KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PENETAPAN AWAL BULAN KAMARIAH DI INDONESIA
Abstrak
Kerap
difahami bahwa dalam penetapan awal bulan kamariah di Indonesia, pemerintah
menganut faham imkanurrukyah dengan berpatokan pada kriteria 238. Tetapi dalam
praktik atau kenyataannya di lapangan, pemerintah berpatokan pada keberhasilan
rukyah. Walaupun keberhasilan rukyah itu harus sesuai atau memenuhi kriteria
yang ditetapkan pemerintah tersebut.
Kata Kunci: Awal Bulan Kamariah,
imkanurrukyah, Indonesia
Pendahuluan
Semenjak
masuknya Islam ke nusantara dan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam, mereka
telah punya kebijakan tentang penetapan awal bulan kamariah dalam penentuan
awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah. Umat
Islam beramai-ramai pergi ke bukit-bukit atau pantai-pantai untuk bersama-sama
menyaksikan hilal di ufuk barat saat matahari terbenam. Jika hilal berhasil dirukyah, maka malam itu
adalah malam tanggal satu dari bulan yang baru. Namun bila hilal tidak berhasil
dirukyah, malam itu adalah malam hari ketiga puluh dari bulan yang sedang
berlangsung.
Dalam perkembangannya terdapat juga
kelompok yang menggunakan metode hisab (--baca memanfaatkan data-data hasil
observasi bulan dan matahari dalam jangka waktu yang panjang sehingga data-data
keduanya dapat dihitung dengan sangat teliti). Metode rukyah dan hisab ini
saling bersinergi. Hasil hisab membantu pelaksanaan rukyatul hilal sedangkan
observasi/ rukyatul hilal itu untuk pembuktian data hisab sekaligus
mengoreksinya jika terdapat kekeliruan.
Penetapan awal bulan kamariah di
Indonesia masih sering terjadi perbedaan. Permasalahan apa yang belum tuntas yang tengah dihadapi
sehingga masih terdapat perbedaan dalam penentuan awal bulan Kamariah di
Indonesia? Sehingga persoalan perbedaan penentuan awal bulan Kamariah ini tak kunjung
selesai. Walaupun secara teknis Pemerintah telah berusaha dan mengupayakan
penyatuan ini. Namun sampai sekarang belum menampakkan hasil (jika tidak
disebut hanya sia-sia belaka).
Menurut
penulis perbedaan tersebut disebabkan karena perbedaan kriteria. Makalah ini selanjutnya mengupas tentang kebijakan dan
kriteria pemerintah dalam penetapan awal bulan Kamariah di Indonesia.
Penentuan Awal Bulan Kamariah Secara Syar’i
Dalam penentuan awal
bulan Kamariah terdapat perbedaan di
antara ulama, sebagiannya menyatakan harus berdasarkan pada hasil rukyatul
hilal sedangkan sebagian lain menggunakan metode hisab.
Penetapan awal bulan
berdasarkan pada keberhasilan rukyatul hilal
harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Terdapat perbedaan di kalangan
ulama tentang persyaratan-persyaratan
tersebut. Hanafiah mensyaratkan penetapan awal Ramadan dan Syawal berupa hasil
rukyatul hilal satu kelompok besar jika
kondisi cuaca atau langit cerah. Dan memadai kesaksian keberhasilan rukyatul
hilal seorang yang adil pada kondisi berawan, berkabut, dan
sejenisnya. Adapun Malikiah mensyaratkan keberhasilan rukyah dari dua atau lebih
orang yang adil. Dan mencukupi keberhasilan rukyah satu orang yang adil pada
kondisi hilal tidak terdapat keraguan untuk dapat terlihat. Memadai
keberhasilan rukyah seorang yang adil menurut Syafi’iah dan Hanabilah, walaupun
pada kondisi terdapat penghalang menurut Syafi’iah. Namun tidak memadai dalam kondisi tersebut
menurut Hanabilah. Menurut kalangan
Hanabilah dan Malikiah mensyaratkan keberhasilan rukyah dua orang yang adil
pada rukyah awal Syawal untuk penentuan Idul Fitri.[1]
Mereka juga berbeda pendapat tentang kesaksian keberhasilan rukyah perempuan.
Diterima kesaksian atau keberhasian rukyatul hilal perempuan menurut Hanafiah
dan Hanabilah. Namun kesaksian tersebut
tidak dapat diterima menurut kalangan Malikiah dan Syafi’iah.[2]
Pelaksanaan rukyatul hilal sebagai
metode penentuan awal bulan Kamariah; di Nusantara diyakini sudah dilaksanakan
semenjak Islam masuk ke kepulauan Nusantara. Ini berdasarkan pada perintah
untuk melaksanakan rukyatul hilal sebelum umat Islam melaksanakan ibadah puasa
Ramadan dan hari raya Idul Fitri. Setiap tanggal 29 Syakban dan 29 Ramadan umat
Islam beramai-ramai pergi ke bukit-bukit atau pantai-pantai untuk bersama-sama
menyaksikan hilal di ufuk barat saat matahari terbenam. Jika hilal berhasil dirukyah, maka malam itu
adalah malam tanggal satu dari bulan yang baru. Namun bila hilal tidak berhasil
dirukyah, malam itu adalah malam hari ketiga puluh dari bulan yang sedang
berlangsung.
Semula pelaksanaan rukyatul hilal
dilakukan secara spontanitas oleh umat Islam untuk mengetahui awal bulan-bulan
yang terkait dengan ibadah. Pelaksanaannya dipandu oleh para ulama dan pemimpin
keagamaan lainnya. Setelah berdirinya kerajaan-kerajaan Islam Nusantara,
pelaksanaan rukyat selain yang dilaksanakan secara spontanitas oleh umat Islam,
juga ada yang dikoordinir oleh pejabat-pejabat keagamaan di kerajaan yang
bersangkutan.[3]
Ditinjau dari sarana prasarana yang
digunakan dalam melaksanakan rukyatul hilal, semula pelaksanaan rukyatul hilal
hanya dilakukan dengan mata telanjang; tanpa menggunakan alat bantu apapun.
Setelah kebudayaan manusia makin maju, maka pelaksanaan rukyahpun secara
berangsur-angsur menggunakan sarana prasarana yang menunjang. Sarana prasarana
rukyah ini terus berkembang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.[4]
Cara pelaksanaan rukyahpun mengalami
perkembangan. Pada awalnya dalam pelaksanaan rukyatul hilal, orang hanya
melihat atau pengarahkan pandangannya ke
ufuk barat. Dengan pengertian bahwa mengarahkan pandangannya ke ufuk barat yang
sedemikan luas. Hal ini sebagai akibat tidak atau kurang pengetahuan mereka
dalam bidang ilmu Falak atau astronomi. Setelah kedua ilmu tersebut mulai
dikuasai dengan baik, pelaksanaan rukyatul hilalpun menjadi lebih baik dan
terarah. Mereka yang melaksanakan rukyah dapat menfokus dan konsentrasikan
pandangan mereka ke posisi yang diduga tempat hilal berada. Bahkan lebih jauh
lagi hilalpun dapat dipantau pergerakannya. Jika hilal berhasil dirukyat, maka
gambarnya dapat didokumentasikan. Posisi dan waktunya dapat diperhitungkan
dengan sangat akurat.[5]
Selanjutnya, di
kalangan ahli hisab terdapat pula perbedaan dalam penentuan awal bulan
Kamariah. Di antaranya, terdapat pendapat yang menyatakan bahwa awal bulan baru
itu ditentukan hanya oleh terjadinya ijtimak [6]
sedangkan yang lain mendasarkan pada terjadinya ijtimak dan posisi hilal. Kelompok yang berpegang
pada sistem ijtimak menetapkan jika ijtimak
terjadi sebelum Matahari terbenam, maka sejak Matahari terbenam itulah
awal bulan baru sudah mulai masuk. Mereka
sama sekali tidak mempermasalahkan hilal dapat dirukyah atau tidak. Sedangkan
kelompok yang berpegang pada terjadinya ijtimak dan posisi hilal menetapkan
jika pada saat Matahari terbenam setelah terjadinya ijtimak dan posisi hilal sudah berada di atas ufuk, maka
sejak Matahari terbenam itulah perhitungan bulan baru dimulai.[7]
Keduanya
sama dalam penentuan awal masuknya bulan Kamariah, yakni pada saat Matahari
terbenam setelah terjadinya ijtimak. Namun keduanya berbeda dalam menetapkan
kedudukan bulan di atas ufuk. Aliran ijtimak qabl gurub sama
sekali tidak mempertimbangkan dan memperhitungkan kedudukan hilal di atas ufuk
pada saat sunset. Sebaliknya kelompok yang berpegang pada terjadinya
ijtimak dan posisi hilal saat sunset menyatakan apabila hilal sudah
berada di atas ufuk itulah pertanda awal masuknya bulan baru. Bila hilal belum
wujud berarti hari itu merupakan hari terakhir dari bulan yang sedang
berlangsung.[8]
Selanjutnya
kedua kelompok ini masing-masingnya terbagi lagi menjadi kelompok-kelompok yang
lebih kecil. Perbedaan ini disebabkan atau dikaitkan dengan fenomena-fenomena
yang terdapat di sekitar peristiwa ijtimak dan gurub asy-syams. Dan dalam perkembangan wacana dalam penetapan
awal bulan Kamariah, kelompok yang berpegang pada posisi hilal inilah yang
lebih mendominasi. Selanjutnya akan dibahas tentang kelompok yang berpedoman
pada wujudul hilal dan kelompok yang berpedoman pada imkanur rukyah dalam
penentuan awal bulan. Keduanya merupakan bagian dari mereka yang berpegang pada
posisi hilal, namun mereka memiliki standar atau patokan yang berbeda.
Mereka
yang berpedoman pada wujudul hilal menyatakan bahwa pedoman masuknya awal bulan
adalah telah terjadi ijtimak sebelum
terbenam Matahari dan pada saat sunset itu hilal telah wujud di atas ufuk.
Sementara itu mereka yang berpedoman pada imkanur rukyah menyatakan bahwa
patokan masuknya awal bulan adalah telah ijtimak terjadi sebelum terbenam
Matahari dan pada saat sunset itu hilal telah berada di atas ufuk pada
ketinggian yang memungkinkan untuk dirukyah.
Dalam
menentukan masuknya awal bulan, mereka yang berpedoman pada wujudul hilal
berpatokan pada posisi hilal sudah di atas ufuk tanpa mematok ketinggian
tertentu. Jika hilal telah di atas ufuk otomatis pertanda masuknya awal bulan.
Mereka yang berpedoman pada Imkanur rukyah menentukan ketinggian tertentu hilal
sehingga memungkinkan untuk dirukyah. Kriteria ketinggian hilal ini pun
dimaknai berbeda-beda, ada mereka yang menyatakan bahwa ketinggian hilal untuk memungkinkan
untuk dirukyah harus memiliki ketinggian tertentu. Di samping itu ada
kriteria-kriteria lain sebagai pendukung seperti illuminasi bulan, jarak antara
Bulan dan Matahari saat gurub, posisi hilal terhadap Matahari, jangka waktu
antara ijtimak dan terbenamnya Matahari, dan lainnya.[9]
Penetapan Awal Bulan Kamariah di Indonesia
Pelaksanaan rukyatul hilal sebagai metode penentuan awal
bulan Kamariah; di Nusantara diyakini sudah dilaksanakan semenjak Islam masuk
ke kepulauan Nusantara. Ini berdasarkan pada perintah untuk melaksanakan
rukyatul hilal sebelum umat Islam melaksanakan ibadah puasa Ramadan dan hari
raya Idul Fitri. Setiap tanggal 29
Syakban dan 29 Ramadan umat Islam beramai-ramai pergi ke bukit-bukit atau
pantai-pantai untuk bersama-sama menyaksikan hilal di ufuk barat saat matahari
terbenam. Jika hilal berhasil dirukyah,
maka malam itu adalah malam tanggal satu dari bulan yang baru. Namun bila hilal
tidak berhasil dirukyah, malam itu adalah malam hari ketiga puluh dari bulan
yang sedang berlangsung.[10]
Semula pelaksanaan rukyatul hilal dilakukan secara
spontanitas oleh umat Islam untuk mengetahui awal bulan-bulan yang terkait
dengan ibadah. Pelaksanaannya dipandu oleh para ulama dan pemimpin keagamaan
lainnya. Setelah berdirinya kerajaan-kerajaan Islam Nusantara, pelaksanaan
rukyat selain yang dilaksanakan secara spontanitas oleh umat Islam, juga ada
yang dikoordinir oleh pejabat-pejabat keagamaan di kerajaan yang bersangkutan.[11]
Ditinjau dari sarana prasarana yang digunakan dalam
melaksanakan rukyatul hilal, semula pelaksanaan rukyatul hilal hanya dilakukan
dengan mata telanjang; tanpa menggunakan alat bantu apapun. Setelah kebudayaan
manusia makin maju, maka pelaksanaan rukyahpun secara berangsur-angsur
menggunakan sarana prasarana yang menunjang. Sarana prasarana rukyah ini terus
berkembang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.[12]
Cara pelaksanaan rukyahpun mengalami perkembangan. Pada
awalnya dalam pelaksanaan rukyatul hilal, orang hanya melihat atau pengarahkan
pandangannya ke ufuk barat. Dengan
pengertian bahwa mengarahkan pandangannya ke ufuk barat yang sedemikan luas.
Hal ini sebagai akibat tidak atau kurang pengetahuan mereka dalam bidang ilmu
Falak atau astronomi. Setelah kedua ilmu tersebut mulai dikuasai dengan baik,
pelaksanaan rukyatul hilalpun menjadi lebih baik dan terarah. Mereka yang melaksanakan
rukyah dapat menfokus dan konsentrasikan pandangan mereka ke posisi yang diduga
tempat hilal berada. Bahkan lebih jauh lagi hilalpun dapat dipantau
pergerakannya. Jika hilal berhasil dirukyat, maka gambarnya dapat
didokumentasikan. Posisi dan waktunya dapat diperhitungkan dengan sangat
akurat.[13]
Tahapan
perkembangan hisab penentuan awal bulan Kamariah di Nusantara terkait dengan
perkembangannya sains ilmu Falak dapat
penulis klasifikasikan sebagai berikut:
1. Pengaruh tabel Zij
Sulthani karya Ulugh Beik (w. 1449 M)
Sejarah tentang perkembangan ilmu Falak sebagai sebuah
keilmuan yang mandiri di Indonesia dimulai pada awal abad ke-20. Dalam
perhitungan awal bulan Kamariah misalnya, sebelum abad ke-20, di dunia Islam
umumnya berkembang metode hisab yang belakangan diidentifikasi sebagai metode
hisab hakiki Taqribi. Perhitungannya masih berpatokan pada asumsi teori
Geosentris.
Perhitungan awal bulan yang dilakukan menggunakan
tabel-tabel astronomi yang dirumuskan oleh Ulugh Beik (w. 1449 M)
yang biasanya disebut Zij Sulthani. Tabel astronomi Ulugh Beik ini merupakan
penemuan yang sangat berharga pada masa itu. Tabel ini telah digunakan bahkan
juga oleh para astronom di Barat selama berabad-abad lamanya.
Dalam sejarah perkembangan modern ilmu Falak di Indonesia pada
awal abad ke-20, ditandai dengan penulisan kitab-kitab ilmu Falak oleh para
ulama ahli Falak Indonesia. Seiring kembalinya para ulama yang telah
berguru di Mekah pada awal abad ke-20, ilmu Falak mulai tumbuh dan berkembang
di tanah air. Ketika berguru di tanah suci, mereka tidak hanya mempelajari
ilmu-ilmu agama seperti: tafsir, hadis, fiqh, tauhid, tasawuf, dan pemikiran
yang mendorong umat Islam yang pada masa itu rata-rata di bawah belenggu
kolonialisme untuk membebaskan diri, melainkan juga membawa catatan tentang
ilmu Falak. Kemudian proses transfer knowledge ini berlanjut
kepada para murid mereka di tanah air.[14]
Dengan semangat menjalankan dakwah islamiah, di antara
para ulama ada yang baerdakwah ke berbagai daerah yang baru. Pada dekade itu
misalnya, Syekh Abdurrahman ibn Ahmad al-Mishra (berasal dari Mesir) pada tahun
1314H/1896M datang ke Betawi. Ia membawa Zij (tabel astronomi) Ulugh Beik (w.
1449 M) yang masih mendasarkan teorinya pada teori Geosentris. Ia kemudian
mengajarkannya pada para ulama di Betawi pada waktu itu. Di antara muridnya
adalah Ahmad Dahlan as-Simarani atau at-Tarmasi (w. 1329H/1911M) dan Habib
Usman ibn Abdillah ibn ‘Aqil ibn Yahya yang dikenal dengan Mufti Betawi.
Lalu Ahmad Dahlan as-Simarani atau at-Tarmasi
mengajarkannya di daerah Termas (Pacitan) dengan menyusun buku Tażkirah
al-Ikhwan fi Ba’dhi Tawarikhi A’mal al-Falakiyah bi Samarang yang selesai ditulis pada 1321 H/1903M.
Sedang Habib Usman ibn Abdillah ibn ‘Aqil ibn Yahya tetap mengajar di Betawi.
Ia menulis buku Iqazu an-Niyam fima Yata’allaq bi Ahillah wa ash-Shiyam
dicetak pada 1321H/1903M.
Buku ini di samping memuat masalah ilmu Falak, juga terdapat di
dalamnya tentang masalah puasa (Khazin, 2008: 29). Adapun pemikirannya tentang
ilmu Falak kemudian dibukukan oleh salah seorang muridnya Muhammad Manshur bin
Abdul Hamid ibn Muhammad Damiri bin Muhammad Habib bin Abdul Muhit bin
Tumenggung Tjakra Jaya yang menulis kitab Sullam an-Nayyirain dicetak pertama kali pada 1344H/1925M.
Itulah kitab-kitab yang dihasilkan oleh ulama Falak nusantara pada priode awal
ini. Kitab Sullam an-Nayyirain
lah
paling dikenal dari karya ulama Falak pada masa ini dan masih banyak dipelajari
sampai sekarang.
Sementara tokoh Falak
yang menonjol di daerah Sumatera adalah Thahir Djalaluddin dan Djamil
Djambek. Thahir Djalaluddin dengan karyanya Pati
Kiraan Pada Menentukan Waktu yang Lima diterbitkan pada 1357H/1938M, dan Natijah al-Ummi The Almanac: Muslim and
Christian Calendar and Direction of Qiblat according to Safie Sect dicetak
pada 1951. Tokoh lainnya Djamil Djambek dengan karyanya Almanak Djamiliyah dan Diya’ al-Niri fima Yata’allaq bi al-Kawakib.[15]
Tokoh Falak Nusantara yang hidup pada masa itu yang bersinar antara lain Syekh
Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Ahmad Rifa’i, dan Kyai Sholeh Darat.[16]
2. Pengaruh Mathla’
as-Sa’id
fi Hisabat al-Kawakib ‘ala Rashd al-Jadid dan al-Manahij al-Hamidiyah.
Setelah Nicolas Copernicus (1473-1543) menemukan teori
Heliosentris, tentu saja penemuan ini berpengaruh terhadap metode dan rumus
ilmu Falak atau astronomi
yang selama ini digunakan. Awalnya tidak mudah untuk menentang doktrin yang
diyakini gereja, namun pada tahapan selanjutnya teori ini mendapat dukungan
secara ilmiah dari ilmuan setelahnya. Pembaharuan yang digulirkan inipun
kemudian sampai ke Indonesia. Diperkirakan baru sampai ke Indonesia
pada pertengahan abad ke-20.
Menurut M. Taufik bahwa kitab ilmu Falak yang ditulis oleh
ulama Falak nusantara pada priode kedua ini banyak yang merupakan cangkokan
dari kitab Mathla’ as-Sa’id fi Hisabat al-Kawakib ‘ala Rashd al-Jadid karangan
Husen Zaid al-Mishra dan al-Manahij al-Hamidiyah karangan
Abd al-Hamid Mursy Ghais al-Falaki asy-Syafi’i. Kedua kitab tersebut dibawa ke Indonesia oleh mereka yang menunaikan
ibadah haji dan lalu menyempatkan diri untuk belajar di tanah suci dan sampai
ke Indonesia kira-kira pada pertengahan abad ke-20. Di antara kitab-kitab
karangan ulama Nusantara tersebut adalah kitab al-Khulashah al-Wafiyah karya
Zubair Umar al-Jailani yang dicetak pertama kalinya pada 1354H/ 1935M, buku Ilmu Falak dan Hisab dan buku Hisab Urfi dan Hakiki karya K Wardan
Dipo Ningrat yang dicetak pada 1957, al-Qawa’id al-Falakiyah karya
Abd al-Fatah as-Sayyid ath-Thufi al-Falaki, dan Badi’ah al-Mitsal karya
Ma’shum Jombang (w 1351H/1933M).[17]
Pada tahap selanjutnya kitab-kitab ilmu Falak karya para ulama
Indonesia selain menjadikan Mathla’ as-Sa’id dan al-Manahij
al-Hamidiyah sebagai rujukan utamanya juga merujuk karya ulama Indonesia
sebelum mereka; yakni para guru mereka (yang telah mempelajari dan mencangkok
kitab Mathla’ as-Sa’id dan al-Manahij al-Hamidiyah). Di antara karya-karya yang dihasilkan
adalah Almanak Menara Kudus karya Turaikhan Adjhuri, Nur
al-Anwar karya Kyai Noor Ahmad SS Jepara yang
dicetak pada 1986, al-Maksuf karya Ahmad Soleh Mahmud Jauhari
Cirebon, Ittifaq Dzat al-Bain karya Muhammad Zuber Abdul Abdul
Karim Gresik.
3. Perkawinan Ilmu
Falak dan Astronomi
Pembahasan tentang sejarah perkembangan
ilmu Falak modern Indonesia tak lepas dari peran
Saadoe'ddin Djambek. Ia lahir
di Bukittinggi pada tanggal 24 Maret 1911 M/ 1330 H. Ia wafat di Jakarta pada
tanggal 22 November 1977 M/11 Zulhijah 1397 H. Ia merupakan seorang guru serta
ahli hisab dan rukyat, putra ulama besar Syekh Muhammad Djamil Djambek
(1860-1947M/1277-1367H) dari Minangkabau.[18]
Ia mulai
tertarik mempelajari ilmu hisab pada tahun 1929 M/1348 H. pada tahap awal, ia
belajar ilmu hisab dari Syekh Taher Jalaluddin yang mengajar di Al-Jami'ah
Islamiah Padang tahun 1939 M/1358 H. Pertemuannya dengan Syekh Taher Jalaluddin
membekas dalam dirinya dan menjadi awal pembentukan keahliannya di bidang
penanggalan. Untuk memperdalam pengetahuannya, ia kemudian mengikuti kursus
Legere Akte Ilmu Pasti di Yogyakarta pada tahun 1941-1942 M/1360-1361 H serta
mengikuti kuliah ilmu pasti alam dan astronomi pada FIPIA (Fakultas Ilmu Pasti
dan Ilmu Alam) di Bandung pada tahun 1954-1955 M/1374-1375 H.[19]
Keahliannya di
bidang ilmu pasti dan ilmu Falak dikembangkannya
melalui tugas yang dilaksanakannya di beberapa tempat. Pada tahun 1955-1956
M/1375-1376 H menjadi lektor kepala dalam mata kuliah ilmu Pasti pada PTPG
(Perguruan Tinggi Pendidikan Guru) di Batusangkar, Sumatra Barat. Kemudian ia
memberi kuliah ilmu Falak sebagai dosen tidak tetap di Fakultas Syari'ah IAIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta (1959-1961 M/1379-1381 H). Sebagai ahli ilmu Falak,
ia banyak menulis tentang ilmu Hisab. Di antara karyanya adalah : (1) Waktu dan
Djadwal Penjelasan Populer Mengenai Perjalanan Bumi, Bulan dan Matahari
(diterbitkan oleh Penerbit Tintamas tahun 1952 M/1372 H), (2) Almanak
Djamiliyah (diterbitkan oleh Penerbit Tintamas tahun 1953 M/1373 H), (3)
Perbandingan Tarich (diterbitkan oleh penerbit Tintamas pada tahun 1968 M/1388
H), (4) Pedoman Waktu Sholat Sepanjang Masa (diterbitkan oleh Penerbit Bulan
Bintang pada tahun 1974 M/1394 H), (5) Sholat dan Puasa di daerah Kutub
(diterbitkan oleh Penerbit Bulan Bintang pada tahun 1974 M/1394 H) dan (6)
Hisab Awal bulan Qamariyah (diterbitkan oleh Penerbit Tintamas pada tahun 1976
M/1397 H).[20]
Karya yang
terakhir ini; Hisab Awal bulan Qamariyah merupakan pergumulan pemikirannya yang
akhirnya merupakan ciri khas pemikirannya dalam hisab awal bulan Kamariah. Ia
lah yang meletakkan dasar perhitungan awal bulan Kamariah menggunakan hisab
yang berdasarkan pada ilmu astronomi di Indonesia.
Satu lagi
kontribusi Sa’adoeddin Djambek adalah dalam penentuan koordinat geografis
Ka’bah. Sewaktu melaksanakan ibadah haji, ia melakukan pengukuran koordinat
geografis Ka’bah. Ia menyatakan bahwa koordinat geografis Ka’bah adalah lintang
(Φ) 21° 25’ LU dan bujur (λ) 39° 50’ BT.
Jaringan
keilmuan Sa’adoeddin Djambek ini diteruskan oleh muridnya. Di antara muridnya
adalah Abdul Rachim dan A Mustadjib. Karya Abdul Rachim antara lain Ilmu Falak
yang dicetak pada 1983, Perhitungan Awal Bulan dan Gerhana Matahari sistem
Newcomb.
Selanjutnya
jajaran ulama yang berkiprah dalam mengembangan ilmu Falak pada priode ini
antara lain: M. Taufik. Ia dan putranya menyusun Win Hisab versi 2.0
pada tahun 1998. Hak lisensinya pada badan Hisab dan Rukyat Kementrian Agama
RI. Win Hisab ini dikenal juga dengan Sistem Ephemeris.[21]
Perbedaan
dalam ber-Idul Fitri pada tahun 1993, 1993 dan 1994 mendatangkan berkah
tersendiri bagi perkembangan ilmu Falak Indonesia. Yakni
dengan lahirnya software-software Falak yang praktis dari para ahli Falak.
Sofware Falak itu antara lain: Mawaqit oleh ICMI Korwil Belanda pada tahun
1993; yang disempurnakan menjadi Mawaqit versi 2001 oleh Khafid, program
Falakiyah Najmi oleh Nuril Fuad tahun 1995, program Astinfo softaware astronomi
komersial oleh Zephyr, dan program Badiah al-Mitsal tahun 2000, Ahillah, Misal,
Pengetan dan Tsaqib oleh Muhyiddin Khazin pada tahun 2004.[22]
Penetapan awal bulan kamariah di
Indonesia, dilaksanakan dalam mekanisme sebuah sidang; yang dikenal dengan
sidang Isbat. Sebelum keputusan diambil, para peserta berkesempatan untuk
memaparkan hasil perhitungan mereka untuk awal bulan kamariah tersebut. Acara dilanjutkan dengan mendengarkan hasil
rukyatul hilal dari berbagai tempat observasi di Indonesia. Mulai dari hasil
observasi dari daerah Indonesia Timur, yang lebih dahulu mengalami ghurub
kemudian dilanjutkan dengan daerah di sebelah baratnya, begitulah seterusnya
sampai ke daerah paling barat Indonesia; propinsi Aceh Nangroe Darussalam.
Berdasarkan laporan keberhasilan rukyah tersebutlah keputusan tentang penetapan
awal bulan tersebut diambil pada sesi berikutnya.
Kondisi cuaca Indonesia yang cenderung
hujan ataupun berawan sering membuat para ahli Falak merasa was-was. Walaupun
posisi hilal tinggi, tapi karena faktor cuaca tadi bisa jadi tidak memungkinkan
untuk terlihat. Kalau hilal tidak terlihat prosedurnya dilakukannya istikmal
(keesokan harinya merupakan tanggal ketiga puluh dari bulan yang sedang
berjalan), padahal secara perhitungan kondisinya sudah tinggi; ketinggian yang
memungkinkan untuk berhasil dirukyah. Namun kekhawatiran itu belum pernah
benar-benar terjadi di Indonesia. Hal ini karena pada ketinggian hilal yang memenuhi
criteria untuk berhasil dirukyat tersebut, ada saja laporan keberhasilan dari
berbagai tempat observasi di tanah air .
Pemerintah melalui petugasnya yang
diturunkan ke lapangan; tempat observasi melakukan klarifikasi terhadap laporan
keberhasilan rukyah anggota Badan Hisab Rukyah. Apakah laporan yang disampaikan
tersebut benar secara perhitungan ilmu Falak dan astronomi ataukah yang dilihat
oleh yang bersangkutan adalah hilal halusinasi. Bahkan pemerintah pernah
menolak laporan keberhasilan rukyatul hilal yang dinilai tidak sesuai dengan
kedua ilmu tersebut.
Pendirian Badan Hisab Rukyah
Kementerian Agama yang dulunya bernama
Departemen Agama Republik Indonesia didirikan tanggal 3 Januari 1946. Setelah
berdirinya Depag, persoalan yang terkait dengan libur Peringatan Hari Besar
Islam (PHBI) dan penetapan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah diserahkan dan
menjadi kewenangannya. Ini berdasarkan Penetapan Pemerintah tahun 1946 No.2/
Um, 7/Um, 9/Um jo Keputusan Presiden No. 25 tahun 1967, No. 148 tahun 1968 dan
No.10 tahun 1971.[23]
Dalam wilayah etis-praktis sampai saat
ini penetapan dan awal bulan Kamariah
tersebut belum seragam. Bahkan perbedaan ini menjadi penyebab friksi dan
mengusik ukhuwah islamiah di antara umat Islam Indonesia (Susiknan, 1999: 15). Persoalan
inilah yang melatarbekangi pendirian sebuah Lembaga yakni Badan Hisab dan
Rukyat.
Untuk merealisasikan pendiriannya, maka
dibentuklah sebuah tim yang beranggotakan lima orang; mereka berasal dari tiga
lembaga. Anggota tim itu adalah: dari unsur Departemen Agama: A Wasit Aulawi,
Zaini Ahmad Noeh, dan Sa’adoeddin Djambek, Lembaga Meteorologi dan Geofisika:
Susanto, dan Planetarium: Santoso Nitisastro (Susiknan, 1999: 15).[24]
Setelah melalui serangkaian rapat, pada tanggal 23 Maret 1972 tim sampai pada kesimpulan:
1.Tujuan
dari Lembaga Hisab dan Rukyat adalah
mengupayakan persatuan dalam menentukan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah.
2.Status
Lembaga Hisab dan Rukyat adalah resmi (pemerintah) dan berada di bawah
Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam yang berkedudukan di Jakarta.
3.Tugas
Lembaga Hisab dan Rukyat adalah member saran kepada Menteri Agama dalam
penetapan awal bulan Kamariah.
4.Keanggotaan
Lembaga Hisab dan Rukyat terdiri dari anggota tetap (inti) dan anggota
tersebar. Anggota tetap terdiri dari tiga
unsur, yakni: unsur Departemen Agama, unsur ahli Falak dan Hisab, serta
unsur ahli Hukum Islam/Ulama. (Susiknan, 1999: 16).[25]
Hasil rumusan tersebut lalu diserahkan kepada Direktorat
Peradilan Agama. Pada tanggal 2 April 1972 Direktur Peradilan Agama
menyampaikan nama-nama anggota; baik anggota tetap maupun anggota tersebar
kepada Menteri Agama. Pada tanggal 16 Agustus 1972 dikeluarkan surat Keputusan
Menteri Agama no.76 tahun 1972 tentang Pembentukan Badan Hisab dan Rukyat
Departemen Agama.
Selanjutnya dengan Surat Keputusan No.
77 tahun 1972 tanggal 16 Agustus 1972 memutuskan susunan personalia Badan Hisab
dan Rukyat Departemen Agama sebagai
berikut: Sa’adoeddin Djambek Jakarta sebagai ketua merangkap anggota, Wasit
Aulawi MA Jakarta sebagai wakil ketua merangkap anggota, dan Drs Djabir Manshur
Jakarta sebagai sekretaris merangkap anggota. Adapun anggotanya adalah: ZA Noeh
Jakarta, Drs Susanto LMC Jakarta, Drs Santoso Jakarta, Rodi Saleh Jakarta,
Djunaidi Jakarta, Kapten Laut Muhadji Jakarta,
Drs Peunoh Dali Jakarta, dan Syarifudin BA Jakarta.
Adapun anggota tersebar diserahkan
penyelesaiannya oleh Direktur Jendral Bimas Islam. Dirjen Bimas Islam dengan
surat keputusannya No. D.I/96/P/1973 tanggal 28 Juni 1973 telah menetapkan
susunan anggota tersebar Badan Hisab dan Rukyat Departemen Agama sebagai
berikut: KH Muchtar Jakarta, KH Turaichan Adjhuri Kudus, K.R.B Tang Soban
Sukabumi, KH Ali Yafi Ujung Pandang, KH A Djalil Kudus, KH Wardan Yogyakarta,
Drs Abdur Rachim Yogyakata, Ir Basit Wachit Yogyakarta, Ir Muchlas Hamidi
Yogyakarta, H Aslam Z Yogyakarta, H Bidran Hadi Yogyakarta, Drs Bambang Hidayat
Bandung/ITB, Ir Hamran Wachid Bandung/ITB, KH O.K.A Azis Jakarta, Ustaz Ali
Ghozali Cianjur, Banadji Aqil Jakarta, dan Kyiai Zuhdi Usman Nganjuk.
Anggota Badan Hisab Rukyah tersebut
terdiri dari unsur: Badan Meteorologi
Klimatologi dan Geofisika, Planetarium, dan Observatorium Jakarta,
Observatorium Bosscha Lembang, Dishidros TM AL, Bakosurtanal, dan LAPAN, Perguruan
Tinggi, serta perorangan yang ahli (Widiana, 2004: 12).[26]
Badan Hisab dan Rukyat mengupayakan
unifikasi dalam menentukan awal bulan Kamariah di Indonesia; terutama awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah. Namun
dalam wilayah etik praktis belum bisa terwujud. Menurut Susikanan Azhari (1999:
19-20): perbedaan tersebut tidak hanya tarik menarik antara mereka yang
berpedoman kepada hisab ataupun mereka yang menggunakan rukyat. Akan tetapi
problem intern dari masing-masing kalangan tersebut. Kajian hisab misalnya,
selama ini lebih bercorak paktis (practical guidance) dan kian melupakan
wilayah teoritis-filosofis.
Kehadiran Badan Hisab dan Rukyat merupakan wadah bagi
pemikiran hisab dan rukyat di Indonesia. Akan tetapi menurut Susiknan Azhari
(1999: 20): dalam perjalannya badan Hisab dan Rukyat terkungkung oleh rutinitas
dan lebih bercorak Bayani ketimbang Burhani. Sudah saatnya Badan Hisab dan
Rukyat mengembangkan wilayah teoritis dan filosofis.
Dalam hal ini patut direnungkan
pernyataan KH Syukri Ghazali sebagaimana yang dikutip oleh Susiknan Azhari
(1999: 21): agar Badan Hisab dan Rukyat Departemen Agama memperhatikan
masyarakat Islam Indonesia. Bila masyarakat dipaksa menganut suatu pendapat
sebelum ada titik temu dari berbagai pendapat, maka usaha untuk mempersatukan
pendapat akan mengalami kegagalan. [27]
Kegiatan Badan
Hisab Rukyah antara lain:
1.Menghimpun
data dan pendapat serta melakukan
musyawarah menelang dan saat siding
isbat awal Ramadan, Syawal, dan
Zulhijah.
2.Melakukan
temu kerja (muker) dan musyawarah untuk
menentukan data hisab bagi
kepentingan rukyah dan penetapan awal bulan Kamariah. Termasuk juga
penentuan hari-hari libur nasional yang berhubungan dengan PHBI. Temu kerja ini
diadakan setiap tahun.
3.Mengadakan
musyawarah dan rukyah bersaa dengan Negara-negara: Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura (Mabims).
4.Melakukan
konsultasi dengan Majlis Ulama
Indonesia, terutama dalam menghadapi situasi kritis.
5.Mengadakan
pelatihan yang diikuti oleh unsur instansi peerintah dan masyarakat (pesantren
dan ormas).
6.Melakukan
kajian terhadap system dan referensi hisab yang berkembang di masyarakat.
Kemudian menusun suatu system dan data hisab untuk digunakan oleh semua pihak.
Sistem dan data yang dimaksud adalah Ephemeris Hisab Rukyat[28].
7.Menerbitkan Takwim Standar Indonesia setiap tahunnya. Takwim ini memuat
penanggalan hijriah yang telah disepakati oleh temu kerja BHR.
8.Melakukan
rukyat bersama ; baik untuk kepentingan
penentuan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijjah maupun pada awal-awal bulan
lainnya.
9.Melakukan
observasi gerhana sebagai pengecekan
hasil hisab [29]
(Widiana, 2004: 12-14).
Kriteria Visibilitas Hilal/ Imkanurrukyah Pemerintah
Kriteria visibilitas hilal ditentukan
berdasarkan keberhasilan pengamatan hilal secara empiris. Kriteria dasar yang
dapat digunakan berdasarkan pengamatan dan model teoritik adalah limit Danjon,
bahwa hilal tidak mungkin teramati bila jarak sudut bulan-matahari kurang dari
7o .[30] Hal ini
disebabkan oleh batas kepekaan mata manusia yang tidak mungkin melihat “tanduk”
sabitnya hilal yang lebih redup dari ambang batas kepekaan mata manusia. Pada
jarak sudut bulan-matahari sedikit lebih
dari 7o, hilal mungkin
hanya tampak sebagai goresan tipis, tanpa tanda-tanda lengkungan sabit. Bila
kurang dari 7o, sama
sekali mata rata-rata manusia tidak bisa menangkap cahaya hilal tersebut.[31]
Kriteria
lain di antaranya dikembangkan oleh Mohammad Ilyas dari IICP (International Islamic Calendar Programme),
Malaysia. Kriteria visibilitas hilal yang dirumuskan IICP (dengan sedikit
modifikasi: bukan nilai rata-rata yang diambil sebagai kriteria, tetapi nilai
minimumnya) terbagi menjadi tiga jenis, tergantung aspek yang ditinjau.[32]
:
1.Kriteria posisi bulan dan matahari: beda tinggi
bulan-matahari minimum agar hilal dapat teramati adalah 4o bila beda azimut bulan - matahari lebih dari 45o , bila beda azimutnya 0o perlu beda tinggi > 10,5o.
2.Kriteria beda waktu terbenam: sekurang-kurangnya bulan 40 menit lebih
lambat terbenam daripada matahari dan memerlukan beda waktu lebih besar untuk
daerah di lintang tinggi, terutama pada musim dingin.
3.Kriteria umur bulan (dihitung sejak ijtimak): hilal
harus berumur lebih dari 16 jam bagi pengamat di daerah tropik dan berumur
lebih dari 20 jam bagi pengamat di lintang tinggi.
[33]
Kriteria IICP sebenarnya belum final, mungkin
berubah dengan adanya lebih banyak data. Visibilitas berdasarkan umur bulan dan
beda posisi tampaknya kuat dipengaruhi jarak bulan-bumi dan posisi lintang
ekliptika bulan, bukan hanya faktor geografis. Rekor pengamatan hilal termuda
bisa dijadikan bukti kelemahan kriteria beda posisi dan umur hilal. Rekor
keberhasilan pengamatan hilal termuda tercatat pada umur hilal 13 jam 24 menit
yang teramati pada tanggal 5 Mei 1989 (6 Mei 01:10 UT) di Houston, Amerika
Serikat.[34]
Mengenai
kriteria imkanurrukyah dalam penetapan awal bulan hijriah yang dikembangkan
oleh pemerintah, sebagaimana disepakati dalam persidangan hilal Negara-negara
Islam se-dunia di Istanul Turki 1978
dengan ketentuan sebagai berikut:
1.Tinggi hilal tidak kurang dari 5 derajat dari ufuk barat
2.Jarak sudut hilal ke matahari tidak kurang 8 derajat
3.Umur hilal tidak kurang dari 8 jam setelah ijtimak
terjadi.[35]
Namun demikian
ketentuan ini sering mengalami penyesuaian berdasarkan faktor geografis dan
kesulitan teknis lainnya. Seperti Negara-negara serumpun Indonesia, Malasyia,
Brunai Darussalam, dan Singapura (MABIMS) 1990 bersepakat untuk menyatukan
kriteria kebolehtampakan hilal dengan ketentuan yang berdasarkan kriteria Turki
dan penggabungan hisab rukyah, yaitu sebagai berikut:
1.Tinggi hilal tidak kurang dari 2 derajat
2.Jarak sudut hilal ke matahari tidak kurang 3 derajat
3.Umur hilal tidak kurang dari 8 jam setelah ijtimak
terjadi.[36]
Kriteria ini
juga yang disepakati dalam sidang komite penyatuan kalender Hijriah ke-8 yang
diselenggarakan oleh Departemen Kehakiman Saudi Arabia 7-9 Nopember 1998 di
Jeddah. Indonesia pada saat itu mendelegasikan Taufiq dan Abdur Rahim. Akan
tetapi dalam prakteknya kriteria tersebut tidak dapat disepakati sebagaimana
Turki yang tetap menggunakan 8 derajat atau International Islamic Calendar
Program (IICP) dengan kriteria 4 derajat.
Sebenarnya
terdapat korelasi antara ketentuan Turki dan yang disepakati oleh MABIMS yaitu
apabila ketinggian hilal di negara-negara ASEAN mencapai 2 derajat, maka
ketinggian itu akan menjadi 5 derajat di Negara-negara sekitar laut tengah dan
ketinggian itu akan semakin bertambah di negara-negara sekitar laut tengah.[37]
Kriteria
imkanurrukyah sebenarnya adalah titik temu yang paling baik antara semua
praktisi hisab dan rukyah di Indonesia. Kriteria ini dibuat dari perpaduan data
rukyat dan data hisab. Walaupun kriteria yang digunakan di Indonesia lebih
rendah dari kriteria Internasional, sebagai langkah awal itu sudah cukup baik.
Kriteria itu harus terus disempurnakan.
Pada bulan Maret 1998 para ulama ahli
hisab rukyah Indonesia dan para perwakilan masyarakat Islam mengadakan
pertemuan yang membahas tentang kriteria imkanurrukyah Indonesia dan
menghasilan keputusan sebagai berikut:
1.Penentuan
awal bulan kamariah didasarkan pada sistem hisab hakiki tahkiki dan atau
rukyah.
2.Penentuan
awal bulan kamariah yang terkait dengan pelaksanaan ibadah mahdhah yaitu awal
ramadhan, syawal dan dzulhijjah ditetapkan dengan memperhitungkan hisab hakiki
tahkiki dan rukyah.
3.Kesaksian
rukyah hilal dapat diterima apabila ketingian hilal 2 derajat dan jarak ijtimak
ke ghurub matahari minimal 8 jam.
4.Kesaksian
rukyah hilal dapat diterima apabila ketingian hilal kurang dari 2 derajat maka
awal bulan didasarkan istikmal.
5.Apabila
ketinggian hilal 2 derajat atau lebih awal bulan dapat ditetapkan.
6.Kriteria imkanurrukyah tersebut akan diadakan penelitian
lebih lanjut.
7.Menghimbau kepada seluruh pimpinan organisasi
kemasyarakatan Islam untuk menyosialisasikan keputusan ini.
8.Dalam pelaksanaan sidang itsbat, pemerintah mendengarkan
pendapat-pendapat dari organisasi kemasyarakatan Islam dan para ahli[38].
Di Indonesia, Selama ini belum ada
penelitian sistemik tentang kriteria visibilitas hilal berdasarkan data-data
rukyatul hilal. Departemen Agama RI menggariskan yang biasa digunakan di
Indonesia adalah kriteria imkanurrukyah MABIMS di atas. [39]Menurut
para astronom, kriteria visibilitas hilal tersebut lebih rendah dari pada yang
telah mereka tentukan.
Kriteria visibilitas ini ditentukan
berdasarkan keberhasilan pengamatan hilal. Kriteria dasar yang dapat digunakan
yang berdasarkan pengamatan dan model teoritik adalah limit Danjon: hilal tidak
mungkin dapat diobservasi bila jarak sudut bulan-matahari kurang dari 7°. Hal
ini dikarenakan oleh batas kepekaan mata manusia yang tidak mungkin melihat
ujung sabitnya sabitnya hilal yang lebih redup dari ambang batas kepekaan mata
manusia. Pada jarak sudut bulan-matahari lebih sedikit dari 7°, hilal hanya
mungkin tampak sebagai goresan tipis, tanpa adanya lengkungan sabit. Bila
kurang dari 7°, mata rata-rata manusia tidak dapat menangkap cahaya hilal
tersebut. [40]
Ada kriteria lain yang dikembangkan oleh Mohammad Ilyas dari
IICP (International Islamic Calendar
Programme), Malaysia. Kriteria yang dirumuskannya (dengan sedikit
modifikasi: bukan nilai rata-rata yang diambil sebagai kriteria, tapi nilai
minimumnya) terbagi menjadi tiga jenis, tergantung aspek yang ditinjau:
1.Posisi matahari dan
bulan: beda tinggi matahari-bulan minimum agar hilal yang bisa terobservasi
adalah 4° bila beda azimuth matahari-bulan lebih dari 45°, bila beda azimuthnya
0° perlu beda tinggi > 10,5°.
2.Beda waktu terbenam: sekurang-kurangnya bulan 40 menit
lebih lambat terbenam daripada matahari dan memerlukan beda waktu lebih besar
untuk daerah di lintang tinggi, terutama pada musim dingin.
3.Umur bulan (dihitung sejak ijtimak): hilal harus berumur
lebih dari 16 jam bagi pengamat di daerah tropik dan berumur lebih dari 20 jam
bagi pengamat di lintang tinggi.[41]
Kriteria Mohammad Ilyas
ini sebenarnya belum final, mungkin berubah dengan data yang lebih banyak.
Visibilitas berdasarkan umur bulan dan beda posisi, tampaknya kuat dipengaruhi
jarak bulan-bumi dan posisi lintang ekliptika bulan, bukan hanya faktor
geografis. Rekor pengamatan hilal termuda bisa dijadikan bukti kelemahan
kriteria beda posisi dan umur hilal. Rekor keberhasilan pengamatan hilal
termuda tercatat pada umur hilal 13 jam 24 menit yang teramati pada tanggal 5
Mei 1989 (6 Mei 01:10 UT) di Houston, Amerika Serikat (Durani, 1989).
Data
observasi hilal diambil T Djamaluddin dari kumpulan keputusan Menteri Agama Tentang penetapan
tanggal 1 Ramadan dan 1 Syawal 1381-1418 H/ 1962-1997 M.[42]
Dalam selang waktu tersebut ada 38 laporan observasi hilal. Dalam kumpulan data
tersebut yang dianalisis adalah waktu pengamatan (meliputi tanggal dan jam), jumlah lokasi
pengamatan, dan jumlah pengamat. Data-data tersebut kemudian dikomperkan dengan
data astronomis bulan, planet Mars dan Venus pada saat matahari terbenam dengan
menggunakan perangkat lunak Astro Info (Zephyr, Servise, 1989).
Data
astronomis yang dikomperkan meliputi sudut waktu matahari saat terbenam di
lokasi pengamatan (tm), sudut waktu bulan saat terbenam matahari
(bulan baru, tb), waktu
terjadinya ijtimak, serta tinggi dan azimut matahari dan bulan pada saat
matahari terbenam. Dari data tersebut dapat dihitung umur bulan (tm-tb),
beda tinggi bulan matahari, beda azimut bulan-matahari, serta jarak sudut
bulan-matahari.
Guna
meminimalisir efek kesalahan observasi tersebut, dibutuhkan analisis awal untuk
mengklasifikasi data berdasar kriteria berikut:
1.Kriteria primer: pada sudut beda tinggi bulan-matahari
kurang dari 4o (kriteria menurut Ilyas, 1988), perlu
mempertimbangkan hasil pengamatan yang dilakukan oleh tim observator lain di
tiga atau lebih tempat berbeda. Data yang diinformasikan oleh tim-tim
observator tersebut mimimal harus terdiri dari data lengkap tentang waktu
pengamatan. Data tersebut digunakan untuk dikomperkan dengan data terbenam
matahari dan bulan. Apabila dilaporkan bahwa hilal dapat terlihat pada waktu
hilal sudah terbenam, maka laporan tersebut harus ditolak.
2.Kriteria sekunder: pada saat planet venus dan merkurius
berdekatan dengan bulan, cahaya terang dari planet-planet tersebut sangat
menggangu saat observasi hilal. Dalam
kasus ini para observator hilal sering terkecoh dengan visibilitas planet mars
dan merkurius. Oleh karena itu, informasi penampakan hilal pada kasus ini harus
ditolak.
Berdasarkan
data dari kumpulan keputusan Menteri Agama di
atas, ternyata banyak teori-teori tentang visibilitas
hilal yang tidak sesuai dengan kenyataan. Misalkan saja menurut teori limit
Danjon yang menyatakan bahwa hilal hanya dapat terlihat bila jarak
bulan-matahari lebih dari 7o (Shaefer, 1991), pada kenyataannya
hilal dapat terlihat pada saat jarak bulan-matahari minimum 3,2o.
Demikian juga teori kriteria Ilyas yang menyatakan bahwa hilal dapat dapat
terlihat bila umur bulan minimum 16 jam. Namun ternyata teori tersebut
terpatahkan oleh data dari Menteri Agama yang mencatat bahwa umur bulan minimum
4,3 jam sudah dapat terlihat. Kriteria
beda jarak tinggi bulan-matahari minimum
1o untuk beda azimut 5o dan tinggi beda jarak 4o
untuk beda azimut 0o, inipun berbeda dengan teori kriteria Ilyas
yang menyatakan lebih tinggi dari data Menteri Agama.[43]
Problematika
penentuan awal bulan Hijriah ada kemungkinan terpecahkan bila menggunakan metode
peminimalisiran faktor-faktor kesalahan
pada observasi hilal, khususnya pada bulan Sya’ban, Ramadan, dan Syawal.
Terbukti selain ketiga bulan ini laporan pengamatan hilal lebih sedikit. Salah
satu faktor kesalahan yang sering terjadi dalam pengamatan hilal adalah
kesalahan dalam mengidentifikasi hilal, yakni anggapan terhadap benda non hilal
sebagai hilal. Faktor kesalahan
diharapkan dapat diminimalisir dengan menerapkan eliminasi terhadap data-data
yang sudah diperkirakan salah menurut kaidah umum. Faktor kesalahan dalam
pengamatan hilal bisa meliputi kesalahatan karena perbedaan tempat
pengamatannya dan kesalahan karena keserupaan benda lain dengan hilal. Faktor
kesalahan yang pertama dapat diantisipasi dengan mempertimbangkan hasil
observasi lebih dari tiga tempat dengan batasan waktu dikonfirmasikannya hasil
observasi sesuai dengan tempat pengamatan masing-masing. Konfirmasi tidak dapat
diterima apabila dikatakan hilal tampak pada waktu yang melebihi waktu
perkiraan hilal dibawah ufuk. faktor kesalahan yang kedua dapat diantisipasi
dengan menyisihkan data pengamatan ketika planet venus dan merkurius berada
pada posisi dekat dengan bulan.[44]
Jarak
sudut bulan-matahari minimum sekitar 5o dan jarak antara ijtimak dan
waktu observasi sekitar 7 jam. Sedangkan beda tinggi bulan-matahari minimum
sekitar 3o (tinggi hilal 2o dari ufuk, karena tinggi
matahari saat terbenam -50o) untuk beda azimut 6o. Untuk
beda azimut sekitar 0o, beda tingginya lebih dari 9o. Ini
lebih mendekati kriteria Ilyas walaupun masih lebih rendah.
Hasil yang bisa menggambarkan
kriteria tampaknya hilal yang ada di Indonesia ialah:
a.Jarak antara ijtimak dengan waktu observasi adalah 8 jam.
b.Jarak sudut bulan-matahari minimum 5,6o.
Beda azimut antara antara hilal-matahari
mempengaruhi beda kriteria tinggi minimum hilal. Untuk beda azimut sekitar 6o
jarak bulan-matahari minimum 3o (tinggi hilal sekitar 2o).
Untuk beda azimut <6 sup="">o6>
berlaku pendekatan t > 0.14 a2 – 1.83 a + 9.11,
dengan t: beda tinggi bulan matahari dan a: beda azimut. Untuk beda azimut 0o,
jarak minimum bulan-matahari 9.1o (tinggi hilal sekitar 8o)
(dengan mempertimbangkan juga rekor bulan termuda 8o, di Cicco 1989
dan Durani 1989).[45]
Catatan Akhir
Berikut ini
beberapa catatan penulis terkait penentapan awal buan Kamariah di Indonesia:
1.Kriteria visibilitas hilal
pemerintah tersebut lebih rendah daripada kriteria yang diakui para astronom.
Sehingga dianggap tidak realistik; tidak sesuai dengan fakta ilmiah hasil
pengamatan hilal. Demikian juga untuk dijadikan sebagai pedoman dalam
pengamatan hilal di lapangan. Hal inilah yang menyebabkan Muhammadiyah sebagai
salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia, belum bersedia menggunakan
kriteria tersebut. Kriteria yang digunakan Muhammadiyah adalah wujudul hilal
(wujudnya hilal di atas ufuk). [46]
2.Selanjutnya, akan
dikaji permasalahan pengkategorian metode hisab penentuan awal bulan Kamariah versi Kementerian Agama. Kementerian
Agama yang dulunya bernama Departemen Agama telah mencoba melakukan
pengklasifikasian kitab-kitab ilmu Falak karya ulama Indonesia terkait dengan
perhitungan penetapan awal bulan Kamariah ke dalam beberapa kategori sesuai
dengan tingkat akurasi penghitungannya. Secara garis besar, perhitungan hisab rukyat awal bulan itu
ada dua, yakni hisab Urfi dan Hakiki. Hisab Hakiki itu didasarkan pada peredaran bulan yang sebenarnya;
dibagi lagi menjadi tiga tingkatan. Pertama, hisab hakiki
Taqribi; metode yang tingkat akurasi penghitungannya
rendah. Kedua, hisab hakiki Tahqiqi; metode yang tingkat akurasi
penghitungannya sedang, dan ketiga, hakiki kontemporer; metode yang tingkat
akurasi penghitungannya tinggi. Pemilahan ini usulan M. Taufik dalam forum
seminar sehari ilmu Falak tanggal 27 April 1997 di Tugu, Bogor, Jawa Barat.[47]
Berdasarkan klasifikasi metode hisab dalam forum di atas, maka kitab Sullam
an-Nayyirain karya Muhammad Manshur bin Abdul Hamid bin Muhammad
Damiri, Qawa’id al-Falakiah karya Abdul Fatah ath-THuhi dan Fath
ar-Rauf al-Mannan karya Abu Hamdan Abdul Jalil adalah tergolong hisab
Hakiki Taqribi. Metode hisab Sullam an-Nayyirain yang termasuk
dalam metode hisab Tradisional masih termasuk sistem/metode penentuan awal
bulan Kamariah yang diakomodir oleh Kementerian Agama dalam sidang isbat
penetapan awal bulan Ramadan, Syawal, dan Zulhijah setiap tahunnya sampai
sekarang. Untuk memahami permasalahan
ini, tentu diperlukan penjelasan, argumentasi, dan pendapat lebih
mendalam para ahli hisab rukyah di balik eksisnya perhitungan awal bulan
Kamariah menggunakan sistem hisab rukyah kitab Sullam an-Nayyirain ini. Menurut penganut
sistem ini, metode Sullam
an-Nayyirain adalah hasil ijtihad
Manshur al-Batawi; al-ijtihad la yunqadu bi al-ijtihad. Muhyiddin Khazin menyatakan bahwa tetap
dijadikannya kitab Sullam an-Nayyirain sebagai salah satu rujukan dalam penetapan awal
bulan Kamariah adalah untuk mengakomodir anggota masyarakat--jumlah mereka
cukup banyak--yang berpedoman kepada kitab tersebut. Ia menambahkan bahwa
pernah mengusulkan pada ahli waris pengarang kitab tersebut untuk melakukan
perobahan agar perhitungannya akurat tetapi usulan ini ditolak oleh mereka.
Biarkanlah kitab Sullam an-Nayyirain
sebagaimana adanya.[48]
Menurut penulis seharusnya Kementerian Agama hanya mengakomodir hasil
perhitungan awal bulan Kamariah metode Hisab yang akurat sebagai masukan dalam
pelaksanaan sidang isbat penetapan awal bulan Ramadan, Syawal, dan Zulhijah.
Karena tetap mengakomodir metode hisab yang sudah tidak akurat adalah sikap
ambigu Kementerian Agama. Sikap ini bukan berarti kurang atau bahkan mungkin
dikatakan tidak menghargai khazanah ilmu Falak Tradisional yang telah begitu
berjasa dalam penetapan awal bulan Kamariah di Indonesia. Para ahli Falak
Tradisional dari kalangan pesantren tetap diundang pada acara sidang isbat
untuk urun rembuk dalam penetapan awal bulan Kamariah tersebut dan upaya
unifikasi takwim nasional. Permasalahan penetapan awal bulan Kamariah bukan
hanya masalah sains tentang perhitungan awal bulan Kamariah saja tapi juga terkait
dengan pemahaman terhadap dalil Syar’i dalam masalah terkait. Perlu adanya
kesatuan pemahaman guna mewujudkan unifikasi takwim nasional.[49]
Kiranya permasalahan ini didekati dengan
pendekatan perkembangan ilmu pengetahuan. Pendekatan ini dalam kerangka memposisikan
suatu metode hisab secara porposional dalam pemetaan sejarah ilmu Falak di
Indonesia. Sehingga kita akan memposisikan metode hisab Tradisional dan metode
hisab Semi Modern sesuai dengan perkembangan ilmu Falak dan menjawab persoalan
umat pada masanya. Bukan secara serta merta menyatakan penyejajaran
ataupun hanya melihat ketertinggalannya dari perkembangan ilmu Hisab
Modern. Ilmu Falak Tradisional dan Semi Modern merupakan landasan, dasar,
pijakan awal untuk merumuskan sistem hisab Modern yang lebih akurat.
Penutup
Pemerintah kiranya harus mendorong dan menggalakkan penelitian dalam
bidang ilmu Falak; baik itu ilmu Falak Modern yang berbasis Astronomi maupun
khazanah ilmu Falak tradisional. Penelitian khazanah ilmu Falak Tradisional
tujuannya bukan untuk bernostalgia tentang kejayaan ilmu Falak di masa lampau,
tetapi merupakan pijakan untuk pengembangan ilmu Falak di masa mendatang
termasuk yang berkaitan dengan penetapan awal bulan Kamariah di Indonesia.
Daftar Pustaka
Azhari,
Susiknan, Pembaharuan Pemikiran Hisab di Indonesia, Jogjakarta: Pustaka
Pelajar, cet.ke-1, 2002
____________, Ilmu
Falak Teori dan Praktek, Jogjakarta: Lazuardi, Cet-ke-1, 2001
____________, Ilmu
Falak Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern, Yogyakarta: Suara
Muhammadiyah, 2007, Cet. Ke-2
____________,, Tokoh-Tokoh Falak di Indonesia: Saadoe'ddin
Djambek, http://bimasislam.depag.go.id diakses pada
tanggal 5 Maret 2009
____________,Sa’adoeddin
Djambek (1911-1977) dalam Sejarah Pemikiran Hisab Di Indonesia, Yogyakarta:
Proyek PTA IAIN Sunan Kalijaga, 1998/1999
____________ dan
Ibnor Azli Ibrahim, Kalender Jawa Islam: Memadukan Tradisi dan Tuntutan
Syar'i dalam Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 42 No. I, 2008. http://ern.pendis.kemenag.go.id/DokPdf/jurnal/07-susiknan.pdf diakses pada tanggal 5 Maret 2009
Badan Hisab
Rukyat Depag, Almanak Hisab Rukyat, Jakarta: Proyek Pembinaan Badan
Peradilan Agama Islam, 1981
Dawanas,
Djoni N., Mimbar Hukum: Aktualisasi Hukum Islam No.14 Tahun V, Kemungkinan
penampakan Hilal Untuk Penentuan Awan Ramadan dan Syawal 1414H, Ditbinbapera:
1994
Depag RI, Pedoman Tehnik Rukyat, Jakarta: Depag
RI, 1994
Ditbinbapera,
“Kebijaksanaan Pemerintah Indonesia dalam Menyikapi Permasalahan Hisab Rukyat
di Tingkat Nasional dan Internasional”, Pertemuan Tokoh Pemuka Agama Islam
dalam Rangka Peningkatan Pelaksanaan Hisab Rukyat (PTA Jabar), Bandung 1-3
Agustus 2000.
Fathurohman SW, Oman, Kalender Muhammadiyah, Power point disampaikan pada Musyawarah Ahli Hisab Muhammadiyah,
Yogyakarta, 29-30 Juli 2006
Ilyas,
M, “Limiting Altitude Separation in the New Moon’s Visibility Criterion”,
Astron. & Astrophys., Vol. 206, 1988
____________
dan Khalid-Taib, “Pengantarbangsaan Kalender Islam”, Univ. Sains Schaefer, BE
1991, “Length of the Lunar Crescent”, Q. J. R. Astron. Soc., Vol. 32, 1989
Izzuddin, Ahmad, Fiqh Hisab Rukyah Indonesia:
Sebuah Upaya Penyatuan Madzhab Hisab Dan Madzhab Rukyah, Yogyakarta: Logung Pustaka, 2003
____________, Ilmu Falak Praktis (Metode Hisab Rukyat Praktis dan Solusi
Permasalahannya), Semarang: Komala Grafika, 2006
Khazin, Muhyiddin, Materi Pembukaan dan Pengarahan
pada Pelatihan Hisab Rukyah Tingkat Nasional, Ponpes Setinggil,
Kriyan Kalinyamatan Jepara pada tanggal 26-29 Desember 2008M/ 28 Dzulhijjah- 1
Muharram 1430 H
____________, Ilmu Falak Dalam Teori dan Praktik.
Yogyakarta: Buana Pustaka, 2008
Schaefer, BE,
“Length of the Lunar Crescent”, Q. J. R. Astron. Soc., Vol. 32,1991
T.
Djamaluddin, Visibilitas Hilal Di Indonesia, makalah perkuliahan Fiqh Hisab
Rukyah di IAIN Wali Songo, 6 November 2009
Wahid,
B, “Mengapa Muhammadiyah Menetapkan 1 Syawal 1418 H Jatuh hari Kamis?”, Pikiran
Rakyat, Februari 1998.
Wahyu
Widiana, “Pelaksanaan Rukyatul Hilal
di Indonesia“ dalam Selayang Pandang Hisab Rukyat, Jakarta: Ditjen Bimas
Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2004
Wawancara dengan
Noor Ahmad SS, Jepara, 28 Desember 2008
Wahbah az- Zuhaili, tt, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Jilid III, Dimsyiq: Dar
al-Fikr
Wahyu Ima Sumantri, Manhaj Penyatuan Kalender Muslimin,
dalam www. Imran Kuzsa.com diakses pada tanggal 5 Maret 2009.
[1] Wahbah az- Zuhaili, tt, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Jilid III, Dimsyiq: Dar
al-Fikr, h. 1656
[2] Ibid
[3] Ibid
[4] Depag, 1994, Pedoman Tehnik
Rukyat, Jakarta: Depag RI, h. 2
[5] Ibid, h. 2-3
[6] Ijtimak/
konjungsi/ iqtiran/ pangkreman yaitu apabila Matahari dan Bulan
berada pada kedudukan/bujur astronomi yang sama. Dalam astronomi dikenal dengan
istilah konjungsi (conjunction) dan dalam bahasa Jawa disebut pangkreman.
Ijtimak dalam ilmu hisab dikenal
juga dengan istilah ijtima’
an-nayyirain. Ijtimak itu adakalanya terjadi setelah Matahari
terbenam dan pada waktu yang lain terjadi sebelum matahari terbenam. Ijtimak
setelah Matahari terbenam, posisi hilal masih di bawah ufuk dan pasti tidak
dapat dirukyah. Adapun apabila ijtimak terjadi sebelum matahari terbenam ada
tiga kemungkinan, yaitu:
a.Hilal sudah wujud di atas ufuk
dan mungkin bisa dirukyah.
b.Hilal sudah wujud di atas ufuk
dan tidak mungkin bisa dirukyah.
c.Hilal belum wujud di atas
ufuk/masih di bawah ufuk dan pasti tidak
mungkin bisa dirukyah.
[7] Badan Hisab dan Rukyat. Dep.
Agama Pusat, Almanak Hisab Rukyat. Jakarta: Proyek Pembinaan Badan
Peradilan Agama Islam ,
1981, h. 99
[8] Susiknan Azhari, Ilmu Falak
Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah,
2007, Cet. Ke-2, h. 109
[9] Misalnya Muhammadiyah dalam hal ini memilih posisi Bulan
dan Matahari terhadap ufuk sebagai tanda awal bulan, yakni apabila Matahari
lebih dulu terbenam daripada Bulan setelah sebelumnya telah terjadi ijtimak.
Inilah yang dikenal dengan wujudul hilal. Kata hilal pada kata wujudul hilal,
dengan demikian, bukan hilal dalam arti visual sebagaimana ditunjukkan dalam
hadis-hadis Nabi saw. melainkan hilal dalam arti konsepsual, yakni bagian
permukaan Bulan yang tersinari Matahari menghadap ke Bumi. Atau lebih tepat
lagi, istilah itu harus diartikan Matahari sudah terlampaui oleh Bulan dalam
peredarannya dari arah barat ke timur; pembatasnya adalah ufuk. Oman Fathurohman
SW, Kalender Muhammadiyah, Power
point disampaikan pada Musyawarah Ahli Hisab Muhammadiyah, Yogyakarta, 29-30 Juli 2006
[10]
Wahyu Widiana, “Penentuan Awan Bulan Qomariyah Dan Permasalahannya di
Indonesia”, dalam Depag RI, Hisab Rukyat dan Perbedaannya, Jakarta:
Depag RI, 2004, h. 25.
[11] Ibid
[12] Depag RI , Pedoman, op.cit, h. 2.
[13] Ibid, h. 2-3.
[14] Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak Dalam Teori dan Praktik. Yogyakarta: Buana Pustaka, 2008, h. 28-29.
[15] Azhari, Ilmu Falak, op.cit, h. 10.
[16] Ibid.
[17] Mohammad
Murtadho, Ilmu Falak Praktis. Cet.I. Malang: UIN Malang Press
2008, h. 29.
[18] Susiknan Azhari, Tokoh-Tokoh Falak di Indonesia: Saadoe'ddin
Djambek, http://bimasislam.depag.go.id diakses pada
tanggal 5 Maret 2009.
[19] Ibid.
[20] Ibid.
[21] Khazin, op.cit, h. 36-37.
[22] Ibid, h. 37.
[23] Susiknan Azhari, Sa’adoeddin
Djambek (1911-1977) dalam Sejarah Pemikiran Hisab Di Indonesia, Yogyakarta:
Proyek PTA IAIN Sunan Kalijaga, 1998/1999, h.
14
[24] Ibid, h. 15
[25] Ibid, h. 16
[26] Widiana, Penentuan, op.cit, h.
12
[27] Susiknan, Sa’adoeddin, op.cit,
h. 21
[28]Sistem ini menyajikan data
astronomis Bulan dan Matahari haran, bahkan tiap jamnya. System ini disebar dan
disosialisasikan kepada seluruh Pearadilan Agama, beberapa pesantren, serta
para peminat hisab rukyat.
[29] Gerhana Matahari terjadi pada
saat ijtmak atau konjungsi. Konjungsi adalah peristiwa astronomis pada saat
bulan dan matahari berada pada bujur astronomi yang sama.
[30] Schaefer, BE, “Length of the
Lunar Crescent”, Q. J. R. Astron. Soc., Vol. 32,1991, h. 265
[31] T. Djamaluddin, Visibilitas Hilal Di Indonesia,
makalah perkuliahan Fiqh Hisab Rukyah di IAIN Wali Songo, 6 November 2009
[32] Ilyas, M. “Limiting Altitude Separation in the New
Moon’s Visibility Criterion”, Astron. & Astrophys., Vol. 206, 1988, h. 133
dan Ilyas, M dan Khalid-Taib, M, “Pengantarbangsaan Kalender Islam”, Univ.
Sains Schaefer, 1989
[34] Ibid
[35]
Wahyu Ima Sumantri, Manhaj Penyatuan Kalender Muslimin, dalam www. Imran
Kuzsa.com diakses
pada tanggal 5 Maret 2009.
[36] Ibid.
[37]
Lihat selengkapnya dalam laporan hasil sidang komite penyatuan kalender hijriah
ke 8 di Jeddah, Saudi Arabia, 7-9 Nopember 1998.
[38]
Hasil musyawarah ulama ahli hisab rukyah dan ormas Islam tentang kriteria
imkanurrukyah yang dilaksanakan pada tangal 24-26 Maret 1998/ 25-27 Dzulqo’dah
1418 H di hotel USSU Cisarua bogor, sebagaimana dinukil oleh Ahmad Izzuddin, Fiqh
Hisab Rukyah Indonesia: Sebuah Upaya Penyatuan Madzhab Hisab Dan Madzhab Rukyah,
Yogyakarta: Logung Pustaka, 2003, hlm. 80-81.
[39] Ditbinbapera, “Kebijaksanaan Pemerintah Indonesia
dalam Menyikapi Permasalahan Hisab Rukyat di Tingkat Nasional dan
Internasional”, Pertemuan Tokoh Pemuka Agama Islam dalam Rangka Peningkatan
Pelaksanaan Hisab Rukyat (PTA Jabar), Bandung 1-3 Agustus 2000.
[40] Schafer, 1991
[41] Ilyas, loc.cit, Ilyas dan Khalid-Taib, loc.cit, Djamaluddin, loc.cit
[42] Ditbinpera, loc.cit
[43] Ibid
[44] Ibid
[45] Ibid
[46] Ibid dan Wahid,
B. 1998, “Mengapa Muhammadiyah Menetapkan 1 Syawal 1418 H Jatuh hari Kamis?”,
Pikiran Rakyat, Februari 1998.
[47]Ahmad
Izzuddin,
Ilmu Falak Praktis (Metode Hisab Rukyat Praktis dan Solusi
Permasalahannya), Semarang: Komala Grafika, 2006,
h. 135-136.
[48]
Muhyiddin Khazin, Materi Pembukaan dan Pengarahan pada Pelatihan Hisab Rukyah Tingkat Nasional,
Ponpes Setinggil, Kriyan Kalinyamatan Jepara pada tanggal 26-29 Desember 2008M/
28 Dzulhijjah- 1 Muharram 1430 H
[49] Ironisnya di Indonesia juga terdapat pengamal hisab
Urfi. Dalam penetapan awal bulan yang mengemuka di Indonesia, dalam hal ini
penetapan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah kerap terdapat perbedaan antara
penanggalan berdasarkan perhitungan secara Urfi dengan hasil putusan pemerintah
dalam sidang Isbatnya. Patokan pemerintah dalam penetapan sidang Isbat adalah
posisi hilal yang sebenarnya sebagai pertanda masuknya awal bulan berdasarkan
perhitungan visibilitas hilal; imkanur rukyah yang dikuatkan dengan hasil
rukyatul hilal. Berdasarkan hisab Hakiki, ketentuan masuknya awal bulan itu
tergantung posisi hilal. Apabila menurut hasil perhitungan hisab pada tanggal
29 bulan yang sedang berlangsung, ketinggian hilal memungkinkan untuk dirukyah
(imkanur rukyah)—dalam hal ini pemeritah kita
mengikuti kriteria yang disepakati MABIMS (Menteri Agama Brunei
Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura), yakni ketinggian hilal minimal
2˚, elongasi minimal 3˚, dan umur hilal minimal 8 jam; maka itu pertanda
masuknya awal bulan berikutnya. Besok hari adalah tanggal satu bulan yang baru.
Namun apabila belum memenuhi kriteria tersebut, maka besok harinya merupakan
hari terakhir (tanggal 30) dari bulan
yang sedang berjalan. Dengan demikian
ketentuan tentang umur suatu bulan sangat bergantung pada visibilitas hilal
awal bulan tersebut. Kenyataannya umur bulan itu tidak mesti berselang-seling
antara 30 dan 29 hari untuk bulan ganjil dan genap. Bisa saja umurnya justru
sebaliknya 29 dan 30 hari. Bisa juga umur bulan itu berturut-turut 29 atau
berturut-turut 30 hari. Itulah logikanya
yang kadang menjadikan perhitungan yang berdasarkan hisab Urfi ini terkadang
berbeda dengan kenyataan; yang didasarkan pada perhitungan yang berdasarkan hisab
Hakiki. Misalnya untuk perhitungan tanggal 1 Syawal, berdasarkan hisab Urfi,
Ramadan itu selalu berumur 30 hari (karena merupakan bulan ganjil—bulan ke-9).
Pada hal bisa jadi kenyataannya berdasarkan hisab Hakiki, umur Ramadan itu 29
hari. Sehingga mereka yang merayakan Idul Fitri berdasarkan hisab Urfi
terlambat satu hari dari ketetapan pemerintah. Atau kejadiannya adalah kebalikan peristiwa di atas, misalnya
dalam penetapan tanggal 1 Ramadan. Berdasarkan hisab Urfi Syakban itu selalu
berumur 29 hari (karena merupakan bulan genap—bulan ke-8). Bisa jadi
kenyataannya dan berdasarkan hisab Hakiki umur Syakban pada waktu itu 30 hari.
Sehingga mereka yang perhitungannya berdasarkan hisab Urfi melaksanakan ibadah
puasa Ramadan sehari mendahului ketetapan pemerintah. Dengan berkembangnya ilmu
pengetahuan terbukti bahwa sistem hisab ini tidak akurat digunakan untuk
keperluan penentuan waktu ibadah. Penyebabnya karena perata-rataan peredaran
Bulan tidaklah tepat, tidak sesuai dengan penampakan hilal (newmoon) pada awal
bulan Susiknan Azhari dan Ibnor Azli Ibrahim, Kalender Jawa Islam: Memadukan
Tradisi dan Tuntutan Syar'i dalam Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 42 No. I, 2008. http://ern.pendis.kemenag.go.id/DokPdf/jurnal/07-susiknan.pdf diakses pada tanggal 5 Maret 2009, h. 137. Sehingga perhitungan secara Urfi ini
disepakati oleh para ulama tidak dapat dijadikan sebagai pedoman untuk
pelaksanaan ibadah. Kiranya mereka perlu edukasi untuk menentukan waktu ibadah sesuai dengan
tuntunan Syari’at.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar