DISKURSUS TENTANG PERBEDAAN PENETAPAN AWAL BULAN KAMARIAH DI INDONESIA:
KAJIAN FIQH AL-IKHTILAF DAN SAINS
Abstract
Persoalan perbedaan penentuan awal bulan Kamariah semakin menggelisahkan para ahli Falak dan
Astronomi di Indonesia. Semenjak
bergulirnya orde Reformasi di tanah air; keterbukaan yang menjadi cirinya membuat berita-berita seputar perbedaan ini terekspos secara luas di media.
Terdapat perbedaan dalam mengawali ibadah puasa Ramadan, merayakan Idul
Fitri, maupun Idul Adha di kalangan
umat Islam. Permasalahan apa yang
belum tuntas yang tengah dihadapi sehingga masih terdapat perbedaan dalam
penentuan awal bulan Kamariah di Indonesia? Kenapa para ahli Astronomi
dan Ilmu Falak tidak kunjung menemukan kesepakatan? Sehingga persoalan perbedaan penentuan awal bulan
Kamariah ini tak kunjung selesai. Secara teknis, Pemerintah
telah berusaha dan mengupayakan penyatuan, namun sampai sekarang belum menampakkan hasil
(jika tidak disebut hanya sia-sia belaka). Perbedaan penentuan awal
bulan Kamariah alih-alih sebagai rahmat justru membingungkan masyarakat atau
bahkan menimbulkan friksi di tengah-tengah mereka. Berdasarkan latar belakang tersebut, permasalahan
yang dibahas dalam tulisan ini adalah:
Apakah problematika yang
melatarbelakangi perbedaan awal bulan Kamariah di Indonesia?, Bagaimana Fiqh
al-Ikhtilaf dan Sains menganalisis perbedaan awal bulan Kamariah tersebut?,
dan Bagaimana alternatif tawaran bagi penyatuan perbedaan penetapan awal bulan
Kamariah di Indonesia tersebut?
Kata Kunci: Perbedaan Awal Bulan Kamariah,
Fiqh al-Ikhtilaf, Sains
A. Pendahuluan
Ada jargon yang
menyatakan bahwa “Perbedaan itu indah.” Kita bangsa Indonesia sepertinya
sudah mudah terbiasa dengan perbedaan dalam mengawali ibadah puasa Ramadan,
Idul Fitri, dan Idul Adha. Bahkan persoalan perbedaan ini semakin
“menjadi-jadi” semenjak bergulirnya orde Reformasi di tanah air. Keterbukaan
yang menjadi ciri dari orde Reformasi ini membuat berita-berita seputar
perbedaan ini terekspos secara luas di media.
Berdasarkan data yang disajikan oleh: http://rukyatulhilal.org
tentang penetapan awal bulan Ramadan, Syawal, dan Zulhijah berdasarkan sistem
hisab yang diakomodir oleh Pemerintah dalam pelaksanaan sidang Isbat, maka
diperoleh data tentang perbedaan dalam penentuan awal bulan Kamariah di
Indonesia rentang tahun 1408 H/1988 M – 1432 H/2011 M sebagai berikut:
Tabel 1
Perbedaan Penentuan Awal Bulan Kamariah Di
Indonesia Rentang Tahun 1408 H/1988 M – 1432 H/2011 M
No
|
Penentuan
Awal Bulan
|
Tahun
|
1
|
Ramadan
|
1409 H/ 1989 M dan 1422 H/ 2001 M.
|
2
|
Syawal
|
1412 H/ 1992 M, 1413 H/ 1993 M, 1414 H/
1994 M, 1418 H/ 1998 M, 1423 H/ 2002 M, 1427 H/ 2006 M, 1428 H/ 2007 M, dan 1432 H/ 2011
M
|
3
|
Zulhijah
|
1409
H/ 1989 M, 1420 H/ 2000 M, 1423 H/ 2003 M dan 1431 H/ 2010 M
|
Data ini hanya menyajikan data
tentang perbedaan dalam penetapan awal bulan Ramadan, Syawal, dan Zulhijah
berdasarkan sistem hisab yang diakomodir oleh Pemerintah dalam pelaksanaan
sidang Isbat, sedangkan kenyataannya di lapangan lebih rumit lagi.
Kita bangsa
Indonesia punya program studi Astronomi di Institut Teknologi Bandung (ITB)
di Bandung. Program Astronomi ITB
telah berdiri sejak tahun 1951. Semenjak berdirinya prodi ini telah meluluskan
ribuan sarjana. Pada tahun 2007 lalu dibuka pula program studi Ilmu Falak strata satu di IAIN
Walisongo Semarang. Pada tahun 2008 dibuka pula tingkat Strata tiga dan
tingkat Strata dua pada tahun 2009 pada institusi yang sama. Itulah lembaga formalnya. Tapi kemudian timbul pertanyaan, kenapa tidak
bisa diselesaikan dan dituntaskan masalah perbedaan penentuan awal bulan Kamariah di
Indonesia. Padahal secara teknis, bangsa kita punya pakar atau ahli di bidang
Astronomi dan Ilmu Falak.
Permasalahan apa
yang belum tuntas yang tengah dihadapi sehingga masih terdapat perbedaan dalam
penentuan awal bulan Kamariah di Indonesia? Sehingga persoalan perbedaan
penentuan awal bulan Kamariah ini tak kunjung selesai. Walaupun secara teknis
Pemerintah telah berusaha dan mengupayakan penyatuan ini. Namun sampai sekarang
belum menampakkan hasil (jika tidak disebut hanya sia-sia belaka).
Menurut Mutoha
Arkanuddin ada empat kriteria dalam penentuan awal bulan Kamariah di Indonesia,
yaitu: Kriteria keberhasilan rukyatul hilal (bi al-fi'li), kriteria
Wujudul hilal, Imkanur rukyah MABIMS yang dipedomani oleh pemerintah, Rukyat
Global (Arkanudin, http://rukyatulhilal.org). Namun fakta di atas menunjukkan bahwa masalah
perbedaan hari perayaan Idul Fitri di Indonesia lebih luas dari empat kriteria
yang dikemukakan Mutoha. Karena terdapat metode perhitungan kalangan pengamal Kalender Jawa Islam dan beberapa kalangan penganut tarekat tertentu yang memiliki
kriteria berbeda dengan yang diungkapkan oleh Mutoha.
Selanjutnya dalam tulisan ini akan dibahas lebih lanjut permasalahan berikut: Apakah
problematika yang melatarbelakangi perbedaan awal bulan Kamariah di
Indonesia?, Bagaimana Fiqh
al-Ikhtilaf dan Sains menganalisis perbedaan awal bulan Kamariah tersebut?,
dan Bagaimana alternatif
tawaran bagi penyatuan perbedaan
penetapan awal bulan Kamariah di Indonesia tersebut?
B.Penetapan Awal Bulan Kamariah di Indonesia
Dalam penentuan telah masuknya bulan baru
atau awal bulan Kamariah terdapat perbedaan
di antara ulama, sebagiannya menyatakan harus berdasarkan pada hasil
rukyatul hilal sedangkan sebagian lain menggunakan metode hisab.
Penetapan awal bulan berdasarkan pada
keberhasilan rukyatul hilal harus
memenuhi syarat-syarat tertentu. Terdapat perbedaan di kalangan ulama
tentang persyaratan-persyaratan
tersebut. Hanafiah mensyaratkan penetapan awal Ramadan dan Syawal berupa hasil
rukyatul hilal satu kelompok besar jika
kondisi cuaca atau langit cerah. Dan memadai kesaksian keberhasilan rukyatul
hilal seorang yang adil pada kondisi berawan, berkabut, dan
sejenisnya. Adapun Malikiah mensyaratkan keberhasilan rukyah dari dua atau
lebih orang yang adil. Dan mencukupi keberhasilan rukyah satu orang yang adil
pada kondisi hilal tidak terdapat keraguan untuk dapat terlihat. Memadai
keberhasilan rukyah seorang yang adil menurut Syafi’iah dan Hanabilah, walaupun
pada kondisi terdapat penghalang menurut Syafi’iah. Namun tidak memadai dalam kondisi tersebut
menurut Hanabilah. Sebagaimana mesti
menurut kalangan Hanabilah dan Malikiah keberhasilan rukyah dua orang yang adil
pada rukyah awal Syawal untuk penentuan Idul Fitri (az- Zuhaili, tt: 1656).
Mereka juga berbeda pendapat tentang kesaksian keberhasilan rukyah perempuan.
Diterima kesaksian atau keberhasian rukyatul hilal perempuan menurut Hanafiah
dan Hanabilah. Namun kesaksian tersebut
tidak dapat diterima menurut kalangan Malikiah dan Syafi’iah (az- Zuhaili, tt: 1656).
Pelaksanaan rukyatul hilal sebagai metode penentuan awal
bulan Kamariah di Nusantara diyakini sudah dilaksanakan semenjak Islam masuk ke
kepulauan Nusantara. Ini berdasarkan pada perintah untuk melaksanakan rukyatul
hilal sebelum umat Islam melaksanakan ibadah puasa Ramadan dan hari raya Idul
Fitri. Setiap tanggal 29 Syakban dan 29
Ramadan umat Islam beramai-ramai pergi ke bukit-bukit atau pantai-pantai untuk
bersama-sama menyaksikan hilal di ufuk barat saat matahari terbenam. Jika hilal berhasil dirukyah, maka malam itu
adalah malam tanggal satu dari bulan yang baru. Namun bila hilal tidak berhasil
dirukyah, malam itu adalah malam hari ketiga puluh dari bulan yang sedang
berlangsung (Widiana, 2004: 25).
Semula pelaksanaan rukyatul hilal dilakukan secara
spontanitas oleh umat Islam untuk mengetahui awal bulan-bulan yang terkait
dengan ibadah. Pelaksanaannya dipandu oleh para ulama dan pemimpin keagamaan
lainnya. Setelah berdirinya kerajaan-kerajaan Islam Nusantara, pelaksanaan
rukyat selain yang dilaksanakan secara spontanitas oleh umat Islam, juga ada
yang dikoordinir oleh pejabat-pejabat keagamaan di kerajaan yang bersangkutan
(Widiana, 2004: 25).
Ditinjau dari sarana prasarana yang digunakan dalam
melaksanakan rukyatul hilal, semula pelaksanaan rukyatul hilal hanya dilakukan
dengan mata telanjang; tanpa menggunakan alat bantu apapun. Setelah kebudayaan
manusia makin maju, maka pelaksanaan rukyahpun secara berangsur-angsur
menggunakan sarana prasarana yang menunjang. Sarana prasarana rukyah ini terus
berkembang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
(Depag,1994: 2).
Cara pelaksanaan rukyahpun mengalami perkembangan. Pada
awalnya dalam pelaksanaan rukyatul hilal, orang hanya melihat atau pengarahkan
pandangannya ke ufuk barat. Dengan
pengertian bahwa mengarahkan pandangannya ke ufuk barat yang sedemikan luas.
Hal ini sebagai akibat tidak atau kurang pengetahuan mereka dalam bidang ilmu
Falak atau astronomi. Setelah kedua ilmu tersebut mulai dikuasai dengan baik,
pelaksanaan rukyatul hilalpun menjadi lebih baik dan terarah. Mereka yang
melaksanakan rukyah dapat menfokus dan konsentrasikan pandangan mereka ke
posisi yang diduga tempat hilal berada. Bahkan lebih jauh lagi hilalpun dapat
dipantau pergerakannya. Jika hilal berhasil dirukyat, maka gambarnya dapat
didokumentasikan. Posisi dan waktunya dapat diperhitungkan dengan sangat akurat
(Depag,1994: 2-3).
Demikian halnya di kalangan ahli hisab juga
terdapat perbedaan dalam penentuan awal bulan Kamariah. Di antaranya yang
berpendapat bahwa awal bulan baru itu ditentukan hanya oleh terjadinya ijtimak
sedangkan yang lain mendasarkan pada terjadinya ijtimak dan posisi hilal. Kelompok yang berpegang
pada sistem ijtimak menetapkan jika ijtimak
terjadi sebelum Matahari terbenam, maka sejak Matahari terbenam itulah
awal bulan baru sudah mulai masuk. Mereka
sama sekali tidak mempermasalahkan hilal dapat dirukyah atau tidak. Sedangkan
kelompok yang berpegang pada terjadinya ijtimak dan posisi hilal menetapkan
jika pada saat Matahari terbenam setelah terjadinya ijtimak dan posisi hilal sudah berada di atas ufuk, maka
sejak matahari terbenam itulah perhitungan bulan baru dimulai (Badan Hisab dan
Rukyat, 1981: 99).
Keduanya
sama dalam penentuan awal masuknya bulan Kamariah, yakni pada saat matahari
terbenam setelah terjadinya ijtimak. Namun keduanya berbeda dalam menetapkan
kedudukan bulan di atas ufuk. Aliran ijtima’ qabl gurub sama sekali
tidak mempertimbangkan dan memperhitungkan kedudukan hilal di atas ufuk pada
saat sunset. Sebaliknya kelompok yang berpegang pada terjadinya ijtimak
dan posisi hilal saat sunset menyatakan apabila hilal sudah berada di
atas ufuk itulah pertanda awal masuknya bulan baru. Bila hilal belum wujud
berarti hari itu merupakan hari terakhir dari bulan yang sedang berlangsung (Azhari,
2007: 109).
Selanjutnya
kedua kelompok ini masing-masingnya terbagi lagi menjadi kelompok-kelompok yang
lebih kecil. Perbedaan ini disebabkan atau dikaitkan dengan fenomena-fenomena
yang terdapat di sekitar peristiwa ijtimak dan gurab asy-syams. Dan dalam perkembangan wacana dalam penetapan
awal bulan Kamariah, kelompok yang berpegang pada posisi hilal inilah yang
lebih mendominasi. Selanjutnya akan dibahas tentang kelompok yang berpedoman
pada wujudul hilal dan kelompok yang berpedoman pada imkanur rukyah dalam
penentuan awal bulan. Keduanya merupakan bagian dari mereka yang berpegang pada
posisi hilal dan memiliki standar atau patokan yang berbeda.
Mereka
yang berpedoman pada wujudul hilal menyatakan bahwa pedoman masuknya awal bulan
adalah telah terjadi ijtimak sebelum
terbenam Matahari dan pada saat sunset itu hilal telah wujud di atas
ufuk. Sementara itu mereka yang berpedoman pada imkanur rukyah menyatakan bahwa
patokan masuknya awal bulan adalah telah ijtimak terjadi sebelum terbenam
Matahari dan pada saat sunset itu hilal telah berada di atas ufuk pada
ketinggian yang memungkinkan untuk dirukyah.
Dalam
menentukan masuknya awal bulan, mereka yang berpedoman pada wujudul hilal
berpatokan pada posisi hilal sudah di atas ufuk tanpa mematok ketinggian
tertentu. Jika hilal telah di atas ufuk otomatis pertanda masuknya awal bulan.
Mereka yang berpedoman pada Imkanur rukyah menentukan ketinggian tertentu hilal
sehingga memungkinkan untuk dirukyah. Kriteria ketinggian hilal ini pun
dimaknai berbeda-beda ada mereka yang menyatakan bahwa ketinggian hilal untuk memungkinkan
untuk dirukyah. Di samping itu ada kriteria-kriteria lain sebagai pendukung
seperti illuminasi bulan, jarak antara bulan dan matahari saat gurub, posisi
hilal terhadap matahari, jangka waktu antara ijtimak dan terbenamnya matahari,
dan lainnya.[1]
C.Persoalan Perbedaan Penetapan Awal Bulan Kamariah di Indonesia
Berikut ini akan disajikan data tentang kelompok-kelompok yang berpotensi
menyebabkan dan faktor-faktor yang menyebabkan mereka berbeda dengan penetapan
pemerintah dalam penetapan awal bulan Kamariah di Indonesia.
1. Muhammadiyah
Muhammadiyah merupakan kelompok yang dalam penentuan awal
bulan Kamariah cukup menggunakan hasil hisab (tidak melakukan observasi/
rukyatul hilal). Pedoman Muhammadiyah dalam penentuan awal bulan Kamariahnya
adalah menganut kriteria Wujudul Hilal. Permasalahan perbedaan timbul pada saat ketinggian hilal kurang dari 2˚.
Salah satu kriteria penentuan awal bulan Kamariah Pemerintah adalah ketinggian
hilal 2˚. Berdasarkan kriteria penentuan awal bulan Kamariah Muhammadiyah (baca
Wujudul Hilal), berapapun ketinggian hilal di atas ufuk, maka telah masuk awal
bulan baru. Jika kondisi hilal pada saat penentuan awal bulan Kamariah tersebut
seperti itu; terjadilah perbedaan antara Muhammadiyah dengan Pemerintah.
b.Aliran an-Nazir di Gowa, Makasar.
Adapun aliran an-Nazir di Gowa, Makasar berpedoman pada pasang air laut dalam
menentukakan masuknya awal bulan Kamariah. Yang memiliki otoritas dalam
melakukan observasi pasang air laut ini adalah pimpinan aliran tersebut.
Berbicara tentang pasang surut air laut memang merupakan salah satu
dampak dari peristiwa ijtimak. Besaran dan
kualitas pasang air laut pada saat terjadinya ijtimak tentu saja banyak
faktor yang mempengaruhinya, seperti: pengaruh ijtimak itu sendiri (matahari
dan bulan), angin, mengaruh planet-planet lain. Selanjutnya tentulah menjadikan
pasang air laut sebagai pertanda masuknya awal bulan Kamariah perlu
mempertanyakan atau mengkaji lebih lanjut banyak hal tersebut. Pasang air laut
juga tidak bisa dikaitkan dengan posisi hilal pada saat sunset setelah
peristiwa ijtimak tersebut.
c.Penganut Kejawen
Penganut Kejawen yang masih eksis dan kerap berbeda dengan
Pemerintah adalah komunitas Kejawen di daerah Banyumas, Jawa Tengah. Sistem yang digunakan kalangan Kejawen dalam penentuan awal
bulan dikenal dalam kajian ilmu Falak dengan hisab Urfi. Sistem itu mereka warisi secara turun temurun dari
orang-orang tua mereka. Sistem hisab Urfi berdasarkan pada
perhitungan rata-rata dari peredaran Bulan mengelilingi Bumi. Perhitungan
secara Urfi ini bersifat tetap, umur bulan itu tetap setiap bulannya. Bulan
yang ganjil/ gasal berumur tiga puluh hari sedangkan bulan yang genap berumur
dua puluh sembilan hari. Dengan demikian bulan Ramadan sebagai bulan kesembilan
(ganjil) selamanya akan berumur tiga puluh hari.
d.Hisbut Tahrir Indonesia
HTI menggunakan kriteria
rukyah global, khususnya keberhasilan rukyah di Saudi Arabia terutama
dalam penentuan Idul Adha. Bagi mereka,
penentuan Idul Adha berdasarkan penetapan Wukuf
di Saudi Arabia. Bila penetapan Saudi Arabia berbeda dengan penetapan
Pemerintah, maka mereka akan berbeda dengan penetapan Pemerintah.
e.Aliran Tarekat
Di antara aliran tarekat yang mencuat
namanya terkait dengan perbedaan penetapan awal bulan Kamariah di Indonesia,
antara lain adalah aliran tarekat Naqsabandiyah di Padang, Sumatera Barat.
Aliran ini mengunakan penaggalan yang mereka sebut dengan Munjid dalam
penetapan awal bulan Kamariahnya. Diilustrasikan bahwa motode Munjid tersebut sudah turun menurun dilakukan setiap
tahunnya. Metode hisab munjid dilakukan dengan cara menghitung 360 hari
dari puasa tahun lalu. Jika pada tahun sebelumnya memulai puasa Ramadan pada
hari Rabu. Untuk penghitungannya, puasa tahun ini dimulai lima hari setelah
Rabu. Jadi jatuhnya hari Minggu (http://www.harianhaluan.com/index.ph...dang&Itemid=70).
Metode perhitungan awal bulan Kamariah yang mereka gunakan ini, diduga
merupakan hisab Urfi. Namun untuk mengetahui sistem hisab tersebut diperlukan penelitian lebih
lanjut.
f.Kelompok Cakung
Kelompok Cakung adalah para murid
dan simpatisan Muhammad Manshur bin Abdul Hamid bin Muhammad Damiri yang
dikenal dengan Manshur al-Batawi. Dalam
penentuan awal bulan Kamariah, mereka berpedoman pada kitab Sullam
an-Nayyiran. Berdasarkan klasifikasi metode Hisab dalam forum seminar
sehari ilmu Falak tanggal 27 April 1997 di Tugu, Bogor, Jawa Barat di
atas, maka kitab Sullam an-Nayyiran karya Muhammad Manshur bin
Abdul Hamid bin Muhammad Damiri, Qawa’id al-Falakiyah karya Abdul fatah
ath-Thuhi dan Fath ar-Rauf al-Mannan karya Abu Hamdan Abdul
Jalil adalah tergolong hisab Hakiki Taqribi.
Muhyiddin Khazin menyatakan bahwa
hisab Hakiki Taqribi adalah hisab awal bulan yang perhitungannya berdasarkan
gerak rata-rata bulan dan matahari, sehingga hasilnya masih merupakan perkiraan
(mendekati kebenaran). Ketika menghitung ketinggian hilal menggunakan cara;
waktu matahari terbenam dikurangi waktu ijtimak kemudian dibagi dua (Khazin,
2009: 79). Hisab Hakiki Taqribi memiliki tingkat
akurasi rendah. Kenyataannya hasil perhitungannya itu tidak didukung oleh
argumentasi-argumentasi ilmiah sebagai pengungkapan data, fakta, dan
kenyataannya dalam praktek di lapangan. Dengan kata lain hasil perhitungannya
terkadang berbeda dengan kenyataan yang ditemui di lapangan ketika observasi
rukyatul hilal dilakukan.
g.Potensi Nahdlatul Ulama sebagai
Pengamal Rukyah
Nahdlatul Ulama dalam penentuan awal bulan Kamariahnya
menggunakan kriteria keberhasilan rukyatulhilal. Konsekuensi penggunaan kriteria ini adalah
pergantian awal bulan Kamariah harus berdasarkan keberhasilan rukyah. Pada
kondisi secara perhitungan, hilal sudah di atas ufuk dan memiliki ketinggian
yang memungkinkan untuk berhasil di rukyah, namun karena faktor cuaca yang
hujan atau berawan sehingga rukyatulhilal yang dilaksanakan di berbagai daerah
tidak dapat dilaksanakan maka tetap akan diputuskan tidak masuk bulan baru.
Kondisi ini tentu saja menjadi beban pikiran bagi para ahli
Falak di kalangan Nahdlatul Ulama khususnya. Jika peristiwa ini terjadi, maka
bias saja umur bulan berikutnya akan menjadi 28 hari. Hal ini tentulah salah
karena menurut tuntunan Rasulullah umur bulan Kamariah itu 29 atau 30 hari.
Tidak mungkin di luar ketentuan tersebut.
D.Problematika Yang
Melatarbelakangi Perbedaan Awal Bulan Kamariah Di Indonesia
Data
seputar perbedaan awal bulan Kamariah di Indonesia memberikan ilustrasi bahwa
terdapat persoalan yang bersifat mendasar yang melatarbelakangi permasalahan
ini, sebagai berikut:
1.Perbedaan Pemahaman Dalil Syar’i
Rasulullah
saw mengisyaratkan memulai puasa Ramadan dan Idul Fitri ketika melihat hilal
dan mengakhirinya ketika melihat hilal di akhir bulan. Jika terhalang awan,
genapkanlah Syakban atau Ramadan menjadi tiga puluh hari.
Kalangan
Nahdlatul Ulama memahami perintah
melaksanakan rukyatul hilal merupakan salah satu bentuk ibadah. Rukyatul hilal
dilaksanakan pada saat akhir bulan. Perintah ini ibadah yang wajib dilaksanakan
guna penentuan awal bulan berikutnya terlepas posisi hilal itu berdasarkan
perhitungan hisab telah atau belum memungkinkan untuk dirukyah. Keberhasilan
rukyatul hilal merupakan cara penentuan awal bulan Kamariah. Jika pada saat rukyatul hilal di akhir bulan
tersebut hilal berhasil terlihat maka masuk bulan baru, tetapi jika tidak maka
dilakukan istikmal (menyempurnakan/
menggenapkan) bulan sebelumnya tiga puluh hari.
Kelompok
lainnya, mereka yang mencukupkan untuk melakukan perhitungan/ hisab dalam
penentuan awal bulan Kamariah, tidak perlu atau tanpa harus melakukan rukyatul
hilal. Kelompok ini diwakili oleh kalangan Muhammadiyah. Menurut mereka kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang begitu pesatnya di masa sekarang ini telah berhasil menghasilkan
metode perhitungan awal bulan Kamariah yang sangat presisi atau akurat. Metode yang memiliki akurasi tinggi ini
memiliki posisi yang sangat kuat (qath’i).
Observasi/ rukyatul hilal dalam
pelaksanaannya menghadapi banyak
kendala. Kendala cuaca di daerah Khatulistiwa, kendala sumber daya manusia yang
melaksanakan rukyatul hilal, dan sarana prasarana. Sehingga dikatakan bahwa
observasi/ rukyatul hilal guna penentuan awal bulan Kamariah itu posisinya zanny.
2.Paham/
Kepercayaan Tertentu
Terdapat paham/
kepercayaan tertentu; yang dalam hal ini diwakili oleh kelompok tarekat
dan penganut Kejawen. Kedua kelompok ini sebenarnya bukanlah kelompok atau aliran dalam penentuan awal bulan Kamariah.
Namun keduanya menjadi terkait dengan pembahasan perbedaan penetapan awal bulan
Kamariah karena keduanya memiliki metode tersendiri dalam penetapan awal bulan
tersebut.
Metode
penentuan awal bulan mereka tersebut memiliki potensi yang besar untuk selalu
berbeda dengan penentuan awal bulan bulan oleh Pemerintah. Metode yang mereka yang gunakan dapat dijelaskan
sebagai berikut:
a.Pengikut
tarekat, cenderung mengikuti penentuan awal bulan Kamariah yang ditetapkan oleh
Mursyid mereka. pengikut tarekat Naqsabandiyah di Padang menggunakan
metode yang mereka sebut dengan metode
Munjid; sebuah sistem penanggalan yang telah mereka terima secara turun temurun
dari para pendahulu mereka.
b.Pengikut
aliran an-Nazir penggunakan pasang air laut sebagai dasar penentuan awal bulan.
c.Penganut
Kejawen menggunakan perhitungan hisab Urfi sebagai dasar penentuan awal bulan
Kamariah.
Dalam penetapan awal bulan yang mengemuka di Indonesia, dalam hal
ini penetapan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah kadang terdapat perbedaan
antara penanggalan berdasarkan perhitungan secara Urfi dengan hasil putusan
pemerintah dalam sidang Isbatnya. Patokan pemerintah dalam penetapan sidang
Isbat adalah posisi hilal yang sebenarnya sebagai pertanda masuknya awal bulan
berdasarkan perhitungan visibilitas hilal; imkanur rukyah yang dikuatkan dengan
hasil rukyatul hilal.
Berdasarkan hisab Hakiki, ketentuan masuknya awal bulan itu
tergantung posisi hilal. Apabila menurut hasil perhitungan hisab pada tanggal
29 bulan yang sedang berlangsung, ketinggian hilal memungkinkan untuk dirukyah
(imkanur rukyah)—dalam hal ini pemeritah kita
mengikuti kriteria yang disepakati MABIMS (Mentri Agama Brunei
Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura), yakni ketinggian hilal minimal
2˚, elongasi minimal 3˚, dan umur hilal minimal 8 jam; maka itu pertanda
masuknya awal bulan berikutnya. Esok hari adalah tanggal satu bulan yang baru.
Namun apabila belum memenuhi kriteria tersebut, maka besok harinya merupakan
hari terakhir (tanggal 30) dari bulan
yang sedang berjalan.
Dengan demikian ketentuan tentang umur suatu bulan sangat
bergantung pada visibilitas hilal awal bulan tersebut. Kenyataannya umur bulan
itu tidak mesti berselang-seling antara 30 dan 29 hari untuk bulan ganjil dan
genap. Bisa saja umurnya justru sebaliknya 29 dan 30 hari. Bisa juga umur bulan
itu berturut-turut 29 atau berturut-turut 30 hari.
Itulah
logikanya yang kadang menjadikan perhitungan yang berdasarkan hisab Urfi ini
terkadang berbeda dengan kenyataan; yang didasarkan pada perhitungan yang
berdasarkan hisab Hakiki. Misalnya untuk perhitungan tanggal 1 Syawal,
berdasarkan hisab Urfi Ramadan itu selalu berumur 30 hari (karena merupakan
bulan ganjil—bulan ke-9). Pada hal bisa jadi kenyataannya berdasarkan hisab
Hakiki, umur Ramadan itu 29 hari. Sehingga mereka yang merayakan Idul Fitri
berdasarkan hisab Urfi terlambat satu hari dari ketetapan pemerintah. Atau
kejadiannya adalah kebalikan peristiwa
di atas, misalnya dalam penetapan tanggal 1 Ramadan. Berdasarkan hisab Urfi
Syakban itu selalu berumur 29 hari (karena merupakan bulan genap—bulan ke-8).
Bisa jadi kenyataannya dan berdasarkan hisab Hakiki umur Syakban pada waktu itu
30 hari. Sehingga mereka yang perhitungannya berdasarkan hisab Urfi
melaksanakan ibadah puasa Ramadan sehari mendahului ketetapan pemerintah.
Patut
dicatat hisab Urfi sudah digunakan di seluruh dunia Islam termasuk di Indonesia
dalam masa yang sangat panjang. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan terbukti
bahwa sistem hisab ini kurang akurat digunakan untuk keperluan penentuan waktu
ibadah. Penyebabnya karena perata-rataan peredaran Bulan tidaklah tepat sesuai
dengan penampakan hilal (newmoon) pada awal bulan (Azhari dan Ibnor
Azli Ibrahim, http://ern.pendis.kemenag.go.id/DokPdf/jurnal/07-susiknan.pdf:137).
Sehingga perhitungan secara Urfi ini disepakati oleh para ulama tidak
dapat dijadikan sebagai pedoman untuk pelaksanaan ibadah (Anwar, tt: 8).
3.Persoalan
Metodologis Menjadi Teologis
Pada
awalnya sangat mungkin metode yang digunakan dalam penentuan awal bulan
Kamariah itu merupakan sebuah metode belaka. Namun seiring berjalannya waktu,
maka mengakarlah metode itu di masyarakat atau kalangan tersebut serta
muncullah kefanatikan para pengamalnya. Lalu menjelmalah metode tersebut
menjadi sebuah ideologi/ keyakinan.
Kondisi
inilah yang menyebabkan yang banyak
terjadi pada pengamal metode tradisional (kalangan pesantren) terhadap
perhitungan awal bulan Kamariah yang mereka anut. Mereka bersikap teguh
pendirian dalam menggunakan metode perhitungan awal bulan yang telah diwariskan
oleh guru ataupun pendahulu mereka. Inilah kondisi pengamal kitab Sullam
an-Nayyirain. Perkembangan ilmu Falak di Indonesia
tidak selalu bersifat linier antara perkembangan sains dengan realita yang
terjadi pada masa itu. Dengan asumsi bahwa pada pertengahan abad ke-20 metode
hisab Hakiki Tahqiqi akan berkembang dengan pesat menggantikan teori lama yang
telah gugur secara ilmiah; dan metode hisab Hakiki Taqribi mulai ditinggalkan
orang. Tapi kenyataannya tidak seperti demikian. Metode hisab Hakiki Taqribi
tetap memiliki pengikut fanatiknya bahkan sampai dengan sekarang ini. Misalnya
menurut mengklasifikasian yang dilakukan Departemen Agama dinyatakan bahwa
Perhitungan kitab Sullam an-Nayyirain
ini termasuk hakiki taqribi, tingkat akurasi rendah dan terkadang hasil
perhitungannya berbeda dengan kenyataan di lapangan, anehnya lagi eksistensinya
masih diakui oleh Kementerian Agama. Karena hasil perhitungannya masih
digunakan sebagai pertimbangan sidang penetapan awal bulan Kamariah Kementerian
Agama. Untuk memahami permasalahan ini,
tentu diperlukan penjelasan, argumentasi, dan pendapat lebih mendalam para ahli
hisab rukyah di balik eksisnya perhitungan awal bulan Kamariah menggunakan
sistem hisab rukyah kitab Sullam
an-Nayyirain ini.[2]
Menurut penganut sistem ini, metode
Sullam an-Nayyirain adalah hasil
ijtihad Manshur al-Batawi; al-ijtihad la
yunqadhu bi ijtihad.
4.Taklid
Persoalan
yang mendasari masih eksisnya metode penentuan awal bulan Kamariah yang telah
usang, telah tertinggal dalam perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir adalah sikap taklid dari
pengamalnya.
Sikap
taklid ini; hanya mengikuti, mempedomani biasanya apa yang telah ada; warisan
dari para pendahulu tanpa penelitian dan penyelidikan lebih lanjut. Hal ini
tentu akan merugikan bagi perkembangan pahamanan dan ilmu pengetahuan dalam
masyarakat tersebut.
E.Fiqh Al-Ikhtilaf Dan Sains Menganalisis Perbedaan Awal Bulan Kamariah
Perbedaan
penentuan awal bulan Kamaiah di Indonesia itu disebabkan oleh perbedaan kelompok-kelompok yang terkait dengan
penetapan awal bulan tersebut, sebagai berikut:
1.Muhammadiyah dalam penentuan awal bulan Kamariah menggunakan
hasil hisab (tidak melakukan observasi/ rukyatul hilal). Mereka menganut
kriteria Wujudul Hilal.
2.Aliran tarekat Naqsabandiyah di
Padang, Sumatera Barat mengunakan metode perhitungan yang mereka sebut dengan
Munjid dalam penetapan awal bulan Kamariahnya. Metode ini diduga menggunakan
perhitungan berdasarkan hisab Urfi.
3.Aliran an-Nazir di Gowa, Makasar berpedoman pada pasang air laut dalam
menentukan masuknya awal bulan Kamariah. Yang memiliki otoritas dalam melakukan
observasi pasang air laut ini adalah pimpinan aliran tersebut.
4.Penganut Kejawen di daerah
Banyumas, Jawa Tengah dalam penentuan awal bulan
menggunakan perhitungan yang dalam kajian ilmu Falak dikenal dengan hisab Urfi.
Sistem itu mereka warisi secara turun
temurun dari orang-orang tua mereka.
5.Hisbut Tahrir Indonesia
menggunakan kriteria rukyah global,
khususnya keberhasilan rukyah di Saudi Arabia dalam penentuan Idul Adha.
6.Kelompok Cakung dalam penentuan awal bulan Kamariah berpedoman pada kitab Sullam
an-Nayyiran yang merupakan
metode hisab Hakiki Taqribi.
7.Potensi Nahdlatul Ulama sebagai
Pengamal Rukyah.
Itulah kelompok-kelompok yang penentuan awal bulan
Kamarahnya kerap berbeda dengan penetapan Pemerintah. Ke-enam kelompok tersebut
dengan spesifikasi metode penetapan awal bulan Kamariahnya masing-masing
ditinjau dengan kajian fiqh al-ikhtilaf
dan pendekatan sains dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.Metode penentuan awal bulan
Kamariah dari Aliran tarekat Naqsabandiyah di Padang-Sumatera Barat, aliran
an-Nazir di Gowa-Makasar, Penganut
Kejawen di daerah Banyumas-Jawa Tengah, NU (terkait dengan akurasi klaim keberhasilan
rukyatul hilal yang dilaksanakan), dan kelompok Cakung termasuk dalam kajian/
wilayah sains penentuan awal bulan Kamariah.
Masalah yang terkait dengan metode perhitungan dan hasil
perhitungan dari metode-metode penentuan awal bulan yang digunakan oleh
kelompok-kelompok di atas merupakan kajian yang termasuk ke dalam ranah
sains—dalam hal ini sains yang terkait perhitungan awal bulan Kamariah. Secara
Syar’i yang dijadikan acuan atau patokan dalam penentuan awal bulan Kamariah
adalah keberhasilan rukyah atau data tentang kemungkinan berhasil dalam
pelaksanaan rukyah (imkanur rukyah). Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang sangat pesat, dapat menghitung
posisi dan pergerakan bumi, bulan, dan matahari dengan sangat teliti. Sehingga
ia juga telah menghasilkan metode perhitungan awal bulan Kamariah ini dengan
sangat akurat dan presisi. Metode ini diidentifikasi dengan Hisab Modern.
Metode Hisab Tradisional seperti metode hisab Urfi, Hakiki
Taqibi, dan Hakiki Tahqiqi (versi Kemenag) tentu saja dinilai memiliki akurasi
yang rendah bahkan mungkin sebagiannya bahkan tidak akurat. Demikian juga hasil
perhitungan berdasarkan observasi pasang air laut dan kata mereka (aliran
an-Nazhir) juga menggunakan pengamatan peredaran bulan—yang tidak sesuai dengan
hasil perhitungan menggunakan metode yang memiliki akurasi yang tinggi,
sehingga harus diabaikan.
Hal ini karena hasil perhitungan yang dihasilkan oleh metode-
metode tersebut cenderung berbeda dengan kenyataan di lapangan, kondisi ril yang sebenarnya. Metode tersebut
merupakan hasil ijtihad yang terkait dengan metode perhitungan awal bulan Kamariah.
Tidak setiap hasil ijtihad yang dikategorikan sebagai zan (berat
persangkaan) itu bisa dijadikan landasan dalam penetapan
hukum. Zan yang dapat dijadikan landasan sebagai dasar penetapan sebuah
hukum adalah jika sesuai dengan realitas, zan yang jelas-jelas salah; az-Zan
al-bayyin khata-uh maka harus diabaikan
la ‘ibrah (Muhammad,
1999: 134-135 dan Haq, Tt: 305).
Kaedah ini tentu saja dapat juga digunakan dalam kasus menentuan awal bulan
Kamariah menggunakan metode perhitungan yang dinyatakan memiliki akurasi yang
rendah. Metode hisab awal bulan Kamariah yang memiliki tingkat akurasi
yang rendah, hasil perhitungannya yang tidak sesuai dengan kenyataan yang
sebenarnya pada saat rukyatul hilal, maka harus diabaikan dan tidak dapat
dijadikan pedoman dalam penetapan awal bulan Kamariah.
2.Metode penentuan awal bulan
Kamariah dari Muhammadiyah, NU (kriteria keberhasilan rukyat) dan HTI termasuk
dalam kajian/ wilayah fiqh al-ikhtilaf
dalam penentuan awal bulan Kamariah.
Terkait dengan kriteria dalam hal ini kriteria wujudul
hilal yang dianut oleh Muhammadiyah, NU dengan kriteria keberhasilan rukyat,
dan kriteria rukyah global yang dipedomani oleh HTI termasuk dalam wilayah fiqh al-ikhtilaf dalam penentuan awal bulan Kamariah. Kriteria
wujudul hilal ini merupakan hasil keputusan/ musyawarah majlis Tarjih dan
Tajdid Muhammadiyah dalam penentuan awal bulan Kamariahnya. Demikian pula
dengan HTI menetapkan hari raya Idul Adha berdasarkan penetapan (terutama
pelaksanaan wukuf di padang Arafah) pemerintah Arab Saudi.
F.Alternatif Tawaran Bagi Penyatuan Perbedaan Penetapan Awal Bulan Kamariah Di Indonesia
Menurut penulis
terdapat beberapa upaya atau tahapan yang harus diupayakan guna terwujudnya
kesatuan penetapan awal bulan Kamariah dan unifikasi kalender Islam Indonesia.
Tahapan atau upaya yang harus dilaksanakan adalah sebagai berikut:
1.Kesepakatan Metode Penentuan Awal
Bulan Kamariah yang dijadikan pedoman.
Kesepakatan dalam metode dalam penentuan awal bulan Kamariah
itu sangat penting. Hal ini mengingat sangat beragamnya metode perhitungan awal
bulan Kamariah yang terdapat dan berkembang di Indonesia. Masing-masingnya memilki pengikut yang setia,
jumlah mereka pun banyak.
Metode-metode ini memiliki sistem perhitungan yang berbeda
antara satu dengan lainnya. Tingkat akurasi perhitungannya pun berbeda-beda
pula. Tentu saja kesepakatan dalam hal metode yang akan dijadikan pedoman atau
acuan dalam penentuan awal bulan
Kamariah ini adalah metode yang memiliki akurasi tinggi; yakni metode Modern.
2.Kesepakatan Kriteria Acuan
Setelah terwujudnya kesepakatan dalam metode perhitungan yang
dijadikan acuan, maka langkah berikutnya adalah diperlukannya kesepakatan dari
kriterianya.
Kriteria ini merupakan kondisi seputar fenomena hilal yang
berhasil diobservasi saat pertukaran bulan yang lama ke bulan baru. Fenomena
ini merupakan hasil ijtihad (pembacaan) para mujtahid terhadap nash yang
berbicara tentang penentuan awal bulan Kamariah. Lalu fenomena tersebut
dijelaskan secara astronomi, bahwa hilal itu minimal harus berumur sedemikian,
ketinggiannya dari ufuk sedemikian, elongasinya harus sedemikian, beda jarak
antara hilal dan matahari sedemikian, fraksi iluminasinya sedemikian, dan
seterusnya.
Kriteria ini bersifat dinamis. Kreiteria ini dapat berubah
sesuai dengan hasil up date keberhasilan rukyatul hilal yang dilakukan.
Keberhasilan rukyatul hilal yang dimaksud di sini adalah keberhasilan rukyatul
hilal yang sesuai dan dapat dibuktikan
secara ilmiah.
Jika telah terwujud kesepakatan dalam hal metode yang
dijadikan patokan, namun berbeda dalam kriteria yang dijadikan acuannya, maka
tentulah tetap akan terjadi perbedaan dalam penentuan awal bulan Kamariah di
Indonesia. Hal ini dimungkinkan karena boleh jadi menurut kriteria sebagian
kelompok telah masuk bulan baru, namun mungkin menurut sebagian yang lain
belum; disebabkan oleh karena belum memenuhi kriteria yang mereka tetapkan.
Dengan demikian para ahli hukum Islam di Indonesia perlu
duduk; diskusi bersama tentang kriteria penentuan awal bulan Kamariah yang
dijelaskan dalam nash. Ketika pemahaman terhadap nash tersebut telah
disepakati, maka akan mudahlah tugas para ahli Falak dan astronom untuk
menuangkannya dalam kriteria tersebut ke dalam rumusan ilmu Falak dan
Astronomi—yang bersifat eksak karena merupakan wilayah sains.
3.Lembaga Yang Otoritatif Yang Memutus/ Menetapkan
Pemerintah setiap tahunnya menetapkan awal Ramadan, Syawal,
dan Zulhijah melalui mekanisme siding Isbat. Dalam pelaksanaan siding Isbat
tersebut diundang ormas-ormas, para astronom, dan ahli Falak. Di samping
menerima laporan/ hasil rukyatul hilal yang dilaksanakan di berbagai tempat
observasi di seluruh Indonesia, sidang tersebut juga mendiskusikan pendapat para anggota rapat
seputar permasalahan terkait dengan keputusan yang akan diambil nantinya dalam penetapan
awal bulan Kamriah tersebut.
Setelah mendengarkan dan mendiskusikan, barulah di bagian
akhir sidang isbat diambil keputusan penetapan awal bulan yang bertepatan
dengan pelaksanaan sidang itu.
Namun dalam kenyataannya, keputusan pemerintah tentang
penetapan awal bulan Kamariah; yang dalam hal ini dikuasakan kepada menteri
Agama, tidak sepenuhnya diterima dan dilaksanakan di masyarakat. Ada saja
kelompok masyarakat yang berbeda dengan hasil penetapan pemerintah tersebut.
Alih-alih menjalankan keputusan bersama dalam siding Isbat, mereka lebih
memilih untuk mengikuti keputusan dari ketua kelompoknya.
Dengan demikian, akar permasalahannya adalah otoritas yang
berkompeten dalam penetapan awal bulan Kamariah. Sebagiannya beralasan bahwa
pemerintahan kita bukan pemerintahan
Islam sehingga tidak wajib untuk diikuti. Sebagian lagi mengikuti
penetapan pemerintah Saudi Arabi yang dianggap sebagai pusat pemerintahan Islam
dunia, sebagian lainnya hanya mengikuti para tetua kelompok mereka, dan alasan
lainnya.
Pemahaman- pemahaman di atas, menyebabkan keputusan
pemerintah dalam sidang Isbat terkadang menjadi kurang efektif di tengah-tengah
masyakat. Sehingga keberadaan lembaga yang memiliki otoritas yang diakui oleh
seluruh umat Islam di Indonesia sangat dibutuhkan. Ataupun eksistensi lembaga
sidang Isbat kemenag perlu dipertegas lagi fungsinya dalam menetapkan awal
bulan Kamariah di Indonesia.
G.Kesimpulan
Dari
paparan sebelumnya, dapatlah kita
simpulkan sebagai berikut:
1.Problematika yang melatarbelakangi perbedaan awal bulan Kamariah di
Indonesia: perbedaan pemahaman dalil Syar’i, paham/ kepercayaan tertentu,
persoalan metodologis menjadi teologis, dan taklid.
2.Analisis Fiqh
al-ikhtilaf dan sains tentang perbedaan awal bulan Kamariah di Indonesia
a.Masalah yang terkait dengan metode perhitungan dan hasil
perhitungan dari metode-metode penentuan awal bulan adalah ranah atau wilayah
sains seperti metode penentuan awal bulan Kamariah dari aliran tarekat
Naqsabandiyah di Padang-Sumatera Barat, aliran an-Nazir di Gowa-Makasar, Penganut Kejawen di daerah Banyumas-Jawa
Tengah, NU (terkait dengan akurasi hasil rukyah yang dilaksanakan), dan
kelompok Cakung.
b.Adapun terkait dengan kriteria--dalam hal ini kriteria wujudul
hilal yang dianut oleh Muhammadiyah, NU dengan keberhasilan rukyat, dan
kriteria rukyah global yang dipedomani oleh HTI termasuk dalam kajian/ wilayah fiqh al-ikhtilaf dalam penentuan awal bulan Kamariah.
3. Alternatif tawaran bagi penyatuan perbedaan penetapan awal bulan
Kamariah di Indonesia: kesepakatan metode yang dijadikan pedoman dalam
penentuan awal bulan Kamariah, kesepakatan kriteria yang dijadikan acuan, dan
adanya lembaga yang otoritatif yang
memutus/ menetapkan awal bulan Kamariah.
Daftar Pustaka
Anwar, Syamsul, Hari Raya dan Problematika Hisab Rukyat, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2008
____________, Almanak Berdasarkan Hisab
Urfi Kurang Sejalan Dengan Sunnah Nabi saw: Surat Terbuka Untuk Pak Darmis, Almanak_Hijriah.pdf – Adobe Reader, h. 8
Arkanudin, Mutoha, Kriteria Hilal, http://rukyatulhilal.org, diakses 15
Nopember 2012
Azhari, Susiknan, Sa’adoeddin Djambek (1911-1977) dalam Sejarah Pemikiran Hisab Di
Indonesia, Yogyakarta: Proyek PTA IAIN Sunan Kalijaga, 1998/1999
_____________, Ilmu Falak Perjumpaan
Khazanah Islam dan Sains Modern,
Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2007, Cet. Ke-2
____________, Sa’adoeddin
Djambek (1911-1977) dalam Sejarah Pemikiran Hisab Di Indonesia, Yogyakarta: Proyek PTA IAIN Sunan
Kalijaga, 1998/1999
____________,dan Ibnor Azli Ibrahim, Kalender Jawa Islam: Memadukan Tradisi dan Tuntutan
Syar'i dalam Jurnal
Asy-Syir’ah Vol. 42 No. I, 2008. diakses pada tanggal 5 Maret 2009
dari http://ern.pendis.kemenag.go.id/DokPdf/jurnal/07-susiknan.pdf,
h. 137 diakses 15 Nopember
2012
Badan Hisab dan Rukyat. Dep. Agama Pusat, Almanak Hisab Rukyat.
Jakarta: Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama
Islam, 1981
Depag, Pedoman Perhitungan Awal Bulan
Qamariyah, Jakarta: Depag RI, 1983
____________, Pedoman Tehnik Rukyat, Jakarta: Depag RI, 1994
Fathurrohman SW,
Oman, “Penentuan Awal Bulan Qamariyah menurut
Muhammadiyah”. Makalah disampaikan dalam Orientasi Kerukunan Umat Islam dan
Tenaga Teknis Hisab Rukyat Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, tanggal 14 s/ d
16 Juni 2005. di Wisma “Puas” Kaliurang Yogyakarta
____________, Kalender
Muhammadiyah, makalah disampaikan pada Musyawarah Ahli Hisab
Muhammadiyah, Yogyakarta, 29-30 Juli
2006
Khazin, Muhyiddin, Kamus Ilmu Falak, Yogyakarta: Buana Pustaka, 2005
____________, wawancara 28 Desember
2008 di Jepara
____________, Ilmu Falak
dalam Teori dan Praktek,Yogyakarta: Buana Pustaka, 2008, Cet.ke-3
_____________, 99 Permasalahan
Hisab Rukyat,Yogyakarta: Buana Pustaka, 2009
Muhammad, Zain ad-Din ibn Ibrahim ibn,
al-Asybah wa an-Nazair ‘ala Mazhab
Abi Hanifah an-Nu’man, Beirut: Dār al-Kutub al-‘Alamiyah, 1999
Pengikut Naqsabandiyah Sumbar Sudah Puasa Sejak Hari Minggu, 7 Juli,
http://www.harianhaluan.com/index.ph...dang&Itemid=70
diakses pada tanggal 17 Agustus 2013
Zuhaili, az, Wahbah,
al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Dimsyiq: Dar al-Fikr, tt
[1] Misalnya Muhammadiyah
dalam hal ini memilih posisi Bulan dan Matahari terhadap ufuk sebagai tanda
awal bulan, yakni apabila Matahari lebih dulu terbenam daripada Bulan setelah
sebelumnya telah terjadi ijtimak. Inilah yang dikenal dengan wujudul hilal.
Kata hilal pada kata wujudul hilal, dengan demikian, bukan hilal dalam arti
visual sebagaimana ditunjukkan dalam hadis-hadis Nabi saw. melainkan hilal
dalam arti konsepsual, yakni bagian permukaan Bulan yang tersinari Matahari
menghadap ke Bumi. Atau lebih tepat lagi, istilah itu harus diartikan Matahari
sudah terlampaui oleh Bulan dalam peredarannya dari arah barat ke timur;
pembatasnya adalah ufuk (Fathurohman SW, 2006).
[2] Muhyiddin Khazin (2008 b) menyatakan
bahwa tetap dijadikannya kitab Sullam
an-Nayyirain sebagai salah satu rujukan dalam penetapan awal bulan Kamariah
adalah untuk mengakomodir anggota masyarakat (--jumlah mereka cukup banyak)
yang berpedoman kepada kitab tersebut. Ia
menambahkan bahwa pernah mengusulkan pada ahli waris pengarang kitab tersebut
untuk melakukan perobahan agar perhitungannya akurat tetapi usulan ini ditolak
oleh mereka. Biarkanlan kitab Sullam
an-Nayyirain sebagaimana adanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar