UNIFIKASI KALENDER HIJRIYAH DI INDONESIA
(MENGGAGAS KALENDER MADZHAB NEGARA)
Imam Yahya
(Dosen Fiqh Siyasah Fak Syariah IAIN Semarang)
Makalah Pada Seminar Internasional IAIN Walisogo 2012
Pengantar
Penyatuan kalender
Hijriyah merupakan isu reguler yang biasanya dibahas pada waktu menjelang
datangnya bulan Ramadlon, syawal, dan Dzul Hijjah. Pada awal tiga bulan inilah
umat butuh kapan datangnya tanggal satu berkaitan dengan pelaksanaan ibadah.
Kebutuhan akan
kepastian tanggal bulan Hijriyah inilah, menandakan bahwa sesungguhnya kalender
hijriyah menjadi kebutuhan azazi bagi umat Islam. Umat sering dihadapkan dengan
beragamnya pendapat para tokoh Islam yang sering beragam, bahkan terkadang
saling menyalahkan antara satu tokoh dengan tokoh lainnya. Keragaman ini
menjadi rahmat manakala disikapi saling memahami substansi perbedannnya,
sebaliknya menjadi laknat bila menjadikan saling menyalahkan.
Substansi perbedaannya
adalah perselisihan madzhab hisab dan madzhab rukyat dalam menentukan awal
bulan hijriyah. Perselisihan ini menjadi persolan klasik yang selalu berkelit
berkelindan dalam pusaran konflik umat. Berbagai upaya telah dilaksanakan baik
oleh masyarakat maupun mediasi yang dilakukan oleh negara khususnya Badan Hisab
Rukyat di bawah naungan Kementerian Agama RI. Namun demikian setiap tahun BHR
bersidang dan setiap tahun itu pula pertentangan semakin berkembang.
Perkembangan penetapan
tahun hijriyah ini tidak saja menjadi persoalan fiqh dan astronomi yang
mempunyai kaidah-kaidah religiusitas dan scientifik, tetapi juga menjadi
konflik politik di tengah masyarakat Indonesia. Awal bulan hijriyah yang
seharusnya dirayakan dengan ceria, terkadang justru kita umat Islam mengawali
dengan saling ejek, baik yang bermadhab hisab maupun rukyah. Tahun baru
Hijriyah seharusnya menjadi tonggak kekuatan dan kemajuan umat Islam dalam
menyongsong kehidupan yang penuh damai dan sejahtera. Mungkinkah tahun baru
Hijriyah menjadi tetenger waktu bagi umat dalam kehidupan sehari-hari.
Tahun Hijriyah
Dalam sejarah Islam,
tahun baru hijriyah adalah tahun yang dimulai sejak hijrahnya nabi Muhammad
SAW. Penggunaan peristiwa hijrah Nabi ini tentunya mempunyai arti penting bagi
perjalanan Islam dalam sejarah klasik. Hijrah terkendung maksud bersatunya umat
dalam sebuah komunitas politik yang mempunyai visi sama yakni tegaknya Islam di
Madinah.
Perkembangan Islam
setelah hijrah dari Makkah ke Madinah menunjukkan perkembangan yang signifikan.
Salah satu yang menjadi indikator adalah terbitnya piagam madinah yang oleh
para sejarawan muslim dianggap sebagai tomnggak berdirinya negara Islam Madinah
yang progresif dan transformatif. Progresif karena di tengah perkembangan umat
Islam yang meriah, piagam madinah memberikan ruang bagi ppara pengikut
non-Islam tetap tumbuh dan berkembang secara teologis, meski secara politis
harus tunduk pada nilai-nilai negara Islam Madinah.
Negara Madinah tidak
serta merta mengusir para kelompok non-Islam keluar dari kekuasaannya. Bahkan
di antara mereka yang non-Islam juga mempunyai hak
dan kewajiban sama
dengan warga negara yang beragama Islam. Padangan ini yang kemudian dinamakan
transfoirmatif karena transformasi nilai-nilai ajaran Islam yang tidak hanya
berdasarkan dpada teks ajaran, tetapi ada interpretasi yang mendalam dalam
mengaktualisasikan substansi ajaran Islam.
Semangat inilah yang
kemudian oleh para sahabat terutama Umar bin Khattab dijadikan momentum tonggak
awal tahun hijriyah. Semangat hijrah dijadikan sebagai awal tahun yang
membedakan dengan tahun masehi yang menghitung awal kelahiran Isa al-masih
sebagai awal perhitungan tahun Masehi.
Pada masanya, tahun
hijriyah tidak saja diberlakukan dalam pelaksanaan ibadajh, namun tahun
Hijriyah juga menajadi kalender umum (civil calender) yang dipergunakan dalam
menentukan berbagai persoalan kehidupan umat. Hampir semua perikehidupan
masyarakat kala itu, khususnya tata laku budaya, berpatok kuat pada sistem
penanggalan.
Penggunaan tahun baru
sebagai tahun sipil bahkan telah dikenal ke berbagai belahan dunia sesuai
dengan persebaran umat Islam di se antero bumi ini. Di Jawa yang dikenal dengan
berbagai kerajaan Jawa salah satunya kerajaan Mataram, tahun jawa menjadi salah
satu tahun yang berlaku di tengah masyarakat Mataranm pada waktu itu. Bahkan
sang raja, Sultan Agung menetapkan tahun hijriuyah menggantikan tahun Jawa Saka
dengan hitungan tahun hijriyah.
Tahun Hijriyah Sebagai Madzhab Negara
Masa Sultan Agung
Sultan Agung, raja
Mataram Islam yang hidup pada tahun 1613-1645, merupakan Raja Mataram Islam
yang memberikan keteladanan akan kearifan, toleransi, pluralisme serta sosok
negarawan sejati. Kepercayaan Hindu yang sudah mendarah daging dalam kerajaan
Jawa, tidak menutup hati sultan agaung untuk menapresiasi Islam yang datang
belakangan. Islam di tanah Jawa belakangan, pelan tapi pasti menggeser agama
dan kebudayaan Hindu. Salah satu apresiasi yang paling monumental adalah
penyesuaian kalender Jawa Saka yang semula mereduksi sistem penanggalan
syamsyiyyah direvii dengan menggunakan perhitungan hijriyah yang menggunakan
sistem qomariyah.
Dalam sistem
penanggalan Jawa atau yang biasa disebut tahun Saka, mempunyai sistem
perputaran waktu khusus (siklus) yaitu Windu, Pasaran, Selapan dan Wuku.
Setelah Islam masuk maka banyak istilah yang diubah menjadi istilah Islam.
Meski Sejak saat itu
kalender Jawa versi Mataram menggunakan sistem kalender komariah (lunar) yaitu
perhitungan penanggalan berdasarkan peredaran bulan, namun tidak langsung
menggunakan angka tahun Hijriyah (1035 H). Angka tahun Saka tetap diteruskan
demi menghargai eksistensi tahun Saka. Ketika Sultan Agung mengambil kebijakan
konversi tahun Saka ke tahun Jawa Islam, tahun saka menunjukkan angka tahun
1547 Saka, untuk mengakomodasi eksistensi tahun Saka maka diteruskan menjadi
tahun 1547 Jawa Islam.
Dalam catatan Izzudin,
satu Windu = 8 tahun, sedangkan nama-nama tahun pada satu Windu adalah tahun pertama
disebut Wawu, kedua (Jimakir), ketiga (Alip), keempat (Ehe), kelima (Jimawal),
keenam (Je), ketujuh (Dal) dan kedelapan (Be).
Untuk hitungan pasaran,
satu siklus pasaran ada 5 hari. Lima hari pasaran itu adalah 1 (legi), 2
(pahing), 3 (pon), 4 (wage), 5 (kliwon). Dari beberapa hitungan
pasaran akan
terakumulasi dalam hitungan Salapanan. Untuk satu selapanan adalah 7 siklus
pasaran tersebut yaitu dari 7 X 5 = 35 hari. Misalnya tanggal 1 Januari 2013
untuk hari pasarannya adalah Selasa kliwon, selapannya adalah 35 hari lagi
yaitu 5 Februari 2013 yang hari pasarannya adalah sama yaitu Selasa kliwon.
Berbeda dengan wuku, tidak menghitung hari tetapi hitungan minggu. Jadi satu
wuku = 30 minggu.
Kalender Jawa Islam
atau kalender Sultan Agung, nama-nama bulan diintrodusir dari nama-nama bulan
Hijriyah, meski ada sedikit perubahan disesuaikan dengan konteks masyarakat
Jawa pada saat itu. Nama-nama bulan tersebut adalah : Sura (Muharrom), Sapar
(Shofar), Mulud (Robiul awal), Bakda Mulud (Robiul tsani), Jumadilawal (jumadil
awal), Jumadilakhir (jumadil akhir), Rejeb (Rojab), Ruwah (sya’ban), Pasa
(ramadlon), Sawal (syawwal), Dulkangidah (dzul qaidah), Besar (dzul qaidah
besar).
Penamaan ini lebih
menyesuaikan dengan peristiwa-peristiwa sejarah pada bulan-bulan dimaksud,
sebagai upaya membumikan kalender Jawa Islam dalam konteks soaial masyarakat
Jawa yang Islami. Sebagai contoh, Syuro yang dijadikan ganti dari Muharrom
karena terkandung maksud bahwa pada tanggal 10 (asyrah), ada peristiwa tanggal
10 Syura yang dirasionalisasikan sebagai peringatan meninggalna cucu Nabi,
Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Begitu juga dengan Maulud misalnya, sebagai upaya
memperingati 12 Robiul awaal di mana Nabi Muhammad SAW dilahirkan. Pembuatan
Kalender Jawa Islam itu sekaligus juga untuk merangkul seluruh rakyat Jawa
untuk menyatu di bawah kekuasaan Mataram.
Upaya yang dilakukan
tidak saja berdampak pada eksistensi politik Sultan Agung di kerajaan Mataram,
namun juga sebagai momentum penyatuan sistem penanggalan di penjuru kerajaan
Mataram. Titah raja menjadi undang-undang yang harus dipatuhi oleh rakyatnyha.
Dalam perspektif studi
Islam, apa yang dilakukan Sultan Agung merevisi penanggalan Jawa dengan
penanggalan hijriyah yang didesain akulturatif, merupakan strategi jitu dalam
kehidupan bernegara dan berbangsa. Raja sebagai kepala pemerintahan sekaligus
kepala negara mempunyai pengaruh yang kuat dalam proses Islamisasi dan
Pribumisasi Islam sebagai kekuatan politik besar di Indonesia.
Untuk melihat praktek
konversi penanggalan Islam ala Sultan Agung, ada teori politik Islami yang
ditawarkan oleh Bahtiar Effendi. Pendekatan ini akan mencoba mendasarkan pada
salah satu teori yang dikembangkan oleh CAO Van Nieuwenhuijze pada pertengahan
1960, yakni dekonfessionalisasi, di mana Islam tidak harus menjadi aturan Islam
yang normatif konfensional, tetapi nilai-nilai keislaman seperti nama tahun dan
bulan jhijriyah dimasukkan pada kelompoknya (Effendy:2000).
Teori
dekonfessionaliasasi ini lebih kepada pola memperluas penerimaan umum, mencakup
semua kelompok yang berkepentingan demi kemaslahatan bersama. Konsep ini
menawarkan penjelasan konstruktif mengenai politik antagonis antara Islam dan
Negara. Sultan Agung melakukan konversi bukan karena islamisasi Jawa semata,
tetapi merupakan kemenangan politik Islam yang didukung oleh rakyat. Kekuatan
politik Islam inilah yang pada saat itu dijadikan Sultan agung sebagai upaya
menyusun kekuatan menentang politik Hindia Belanda.
Unifikasi perlu Keputusan Politik
Keputusan Sultan Agung
dalam memuluskan sistem penanggalan Jawa Islam di Indonesia ini, bisa dijadikan
sebgai tonggak dalam merumuskan unifikasi penanggalan hijriyah pada masa
sekarang ini.Ummat sudah lama menunggu terbitnya penanggalan hijriyah yang
permanen. Tidak saja bagi kepentingan ibdah tetapi juga untuk kepentingan sipil
sebagaimana waktu Sultan Agung berkuasa.
Dalam buku terbarunya Astronomi
Memberi Solusi Penyatuan Umat, Professor Astonomi dan Astrofisikan LAPAN,
Prof. Dr. Thmas Jamaluddin menyatakan, unifikasi kalender hijriyah bukanlah
sesuatu yang sulit, konsepnya mudah asalkan ada kebersamaan dan kesepakatan.
Selagi syarat itu belum dipenuhi bisa jadi unifikasi kalender hijriyah menjadi
sesuatu yang impossible (Thomas: 2012).
Unifikasi kalender
hijriyah dibutuhkan tiga syarat: (1) ada otoritas tunggal yang menjaga sistem
kalender, (2) ada kriteria yang disepakati, dan (3) ada batas wilayah yang
jelas. Dengan mewujudkan 3 hal tersebut unifikasi kalender akan segera
terbentuk dalam waktu yang singkat.
Untuk otoritas tunggal,
mestinya umat Islam sudah mensepakati Kepala Negara dalam hal ini yang
berkompeten adalah Menteri Agama sebagai pemegang otoritas tunggal. Kaidah fiqh
menyatakan bahwa hukmul hakim ilzamun wa yarfau khilaf, hukum penguasa
bersifat tetap dan menyelesakan berbagai sengketa. Meski dalam beberapa hal
belum sepenuhnya dilaksanakan di tingkat masyarakat. “Keputusan hakim dalam
ijtihad dapat menghilangkan persengketaan.” (As-Syuyuthi: Tt).
Aplikasi kaidah ini
adalah apabila dalam suatu kasus penentuan hukum, hakim menetapkan hukum atau
keputusan yang dianggap lebih kuat, maka pihak-pihak lain tidak boleh
mengingkari keputusan hakim tersebut.
Syamsul Anwar dalam
tulisan tentang unifikasi kalender mensyaratkan bahwa kaidah ini berlaku
manakala penguasa bersifat adil memberi kepuasan kepada semua pihak. Sungguh
sangat indah mestinya apabila putusan hakim itu melegakan semua fihak. Tetapi
itulah sifat putusan hakim yang bersifat umum, memaksa dan memberikan sangsi
(Anwar: 2012).
Kedua adalah
adanya batas wilayah yang jelas. Konsep wilayatul hukmi (menganggap NKRI
sebagai satu wilayah hukum) diterima oleh semua ormas Islam pelaksana hisab
rukyat di Indonesia. Matla global tidak mungkin diterapkan karena secara
astronomis bertentangan dengan ilmu astronomi.
Dalam konteks nation
state, konsep wilayatul hukmi menjadi sangat penting mengingat
konteks negara sekarang ini berbeda dengan konsep negara Madinah pada zaman
klasik. Realitas nation state ini tidak saja berkaitan dengan politik
kekinian, tetapi sejarah Islam menyatakan hadits quraib sangat penting untuk
dijadikan pedoman dalam merumuskan dan merealisasikan hadits quraib di
Indonesia ini.
Dalam fiqh siyasah,
ketaatan kepada pemimpin adalah sebuah keniscayaan dalam kehidupan bernegara.
Bahkan Sayyidina Ali sebagaimana ditulis dalam Al-Ahkam al-Sulthaniyyah, enam
puluh tahun bersama pemimpin yang dholim lebih baik daripara semalam tanpa
pemimpin (Mawardi:1960).
Dan ketiga,
kesepakatan terhadap kriteria bersama. kesepakatan ormas-ormas Islam dengan
kriteria “2-3-8”, yaitu ketinggian hilal minimal 2 derajat dan jarak
bulan-matahari minimal
3 derajat, atau umur bulan 8 jam. Kesepakatan itu kemudian ditegaskan lagi pada
September 2011. Kesepakatan terakhir adalah Musyawarah Nasional Hisab Rukyat
(Penentuan Awal Bulan Qamariyah) Rabu 25 April 2012 di Kementerian Agama berhasil
merumuskan kesepakatan untuk mewujudkan kalender Islam tunggal dengan kriteria
bersama yang disepakati.
Kesepatakan terakhir
diikuti hampir 50 peserta dari seluruh organisasi sosial keagamaan di Indonesia
serta beberapa pesantren yang konsen dalam pengembangan ilmu falak. Secara umum
berikut kutipan keputusan yang dijadikan untuk menyatukan pendapat para ahli
falak menuju terujudnya unifikasi kalender di Indonesia.
1. Ada
kesadaran bahwa keseragaman takwim Islam Indonesia (untuk penentuan awal bulan
Qamariyah selain awal bulan Ramadan, Syawal dan Zulhijjah) adalah sebuah
kebutuhan bersama yang perwujudannya membutuhkan proses untuk mendekatkan
pandangan dan metode yang bisa disepakati bersama.
2. Untuk
menuju kesatuan penetapan awal bulan Ramadan, Syawal dan Zulhijah dibutuhkan 3
prasyarat yang harus dipenuhi, yaitu: 1) pemberian dan pengakuan otoritas
kepada lembaga tertentu (MUI sejauh ini memberikan otoritas tersebut kepada
Kementerian Agama RI); 2) adanya kriteria yang disepakati; dan 3) adanya wilayah
pemberlakuan hukum;
3. Sejauh
ini belum ada kesepakatan butir kedua, yaitu mengenai kriteria awal bulan
qomariyah. Untuk menuju ke sana, pihak-pihak yang hadir dalam forum setuju
untuk membentuk tim kecil perumus kriteria yang terdiri dari perwakilan ahli
hisab rukyat ormas dan instansi terkait, dengan difasilitasi oleh Kementerian
Agama dan supervisi pimpinan ormas.
4. Untuk
menindaklanjuti kegiatan ini, Munas ini mengamanatkan langkah-langkah konkrit
sebagai berikut:
o
Merevitalisasi badan yang selama ini
menangani hisab dan rukyat (BHR) agar lebih legitimated sehingga
keputusannya mempunyai daya ikat kepada ormas yang diwakilinya.
o
Melakukan tindak lanjut kajian secara
intensif untuk melakukan upaya pendekatan di wilayah pandangan dan metode
sehingga tercapai satu kriteria bersama dengan melibatkan pakar dan fuqoha.
o
Melakukan penelitian observasi hilal
secara kontinyu untuk kepentingan kriteria penetapan awal bulan qomariyah.
o
Mengadakan musyawarah bersama secara
intensif untuk menetapkan Takwim secara musyawarah mufakat.
5.
Selama kesatuan takwim itu belum
tercapai, semua pihak hendaknya bisa menahan diri untuk menjaga kemaslahatan
umat dengan mengedepankan toleransi.
6.
Kepada perwakilan-perwakilan ormas
diminta dapat membawa pesan upaya penyatuan Takwim Islam Indonesia ini dalam
forum pengambilan keputusan hukum tertinggi di masing-masing ormas.
7.
Perlu memperbanyak frekuensi
dialog/silaturahmi antar pimpinan/tokoh ormas yang dapat difasilitasi
Kementerian Agama.
8.
Perlu melakukan kaderisasi bersama antar
ormas untuk mendalami kompetensi Astronomi.
9.
Membuat kalender Islam tunggal yang
disepakati antar ormas Islam.
10. Prasyarat
inilah yang sesungguhnya memberikan PR bagi kita semua para peminat ilmu falak
untuk diujudkan dalam dunia nyata di negeri yang oleh syamsul Anwar sebagai
masa dimana Peradaban Tanpa Kalender Unifikatif.
Penulis meyakini tiga
prasayarat tersebut bisa diwujudkan manakala para pemimpin di Indonesia ini
melakukan kajian ulang sekaligus merefleksikan ulang beberapa pokok-pokok fikiran
yang selama ini mendayut dalam benak fikiran umat Islam di Indonesia, salah
satunya adalah kontekstualisasi teks.
Catatan Prof Thomas,
bahwa ilmu pengetahuan bertugas untuk merasionalisasikan teks-teks qauliyah,
nampaknya sesuai dengan qaidah al-nushush mutanahiyah wal waqai ghairu
mutanahiyah, nash itu bersifat selesai sementara peristiwa itu tidak akan
selesai, patut direnungkan. Teks-teks tentang hilal (al-Baqoroh:189) misalnya
tidak ada batasan berapa besar hilal yang dirumuskan secara jelas. Seehingga
persoalan besaran hilal bersifat ijtihadiyah, yang bisa kapan saja dan di mana
saja dilakukan oleh para ulama. Persoalannya adalah ijtihad jamai yang digagas
oleh Yusuf Qardhawi, sekaran ini masih jauh dari panggang. Wallohu A’lam bis
Showab.
Daftar Pustaka
Anwar,
Syamsul, Peradaban Tanpa Kalender Unifikatif: Inikah Pilihan Kita? www.muhammadiyah.or.id/
Azhari,
Susiknan, Revitalisasi Hisab Rukyat di Indonesia (Al-Jamiah, UIN Yogyakarta,
Vol 65/IV/2000.
Dewan
Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam. PT. Ichtiar Baru van
Hoeve. Jakarta. 2001.
Hambali,
Slamet, Ilmu Falak I, Semarang, 1998.
Hitti,
Philip K. History of The Arabs, terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi
Slamet Riyadi. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005.
Izzudin,
Hisab Rukyat Menghadap Kiblat (Fiqh Aplikasi Praktis, Fatwa dan
Software) Pustaka Riski. Semarang. 2012.
Izzudin,
Ilmu Falak Praktis Metode Hisab Rukyat Praktis dan Solusi Permasalahannya,
Pustaka Riski. Semarang. 2012.
Jamaluddin,
Thomas, Prof. Unifikasi Kalender Islam Nasional, Regional, dan Global Mudah,
Asal Mau Bersepakat, (T.Djamaluddin.blogspot.com, Mei 2012).
Purwadi,
Dr., M.Hum. Sistem Tata Negara Kerajaan Mataram dalam Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia. Jakarta. Vol. 4. No. 1. Maret 2007 Jurnal
Konstitusi..
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban
Islam. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 1998.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar