KALENDER
HIJRIYAH BISA MEMBERI KEPASTIAN SETARA DENGAN KALENDER MASEHI
Thomas Djamaluddin
(Makalah pada Seminar
Internasional IAIN Walisongo 2012)
Ada
suatu kerinduan ummat Islam untuk mendapatkan ketentraman dalam beribadah
dengan kepastian dan keseragaman waktu beribadah, khususnya dalam mengawali
bulan Ramadhan, mengakhirinya dengan Idul Fitri, dan dalam merayakan Idul Adha.
Waktu beribadah tersebut ditentukan berdasarkan kalender Hijriyah. Lebih jauh
lagi, mungkinkah kalender Hijriyyah bukan hanya digunakan untuk penentuan waktu
ibadah tetapi juga digunakan untuk kepentingan administrasi pemerintahan dan
transaksi bisnis, sebagaimana kalender masehi? Sangat mungkin kalau 3 prasyarat
kalender mapan terpenuhi. Kalender Masehi perlu waktu 19 abad menuju kemapanan.
Kalender Hijriyah baru 14 abad. Sistem kalender yang mapan mensyaratkan tiga
hal:
1.Ada
otoritas (penguasa) tunggal yang menetapkannya.
2.Ada
kriteria yang disepakati
3.Ada
batasan wilayah keberlakukan (nasional atau global).
Kita
lihat sejarah panjang kelender Masehi
(lihathttp://tdjamaluddin.wordpress.com/2010/04/28/milenium-dalam-perspektif-matematis-astronomis/)
Memasuki tahun 2000 demam milenium melanda kehidupan kita sehari-hari. Tak
terkecuali penamaan suatu produk yang sering dikaitkan dengan milenium. Ada
warna milenium, ada model milenium, dan lainnya. Istilah milenium secara
harfiah berasal dari bahasa Latin mille (seribu) dan annum (tahun).
Jadi itu berarti seribu tahun. Sebenarnya tidak terlalu istimewa, kecuali bila
dikaitkan dengan tahun kejadiannya: tahun 2000 atau 2001. Ada juga yang
mengaitkan istilah itu dengan sebagian teologi Kristiani (terutama pada masa
lalu), bahwa Yesus Kristus akan kembali ke bumi dan memerintah sebelum kiamat
selama seribu tahun. Tetapi, tampaknya hal itu sama sekali tidak berkaitan
dengan kedatangan tahun 2000. Sebab, tak seorang pun (baik yang mempercayai
teologi itu, apalagi yang tidak) yang mengetahui kapan peristiwa itu akan
terjadi. Bila kita perhatikan, istilah milenium baru populer ketika muncul
kekhawatiran masalah komputer millenium bug. Makna sebenarnya millenium
bug adalah “kegagalan [mesin/program akibat] milenium”, bukan “kutu
milenium” seperti yang banyak ditulis media massa. Kini istilah populer itu
beralih sebutan menjadi masalah Y2K (year 2 kilo, tahun 2000) atau MKT 2000
(masalah komputer tahun 2000). Milenium kini telah menjadi kosa kata baru yang
populer di masyarakat kita. Sebelumnya, ketika kita menyambut tahun 2000 kita
hanya menyebutkan menyambut abad 21. Tidak banyak yang mempermasalahkan sebutan
abad 21 untuk tahun 2000. Setidaknya kita sudah punya pengalaman ketika mencanangkan
tahun 1400 Hijriyah sebagai awal abad ke-15, abad kebangkitan Islam.
Saat
ini muncul perbedaan pendapat tentang sebutan milenium. Padahal, bila teliti,
masalahnya sama: tepatkah 1 Januari 2000 sebagai awal abad 21 atau awal
milenium ke tiga? Tampaknya sebutan milemiun yang datangnya seribu tahun sekali
lebih menarik perhatian dan keingintahuan banyak orang.
Apakah
pangkal semua persoalan perbedaan pendapat ini? Saya berpendapat, pangkal
masalah adalah angka nol (0).
Nol
Para
perancang komputer tidak mengantisipasi angka nol ketika mendefinisikan tahun
dengan dua bilangan terakhir. Pada sistem yang lama tersebut, misalnya tahun
1999 hanya ditulis 99. Menjelang tahun 2000 baru disadari bahwa sistem lama
masih terpakai dan bisa berakibat fatal salah interpretasi data bila tahun 2000
hanya tertulis 00. Program-program yang menggunakan tanggal dari komputer akan
menafsirkan tahun 00 itu sebagai tahun 1900, bukan tahun 2000. Tentu bisa
mengacaukan data-data dan aktivitas yang terkait dengan tanggal dalam sistem
komputer.
Lain
soal dengan penetapan kelender. Orang dahulu menetapkan tahun untuk kalender,
baik syamsiah (berdasarkan matahari) maupun qamariyah (berdasarkan bulan),
bermula dari angka 1. Hari pertama kalender Masehi adalah Sabtu, 1 Januari 1.
Kalender Hijriyah pun demikian, diawali 1 Muharram 1. Sampai pertengahan abad 9
orang belum mengenal angka nol. Jadi, bukan karena melupakan angka nol,
melainkan karena memang saat itu belum tahu.
Tidak
diketahui sejak kapan angka nol ditemukan. Tetapi, dokumen sejarah mencatat
naskah tertua yang menuliskan bilangan nol berasal dari India yang ditulis pada
tahun 876. Tetapi yang berjasa memperkenalkan angka nol dalam makna ilmiah
adalah para ilmuwan Islam Arab yang mewarnai Eropa pada abad 12. Salah satu
buktinya adalah penggunaan sebutan zero dalam bahasa Inggris yang
berasal dari bahasa Arab shifryang berarti kosong.
Penggunaan
angka nol telah dianggap sebagai salah satu penemuan cemerlang dalam sejarah
matematika yang berpengaruh luas dalam kebudayaan modern. Sebagian pakar
berpendapat bahwa hambatan serius yang dihadapi ahli matematika Yunani dan
Romawi kuno dalam perkembangan ilmiahnya adalah ketiadaan simbol nol.
Angka
Romawi tidak mengenal angka nol. Bilangan dimulai dengan satu yang dituliskan I.
Sepuluh ditulis X, 50 dilambangkan dengan L, 100 dengan C, 500 dengan D, dan
1000 dengan M. Suatu bilangan besar dinyatakan sebagai penambahan (diletakkan
disebelah kanannya) atau pengurangan (diletakkan disebelah kirinya)
lambang-lambang tersebut. Jadi 1999 dituliskan sebagai 1000 + 900 + 90 + 9
sebagai M+CM+XC+IX menjadi MCMXCIX. Memang tidak praktis, kecuali untuk
bilangan kelipatan sederhana lambang-lambang tersebut, seperti 2000 yang cukup
dituliskan MM.
Kebudayaan
Barat yang belum tersentuh budaya Islam menggunakan angka Romawi tersebut
sampai abad 14. Sedangkan Spanyol dan wilayah Eropa lainnya yang bersinggungan
dengan budaya Islam sejak abad 12 telah secara luas menggunakan sistem angka
Arab (seperti yang kita kenal sekarang: 0, 1, 2,….
Sejarah
Angka
nol menjadi masalah juga dalam menelusuri sejarah masa lampau. Ada keterputusan
ungkapan tahun sebelum masehi dan sesudah masehi karena tidak dikenalnya tahun
nol. Urutan tahun di sekitar pergantian sistem kalender masehi adalah tahun 2
SM (sebelum Masehi), 1 SM, 1 M, 2 M, dan seterusnya. Penulis sejarah
matematika, dengan menggunakan notasi matematis menuliskan urutan tahun
tersebut sebagai tahun -2, -1, 1, 2, dan seterusnya.
Astronomi
sebagai ilmu yang berperan menelusur waktu kejadian di masa lampau tidak
menggunakan notasi metematis seperti itu. Secara astronomi, tahun 1 SM dianggap
sebagai tahun 0 untuk memudahkan perhitungan waktu dalam penelusuran balik
kejadian masa lampau.
Kalender
Masehi berakar dari kalender qamariyah Romawi yang semula mempunyai 10 bulan.
Kalender Romawi ini berawal pada Maret dengan bulan ke tujuh, delapan,
sembilan, dan sepuluh disebut September, Oktober, November, dan Desember.
Penambahan bulan Januari dan Februari sebagai bulan ke-11 dan ke-12 terjadi
sekitar tahun 700 SM.
Kemudian
terjadi lagi perubahan dari sistem qamariyah menjadi syamsiah seperti yang kita
kenal sekarang, dengan jumlah hari setiap bulan 30 atau 31 hari, kecuali
Februari 28 hari. Hari pertama setiap bulan disebut Kalendae (inilah asal mula
sebutan “kalender”). Belum dikenal nama-nama 7 hari dalam sepekan.
Perubahan
sistem qamariyah ke syamsiah tidak dilakukan mendadak. Penyesuaiannya
menggunakan sistem campuran dengan penambahan hari untuk penyesuaian dengan
musim. Penambahan itu tidak beraturan. Kadang-kadang Kaisar memperpanjang atau
memperpendek kalender semaunya. Masa itulah yang dikenal sebagai masa yang
membingungkan untuk menelusur sejarah masa lampau.
Untuk
menghilangkan kebingungan itu, Kaisar Julius melakukan reformasi kalender atas
saran penasihatnya astronom Sosigense pada tahun 46 SM. Reformasi itu
menetapkan tiga hal. Pertama, vernal equinox (awal musim semi, saat malam dan
siang sama panjangnya) ditetapkan 25 Maret dengan menjadikan tahun 46 SM lebih
panjang 85 hari. Kedua, awal tahun ditetapkan 1 Januari 45 SM. Ke tiga,
menetapkan jumlah hari dalam satu tahun 365 hari, kecuali setiap tahun ke empat
menjadi tahun kabisat dengan penambahan hari pada bulan Februari.
Penetapan
awal musim semi 25 Maret ini berdampak juga pada penetapan 25 Desember sebagai
titik balik utara. Pada saat itu posisi matahari berbalik dari titik paling
utara menuju selatan. Maka 25 Desember dirayakan masyarakat Romawi sebagai hari
Dies Natalis Solis Invicti (hari kelahiran Matahari yang tak
terkalahkan). Tanggal inilah yang kemudian dianggap sebagai tanggal kelahiran
Yesus Kristus (hari Natal), karena memang tak ada catatan sejarah tanggal
pastinya kelahiran Nabi Isa tersebut. Penetapan tahun Masehi baru dilakukan
pada tahun 532 M atas usulan rahib Denys le Petit. Berdasarkan penelitiannya,
dia menyimpulkan tahun kelahiran Nabi Isa bertepatan dengan tahun Romawi 753.
Maka tahun Romawi 753 tersebut ditetapkan sebagai tahun 1 Masehi. Walaupun
belakangan kalangan gereja menemukan bukti lain bahwa kelahiran Nabi Isa
sebenarnya beberapa tahun sebelum itu, berdasarkan naskah-naskah tentang
kematian Herod (penguasa Palestina pada Zaman Nabi Isa).
Milenium
Astronom
sebenarnya tidak peduli dengan istilah milenium. Karena dalam astronomi
kronologi kejadian umumnya dinyatakan dalam hari Julian (Julian day) yang
didefinisikan bermula dari tengah hari 1 Januari 4713 SM. Penetapan awal
periode ini pun sebenarnya tidak punya arti astronomis, tetapi sekadar memenuhi
siklus dalam sistem kalender lama: siklus metonik (19 tahunan) serta siklus
dalam kalender Romawi indiksi (15 tahun) dan dominis (28 tahun).
Siklus
metonic berasal dari sistem kalender Yunani dan Arab kuno (Babilonia dan
sekitarnya) bahwa 19 tahun syamsiah sama dengan 235 bulan qamariyah. Sedangkan
siklus dominis 28 tahun, tampaknya berasal dari keberulangan kalender Julian
dengan susunan hari yang sama. Pembagian sepekan menjadi tujuh hari baru masuk
Eropa sekitar abad ke-3, diadopsi dari tradisi Yahudi dan Arab kuno. Jumlah
hari dalam 28 tahun itu (28 x 365,25 hari) sama dengan 1461 pekan. Belum
diketahui alasan siklus indiksi.
