetapi perwakafan di Indonesia masih cenderung pada hal-hal yang berkaitan
dengan ibadah maupun sarana lainnya, seperti masjid, mushalla, kuburan,
sekolah/madrasah dan sebagainya. Wakaf
belum mampu didayagunakan secara produktif dan memiliki muatan ekonomis.
Hal tersebut disebabkan karena pemahaman umat Islam di Indonesia berkaitan
dengan wakaf, yang berimplikasi pada pengelolaannya. Oleh karenanya perlu
dilakukan perubahan-perubahan baik dalam hal pemahaman maupun aspek
manajemen/pengelolaan wakaf. Manakala perubahan-perubahan tersebut dapat
dilakukan secara baik, maka potensi wakaf yang sangat besar akan semakin
dirasakan manfaatnya oleh umat Islam. Hasil pengelolaan wakaf yang signifikan
akan dapat memberdayakan sekaligus meningkatkan kesejahteraan umat Islam.
A. Pendahuluan
Wakaf telah mengakar dan
menjadi tradisi umat Islam di Indonesia. Sejak datangnya Islam, wakaf telah
dilaksanakan oleh masyarakat Islam di Indonesia. Di Indonesia, lembaga ini
telah menjadi penunjang utama perkembangan masyarakat. Hampir semua rumah
ibadah, perguruan Islam dan lembaga-lembaga keagamaan Islam lainnya dibangun di
atas tanah wakaf.
Peruntukan wakaf di
Indonesia yang kurang mengarah pada pemberdayaaan ekonomi umat dan cenderung
hanya untuk kepentingan kegiatan-kegiatan ibadah khusus, lebih karena
dipengaruhi oleh keterbatasan umat Islam akan pemahaman wakaf. Keterbatasan
pemahaman tersebut, baik mengenai harta yang diwakafkan, peruntukan wakaf
maupun nazhir wakaf. Pada umumnya umat Islam di Indonesia memahami bahwa
peruntukan wakaf hanya terbatas untuk kepentingan peribadatan dan hal-hal yang
lazim dilaksanakan di Indonesia seperti untuk masjid, mushalla, sekolah,
madrasah, pondok pesantren, makam dan lain-lain.
Meskipun wakaf telah memainkan peran
yang sangat penting dalam pembangunan masyarakat muslim sepanjang sejarah
perkembangan masyarakat Islam, namun dalam kenyataannya, persoalan perwakafan
belum dikelola secara baik sebagaimana tujuan wakif itu sendiri, khususnya di
Indonesia.[1]
Sehingga dapat dikatakan,
bahwa potensi wakaf di Indonesia sebagai sarana berbuat kebajikan bagi
kepentingan masyarakat belum dikelola dan didayagunaakan secara optimal. Setelah
sekian lamanya umat Islam melaksanakan wakaf, belum dirasakan secara maksimal
manfaat dan pendayagunaan harta wakaf. Hal tersebut dipengaruhi oleh berbagai
faktor, termasuk di dalamnya adalah paradigma umat Islam di Indonesia tentang
wakaf, dan pengelolaannya.
Undang-undang
Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf menjadi momentum pemberdayaan wakaf secara
produktif. Sebab dalam UU tersebut, wakaf mengandung dimensi yang sangat luas.
Ia mencakup harta tidak bergerak termasuk wakaf uang, tidak terbatas untuk
pendirian tempat ibadah dan sosial keagamaan. Jika dapat direalisasikan, akan
memunculkan pengaruh yang berlipat ganda terutama dalam kaitannya dengan
pemberdayaan ekonomi umat. Dengan demikian, UU No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf
diproyeksikan sebagai sarana rekayasa sosial (social engineering),
melakukan perubahan-perubahan pemikiran, sikap dan perilaku umat Islam agar
senafas dengan semangat undang-undang tersebut.[2] Oleh
karenanya tulisan ini mencoba mengelaborasi perubahan yang harus dilakukan
dalam rangka optimalisasi perwakafan di Indonesia.
B. Perubahan Paham tentang
Wakaf
Sejak dan setelah datangnya
Islam di Indonesia, sebagian besar masyarakat Indonesia melaksanakan wakaf
berdasarkan paham keagamaan yang dianut, yaitu paham Syafi’iyyah dan adat
kebiasaan setempat. Sebelum adanya UU No. 50 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan
Tanah Milik, masyarakat Islam Indonesia masih menggunakan kebiasaan-kebiasaan
keagamaan. Kebiasaan tersebut, seperti kebiasaan melakukan perbuatan hukum
perwakafan tanah secara lisan atas dasar saling percaya kepada seseorang atau
lembaga tertentu, kebiasaan memandang wakaf sebagai amal shaleh yang mempunyai
nilai mulia di hadapan Tuhan tanpa harus melalui prosedur administratif.[3]
Selain tradisi lisan dan
tingginya kepercayaan kepada penerima amanah dalam melakukan wakaf. Umat Islam
Indonesia lebih banyak mengambil pendapat dari golongan Syafi’iyah sebagaimana
mereka mengikuti mazhabnya. Mengikuti mazhab Syafi’i seperti tentang: ikrar
wakaf, harta yang boleh diwakafkan, kedudukan harta setelah diwakafkan, boleh
tidaknya tukar menukar harta wakaf. Beberapa penjelasan klasik mengenai paham
ini adalah[4]:
Pertama, ikrar wakaf. Kebiasaan masyarakat kita sebelum
adanya PP No. 28 tahun 1977 hanya menggunakan pernyataan lisan saja yang
didasarkan pada adat kebiasaan keberagamaan yang bersifat lokal. Pernyataan
lisan secara jelas (sharih) menurut pandangan Syafi’i termasuk bentuk
dari pernyataan wakaf yang sah. Dari pandangan imam Syafi’i tersebut kemudian
ditafsirkan secara sederhana bahwa pernyataan wakaf cukup dengan lisan saja.
Sehingga dengan tanpa bukti tertulis, maka banyak benda-benda wakaf yang hilang
(diselewengkan) atau karena dengan sengaja diambil oleh pihak ketiga.
Jaih[5] membedakan wakaf dalam wilayah ibadah dan
wakaf dalam wilayah muamalah. Dalam wilayah ibadah, sebaik-baiknya sedekah
(termasuk wakaf) dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Sehingga dalam wilayah
ibadah wakaf merupakan akad tabarru’. Akan tetapi, menurutnya,
penempatan wakaf sebagai wilayah ibadah yang sebaik-baiknya dilakukan secara
sembunyi-sembunyi dapat melahirkan beberapa dampak negatif yang tidak
diinginkan. Oleh karena itu dalam wilayah muamalah, wakaf yang dilakukan secara
terbuka lebih dapat diselamatkan serta untuk menjamin kepastian hukum.
Kedua,
harta yang boleh diwakafkan (mauquf bih). Salah
satu syarat umum sahnya wakaf sebagaimana dikemukakan Anshori adalah wakaf
harus kekal[6]. Imam
Syafi’i sebagaimana dikemukakan oleh Syarbini sangat menekankan wakaf pada fixed
asset (harta tetap) sehingga menjadikannya sebagai syarat sah wakaf[7].
Mengingat di Indonesia secara fikih kebanyakan adalah pengikut mazhab Syafi’i
maka bentuk yang lazim dilaksanakan adalah berupa tanah, masjid, madrasah,
kuburan, aset tetap lainnya. Sehingga wakaf kurang bisa dikembangkan secara optimal.
Ketiga,
boleh-tidaknya tukar menukar harta wakaf. Dalam
masalah ini, mayoritas umat Islam di Indonesia berpegang pada pandangan imam
Syafi’i yang menyatakan bahwa harta wakaf tidak boleh ditukar dengan alasan
apapun. Dalam kasus masjid misalnya, imam Syafi’i menegaskan bahwa tidak boleh
menjual masjid wakaf secara mutlak, sekalipun masjid itu roboh.
Keempat, adanya kebiasaan masyarakat kita yang ingin
mewakafkan sebagian hartanya dengan mempercanyakan penuh kepada seseorang yang
dianggap tokoh dalam masyarakat sekitar, seperti kyai, ulama, ustadz dan
lain-lain untuk mengelola harta wakaf sebagai nazhir. Dalam kenyataannya,
banyak para nazhir wakaf tersebut tidak mempunyai kemampuan manajerial dalam
pengelolaan harta wakaf, sehingga harta wakaf tidak banyak manfaat bagi
masyarakat sekitar. Keyakinan bahwa wakaf harus diserahkan kepada ulama, kyai,
ustadz atau lainnya, merupakan kendala yang cukup serius dalam rangka
memberdayakan harta wakaf secara produktif.
Oleh karenanya, paling
tidak, pelaksanaan perubahan paham yang perlu dilakukan adalah[8]:
Pertama, ikrar wakaf dan sertifikasi.
Sertifikasi adalah bentuk pembaharuan paham di lingkungan masyarakat muslim
Indonesia, yang selama ini berpedoman bahwa wakaf adalah sah jika dilakukan
secara lisan sehingga tidak perlu dicatatkan secara resmi. Sebagai dasar
diterbitkannya sertifikat benda wakaf (tanah maupun lainnya) maka diperlukannya
akta ikrar wakaf. Dalam hal ini, Pejabat
Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) adalah Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan,
selain dimungkinkannya juga notaris. Sedangkan untuk wakaf uang adalah Pejabat
Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU) minimal setingkat Kepala
Seksi. Dengan adanya akta otentik berupa Akta Ikrar Wakaf (AIW) yang kemudian
dilanjutkan menjadi sertifikat, maka harta benda wakaf (tanah maupun lainnya)
dapat terjaga keamanannya dari kemungkinan diselewengkan dan sebagainya.
Sehingga harta benda wakaf dari waktu ke waktu akan cenderung bertambah dan
semakin banyak, yang memiliki potensi ekonomi yang signifikan.
Kedua, pertukaran benda
wakaf. Berdasarkan pasal 41 Undang-Undang No. 41 Tahun 2004[9]
serta pasal 49-50 Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 memberikan legalitas
terhadap tukar menukar benda wakaf setelah terlebih dahulu meminta ijin dari
Menteri Agama dengan dua alasan, yaitu: karena tidak sesuai dengan tujuan wakaf
dan kepentingan umum. Keberadaan aturan tersebut merupakan upaya perubahan
paham yang sejak awal diyakini oleh mayoritas ulama dan umat Islam Indonesia.
Berdasarkan data dari penelitian yang dilakukan oleh CSRC (Centre for
Study of Religion and Research), sebagian besar nazhir wakaf masih
ragu-ragu untuk melakukan praktik penukaran harta wakaf dengan yang lebih
produktif serta perubahan peruntukan wakaf untuk tujuan kemaslahatan yang lebih
besar[10].
Adanya peluang dilakukan
penukaran benda wakaf, dapat menjadi solusi bagi harta benda wakaf yang sulit
dikelola secara produktif. Sehingga aset-aset wakaf yang tidak produktif dapat
dilakukan penukaran agar berkembang dan memiliki hasil yang optimal. Demikian
pula terhadap harta wakaf yang tidak mungkin lagi diperuntukan sesuai dengan
keinginan wakif, dapat dirubah peruntukannya selagi demi kemaslahatan yang
lebih besar. Itu semua hendaknya dilakukan secara cermat dan baik serta
memenuhi ketentuan peraturan perundangan, agar tidak terjadinya penyelewengan
terhadap harta wakaf.
Ketiga, perluasan benda yang
diwakafkan (mauquf bih). Sebelum Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 (PP No.
28 Tahun 1977), pengaturan wakaf hanya menyangkut perwakafan benda tak bergerak
yang lebih banyak dipergunakan untuk kepentingan konsumtif, seperti masjid,
madrasah, kuburan, yayasan yatim piatu, pesantren, sekolah dan sebagainya.
Namun setelah diundangkannya UU tersebut, maka objek wakaf (benda yang diwakafkan)
semakin diperluas[11].
Dengan perluasan objek wakaf
(harta benda wakaf), maka semakin terbuka peluang harta benda wakaf dikelola
secara produktif. Untuk menunjang pengelolaan harta benda wakaf berupa aset
tetap (fixed asset), seperti tanah maka dibutuhkan sarana pendukung
untuk dikelola secara produktif, selain untuk pertanian. Misalnya dibutuhkan
gedung/bangunan untuk disewakan, tempat usaha dan lain-lain. Terlebih lagi
dengan adanya wakaf uang, sangat potensial menunjang pengembangan dan
pengelolaan secara produktif harta benda wakaf berupa aset tetap.
Keempat, persyaratan nazhir
(pengelola harta wakaf). Paradigma baru wakaf terkait nazhir, yaitu: (a) selain
mengatur nazhir perseorangan, ada nazhir organisasi dan badan hukum. (b)
persyaratan nazhir yang mengarah pada kinerja profesional. (c) pembatasan masa
jabatan nazhir (d) hak nazhir, reward yang diberikan kepada nazhir
berhak mendapatkan 10% dari pengelolaan wakaf, agar nazhir benar-benar mau dan
mampu menjalankan tugas-tugasnya secara baik.
Dalam
UU No. 41/2004 maupun aturan turunannya PP No. 42/2006 nazhir wakaf terdiri
dari perorangan, organisasi dan badan hukum. Untuk mewujudkan optimalisasi
pengelolaan harta wakaf, maka nazhir diberikan masa bakti/kerja selama 5 (lima)
tahun. Bahkan manakala 1 (satu) tahun sejak pengangkatannya sebagai nazhir
tidak melakukan yang seharusnya dilakukan, maka nazhir tersebut dapat diganti.
Pergantian nazhir tersebut dapat dilakukan baik atas evaluasi pihak Kemenag.
maupun atas usul dan saran dari tokoh agama maupun permintaan wakif (ahli
warisnya). Demikian pula, ke depan Badan Wakaf Indonesia telah menetapkan
standar bagi nazhir dan akan dilakukan sertifikasi nazhir. Sedangkan upah (reward)
bagi nazhir sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan adalah maksimal 10%.
Penetapan tersebut lebih baik jika dibandingkan dengan Negara-negara lain[12].
Dalam upaya
pengembangan dan pemberdayaan harta benda
wakaf, maka peran Nazhir sangat menentukan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41
Tahun 2004 tentang Wakaf, nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf
dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya. Jika
nazhir mampu mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf, maka bisa
dipastikan bahwa harta benda wakaf makin lama makin produktif dan bermanfaat
untuk kesejahteraaan umat.
Melihat pentingnya peran nazhir, maka
seyogyanya usaha untuk mengembangkan SDM nazhir menjadi prioritas. Hal tersebut
perlu dilakukan mengingat eksistensi nazhir dalam memainkan perannya untuk
pemberdayaan harta wakaf secara produktif sangat menentukan. Dalam hal ini
nazhir wakaf hendaknya dilakukan secara profesional dengan kriteria yang
bersangkutan memiliki wawasan dan kemampuan yang lebih dalam pengelolan harta benda wakaf. Demikian pula
aktivitas sebagai nazhir bukan hanya dijadikan sampingan, tetapi dijadikan
profesi yang fokus dan full time.
Kelima, pemberdayaan,
pengembangan dan pembinaan. Undang-undang wakaf menekankan pentingnya
pemberdayaan dan pengembangan harta wakaf yang mempunyai potensi ekonomi secara
optimal melalui sistem dan arah manajemen dan ekonomi yang sesuai dengan
syari’at Islam. Dalam undang-undang wakaf juga menekankan pentingnya sebuah
lembaga wakaf nasional untuk menyelenggarakan administrasi pengelolaan serta
membina para nazhir yang sudah ada agar lebih profesional. Dalam hal ini telah
terbentuk Badan Wakaf Indonesia. Di mana tugas dan fungsi BWI sebagaimana
termuat dalam PP No. 42 Tahun 2006 adalah: “Badan Wakaf
Indonesia, yang selanjutnya disingkat
BWI,
adalah lembaga independen dalam pelaksanaan tugasnya untuk mengembangkan perwakafan
di Indonesia”[13].
C. Perubahan Sistem Manajemen/Pengelolaan
Wakaf
Dalam paradigma lama wakaf
selama ini lebih menekankan pentingnya pelestarian dan keabadian benda wakaf,
maka dalam paradigma baru wakaf lebih menitikberatkan pada aspek pemanfaatan
yang lebih nyata tanpa kehilangan eksistensi benda wakaf itu sendiri. Untuk
upaya peningkatan manfaat tersebut, sebagaimana dikemukakan dalam buku
paradigma baru wakaf di Indonesia tentu
yang sangat berperan sentral adalah sistem pengelolaan yang diterapkan.
Pola pengelolaan wakaf yang
selama ini berjalan terhitung masih tradisional-konsumtif. Hal tersebut bisa
diketahui melalui beberapa aspek:[14]
§ Kepemimpinan. Corak kepemimpinan dalam lembaga
ke-nazhiran masih sentralistik-otoriter (paternalistic) dan tidak ada
sistem kontrol yang memadai.
§ Rekrutmen SDM ke-nazhiran. Banyak nazhir wakaf yang
hanya didasarkan pada aspek ketokohan seperti ulama, ustadz dan lain-lain,
bukan aspek profesionalisme atau kemampuan mengelola.
§ Operasionalisasi pemberdayaan. Pola yang digunakan
lebih kepada sistem yang tidak jelas (tidak memiliki standar operasional)
karena lemahnya SDM, visi dan misi pemberdayaan.
§ Pola pemanfaatan hasil. Dalam menjalankan upaya
pemanfaatan hasil wakaf masih banyak yang bersifat konsumtif-statis sehingga
kurang dirasakan manfaatnya oleh masyarakat banyak.
§ Sistem kontrol dan pertanggungjawaban. Sebagai
konsekuensi dari pola kepemimpinan yang sentralistik dan lemahnya
operasionalisasi pemberdayaan mengakibatkan pada lemahnya sistem kontrol, baik
yang bersifat kelembagaan, pengembangan usaha maupun keuangan.
Jika melihat sejarah
pengelolaan wakaf di Indonesia, paling tidak ada tiga periode besar pengelolaan
wakaf di Indonesia:[15]
Periode Tradisional
Dalam periode ini, wakaf
masih ditempatkan sebagai ajaran murni dimasukkan dalam kategori ibadah mahdhah
(pokok). Yaitu, kebanyakan benda-benda wakaf diperuntukan untuk kepentingan
pembangunan fisik, seperti masjid, mushalla, pesantren, kuburan, yayasan dan
sebagainya.
Periode semi-profesional
Periode semi-profesional
adalah masa di mana pengelolaan wakaf secara umum sama dengan periode
tradisional, namun pada masa ini sudah mulai dikembangkan pole pemberdayaan
wakaf secara produktif, meskipun belum maksimal. Sebagai contoh adalah
pembangunan masjid-masjid yang letaknya strategis dengan menambah bangunan
gedung untuk pertemuan, pernikahan, seminar dan acara lainnya.
Selain hal tersebut juga
sudah mulai dikembangkannya pemberdayaan tanah-tanah wakaf untuk bidang
pertanian, pendirian usaha-usaha kecil seperti toko-toko ritel, koperasi,
penggilingan padi, usaha bengkel dan sebagainya. Meskipun pola pengelolaannya
masih dikatakan tradisional.
Periode Profesional
Periode pengelolaan wakaf
secara profesional ditandai dengan pemberdayaan potensi masyarakat secara
produktif. Keprofesionalan yang dilakukan meliputi: manajemen, SDM kenazhiran,
pola kemitraan usaha, bentuk benda wakaf bergerak seperti uang, saham dan surat
berharga lainnya, dukungan political will pemerintah.
Untuk itu, sebagai salah
satu elemen penting dalam pengembangan paradigma baru wakaf, sistem manajemen
pengelolaan wakaf harus ditampilkan lebih profesional dan modern. Disebut
profesional dan modern itu bisa dilihat pada aspek-aspek pengelolaan:[16]
a.
Kelembagaan
Perlunya pembentukan suatu
badan atau lembaga yang khusus mengelola wakaf yang ada dan bersifat nasional
yang diberi nama Badan Wakaf Indonesia. Selain mengelola wakaf BWI juga membina
nazhir yang sudah ada, sehingga lembaga-lembaga nazhir yang sudah ada ditata
sedemikian rupa agar bisa menjalankan tugas-tugas kenazhiran lebih maksimal.
b.
Pengelolaan operasional
Standar operasional
pengelolaan wakaf adalah batasan atau garis kebijakan dalam mengelola wakaf
agar menghasilkan sesuatu yan lebih bermanfaat bagi kepentingan masyarakat
banyak. Pengelolaan operasional ini terasa sangat penting dan menentukan
berhasil tidaknya manajemen pengelolaan secara umum. Adapun standar operasional
itu meliputi seluruh rangkaian program kerja (action plan) yang dapat
menghasilkan sebuah produk (barang atau jasa).
c.
Kehumasan/pemasaran
Dalam mengelola benda-benda
wakaf, maka peran kehumasan/pemasaran dianggap menempati posisi penting. Fungsi
dari kehumasan itu sendiri dimaksudkan untuk:
§ Memperkuat image bahwa benda-benda wakaf yang dikelola
oleh nazhir profesional betul-betul dapat dikembangkan dan hasilnya untuk
kesejahteraan masyarakat banyak.
§ Menyakinkan kepada calon wakif.
§ Memperkenalkan aspek wakaf yang tidak hanya
berorientasi pahala, tapi juga memberikan bukti bahwa ajaran Islam menonjolkan
aspek kesejahteraan bagi masyarakat banyak, khususnya bagi kalangan yang kurang
mampu.
Adapun kiat praktis untuk
membangun image atau citra pengelolaan wakaf yang baik, maka perlu
dilakukan perubahan dan perbaikan sebagai berikut: (1) penampilan, amanah dan
tidak membohongi pelanggan, baik wakif maupun penerima wakaf. (2) pelayanan,
kualitas pelayanan yang baik (3) persuasi, yaitu menyakinkan dengan tindakan
santun dan ramah (4) pemuasan, dengan kerja yang rapi, profesional dan
bertanggung jawab.
d.
Sistem keuangan
Penerapan sistem keuangan
yang baik sangat diperlukan dalam pengelolaan wakaf. Penerapan sistem keuangan
yang baik agar pengelolaan wakaf dapat dipertanggungjawabkan dan dilaporkan
secara transparan. Nazhir wakaf harus dapat mewujudkan akuntabilitas
pengelolaan wakaf. Pelaporan dengan sistem akuntansi yang baik, akurat dan
cermat dapat menumbuhkan kepercayaan umat. Manakala telah terbangunnya
kepercayaan (trust) umat Islam terhadap pengelolaan wakaf, maka kemauan
dan motivasi berwakaf akan semakin meningkat.
Dalam rangka meningkatkan
kemampuan nazhir diperlukan sistem manajemen SDM yang handal. Sistem
pengelolaan SDM ini bertujuan untuk:[17]
§ Meningkatkan dan mengembangkan pengetahuan, kemampuan
dan keterampilan para nazhir dalam rangka membangun kemampuan manajerial yang
tangguh, profesional dan bertanggung jawab.
§ Membentuk sikap dan perilaku nazhir wakaf sesuai
dengan posisi yang seharusnya, yaitu pemegang amanat umat Islam.
§ Menciptakan pola pikir atau persepsi yang sama dalam
memahami dan menerapkan pola pengelolaan wakaf, baik dari segi peraturan
perundang-undangan maupun teknis.
§ Mengajak para nazhir untuk memahami tata cara dan pola
pengelolaan yang lebih berorientasi pada kepentingan pelaksanaan syariat Islam
secara lebih luas dan dalam jangka panjang.
Untuk mewujudkan hal
tersebut perlu dilakukan pembinaan kepada nazhir untuk dapat menjalankan
tugas-tugas secara produktif dan berkualitas. Adapun pembinaan dapat dilakukan
melalui:[18]
§ Pendidikan formal.
Melalui
sekolah-sekolah maupun tingkat perguruan tinggi dapat dicetak caloncalon SDM
ke-nazhiran yang siap pakai, dengan catatan sekolah maupun perguruan tinggi
harus dibentuk seara berkualitas. Oleh karena itu, sebagai salah satu upaya
menciptakan SDM ke-nazhiran yang handal, pemerintah dan juga lembaga-lembaga
pendidikan, khususnya lembaga pendidikan Islam harus memulai pembenahan kembali
sistem pendidikan yang diterapkan selama ini, agar alumni atau lulusannya
menjadi tenaga kerja yang siap pakai, mandiri, produktif dan berkualitas.
§ Pendidikan non formal.
Bentuk dari
model pendidikan ini adalah dengan mengadakan kursus-kursus atau
pelatihan-pelatihan SDM ke-nazhiran baik yang terkait dengan manajerial
organisasi, atau meningkatkan ketrampilan. Pendidikan non formal ini perlu
digalakkan oleh beberapa pihak yang terkait dengan dunia perwakafan, seperti
Kementerian Agama, Badan Wakaf Indonesia, lembaga-lembaga Islam, perguruan
tinggi dan sebagainya dengan mutu pembelajaran yang lebih ditigkatkan sehingga
benar-benar dapat menghasilkan tenaga kerja yang terampil dan siap pakai.
§ Pendidikan informal.
Berupa
latihan-latihan dan kaderisasi langsung di tempat-tempat pengelolaan benda
wakaf. Nazhir yang telah ada, ditingkatkan kemampuannya melalui latihan-latihan
yang intensif dan bimbingan yang membuatnya kian maju dan mampu dalam bidang
tugas dan tanggung jawabnya.
Sebagai salah satu pilar
penting dalam dunia perwakafan, wakif harus terus diberikan stimulus agar
pertambahan benda-benda (kekayaan) wakaf terus bisa dicapai. Paling tidak
sistem rekrutmen dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan:[19]
§ Pendekatan keagamaan. Wakaf sebagai salah satu
instrumen ibadah tabarru’, harus diberikan porsi yang sama banyak
sebagaimana ibadah zakat. Apalagi wakaf (shadaqah jariyyah) dijanjikan
oleh Allah memiliki bobot pahala yang terus mengalir, walaupun para pelaku (wakif)
sudah meninggal dunia. Untuk itu pole pendekatan keagamaan perlu digiatkan oleh
para agamawan kepada umat Islam yang memiliki kemampuan secara finansial agar
mau mewakafkan sebagian hartanya. Pendekatan keagamaan yang dilakukan oleh
tokoh agama akan efektif dan memotivasi umat Islam yang mampu untuk melakukan
wakaf.
§ Pendekatan kesejahteraan sosial. Secara sosial, wakaf
memiliki peran yang cukup strategis di tengah-tengah kemiskinan yang menggurita
umat Islam Indonesia. Untuk itu pola penyadaran yang terus menerus dilakukan
agar para pemilik harta (orang kaya) bisa meningkatkan volume beribadah yang
berdimensi sosial. Pemahaman secara sosial harus ditanamkan secara
berkesinambungan, bahwa harta tidaklah cukup dimiliki dan dikuasai sendiri,
melainkan juga harus dinikmati bersama. Kesalehan sosial harus terbangun selain
terwujudnya kesalehan individual. Dengan pola pendekatan penyadaran akan
problem-problem sosial diharapkan para calon wakif semakin tergerak hatinya
menyumbangkan sebagian harta menjadi wakaf (shadaqah jariyah) untuk
kepentingan masyarakat umum. Menurut Asy-Syatibi
syari’ah adalah untuk kemaslahatan manusia.[20]
§ Pendekatan bukti keberhasilan pengelolaan. Menjadi
salah satu kendala nyata bagi calon wakif enggan mewakafkan hartanya karena
dipengaruhi oleh sebuah realitas bahwa mayoritas lembaga ke-nazhiran di
Indonesia tidak profesional. Karena ketidakprofesionalan itulah banyak harta
wakaf yang sama sekali tidak memberi manfaat kepada masyarakat yang dimaksud
wakif, bahka ada pula harta wakaf yang dijadikan warisan, diselewengkan dan
sebagainya. Oleh karena itu dalam rangka menarik hati para calon wakif, para
nazhir atau lembaga nazhir harus mampu membuktikan kepada masyarakat bahwa
amanah untuk mengelola benda-benda wakaf bisa berhasil dan dapat dimanfaatkan
oleh pihak-pihak yang membutuhkan sebagai penerima manfaat wakaf (mauquf
alaih).
§ Pendekatan efektifitas pemanfaatan hasil. Tidak
sedikit pula nazhir wakaf yang menggunakan hasil pengelolaan wakaf dinilai
kurang efektif untuk kepentingan kesejahteraan umum. Penggunaan prioritas
pemanfaatan benda-benda wakaf begitu penting sehingga sasaran wakaf dapat
dicapai dengan baik. Dengan demikian, pemanfaatan benda-benda wakaf dilakukan
secara maksimal, berdasarkan prioritas pemanfaatan.
E. Kesimpulan
Berdasarkan
pembahasan dan paparan, maka dapat diimpulkan,
agar harta wakaf dapat
didayagunakan secara optimal perlu dilakukan perubahan-perubahan.
Perubahan-perubahan yang perlu dilakukan tersebut baik paham umat Islam tentang
wakaf maupun sistem manajemen/pengelolaan wakaf. Manakala kedua aspek tersebut
telah mengalami perubahan dan perbaikan secara signifikan, maka potensi wakaf
yang sangat besar akan dirasakan manfaatnya oleh umat Islam secara maksimal.
Dengan hasil pemanfaatan harta wakaf yang signifikan, mampu memberdayakan umat
Islam dan meningkatkan kesejahteraan umat Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad
Djunaidi dan Thbieb Al-Asyhar, 2008, Menuju Era Wakaf Produktif, Jakarta:
Mumtaz Publishing, 2008.
Anshori,
Abdul Ghofur, 2006, Hukum dan Praktik Perwakafan Di Indonesia,
Yogyakarta: Pilar Media.
Direktorat
Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Departemen
Agama RI, 2008, Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif Strategis di Indonesia,
Jakarta.
Jaih Mubarok, 2008, Wakaf Produktif,
Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Al-Khatib, Muhammad al-Syarbini, t.th., al-Iqna’
fi Hilli Al-Fadz Abi Syuja’, t.tp.: t.p.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun
2006 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
Prihatna, Andy
Agung dkk, 2006, Wakaf Tuhan dan Agenda Kemanusiaan, Jakarta: CSRC UIN
Jakarta.
Rozalinda, 2010, Pengelolaan Wakaf Uang, Studi Kasus
pada Tabung Wakaf Indonesia (TWI) Dompet Dhuafa Republika, Disertasi,
Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Al-Syatibi, tt., Abu Ishak Ibrahim, Al-Muwafaqat
fi Ushul al-Ahkam, Beirut: Dar al-Fikr.
Tim
Penyusun, 2007, Paradigma Baru Wakaf di Indonesia, Jakarta: Direktorat
Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jenderal
Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama RI
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.
*
Dosen Jurusan Syariah STAIN
Jurai Siwo Metro, email: suhairiyusuf@gmail.com
[1] Direktorat Pemberdayaan Wakaf
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama RI, 2008,
Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif Strategis di Indonesia, Jakarta,
hlm. 83
[2] Rozalinda, 2010, Pengelolaan
Wakaf Uang, Studi Kasus pada Tabung Wakaf Indonesia (TWI) Dompet Dhuafa
Republika, Disertasi, Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. hlm. 23
[3] Achmad Djunaidi dan Thobieb
Al-Asyhar, Menuju Era Wakaf Produktif, Jakarta: Mumtaz Publishing, 2008, hlm.
47.
[4] Achmad Djunaidi dan Thobieb
Al-Asyhar, Menuju Era Wakaf Produktif, hlm. 48-52.
[5] Jaih Mubarok, 2008, Wakaf
Produktif, Bandung: Simbiosa Rekatama Media, hlm. 38-40
[6]
Anshori, Abdul Ghofur, 2006, Hukum dan Praktik Perwakafan Di Indonesia,
Yogyakarta: Pilar Media, hlm. 95.
[7]
Al-Khatib, Muhammad al-Syarbini, t.th., al-Iqna’ fi Hilli Al-Fadz Abi Syuja’,
t.tp.: t.p., hlm. 376.
[8] Tim Penyusun, 2007, Paradigma
Baru Wakaf di Indonesia, Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat
Islam Departemen Agama RI, hlm. 98-104.
[9]Pasal 41 UU No. 41 Tahun 2004: (1)
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 40 huruf f dikecualikan apabila harta benda wakaf yang telah diwakafkan digunakan untuk kepentingan umum sesuai dengan rencana
umum tata ruang (RUTR) berdasarkan ketentuan peraturan perundang‐undangan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan syariah (2) laksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin tertulis dari Menteri atas persetujuan badan wakaf. (3) Harta benda wakaf yang
sudah diubah statusnya karena ketentuan
pengecualian sebagaimana dimaksud pada
ayat (1)
wajib ditukar dengan harta benda yang manfaat dan
nilai tukar sekurang‐kurangnya sama dengan harta benda wakaf semula. (4) Ketentuan mengenai perubahan status harta benda wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat
(2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan
peraturan pemerintah.
[10] Andy Agung Prihatna, dkk, 2006, Wakaf
Tuhan dan Agenda Kemanusiaan, Jakarta: CSRC UIN Jakarta, hlm.112
[11] Pasal
16 UU No. 41/2004: (1) Harta benda wakaf terdiri dari a. Benda tidak bergerak; dan b. Benda bergerak. (2) Benda tidak bergerak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a meliputi: a. Hak atas tanah sesuai dengan
ketentuan peraturan
perundang‐undangan yang berlaku baik yang sudah maupun yang belum terdaftar; b. Bangunan atau bagaian bangunan yang berdiri di atas tanah sebagaimana dimaksud pada huruf a; c. Tanaman dan benda lain yang berkaitan
dengan tanah; d. Hak
milik
atas satuan
rumah susun
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang‐undangan yang berlaku; d. Benda tidak bergerak
lain sesuai dengan ketentuan syariah
dan peraturan perundang‐undangan yang berlaku. (3) Benda bergerak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
adalah harta benda yang tidak bisa habis karena dikonsumsi, meliputi; a. Uang;
b. Logam mulia; c. Surat berharga; d.
Kendaraan; e. Hak atas kekayaan intelektual; f.
Hak sewa; dan g. Benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang‐ undangan yang berlaku.
[12]
Perbandingan Upah Pengelola Wakaf (Nazhir) di beberapa Negara
No.
|
Negara
|
Jumlah Upah
|
1
|
Indonesia
|
10 %
|
2
|
Banglades
|
5 %
|
3
|
India
|
6 %
|
4
|
Turki
|
5 %
|
[13]
Pasal 1 Poin 11 Peraturan
Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004 tentang
Wakaf.
[14] Tim Penyusun, 2007, Paradigma
Baru Wakaf hlm. 105-106.
[15] Muhammad Syafii Antonio,
Pengantar dalam buku: Menuju Era Wakaf Produktif, hlm. v-vi.
[16] Tim Penyusun, 2007, Paradigma
Baru Wakaf , Ibid., hlm. 106-112.
[17] Tim Penyusun, 2007, Paradigma
Baru Wakaf, hlm. 117-118.
[18] Tim Penyusun, 2007, Paradigma
Baru Wakaf, Ibid., hlm. 118-122.
[19] Tim Penyusun, 2007, Paradigma
Baru Wakaf, Ibid., hlm. 123-125.
[20]
Al-Syatibi, tt., Abu Ishak Ibrahim, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam,
Beirut: Dar al-Fikr, hlm. 2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar