PERMASALAHAN ARAH
KIBLAT: ANTARA KHILAFIAH DAN SAINS[1]
Abstrak
Dalam penentuan arah kiblat di tengah-tengah
masyarakat, ditemukan banyak metode yang digunakan. Mulai dari metode yang
masih tradisional dan sederhana sampai metode terbaru yang canggih. Metode-metode
itu antara lain: menggunakan alat bantu tongkat Istiwa, kompas, rashd
al-qiblah global, rashd al-qiblah lokal, theodolit, mengacu secara kasar pada arah kiblat
masjid yang sudah ada, ditentukan oleh
seseorang yang ditokohkan dalam masyarakat, arah kiblat adalah barat,
dan disejajarkan
dengan jalan di dekatnya. Makalah ini akan memberikan penjelasan tentang pandangan Syar’i menyikapi perbedaan tersebut.
Pendahuluan
Bahasan utama
dalam kajian ilmu Falak adalah penentuan awal waktu salat, arah kiblat,
kalender, awal bulan Kamariah, dan gerhana.
Dengan demikian pokok bahasan ilmu Falak terkait
dengan persoalan ibadah. Sebagai bagian dari kegiatan ibadah, ilmu Falak
diprediksi masuk ke Indonesia beriringan dengan masuknya agama Islam ke
Indonesia.
Ilmu Falak Sebagai
sebuah sains yang dikembangkan oleh umat Islam mengalami perkembangan sesuai
dengan perkembangan sains. Dalam sains kebenaran suatu teori itu bersifat
relatif. Sebuah teori itu dianggap benar sampai datang teori baru yang
meruntuhkannya. Sehingga teori yang lama tadi digantikan dengan teori yang
baru. Teori yang baru inipun akan bertahan sampai datang teori yang dapat meruntuhkannya
dan seterusnya. Begitulah perkembangan sains.
Dalam
penentuan arah kiblat, pada masa awal Islam; dinyatakan sejak zaman Nabi dan
para sahabat dikembangkan teori penentuan arah kiblat menggunakan benda langit
sebagai pedoman. Ketika Nabi berada di Madinah, beliau berijtihad salat
menghadap ke selatan. Posisi Madinah yang berada di utara Mekah menjadikan
posisi arah ke Ka’bah menghadap ke selatan. Nabi menyatakan bahwa antara timur
dan barat adalah kiblat.[2] Dalam perkembangannya, pada abad pertengahan
penentuan arah kiblat menggunakan bintang Conopus (Najm Suhail) yang kebanyakan
terbit di bagian belahan bumi selatan, sedang di tempat lain menggunakan arah
terbit matahari pada solstice musim panas (Inqilab asy- Syaity).[3]
Secara
historis cara penentuan arah kiblat di Indonesia berkembang sesuai dengan
kualitas dan kapasitas intelektual di kalangan kaum muslimin. Perkembangan
penentuan arah kiblat ini dapat dilihat dari perubahan besar di masa Muhammad
Arsyad al-Banjārī dan Kyai Ahmad Dahlan
atau dapat dilihat pula dari alat-alat yang digunakan untuk mengukurnya,
seperti miqyas; tongkat Istiwa, Rubu’ Mujayyab, kompas, dan theodolit. Selain itu
sistem perhitungan yang digunakan juga mengalami perkembangan.[4]
Penentuan Arah Kiblat
Kata
kiblat berasal dari bahasa Arab al-qiblah. Disebutkan sebanyak tujuh
kali dalam al-Qur’an.[5] Diambil dari kata qabala- yaqbulu yang
artinya arah, menghadap.[6] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan
sebagai arah ke Ka’bah di Mekah (pada waktu salat).
Dalam
ilmu Falak, kiblat adalah arah terdekat menuju ka’bah melalui great circle pada waktu mengerjakan ibadah salat. Ka’bah
atau Baitullah adalah sebuah bangunan suci yang merupakan pusat berbagai
peribadatan kaum muslimin yang terletak di kota Mekah. Ia berbentuk kubus yang
dalam bahasa arab disebut muka’ab. Dan dari kata itulah muncul sebutan
ka’bah. Masalah kiblat tiada lain adalah masalah arah, yakni arah
Ka’bah di Mekah. Arah Ka’bah ini ditentukan dari setiap titik atau tempat di
permukaan Bumi dengan melakukan perhitungan dan pengukuran. Oleh sebab itu,
perhitungan arah kiblat pada dasarnya adalah perhitungan yang dimaksudkan untuk
mengetahui ke arah mana Ka’bah di Mekah
itu dilihat dari suatu tempat di permukaan Bumi, sehingga semua gerakan
orang yang sedang melaksanakan salat, baik ketika berdiri, rukuk, maupun
sujudnya selalu berimpit dengan arah yang menuju Ka’bah. [7]
Pensyari’atan
Menghadap Kiblat dalam pelaksanaan
ibadah antara lain berdasarkan firman Allah dalam QS al-Baqarah/2: 149-150:
Dan dari mana saja kamu keluar (datang), maka
palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram, Sesungguhnya ketentuan itu
benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu. dan Allah sekali-kali tidak lengah dari
apa yang kamu kerjakan. Dan dari mana saja kamu (keluar), maka palingkanlah
wajahmu ke arah Masjidil Haram. dan di mana saja kamu (sekalian) berada, maka
palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu,
kecuali orang-orang yang zalim diantara mereka. Maka janganlah kamu takut
kepada mereka dan takutlah kepada-Ku (saja). dan agar Ku-sempurnakan nikmat-Ku
atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk.
Ishāq bin Mansyūr menceritakan kepada kita,
Abdullāh bin Umar menceritakan kepada kita, Ubaidullāh menceritakan dari Sa’īd
bin Abī Sa’īd al-Maqbūrī. Dari Abū Hurairah r.a berkata Rasulullah saw.
bersabda : “Bila kamu hendak salat maka sempurnakanlah wudu lalu menghadap
kiblat kemudian bertakbirlah “ (HR.
Bukhārī).[8]
Naş-naş tersebut dijadikan landasan pensyari’atan
kewajiban menghadap kiblat dalam pelaksanaan ibadah. Fuqaha kemudian menyatakan
bahwa menghadap kiblat merupakan syarat sah dalam pelaksanaan salat lima waktu.
Dengan lain perkataan jika seseorang salat tidak menghadap kiblat, maka salat
yang dilaksanakannya tidak sah.
Menghadap
kiblat adalah salah satu syarat sah salat. Bagi mereka yang melihat masjidil
haram, para ulama sepakat menyatakan wajib menghadapnya dalam salat. Namun jika
tidak melihatnya, para ulama berbeda pendapat:
1.
Wajib
menghadap ‘ain atau jihah Ka’bah
2.
Wajib
menghadap secara pasti (isabah) atau berdasarkan ijtihad. Menghadap ke
Ka’bah secara pasti hanya dimungkinkan dengan (pengukuran yang akurat secara
presisi untuk hasil perhitungan) sedekat mungkin dan toleransi berdasarkan ilmu
ukur dan menggunakan ilmu Falak.[9]
Menghadap
kiblat itu harus bersifat presisi ataukah bersifat ijtihādiah. Jika
harus presisi maka jika arah kiblatnya salah, maka wajib salatnya diulangi tapi
jika bersifat ijtihādiah maka tidak wajib diulang. Asy-Syafi’i
berpendapat harus presisi. Sedang Abu Hanifah dan Malik menyatakan tidak
diulang atas kesalahan yang tidak disengaja, atau tanpa berijtihad terlebih
dahulu. Malik mengatakan disunnahkan untuk mengulaginya.[10]
Amir ibn
Rabī’ah berkata, kami beserta Rasulullah saw pada malam yang gelap dalam suatu
perjalanan. Maka tiap-tiap anggota rombongan salat menghadap ke arah (yang
berbeda-beda). Setelah pagi hari, kami menyadari bahwa telah salat bukan
menghadap kiblat yag seharusnya. Lalu kami menanyakannya kepada Rasullah. Rasul
bersabda telah berlalu salat kamu sekalian (diterima). Dan turunlah ayat “wa
lillāhi al-masyriq wa al-magrib”. Menurut jumhur ayat ini dimansukh oleh
ayat ”wa min haysu kharajta fawalli wajhaka syatra al-masjid al-Harām”.[11]
Kiblat
pertama kaum muslimin adalah ke arah Baitul Maqdis. Pada masa-masa awal hijrah
ke Madinahpun nabi masih berkiblat ke Baitul Maqdis, di Palestina. Rangkaian
QS. Al-Baqarah/2: 144 dikuatkan oleh riwayat Bukhārī yang berasal dari
al-Barrā’ ibn ‘Āzib yang mengatakan bahwa setelah Rasulullah berhijrah ke
Madinah, ia salat menghadap ke Baitul Maqdis selama enam belas atau tujuh belas
bulan lamanya. Padahal beliau menginginkan untuk menghadap ke ka’bah. Itulah
peristiwa yang melatarbelakangi ayat di atas.[12] Demikianlah, bahwa pada awal pensyariatan
ibadah salat lima waktu dengan menghadap kiblat ke Baitul Maqdis. Setelah enam
belas atau tujuh belas bulan berlangsung turunlah perintah Allah untuk
mengganti arah kiblat ke Ka’bah di Masjidil Haram.
Walaupun
pada awal pensyariatan ibadah salat lima waktu dengan menghadap kiblat
menghadap ke Baitul Maqdis, dalam hatinya Nabi menginginkan untuk berkiblat ke
Ka’bah. Setelah enam belas atau tujuh belas bulan nabi berada di Madinah di
tengah-tengah orang Yahudi dan Nasrani beliau disuruh oleh Tuhan untuk
mengambil ka'bah menjadi kiblat, terutama sekali untuk memberi pengertian bahwa
dalam ibadat salat itu bukanlah arah Baitul Maqdis dan ka'bah itu menjadi
tujuan, tetapi menghadapkan diri kepada Tuhan. Hal ini untuk persatuan umat
Islam, Allah menjadikan ka'bah sebagai kiblat. Hal ini diceritakan Allah dalam
firman-Nya (QS. Al-Baqarah/2: 144).
Bagi
orang-orang Yahudi menjadikannya sebagai bahan ejekan; dan selalu berkata ”Kalian
Muslimin tidak memiliki agama yang tetap, oleh sebab itu kalian berdiri
menghadap kiblat kami”. Dengan perintah Allah kiblat tersebut diubah dari
Baitul Maqdis ke Mekah. Setelah itu, orang-orang Yahudi mengajukan kritikan
lain, yaitu bahwa jika kiblat yang pertama benar, maka kenapa kalian
mengubahnya; dan jika kiblat kedua yang benar, maka salat kalian selama
menghadap kiblat pertama, adalah sia-sia. Hal ini diceritakan Allah dalam ayat
sebelumnya(QS. Al-Baqarah/2: 142).
Allah
lalu menjawab pernyataan mereka bahwa Kepunyaan Allah-lah timur dan barat.
Tidak satu pun yang berhak mengklaim memiliki arah kiblat tertentu. Di samping
itu pemindahan arah kiblat ini untuk
mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang
membelot atau kembali kepada kekufuran; kembali pada ajaran agama mereka
sebelumnya. Pemindahan kiblat itu terasa
amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah;
dengan demikian sebagai ujian keimanan bagi mereka dari Allah (QS.
Al-Baqarah/2: 142-143 dan 145).
Hikmah yang bisa kita petik dari pemindahan arah kiblat
ini. Namun juga secara geografis, andai kiblat tetap di Majidil Aqsha (Baitul
Maqdis) di Palestina; saat ini kita akan kesulitan menentukan arah kiblat. Masjidil
Aqsha berada di lokasi dengan koordinat LU sebesar 31°46′ 40.93″. Garis ini
jelas tidak dilalui matahari saat yaum Raşd al-Qiblah, sebab deklinasi
yang paling besar matahari hanya akan melewati pada garis lintang utara tanggal
21 Juni 23,5° LU. Sehingga
tidak memungkinkan kita untuk menentukan arah kiblat dengan melihat bayangan
matahari ketika berpedoman pada masjidil Aqsha.
Ka’bah
terletak di tengah Masjidil Haram di Mekah; berada di garis koordinat 21°25′
Lintang Utara. Garis ini di bawah 23,5° LU batas matahari melakukan mihādā-nya.
Jadi setiap yaum Raşd al-Qiblah; hari
di mana mata hari berada di atas kota Mekah; maka setiap bayangan benda pada
saat itu persis menghadap ke kota Mekah. Kita dapat melakukan penentuan arah
kiblat dengan bantuan; berpedoman pada bayang-bayang tersebut. Karena pada saat
itu matahari tepat berada di atas Ka’bah sehingga bayang-bayang benda pada saat
yang ditentukan tersebut persis mengarah kota Mekah; arah bayang-bayang
tersebutlah kiblat. Di antara hikmah yang dapat kita petik dari pemindahan arah
kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka’bah adalah terdapatnya waktu-waktu yang disebut
dengan yaum Raşd al-Qiblah. Alangkah
bijaksana jika kita dapat memanfaatkan kehadirannya dengan semaksimal mungkin.
Yakni dengan melakukan pengecekan arah kiblat masjid di tempat kita
masing-masing.
Sejarah Penentuan Arah Kiblat Di Indonesia
Menurut Slamet
Hambali bahwa metode pengukuran arah kiblat yang berkembang di Indonesia selama
ini ada lima macam, yakni menggunakan alat bantu tongkat Istiwa, kompas, rashd
al-qiblah global, rashd al-qiblah local, dan theodolit.[13]
Metode
penentuan arah kiblat pada priode awal adalah menggunakan miqyas atau tongkat
Istiwa. Penentuan arah kiblat menggunakan metode ini memanfaatkan bayangan matahari sebelum dan setelah zawal
atas tongkat Istiwa untuk menentukan arah Barat dan Timur sejati; dengan
berpedoman pada bayangan dari ujung tongkat yang jatuh pada lingkaran yang
titik pusatnya adalah tongkat Istiwa tadi. Setelah ditentukan arah Barat dan
Timur sejati untuk menentukan arah kiblat digunakanlah Rubu’ Mujayyab sebagai
alat bantu untuk mengukur koordinat arah kiblat.
Selain menggunakan
miqyas atau tongkat Istiwa, bayangan matahari juga dapat dimanfaatkan dalam
penentuan arah kiblat dengan metode rashd al-qiblah global dan rashd
al-qiblah local. Rashd al-qiblah global yakni matahari berada di atas kota Mekah.[14] Sehingga bayangan yang terbentuk pada saat itu
mengarah ke kota Mekah; kota di mana tempat berdirinya Masjidil Haram yang di
dalamnya terdapat bangunan Ka’bah. Kondisi ini dimanfaatkan untuk mengukur atau
mengecek arah kiblat masjid bagi
daerah-daerah yang sama-sama mengalami siang hari bersamaan dengan kota Mekah
dengan menyesuaikan waktu Mekah dengan waktu daerah atau kota tersebut. Rashd al-qiblah global itu terjadi dua kali setiap tahunnya, yakni
saat matahari naik ke utara dan pada saat turun menuju selatan. Peristiwa itu
terjadi pada tanggal 28 Mei pada jam 12:18 waktu Mekah (pukul 16: 18) dan tanggal 16 Juli pada jam 12:27 waktu Mekah
(pukul 16: 27 WIB) bagi daerah-daerah di Indonesia bagian barat. Pelaksanaan Raşd al-Qiblah global
pada tahun-tahun Kabisat,[15]
ditambahkan satu hari. Sehingga dapat dinyatakan bahwa Raşd al-Qiblah global
itu menjadi tanggal 29 Mei dan
17 Juli.
Adapun rashd
al-qiblah local merupakan metode penentuan arah kiblat memanfaatkan posisi
harian matahari ketika melintas atau melewati kota Mekah. Hal ini dapat
dilakukan dengan melakukan perhitungan tertentu. Pada saat itu bayangan
matahari menuju ke kota Mekah atau kebalikannya. Kondisi ini dapat dijadikan
pedoman dalam penentuan ataupun pengecekan arah kiblat masjid. Karena rashd
al-qiblah local ini memanfaatkan posisi harian matahari, maka dapat
dimanfaatkan setiap harinya.
Pada
perkembangan selanjutnya, sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi metode penentuan arah kiblatpun berkembang. Ketika mulai digunakannya
kompas di Indonesia dalam menentuan arah mata angin, selanjutnya juga digunakan
dalam pengukuran arah kiblat. Berikutnya digunakanlah theodolit. Theodolit
biasanya digunakan sebagai alat untuk pemetaan. Namun juga dapat dimanfaatkan
untuk penentuan arah kiblat.
Perhitungan arah kiblat yang dikembangkan oleh Kementerian Agama RI menggunakan
perhitungan spherical trigonometri. Rumus yang digunakan bukan trigonometri
(segitiga) biasa yang dialikasikan untuk perhitungan pada bidang datar tapi
spherical trigonometri yang dalam perhitungannya berasumsi bahwa bumi
itu bulat seperti bola.
Kesalahan Dalam Pengukuran Arah Kiblat
Beberapa
faktor diduga kuat menjadi penyebab kesalahan dalam penentuan arah kiblat
masjid di masyarakat, antara lain:
1.
Arah kiblat masjid
ditentukan sekadar perkiraan dengan mengacu secara kasar pada arah
kiblat masjid yang sudah ada. Pada hal masjid yang dijadikan acuan belum tentu presisi
arah kiblatnya. Apabila
membangun sebuah masjid baru, arah kiblatnya hanya mengikuti masjid yang
berdekatan yang telah lebih dahulu dibangun. Ketika masjid yang dijadikan acuan
itu arah kiblatnya tidak presisi, maka akan kelirulah arah kiblat masjid-masjid
yang dibangun mengacu kepadanya.
2.
Sebagian masjid arah kiblatnya ditentukan menggunakan
alat yang kurang atau tidak akurat.
a.
Menggunakan silet, Biasanya menggunakan silet yang
baru yang ditaruh di atas air yang terdapat di dalam baskom. Arah yang
ditunjukkan oleh silet tersebut, yakni kutub utara dan selatan yang dijadikan
acuan penentuan arah kiblat. Padahal arah yang ditunjukkan silet tersebut bukan
arah kutub utara dan selatan bumi tapi arah kutub utara dan selatan magnet.
b.
Penggunaan kompas yang tingkat akurasinya rendah. Perlu
diperhatikan bahwa di pasaran banyak beredar berbagai macam merek kompas, kita
perlu terlebih dahulu mengecek tingkat akurasinya terlebih dahulu.
c.
Menggunakan kompas tanpa melakukan pengecekan atau
mengoreksi deklinasi magnetiknya. Informasi tentang besaran koreksian/deklinasi
magnetik ini dapat diperoleh dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
(BMKG).
d.
Menurut Muhammad Teguh Sobri sebagian masyarakat
menggunakan kompas yang terdapat pada sajadah yang biasanya dibawa sebagai
oleh-oleh dari tanah suci ketika melaksanakan ibadah haji.[16] Padahal kompas
tersebut tidaklah akurat dan fungsinya
hanya acesoris saja.
3.
Terkadang dalam penentuan arah kiblat masjid atau musala
ditentukan oleh seseorang yang ditokohkan dalam masyarakat tersebut. Pada hal
belum tentu sang tokoh tersebut mampu melakukan penentuan arah kiblat secara
benar dan akurat.[17] Sehingga
boleh jadi yang bersangkutan menetapkannya dengan mengira-ngira saja yang
mungkin melenceng dari yang seharusnya.[18]
Ketika dalam penentuan arah kiblat itu tidak dilakukan perhitungan dan
pengukuran secara akurat maka akan diperoleh hasil yang tidak presisi.
4.
Sebelum pembangunan arah kiblat masjid telah diukur
secara benar oleh ahlinya. Tapi dalam tahap pembangunannya terjadi
pergeseran-pergeseran oleh tukang yang mengerjakannya
tanpa dilakukan pemantauan lebih lanjut. Kesalahan ini tentulah akan menghasilkan arah kiblat yang
tidak presisi bahkan mungkin melenceng
secara signifikan.
5.
Pendapat yang menyatakan bahwa arah kiblat adalah barat.
Sehingga ketika pengukuran arah kiblat masjid hanya mengarahkannya ke barat.
Masyarakat suku Jawa adalah masyarakat yang punya tradisi pemahaman yang baik
tentang arah mata angin. Namun terdapat sedikit kekeliruan pemahaman mereka
tentang arah kiblat, umumnya mereka memahami arah kiblat adalah barat. Biasanya
seseorang yang akan salat dan tidak tahu arah bertanya kepada temannya,
di mana arah barat; bukan di mana arah Kiblat. Ketika bertanya apakah seseorang
itu telah mengerjakan salat, biasanya dengan bertanya “Kamu sudah madep ngulon
(menghadap ke barat) apa belum?”, maksudnya sudah salat apa belum.[19]
Keakraban orang Jawa terhadap mata angin, misalnya bisa dilihat di
primbon-primbon. Di sana ada pantangan mengambil menantu perempuan yang arah
rumahnya di arah tenggara , Kalau ada yang mencuri pada malam x, maka
mengejarnya sebaiknya ke arah y, arah sial bagi si pencuri, dst.[20]
Tindakan dan keyakinan ini seperti yang diilustrasikan dalam ayat- ayat
berikut:
Apabila
dikatakan kepada mereka: "Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan
mengikuti Rasul". mereka menjawab: "Cukuplah untuk kami apa yang kami
dapati bapak-bapak kami mengerjakannya". dan apakah mereka itu akan
mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui
apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?.QS. al-Maidah/5: 104
Dan apabila
dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang diturunkan Allah". mereka
menjawab: "(Tidak), tapi kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapati
bapak-bapak kami mengerjakannya". dan apakah mereka (akan mengikuti
bapak-bapak mereka) walaupun syaitan itu menyeru mereka ke dalam siksa api yang
menyala-nyala (neraka)? QS Luqman/31: 21
6.
Bahkan ada juga masjid yang dibangun lebih
mempertimbangkan nilai artistik dan keindahan alih-alih perhitungan dan
pengukuran arah kiblatnya yang presisi. Bangunan masjid disejajarkan dengan jalan raya yang
terdapat di dekatnya agar terlihat harmoni dan lebih tertata rapi walaupun
kadang-kadang mengabaikan arah kiblat yang seharusnya. Contohnya adalah masjid
al-Fairuz di Pekalongan. Masjid al-Fairuz adalah masjid yang sangat indah dan
megah, namun arah kiblatnya pada pembangunan awalnya tidak presisi karena hanya
mempertimbangkan estetika penyejajaran bangunan masjid dengan badan jalan pantura
yang berada di dekatnya.[21]
Itulah
beberapa faktor yang berpotensi menyebabkan arah kiblat suatu masjid tidak
tepat atau tidak presisi. Dari penjelasan di atas dapat digarisbawahi bahwa
faktor yang menyebabkan arah kiblat masjid itu melenceng adalah faktor tidak
diukur secara benar sebelum atau dalam proses pembangunannya.
Pengoreksian Arah Kiblat
Dalam ilmu Falak dan Astronomi bahwa kesalahan yang tidak
signifikan dalam penentuan arah kiblat masih bisa ditolerir mengingat kita
sendiri tidak mungkin menjaga sikap tubuh kita benar-benar selalu tepat lurus ke
arah kiblat. Arah
kiblat jamaah salat tidak akan terlihat berbeda, bila perbedaan antar jamaah
hanya beberapa derajat. Sangat mungkin, dalam kondisi saf yang sangat rapat
(seperti sering terjadi di beberapa masjid), posisi
bahu kadang agak miring, bahu kanan di depan jamaah sebelah kanan, bahu kiri di
belakang jamaah sebelah kiri.[22] Jadi, perbedaan arah kiblat yang tidak terlalu
signifikan hendaknya tidak terlalu dipermasalahkan. Kiranya perbedaan kurang
dari 2 derajat masih dianggap tidak terlalu signifikan. Ibaratnya dua masjid berdampingan
yang panjangnya 10 meter, perbedaan di ujungnya sekitar 35 cm. Jamaah di kedua
masjid akan tampak tidak berbeda arahnya.[23] Namun jika berdasarkan hasil perhitungan ulang
atau koreksian arah kiblat suatu masjid itu melenceng secara signifikan, maka
harus dilakukan koreksian.
Gambar 2 Koreksi Saf [24]
Tabel 1 Besaran Koreksi Saf [25]
|
Arah kiblat masjid yang
melenceng dari arah yang sebenarnya secara signifikan, berarti orang yang salat
tersebut tidak lagi menghadap ke Ka’bah di masjidil Haram, kota Mekah, atau
bahkan Saudi Arabia. Jika melenceng secara signifikan ke arah selatan, maka diperkirakan arah yang dituju adalah
salah satu negara di Afrika Tengah. Jika terlalu ke utara maka mengarah ke
salah satu negara di benua Eropa. Jika dalam pengecekan arah kiblat, ditemukan masjid yang kurang tepat arah
kiblatnya dengan kemelencengan yang cukup besar tentulah hal ini perlu
dikoreksi atau dibetulkan. Dalam melakukan
pembetulan arah kiblat ini perlu adanya satu kata antara pengurus (takmir)
masjid dan seluruh jamaah. Jangan sampai pembetulan arah kiblat ini justru
menimbulkan permasalahan baru, yang mungkin saja dapat menimbulkan
friksi-friksi di tengah-tengah jamaah yang tentu saja hal ini tidak kita
inginkan bersama.
Pembetulan arah kiblat ini bukan
berarti merombak masjid atau musala, atau mungkin menghancurkan mihrabnya. Tapi
yang dimaksud di sisi adalah membuat garis saf yang baru. Saf baru yang sesuai
dengan perhitungan arah kiblat yang benar. Konsekuensinya saf yang baru mungkin
tidak simetris lagi dengan mihrab atau tidak sejajar lagi dalam dindingnya.
Dalam melakukan pembetulan arah kiblat ini perlu adanya
satu kata antara pengurus (takmir) masjid dan seluruh jamaah. Pembetulan arah kiblat ini bukan berarti
merombak masjid atau musala, atau mungkin menghancurkan mihrabnya. Tapi yang
dimaksud di sini adalah membuat garis saf yang baru. Saf baru yang sesuai
dengan perhitungan arah kiblat yang benar. Konsekuensinya saf yang baru mungkin
tidak semitris lagi dengan mihrab atau tidak sejajar lagi dalam dindingnya.
Masalah
yang penting selanjutnya sebelum kita melakukan pengoreksian arah kiblat masjid
adalah sosialisasi. Jangan sampai
pembetulan arah kiblat ini justru menimbulkan permasalahan baru, yang mungkin
saja dapat menimbulkan friksi-friksi di tengah-tengah jamaah yang tentu saja
hal ini tidak kita inginkan bersama. Ibarat mengambil rambut dalam tepung.
Rambutnya dapat dikeluarkan dan tepungnya tidak tumpah. Penting kiranya
dilakukan pendekatan persuasif dan pemberian pemahaman tentang permasalahan ini
secara komprehensif sebelum melangkah lebih lanjut.
Tantangannya, bagaimana melakukan pengukuran dengan
benar di lapangan, menyampaikan hasil-hasilnya kepada masyarakat dan sekaligus
mengedukasi publik agar tidak terjadi situasi di mana ada pihak yang merasa
tersakiti, yang terjadi semata-mata hanya karena ketidakpahaman atas duduk
perkara yang sebenarnya. Kementerian Agama bersama Majelis Ulama Indonesia
(MUI), Badan Hisab Rukyah (BHR), Badan Hisab Rukyah
Daerah (BHRD), dan kelompok-kelompok peminat hisab rukyat bisa melakukan
sosialisasi penyempurnaan arah kiblat tersebut.
Dalam sejarah ilmu Falak di Indonesia, Syekh Muhammad
Arsyad al-Banjārī (1772 M) [26]
dan Kyai Ahmad Dahlan (1897 M) [27]
telah menorehkan tinta emasnya. Keduanya berjasa besar bagi aktualisasi ilmu
Falak di Indonesia terutama dalam permasalahan penentuan arah kiblat. Di masa
hidupnya, mereka mengupayakan pengoreksian arah kiblat masjid yang melenceng
dari arah yang presisi. Peristiwa tersebut telah lama berlalu namun akan terus
dikenang. Kiranya fatwa yang dikeluarkan MUI tentang kiblat di atas dianggap
meremehkan perjuangan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjārī dan Kyai Ahmad Dahlan
yang meluruskan arah kiblat saat iptek belum semaju sekarang.
Catatan Akhir
Selanjutnya
akan dianalisa permasalahan penentuan
arah kiblat sebagai mana dipaparkan berikut:
1.
Rumus perhitungan arah kiblat yang digunakan Kemenag
adalah rumus spherical trigonometri atau segitiga bola; dengan asumsi bahwa bumi kita buat
seperti bola. Sedangkan kenyataannya, bumi itu berbentuk elipsoid. Elipsoid
adalah asumsi bahwa bumi tidak bulat bola secara eksak tapi pepat pada bagian
tengahnya. Sehingga apabila tidak dilakukan koreksi dari koordinat geografik ke
geosentrik maka akan terjadi kesalahan hasil perhitungan yang dilakukan
meskipun hanya beberapa menit busur.[28]
2.
Metode penentuan arah
kiblat di Indonesia sebagai berikut: menggunakan
alat bantu tongkat Istiwa, kompas, rashd al-qiblah global, rashd
al-qiblah lokal, dan theodolit.
Tabel 2 Akurasi Metode Penentuan Arah Kiblat
No
|
Metode
|
Akurasi
|
1
|
Tongkat Istiwa
|
Akurat untuk penentuan
arah barat dan timur sejati. Ketika digunakan untuk penentuan arah kiblat
tentu harus dibantu oleh Rubu’ Mujayyab atau Kompas.
|
2
|
Kompas
|
Gunakan Kompas yang
memiliki akurasi tinggi, jauhkan dari logam karena dapat mempengaruhi medan
magnet kompas, dan koreksi deklinasi magnetiknya, maka hasilnya akurat.
|
3
|
Rashd
al-qiblah
global
|
Akurat
|
4
|
Rashd
al-qiblah
lokal
|
Akurat. Sebaiknya
gunakan waktu rashd al-qiblah lokal pagi atau sore hari (tidak pada
waktu matahari dekat meridian langit karena pada saat itu pergerakan matahari
”lebih cepat”. Kondisi ini rentan untuk menentuan arah kiblat).
|
5
|
Theodolit
|
Akurat
|
Dengan demikian kelima metode tersebut masih bisa
digunakan dalam penentuan arah kiblat. Penggunaan beberapa metode sekaligus
dapat juga untuk saling mengoreksi untuk memperoleh hasil arah kiblat yang presisi.
3.
Kasus di
beberapa tempat, terdapat riak-riak kecil dalam pengoreksian arah kiblat.
Misalnya pengoreksian arah kiblat di daerah penulis kota Bandar Lampung.
Terdapat ketegangan antara pengurus masjid dengan jamaah pasca pengecekan ulang
dan pengoreksisn arah kiblat masjid, seperti yang terjadi di daerah komplek
polri Rajabasa dan di daerah jalan Pulau Damar Sukarame. Pada kedua masjid
tersebut setelah arah kiblat masjid dicek oleh pihak dari BHR propinsi Lampung,
ternyata arah kiblatnya melenceng dengan kemelencengan yang cukup signifikan
sehingga perlu dikoreksi sesuai dengan arah kiblat yang presisi. Tetapi
kemudian terjadi tarik ulur antara pengurus masjid dengan jamaah terhadap arah
kiblat pasca koreksi. Kasusnya mirip, pada kedua masjid tersebut pengurus
masjid bersitegang untuk mengembalikan arah saf ke formasi yang lama (arah
kiblat lama yang tidak presisi; arah sebelum dilakukan koreksi). Tentu saja hal
ini memicu ketegangan di antara kedua belah pihak.
Alasan pengurus masjid
untuk mengembalikan arah saf ke arah sebelum dilakukan koreksipun beragam.
Mulai dari dalil al-Qur’an yang menyatakan bahwa boleh mengadap ke arah mana saja
dalam salat karena semua arah tersebut adalah kepunyaan Allah seperti yang
terdapat dalam Q.S
al-Baqarah/2: 115. Sebagian yang lain menyatakan
bahwa cukuplah arah kiblat yang lama (sebelum dikoreksi) karena itulah hasil
perhitungan orang-orang tua para pendahulu; yang perlu dihormati; menolak
koreksi arah kiblat berdasarkan kaedah fiqhiyah al-Ijtihad la yanqudhu bi
al-Ijtihad.”
Selanjutnya
marilah kita lihat sejenak argumentasi mereka yang tidak mau melakukan koreksi
atas arah kiblat masjid yang melenceng dari yang seharusnya. Penjelasan firman
Allah:
Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu
menghadap di situlah wajah Allah. [29]
Sesungguhnya Allah Maha luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui. Q.S al-Baqarah/2: 115
Asbab an-nuzul
ayat tersebut dijelaskan bahwa sekelompok sahabat melakukan perjalanan pada
malam hari bersama Nabi dan ketika melaksanakan salat, mereka tidak dapat
menentukan arah kiblat yang seharusnya. Lalu pagi harinya mereka menanyakan hal
tersebut kepada Nabi. Peristiwa itulah yang melatarbelakangi turunnya ayat Q.S al-Baqarah/2: 115 sebagaimana
penuturan hadis berikut:
Dari Abdullah ibn Amir “Bahwa
kami pernah bepergian bersama Nabi pada malam yang gelap sehingga kami tidak
mengetahui kemana arah kiblat. Kemudian kami salat menurut keyakinannya.
Setelah pagi hari kami menuturkan hal demikian itu kepada Nabi, lalu turun ayat
‘Kemana saja kalian menghadap, di sanalah Zat Allah’.” (HR.
at-Tirmizi)
Jadi menghadap ke arah mana saja yang diyakini ketika kesulitan
menentukan arah kiblat adalah merupakan rukhshah atau keringanan dari
Allah. Ini bukanlah sesuatu yang tetap dan berlaku umum (‘azimah).
Sehingga salah kaprahlah jika ayat Q.S al-Baqarah/2: 115 ini dijadikan
landasan dalam berargumen untuk tidak mengoreksi arah kiblat masjid yang
diketahui arah kiblatnya menyimpang secara signifikan.
Melanjutkan
penjelasan ayat di atas, penggunaan kaedah fiqhiyah al-Ijtihad la yanqudhu bi al-Ijtihad dapat
dijelaskan dengan ilustrasi berikut: seseorang
yang hendak melaksanakan salat Zuhur namun ia tidak mengetahui arah kiblat dari
tempat ia berada tersebut. Lalu ia
berupaya dengan segenap kemampuannya (ijtihad) untuk mengetahui arah kiblat.
Sampailah ia pada salah satu arah yang diduga kuat (zhan) sebagai arah kiblat.
Lalu iapun melaksanakan salat. Ketika
masuknya waktu Asar, ternyata zhannya berubah. Arah yang semula diasumsikan
sebagai arah kiblat mulai diragukan. Dalam kondisi demikian, ia dituntut untuk
melakukan ijtihad lagi untuk memperoleh arah kiblat yang lebih diyakini. Jika
hasil ijtihad yang kedua ini berubah; berbeda dari sebelumnya, maka dalam
melaksanakan salat Asar, ia haruslah menghadap ke arah kiblat hasil ijtihad
yang kedua tersebut. Dan ia tidak boleh melaksanakan salat Asar dengan
menghadap arah kiblat sebagaimana pada waktu salat Zuhur (hasil ijtihad yang
pertama) karena telah dihasilkan arah yang lebih diyakininya dari sebelumnya
(hasil ijtihad yang kedua). Meski dalam hal ini terjadi perubahan arah kiblat
antara hasil ijtihadnya yang pertama dengan hasil ijtihadnya yang kedua, bukan
berarti salat Zuhur yang telah dilaksanakan sebelumnya menjadi batal atau tidak
sah. Tetapi salat Zuhur tersebut hukumnya sah karena telah berdasarkan hasil
ijtihad yang pertama. Namun untuk salat Asar, ia harus menghadap ke arah kiblat
yang dihasilkan oleh ijtihad yang kedua.[30]
Walaupun
hasil ijtihad pertama secara de facto
sudah tidak diberlakukan lagi karena telah ada hasil ijtihad kedua yang lebih
diyakini, namun secara de jure tetap diakui keabsahannya. Inilah yang dimaksud
dengan kaedah al-Ijtihad la yanqudhu bi al-ijtihad. Mungkin ada yang menyatakan kenapa hasil
ijtihad yang kedua tidak dapat merubah/ membatalkan hasil ijtihad yang pertama.
Padahal keduanya berbeda. Menurut Fuqaha alasan yang paling utama adalah karena
pembatalan ijtihad akan memicu ketidakpastian
hukum.[31] Jika setiap ijtihad bisa dianulir atau
dibatalkan, maka akan terciptalah stuasi dan kondisi tasalsul; mata rantai hukum yang tidak
berujung berpangkal. Hal ini tentunya akan berakibat kesulitan baik bagi para Fuqaha maupun masyarakat
sehingga tidak adanya kepastian hukum.
Berdasarkan hal ini para Fuqaha sepakat bahwa hukum ijtihad seorang
hakim tidak dapat dirubah dengan hasil ijtihad lain, walaupun pada hakikatnya
yang benar itu adalah tunggal.
Dalam
kehidupan sehari-hari, terkadang sesuatu
yang diasumsikan sebagai sebuah kebenaran ternyata tidak sesuai dengan realitas
yang sebenarnya. Kesalahan ini adakalanya karena sifat manusia yang
terburu-buru dalam memberikan penilaian terhadap sesuatu ataupun karena keterbatasan pengetahuannya. Dalam
kajian Fiqh, diskursus tentang
prasangka, praduga, persepsi, atau asumsi seorang muslim ini menempati posisi
yang cukup penting. Berdasarkan hal tersebut berbagai hukum diputuskan;
mendapat legitimasi secara Syari’at. Tetapi bukan berarti setiap zhan
(prasangka) itu bisa dijadikan landasan.
Zhan yang dapat dijadikan landasan sebagai dasar penetapan sebuah hukum adalah
jika sesuai dengan realitas. Zhan yang jelas-jelas salah; azh-Zhan al-Bayyin
Khatha-uh maka harus di kesampingkan la ‘Ibrah.[32]
4. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan sekarang, persoalan penentuan
arah kiblat yang presisi ataupun pengoreksian arah kiblat yang melenceng secara
signifikan bukanlah persoalan yang sulit ataupun berat untuk dilakukan. Banyak
metode yang dapat digunakan dalam penentuan arah kiblat; mulai dari yang
sederhana sampai berbasis teknologi tinggi. Juga terdapat banyak pihak yang
punya konsen untuk masalah ini. Pendapat yang menolak; tidak menyetujui penentuan
arah kiblat menggunakan metode yang presisi ataupun pengoreksian arah kiblat
yang melenceng secara signifikan, kontraproduktif dengan perkembangan ilmu Falak dan
astronomi.
Penutup
Penutup
Berdasarkan
uraian yang telah dipaparkan sebelumnya, pada bagian ini diuraikan bahwa dalam
penentuan arah kiblat masjid di tengah-tengah masyarakat terdapat perbedaan.
Perbedaan ini menurut penulis terkait dengan perkembangan kajian ilmu Falak di
Indonesia dan masalah keyakinan yang berkembang di tengah-tengah mereka. Dapat
dinyatakan bahwa penentuan arah kiblat tersebut tidak selalu beriringan dengan
atau dalam bahasa lain sesuai dengan perkembangan sains itu sendiri. Misalnya
sampai saat ini terdapat kalangan yang masih menggunakan metode yang telah lama
(tradisional).
Dalam
penentuan arah kiblat, kerap terjadi kesalahan karena kesalahan pengukuran
awal. Arah kiblat masjid yang melenceng dari arah yang
sebenarnya secara signifikan, berarti orang yang salat tersebut tidak lagi
menghadap ke Ka’bah di masjidil Haram, kota Mekah, atau bahkan Saudi Arabia. Jika dalam pengecekan arah kiblat,
ditemukan masjid yang kurang tepat arah kiblatnya dengan kemelencengan yang
cukup besar tentulah hal ini perlu dikoreksi atau dibetulkan, itu lebih utama karena
sesuai dengan tuntunan Syar’i dan akurat secara sains.
DAFTAR PUSTAKA
Azhari, Susiknan, 2001, Ilmu Falak Teori dan Praktek. Cet.1.
Yogyakarta: Lazuardi
Bukhārī, Abi Abdillah Muhammad bin Ismail Al-, tth, ,
Şahih al-Bukhārī, Juz I, Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmīyah
Hambali, Slamet, 2010, Metode Pengukuran Arah
Kiblat Dengan Segitiga Siku-Siku Dari Bayangan Matahari Setiap Saat
(Tesis), IAIN Wali Songo: Tidak diterbitkan
Haq, as-Suyuti dan kawan-kawan, Fomulasi
Nalar Fiqh: Telaah Kaidah Fiqh Konseptual, Buku Dua, Surabaya: Khlalista
Khafid, Penentuan Arah Kiblat, Makalah
Pelatihan Penentuan Arah Kiblat, Cibinong, 22 Februari 2009
_____________,
Ketelitian Penentuan Arah Kiblat, makalah yang dipresentasikan
pada matakuliah Hisab Kontemporer, pada tanggal 03 Juli 2010 di Program
Pascasarjana IAIN Wali Songo, Semarang
King, David A, 1993, Astronomy in The Serice of
Islam, USA: Variorum Reprint
Kurma
dan Zam-Zam di Masjid al-Fairuz, http://nasional.kompas.com/read/2011/07/18/10120572/Kurma.dan.Zam-zam.di.Masjid.Al.Fairuz
Ma’lūf,
al-, 1998, al-Munjid fī al-Lugah wa A’lam, Beirut: Dar al-Masyriq,
cet.ke-37
Manshur Alkaf, Salah
Kaprah “Mujur Ngalor” Dan “Madep Ngulon”, http://manshuralkaf.wordpress.com/2011/04/04/salah-kaprah-%E2%80%9Cmujur-ngalor%E2%80%9D-dan-%E2%80%9Cmadep-ngulon%E2%80%9D-2/
Munawir, Ahmad Warson, 1997, al-Munawir
Kamus Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progresif.
Sayyis,
as- Muhammad Alī, t.t, Tafsir Ayat al-Ahkam, Tt: Tp
Shihab, M Quraish, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Vol 6,
Jakarta: Lentera Hati, 2004
____________, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan
dan Keserasian Al-Qur’an Vol
9, Jakarta: Lentera Hati, 2004
Suyuti, as-, Jalal
al-Din Abd ar-rahman ibn Abu Bakr, al-Asybah
wa an-Nazair, Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1998
T Djamaluddin, Penyempurnaan Arah Kiblat
dari Bayangan Matahari, Makalah Perkuliahan Astronomi, 26 Mei 2009
Tim Majelis
Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2009, Pedoman Hisab
Muhammadiyah, Yogyakarta: Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat
Muhammadiyah, cet.ke-2
Wawancara dengan
Muhammad
Teguh Sobri, pada tanggal di Palembang tanggal 11 Maret
2012.
[1] Jayusman,
Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung, http:
//jayusmanfalak.blogspot.com dan email: jayusman_falak@yahoo.co.id
[2] David A King, Astronomy in The Serice
of Islam, USA: Variorum Reprint King, 1993, h. 253
[3]Ibid, h.
254
[4] Susiknan Azhari, Ilmu Falak Teori dan Praktek. Cet.1.
Yogyakarta: Lazuardi, 2001, h. 54 dan Tim Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan
Pusat Muhammadiyah, Pedoman Hisab Muhammadiyah, Yogyakarta: Majelis
Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, cet.ke-2, 2009, h. 31-32
[5]Kata
Kiblat dalam al-Qur’an diartikan: (1) Kiblat pada QS. A-Baqarah/2: 142, 143,
144, dan 145. Dan (2) tempat salat dalam QS. Yunus/ 10: 87
[6]Ma’lūf, al-, al-Munjid fī al-Lugah wa A’lam,
Beirut: Dar al-Masyriq, cet.ke-37, 1998, h. 608 dan Munawir, Ahmad Warson, al-Munawir
Kamus Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progresif, 1997, h. 1087-1088
[7] Khafid, Penentuan Arah Kiblat, Makalah Pelatihan Penentuan Arah Kiblat, Cibinong, 22 Februari 2009
[8] Bukhārī,
Abi Abdillah Muhammad bin Ismail
Al-, tth, , Şahih al-Bukhārī, Juz I, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmīyah, h. 130
[9] Ibnu
Rusyd, Bidāyah
al-Mujtahid, T.Tp: Dar al-Fikr, tth, h. 80
[10] Ibid, h.
81
[11] Ibid
[12] Muhammad
Alī As-Sayyis, Tafsir Ayat al-Ahkam, Tt: Tp t.th:
31
[13] Slamet
Hambali, Metode Pengukuran Arah Kiblat Dengan Segitiga Siku-Siku Dari
Bayangan Matahari Setiap Saat (Tesis), IAIN Wali Songo: Tidak diterbitkan, (2010,
h. 17
[14]
Matahari dinyatakan berada di atas suatu kota atau daerah terjadi saat Istiwa
di meridian langit.
[15] Tahun
yang habis dibagi 4 tahun 2004, dan 2008, adapun untuk tahun abad habis dibagi
400 seperti tahun 2000.
[16]
Wawancara pada tanggal di Palembang tanggal 11 Maret 2012.
[17] T
Djamaluddin, Penyempurnaan Arah Kiblat
dari Bayangan Matahari, Makalah Perkuliahan
Astronomi, 26 Mei 2009
[18] Ibid
[19] Manshur Alkaf, Salah Kaprah
“Mujur Ngalor” Dan “Madep Ngulon”, http://manshuralkaf.wordpress.com/2011/04/04/salah-kaprah-%E2%80%9Cmujur-ngalor%E2%80%9D-dan-%E2%80%9Cmadep-ngulon%E2%80%9D-2/
[20]Ibid
[21] Masjid al-Fairuz dibangun mulai 2004 oleh pengusaha batik
Pekalongan, H Abdullah Machrus. Meski belum jadi 100 persen, namun masjid ini
sudah bisa dipakai beribadah sejak 2004. Arsitektur masjid ini berkiblat ke
Masjid Nabawi, Arab Saudi. Maka, saat berbuka puasa pun mengikuti cara berbuka
di Masjid Nabawi. Berdiri di lahan 7.000 meter persegi, masjid ini amat megah
dan mewah. Pelataran parkir pun luas. Sehingga, banyak para pelancong yang
datang di sini. Apalagi, di sampingnya dibangun kios-kios, terutama menjual
batik Pekalongan. Masjid ini juga bisa menampung 2.000 jemaah. Sejak 2007,
pelataran juga digunakan untuk pusat kuliner setiap bulan Ramadan. Sehingga,
masjid ini menjadi tujuan wisata baru, selain tepat ibadah. Kurma dan
Zam-Zam di Masjid al-Fairuz, http://nasional.kompas.com/read/2011/07/18/10120572/Kurma.dan.Zam-zam.di.Masjid.Al.Fairuz
[22] Djamal,
loc.cit
[23]
Ibid
[24] Khafid, ,
Ketelitian Penentuan Arah Kiblat, makalah yang dipresentasikan
pada matakuliah Hisab Kontemporer, pada tanggal 03 Juli 2010 di Program
Pascasarjana IAIN Wali Songo, Semarang 2010, h.
10
[25] Ibid
[26]
Muhammad
Arsyad al-Banjārī dilahirkan di kampung Lok Gabang (dekat Martapura) pada malam
Kamis 15 Safar 1122 H bertepatan dengan tanggal 19 Maret 1710 H. ia meninggal
duna pada malam Selasa 6 Syawal 1227 H/ 13 Oktober 1812 H di Kalampayan,
Astambul, Banjar, Kalimantan Selatan. Ia adalah salah seorang tokoh Ilmu Falak
Nusantara yang melakukan pembaharuan dengan melakukan pengoreksian arah kiblat.
Pengoreksian arah kiblat yang dilakukannya antara lain masjid Jembatan Lima
(Betawi). Menurut pengamatannya arah kiblat masjid Jembatan Lima terlalu miring
ke selatan. Berbekal pengetahuan ilmu
Falak yang dikuasainya, ia lalu melakukan koreksi arah kiblat masjid tersebut;
dengan menggesernya sebesar 25 derajat ke utara. Berdasarkan sumber sejarah,
peristiwa ini terjadi pada 4 Safar 1186 H/ 7 Mei 1772 M (Muhammadiyah, 2009:
31-32). Di antara karyanya adalah kitab Ilmu Falak yang berbahasa Arab. Kitab
tersebut berisikan perhitungan gerhana matahari dan gerhana bulan (Azhari,
2008:202-203).
[27] Kyai Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah)
merupakan salah satu pembaharu dalam bidang ilmu Falak. Ia lah yang meluruskan
arah kiblat masjid Agung Yogyakarta pada tahun 1897 M/1315 H. Pada saat itu
masjid Agung dan masjid-masjid lainnya, letaknya ke Barat lurus, tidak tepat
menuju arah kiblat. Sebagai ulama yang menimba ilmu bertahun-tahun di Mekah, ia
mengemban amanat mengoreksi kekeliruan
tersebut (http://pakarfisika.blogspot.com). Berbekal
pengetahuan ilmu Falak atau ilmu Hisab yang dipelajari melalui Kyai
Dahlan (Semarang), Kyai Termas (Jawa Timur), Kyai Shaleh Darat
(Semarang), Syekh Muhammad Jamil Jambek, dan Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, ia
menghitung arah kiblat pada setiap masjid. Berdasarkan pengetahuan ilmu Falak
dan Hisab yang dimilikinya, Dahlan dicatat sebagai pelopor pembetulan
arah kiblat dari semua surau dan masjid di Nusantara (http://www.ilmuFalak.or.id/).
Ahmad Dahlan berhasil membangun mushala yang tepat mengarah ke kiblat. Tapi ia
gagal dalam mengubah posisi kiblat di masjid Sultan di Yogyakarta. Ia kecewa
dan ingin meninggalkan kota kelahirannya tersebut. Tetapi salah seorang
keluarganya menghalangi maksudnya itu dengan membangun sebuah langgar (mushala)
yang lain, dengan jaminan bahwa ia dapat mengajarkan dan mempraktekkan ajaran
agama dan keyakinannya berdasarkan interpretasinya di sana (http://peaceman.multiply.com/journal/).
[28]Ibid
[29] Di situlah
wajah Allah maksudnya; kekuasaan Allah meliputi seluruh alam; sebab itu di mana
saja manusia berada, Allah mengetahui perbuatannya, Karena ia selalu berhadapan
dengan Allah.
[30] Jalal
al-Din Abd ar-rahman ibn Abu Bakr as-Suyuti,
al-Asybah wa an-Nazair, Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1998, h. 201-202
dan Abdul Haq dan kawan-kawan, Fomulasi
Nalar Fiqh: Telaah Kaidah Fiqh Konseptual, Buku Dua, Surabaya: Khlalista,
tth, h. 8
[31] Suyuti,
op.cit, h. 202 dan Haq, op.cit, h. 8
[32]Ibid, h.
305
Tidak ada komentar:
Posting Komentar