Dengan
menggunakan hari Julian tersebut 1 Januari tahun 1 dinyatakan sebagai hari ke
1.721.423,5. Sedangkan 1 Januari 2000 adalah hari ke 2.451.544,5. Jadi kalender
Masehi sampai saat tahun baru 2000 telah menjalani 730.121 hari. Itu berarti,
andaikan sejak awal menggunakan sistem kalender Gregorian seperti yang saat ini
berlaku, 1 Januari 2000 semestinya baru tanggal 2 Januari 1999.
Sepanjang
sejarah kalender Masehi telah terjadi dua kali reformasi. Pertama, tahun 325 M
ketika vernal equinox ternyata telah bergeser dari 25 Maret menjadi 21 Maret.
Tetapi, tidak terjadi pergeseran hari, hanya ditetapkan tanggal baru untuk
vernal equinox, yaitu 21 Maret. Ini berpengaruh pada penetapan hari besar
Kristiani. Paskah ditentukan setiap hari Minggu pertama setelah purnama pada
atau sesudah vernal equinox. Itu berarti berpengaruh juga pada penetapan hari
Wafat Isa Almasih dan hari Kenaikan Isa Almasih.
Reformasi
ke dua pada 1582 disebut reformasi Gregorian. Karena satu tahun syamsiah
rata-rata 365,2422 hari, sedangkan kalender Julian menetapkan rata-rata 365,25
hari, awal musim semi saat itu diketahui telah bergeser jauh menjadi tanggal 11
Maret. Maka dilakukan reformasi dalam dua hal agar awal musim semi kembali
menjadi tanggal 21 Maret.
Reformasi
Gregorian pertama menghapuskan 10 hari dari tahun 1582 dengan menetapkan hari
Kamis 4 Oktober langsung menjadi hari Jumat 15 Oktober. Ke dua, rata-rata satu
tahun ditetapkan 365,2425 hari. Caranya, tahun kabisat didefinisikan sebagai
tahun yang bilangannya habis dibagi empat, kecuali untuk tahun yang angkanya
kelipatan 100 harus habis dibagi 400. Dengan aturan tersebut tahun 1700, 1800,
dan 1900 bukan lagi dianggap sebagai tahun kabisat. Tahun 2000 adalah tahun
kabisat.
Ketika
istilah milenium yang berawal dari masalah komputer mulai memasyarakat, orang
mulai bertanya, tepatkah 1 Januari 2000 disebut sebagai awal Milenium ke tiga.
Para astronom yang ditanya tentu akan mengacu pada sejarah. Karena milenium
berarti kurun waktu seribu tahun, sedangkan milenium pertama dimulai 1 Januari
tahun 1, maka milenium ke-3 semestinya 1 Januari 2001.
Tetapi,
di masyarakat terlanjur menggunakan istilah milenium dalam konteks sepertimillenium
bug, sekadar melihat angkanya. Kalau demikian lupakan sejarah, lihatlah
pada angka tahunnya. Astronom pun kemudian ditanya, mengapa angka 2000 sudah
dianggap sebagai milenium ke-3 atau abad 21. Secara astronomi hal itu masih
dapat dibenarkan.
Dalam
astronomi suatu tanggal lazim dituliskan sebagai fraksi tahun. Pukul 00:00 1
Januari 2000 bila ditulis dengan desimal menjadi tahun 2000,0. Sedangkan pukul
00:00 23 Januari 2000 dapat dinyatakan sebagai tahun 2000,06284 (dari 2000,0 +
23/366, karena tahun 2000 berjumlah 366 hari). Karenanya setiap tanggal sesudah
1 Januari 2000 dapat dinyatakan dengan angka yang lebih besar dari 2000. Itu
berarti tidak termasuk lagi sebagai abad 20 atau milenium 3. Jadi, mestinya
sudah boleh dinyatakan sebagai bagian dari abad 21 atau milenium 3. Kalau
demikian, beralasan juga untuk menetapkan 1 Januari 2000 sebagai awal abad 21
atau milenium 3.
Selalu
ada otoritas yang menetapkan, termasuk kriterianya. Wilayah keberlakuannya
tentu saja sebatas wilayah kekaisaran atau wilayah pengaruh otoritas yang
berkuasa. Perhatikan, sistem kalender bergantung pada kriteria.
Dasar
kalender Masehi ditetapkan pada 46 SM (sebelum Masehi) oleh Kaisar Julius
dengan penasihatnya astronom Sosigense. Ada 3 kriteria yang ditetapkan.
Pertama, vernal equinox (awal musim semi, saat malam dan siang sama panjangnya)
ditetapkan 25 Maret dengan menjadikan tahun 46 SM lebih panjang 85 hari. Kedua,
awal tahun ditetapkan 1 Januari 45 SM. Ke tiga, menetapkan jumlah hari dalam
satu tahun 365 hari, kecuali setiap tahun ke empat menjadi tahun kabisat dengan
penambahan hari pada bulan Februari. Ketika diketahui ada pergeseran vernal
equinox, kriterianya diubah pada 325 M. Vernal equinox ditetapkan menjadi 21
Maret.
Namun
ketidakakuratan kriteria menyebabkan vernal equinox terus bergeser. Pada 1582
vernal equinox sudah bergeser menjadi 11 Maret. Atas saran astronom pula, Paus
Gregorius sebagai otoritas tunggal saat itu dalam penetapan kalender mengubah
lagi kriteria kalender. Pertama, mengembalikan vernal equinox pada 21 Maret
dengan cara menghilangkan 10 hari dari tahun 1582 dengan menetapkan hari Kamis
4 Oktober langsung menjadi hari Jumat 15 Oktober. Ke dua, rata-rata satu tahun
ditetapkan 365,2425 hari. Caranya, tahun kabisat didefinisikan sebagai tahun
yang bilangannya habis dibagi empat, kecuali untuk tahun yang angkanya
kelipatan 100 harus habis dibagi 400. Dengan aturan tersebut tahun 1700, 1800,
dan 1900 bukan lagi dianggap sebagai tahun kabisat. Tahun 2000 adalah tahun
kabisat.
Sampai
hampir dua abad berikutnya wilayah keberlakuan kalender Masehi dengan kriteria
baru masih terbatas hanya di wilayah pengaruh Katolik. Inggris baru
menerapkannya pada 1752 dengan melakukan lompatan 2 September langsung menjadi
14 September 1752. Sempat terjadi kekacauan di masyarakat saat itu. Jadi,
jangan dikira kalender Masehi mulus-mulus saja dalam penerapannya. Ini
menunjukkan bahwa pada kalender Masehi pun perbedaan sempat terjadi dan
meresahkan masyarakat. Sebelum perubahan itu, hari Natal di Inggris dan di Roma
berbeda 11 hari. Ketika Roma merayakan Natal 25 Desember, di Inggris masih 14
Desember. Sampai awal abad 20 masih ada beberapa negara yang belum
menerapkannya, misalnya Rusia baru menerapkan pada 1923. Walau pun demikian,
syarat ketiga tentang batas keberlakuan kalender Masehi berhasil ditetapkan
dengan kesepakatan garis tanggal internasional pada Oktober 1884. (lihat
http://tdjamaluddin.wordpress.com/2010/08/17/perlukah-menggantikan-gmt-dengan-mecca-mean-time/).
(Peresmian jam raksasa Mekkah pada awal Ramadhan 1431 H, pada 11 Agustus 2010,
membangkitkan kembali keinginan sebagian ulama Islam, terutama di negara-negara
Arab, untuk menjadikan Mekkah sebagai pusat waktu. Beberapa argumentasi
diajukan, antara lain bahwa Mekkah dianggap sebagai Pusat Dunia, setidaknya
kalau dilihat dari distribusi sebaran benua. Sebenarnya proyek tersebut
cenderung bersifat ”mercusuar” dengan menjadikannya jam terbesar di dunia
dengan beberapa keunggulan lainnya. Tetapi tidak memuat konsep waktu yang
berbeda dari yang saat ini diterima secara internasional.
Benar
Mekkah sebagai tempat Ka’bah menjadi pusat perhatian Ummat Islam karena menjadi
kiblat saat shalat dan menjadi pusat ibadah haji. Tetapi, secara fisik
geografis tidak ada keistimewaan yang mendukung untuk menjadikannya sebagai
rujukan waktu atau sebagai meridian utama (Prime Meridian). Secara geografis,
kalau Mekkah menjadi meridian utama (garis bujur 0), maka garis tanggal
internasional pada garis bujur 180 derajat akan memotong Alaska dan terlalu
jauh kalau harus dibelokkan ke Selat Bering. Itu berdampak kurang bagus, karena
Kanada dan Alaska yang satu wilayah daratan terpaksa harus berbeda hari.
Misalnya, di Alaska Senin sedangkan di Kanada masih Ahad. Sehingga untuk
mewujudkannya jelas tidak mungkin akan mendapatkan persetujuan internasional.
Masalah waktu tidak mungkin diatur secara sepihak, perlu konvensi
internasional. Untuk memahaminya, kita harus melihat sejarah konvensi waktu
internasional yang merujuk pada waktu rata-rata Greenwich.
Greenwich
Mean Time (GMT, Waktu Rata-rata Greenwich) adalah rujukan waktu internasional
yang pada mulanya didasarkan pada waktu matahari di Greenwich yang kemudian
didasarkan pada jam atom. Sistem waktu yang mapan tersebut mempunyai sejarah
panjang yang didukung konvensi internasional dan kajian ilmiah untuk
penyempurnaannya. Sampai pertengahan abad 19, masing-masing negara menggunakan
sistem jam matahari sendiri dengan menggunakan meridian masing-masing. Meridian
adalah garis hubung utara-selatan yang melalui zenit yang dilintasi matahari
saat tengah hari. Untuk jaringan transportasi kereta api jarak jauh yang mulai
berkembang saat itu, pembuatan sistem waktu baku antarwilayah diperlukan. Tanpa
sistem waktu yang baku, jadwal kereta api bisa kacau ketika memasuki wilayah
yang menggunakan sistem waktu berbeda. Hal itu terutama dirasakan oleh jaringan
kereta api di Kanada dan Amerika Serikat.
Kebutuhan
sistem waktu baku tersebut yang mendorong Sir Sandford Fleming, seorang teknisi
dan perencana perjalanan kereta api Kanada mengusulkan waktu baku internasional
pada akhir 1870-an. Gagasan itu kemudian dimatangkan dalam Konferensi Meridian
Internasional di Washington DC pada Oktober 1884 yang dihadiri perwakilan 25
negara (Austria-Hungaria, Brazil, Chile, Kolombia, Costa Rica, Perancis,
Jerman, Inggris, Guatemala, Hawii, Italia, Jepang, Liberia, Meksiko, Belanda,
Paraguay, Rusia, San Domingo, Spanyol, Swedia, Swiss, Turki, Amerika Serikat,
Venezuela, dan Salvador).
Kesepakatan
pokok (konvensi) pada konferensi tersebut adalah sebagai berikut:
1.Bersepakat
menggunakan meridian dunia yang tunggal untuk menggantikan banyak meridian yang
telah ada.
2.Meridian
yang melalui teropong transit di Observatorium Greenwich ditetapkan sebagai
meridian nol.
3.Semua
garis bujur dihitung ke Timur dan ke Barat dari meridian tersebut sampai 180
derajat.
4.Semua
negara menerapkan hari universal.
5.Hari
universal adalah hari matahari rata-rata, mulai dari tengah malam di Greenwich
dan dihitung 24 jam
6.Hari
nautika dan astronomi di mana pun mulai dari tengah malam.
7.Semua
kajian teknis untuk mengatur dan menerapkan sistem desimal pembagian waktu dan
ruang akan dilakukan.
Butir
ke-2 tidak mendapat kesepakatan bulat. San Dominggo menentang. Perancis dan
Brazil abstain.
Saat
ini sistem waktu telah ditetapkan dengan 24 waktu baku, secara umum setiap
perbedaan 15 derajat garis bujur, waktunya berbeda 1 jam. Dalam pelaksanaannya,
waktu baku tersebut disesuaikan dengan batas wilayah agar tidak memecah waktu
di suatu wilayah. Pada 1928, dalam konferensi astronomi internasional,
berdasarkan kajian soal waktu, maka penamaan GMT diubah menjadi Universal Time
(UT). Rujukan waktunya tetap jam matahari, sehingga tergantung rotasi bumi yang
sebenarnya tidak konstan. Pada 1955 ditemukan jam atom Caesium yang lebih
stabil, sehingga selalu ada perbedaan dengan UT, walau dalam skala yang sangat
kecil dalam orde milisecond (seperseribu detik). Pada akhir 1960-an sampai awal
1970-an banyak dilakukan kajian soal waktu yang sinkron antara UT dan jam atom.
Saat ini UT bukan lagi murni didasarkan pada jam matahari, tetapi berdasarkan
jam atom yang disinkronkan dengan konsep jam matahari. Namanya menjadi UTC
(Universal Time, Coordinated), nama kompromi dari usulan dua bahasa: bahasa
Inggris “CUT” untuk “coordinated universal time” dan bahasa Perancis “TUC”
untuk “temps universel coordonné”.
Dari
sejarah panjang GMT tersebut, kita bisa faham bahwa konvensi waktu baku
internasional didasarkan pada kebutuhan untuk mensinkronkan jadwal aktivitas
manusia yang bersifat lintas negara. Apalagi saat ini, jadwal penerbangan
memerlukan pengaturan waktu yang sangat akurat. Sistem waktu GMT atau UTC yang
sudah mapan saat ini tidak mungkin lagi diubah, misalnya dengan MMT (Mecca Mean
Time). Tidak ada alasan fisis – teknis yang mendasarinya, selain ghirah (semangat)
keagamaan. Juga tidak ada alasan yang mendukung penyatuan waktu ibadah ummat
Islam, karena pada dasarnya waktu ibadah bersifat lokal dan sudah tercukupi
dengan menggunakan sistem waktu internasional yang telah ada.
Bayangkan,
kalender Masehi sampai 19 abad untuk mencapai kemapanan yang bersifat global.
Kalender Hijriyah yang baru menapak 14 abad wajar belum mencapai kemapanan
sehingga belum bisa dijadikan sistem kalender yang memberi kepastian untuk urusan
pemerintahan dan bisnis. Namun, upaya menuju kemapanan seperti itu terus
dilakukan. Jangan terlalu jauh dulu mencita-citakan kalender hijriyah global.
Mulailah dari yang sudah ada di depan mata kita, kalender hijriyah nasional.
Dari 3 prasyarat, sudah ada 2 prasyarat yang terpenuhi, yaitu adanya otoritas
tunggal (yaitu Pemerintah yang diwakili Menteri Agama) dan adanya batas wilayah
keberlakukan (yaitu wilayah hukum Indonesia). Tinggal selangkah lagi,
mengupayakan kesepakatan kriteria. (lihathttp://tdjamaluddin.wordpress.com/2010/08/10/menuju-kalender-islam-indonesia-pemersatu-ummat/).
(Kita bisa bersatu tanpa harus memperdebatkan metode rukyat (pengamatan) atau
hisab (perhitungan). Kita semua tentu menghendaki sistem kalender Hijriyah yang
mapan yang memberikan kepastian waktu Ibadah, sekaligus dapat digunakan dalam
administrasi negara dan transaksi bisnis, setara dengan kelender Masehi.
Sistem
kalender yang mapan mensyaratkan tiga hal:
1.Ada batasan wilayah keberlakukan (nasional atau
global).
2.Ada otoritas tunggal yang menetapkannya.
3.Ada kriteria yang disepakati
Saat
ini syarat pertama dan ke dua secara umum sudah tercapai. Batasan wilayah hukum
Indonesia telah disepakati oleh sebagian besar ummat Islam Indonesia, walau ada
sebagian yang menghendaki wilayah global. Pemerintah yang diwakili Menteri
Agama secara umum pun bisa diterima sebagai otoritas tunggal yang menetapkan
kalender Hijriyyah Indonesia dengan dilengkapi mekanisme sidang itsbat untuk
penetapan awal Ramadhan dan hari raya. Sayangnya, syarat ketiga belum tercapai.
Saat ini masing-masing ormas Islam masih mempunyai kriteria sendiri, walau saat
ini mulai ada semangat untuk mencari titik temu.
Seandainya
kriteria yang saat ini berlaku (wujudul hilal dan ketinggian minmal 2 derajat)
tetap menjadi acuan Ormas-ormas Islam, maka potensi perbedaan akan terus
terjadi pada tahun-tahun mendatang:
1.Idul
Adha 1431/2010 berpotensi terjadi perbedaan karena tinggi bulan hanya sekitar
1,7˚.
2.Idul
Fitri 1432/2011 berpotensi terjadi perbedaan karena tinggi bulan hanya sekitar
2˚ atau kurang.
3.Awal
Ramadhan 1433/2012 dan 1434/2013 berpotensi terjadi perbedaan karena tinggi
bulan hanya sekitar 2˚ dan 0,7˚.
4.Awal
Ramadhan dan Idul Adha 1435/2014 berpotensi terjadi perbedaan karena tinggi bulan
hanya sekitar 0,8˚.
Sekarang
saatnya kita semua terbuka dan berupaya mewujudkan kalender Islam yang mapan
dan mempersatukan ummat. Kriteria Hisab Rukyat Indonesia baru perlu diusulkan
berdasarkan data rukyat Indonesia yang didukung oleh kriteria astronomi
internasional dengan berdasarkan pertimbangan faktor pengganggu utama yaitu
kontras cahaya di sekitar matahari dan cahaya senja di atas ufuk. Kriteria baru
yang diusulkan dan cukup sederhana adalah sebagai berikut:
Jarak
bulan-matahari > 6,4˚ dan beda tinggi bulan-matahari > 4˚ (Rincinya,
lihat
http://tdjamaluddin.wordpress.com/2010/08/02/analisis-visibilitas-hilal-untuk-usulan-kriteria-tunggal-di-indonesia/
) Dengan ketentuan:
1.Seandainya
ada kesaksian rukyat yang meragukan, di bawah kritria tersebut, maka kesaksian
tersebut harus ditolak.
2.Bila
ada kesaksian rukyat yang meyakinkan (lebih dari satu tempat dan tidak ada
objek yang menggangu atau ada rekaman citranya), maka kesaksian harus diterima
dan menjadi bahan untuk mengoreksi kriteria hisab rukyat yang baru.
3.Bila
tidak ada kesaksian rukyatul hilal karena mendung, padahal bulan telah memenuhi
kriteria, maka data tersebut dapat dijadikan dasar pengambilan keputusan,
karena kriteria hisab rukyat telah didasarkan pada data rukyat terdahulu (berarti
tidak mengabaikan rukyat).
Kalau
kita berhasil mencapai kesepakatan kriteria hisab rukyat nasional, maka kita
akan mempunyai kalender hijriyah yang memberikan kepastian. ”Kepastian” adalah
kunci menjadikan sistem kalender terpakai dalam urusan yang lebih luas, bukan
hanya ibadah. Dokumen resmi kenegaraan dan transaksi bisnis pun dapat dilakukan
dengan sistem kalender itu. Kalender Hijriyah akan setara dengan kalender
Masehi dalam memberikan kepastian.
Mari kita perluas mimpi kita. Kalau
kita berhasil menjadikan kalender Hijriyah mapan di Indonesia dengan 3
prasyarat terpenuhi, sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, kita
bisa menjadikannya sebagai prototipe sistem kalender Hijriyah global yang
mapan. Insya-allah, kita dapat menyepakati kriteria yang bersifat global yang
ditetapkan oleh suatu otoritas kolektif negara-negara Islam. Batas wilayahnya
bukanlah batas wilayah tetap (seperti Garis Tanggal Internasional), tetapi
batas wilayah yang dinamis sesuai dengan kemungkinan terlihatnya hilal. Itu
mudah ditetapkan berdasarkan kriteria yang disepakati. Saya kira sebelum
melewati tahun 1500 H kalender Hijriyah global yang mapan bisa kita wujudkan.
Insya-allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar