Senin, 22 Juni 2009

WAKAF TUNAI ( Dana Abadi untuk Pemberdayaan Pendidikan Umat )

WAKAF TUNAI  ( Dana Abadi untuk Pemberdayaan Pendidikan Umat )

Oleh: Jayusman*






Abstrak
Wacana baru dalam menggali potensi umat yang bisa didayagunakan untuk membangun solidaritas dalam penanggulangan masalah kemiskinan, kesehatan, kesejahteraan, serta pendidikan antara lain melalui konsep wakaf tunai. Dalam bidang pendidikan, wakaf tunai mampu membuat lembaga pendidikan non pemerintah (swasta) survive dan mandiri di tengah krisis ekonomi berkepanjangan di negara kita.


Kata Kunci: Wakaf Tunai, Dana Abadi, Pemberdayaan Pendidikan Umat




A. Pendahuluan


Krisis ekonomi yang berkepanjangan di Indonesia secara faktual telah melipatgandakan jumlah penduduk miskin. Sebuah keluarga dimasukkan dalam kategori miskin/prasejahtera (versi BKKBN) apabila tidak dapat memenuhi satu dari lima hal berikut: melaksanakan ibadah menurut agamanya, makan dua kali sehari atau lebih, pakaian yang berbeda untuk berbagai keperluan, lantai rumah bukan dari tanah, dan bila anggota keluarga sakit dibawa ke sarana kesehatan. Penurunan daya beli akibat kemiskinan tidak hanya terjadi untuk sandang atau pakaian saja. Namun, yang memprihatinkan, juga terjadi pada pengeluaran untuk keperluan kesehatan dan pendidikan. Dalam jangka panjang, hal ini akan membuat akses penduduk miskin terhadap sumber daya ekonomi akan semakin kecil sehingga mereka sulit bahkan tidak bisa ikut menikmati “kue pembangunan” yang dihasilkan. Maka jadilah kemiskinan yang struktural, dan inilah yang seharusnya diputus mata rantainya agar kemiskinan tidak terus terjadi turun temurun ke anak cucu (http://btmsuryamandiri.blogspot.com).


Pendidikan memiliki posisi yang sangat strategis dalam mengatasi problem kemiskinan dan kebodohan yang menimpa masyarakat. Jika mencermati anggaran pendidikan yang disediakan dalam APBN masih kurang menggembirakan. Ini juga membuktikan kurangnya keseriusan pemerintah dalam menggarap sektor pendidikan. Sebagai akibatnya mutu pendidikan masyarakat kita dan sumber daya manusia yang dihasilkannya pun mempunyai daya saing yang rendah.



Berbagai cara dilakukan untuk mengatasi masalah ini antara lain melalui JPS (Jaringan Pengaman Sosial) serta berbagai sumbangan dari dalam dan luar negeri. Pemerintah sendiri tampaknya cukup kesulitan untuk mengatasi masalah ini mengingat terbatasnya dana yang tersedia dalam APBN. Selain itu mengingat Pinjaman Luar Negeri (PLN) Indonesia yang sangat besar, maka alternatif PLN untuk mengatasi masalah menjadi kurang dipertimbangkan (http:// rumahzakatindonesia).
Pemerintah saat ini masih terlihat gamang dengan upaya mengentaskan kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat miskin. Berbagai langkah yang ditempuh bersifat tambal sulam. Di satu sisi, pemerintah belum bisa melepaskan diri dari utang luar negeri berbasis bunga, sehingga utang menjadi salah satu sumber utama pembiayaan APBN.


Kiranya kita umat Islam dihimbau untuk berperan serta aktif dalam memecahkan persoalan ini. Menggali lebih lanjut potensi fund for education yang ditawarkan Islam sebagai solusi serta menggalang partisipasi aktif dari pihak non pemerintah, yang dalam hal ini adalah masyarakat. Masyarakat, khususnya golongan kaya, memiliki kemampuan untuk membantu meringankan penderitaan masyarakat miskin. Apabila potensi masyarakat (kaya) ini dapat dikoordinasikan serta dikelola dengan baik, maka hal ini dapat memberikan alternatif kontribusi penyelesaian positif atas masalah kemiskinan. Belakangan ini telah muncul wacana baru dalam menggali potensi umat yang bisa didayagunakan untuk membangun solidaritas masyarakat melalui salah satu wadah filantropi Islam, yakni konsep wakaf tunai (cash waqf).




B. Pengertian dan Landasan Syariah Sertifikat Wakaf Tunai


Wakaf yang terambil dari kata kerja bahasa Arab ‘waqafa’ itu menurut bahasa berarti menahan (Sabiq Juz III: 515) berhenti, atau diam. Oleh karena itu, tempat parkir disebut mauqif karena di situlah berhentinya kendaraan, demikian juga padang Arafah disebut juga mauqif di mana para jamaah haji berdiam untuk wukuf. Secara terminologi syariah, wakaf diartikan sebagai perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam (Kompilasi Hukum Islam: Pasal 215). Dengan demikian pengertian wakaf itu mencakup:
Harta milik seseorang atau sekelompok orang.
Harta benda tersebut bersifat kekal zatnya, tidak habis bila dipakai.


Harta tersebut telah lepas kepemilikannnya dari pemiliknya semula.Harta yang dilepas kepemilikannya tersebut tidak bisa dihibahkan, diwariskan, atau diperjualbelikan.Manfaat dari harta benda tersebut untuk kepentingan umum sesuai dengan ajaran Islam.


Dalam hukum Islam, wakaf berarti menyerahkan suatu hak milik yang tahan lama (zatnya) kepada seseorang atau nazir (penjaga wakaf), baik berupa perorangan maupun badan pengelola, dengan ketentuan bahwa hasil atau manfaatnya digunakan untuk hal-hal yang sesuai dengan syari’at Islam. Harta yang telah diwakafkan keluar dari hak milik yang mewakafkan, dan bukan pula menjadi hak milik nazir, tetapi menjadi hak milik Allah dalam pengertian hak masyarakat umum.


Wakaf akan valid sebagai amal jariyah (amal yang senantiasa mengalir pahala dan manfaatnya) setelah pemiliknya menyatakan aset yang diwakafkannya menjadi aset publik dan ia bekukan haknya untuk kemaslahatan umat. Dan wakaf tidak akan bernilai amal jariyah sampai benar-benar didayagunakan secara produktif sehingga berkembang atau bermanfaat tanpa menggerus habis aset pokok wakaf.


Dasar Hukum Wakaf diambil dari al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’ ulama:
Firman Allah:


“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS. Ali Imran/3: 92)


Sabda Rasul: “Apabila manusia wafat, terputuslah amal perbuatannya, kecuali dari tiga hal, yaitu sedekah jariyah, ilmu pengetahuan yang dimanfaatkan, dan anak yang shaleh.” (HR. Muslim).


Para ulama menafsirkan sabda rasul ‘sedekah jariyah’ sebagai wakaf, bukan sebagai wasiat memanfaatkan harta.


Sesuai dengan pembahasan kita tentang wakaf tunai, MUI (majelis Ulama Indonesia) telah mengeluarkan fatwa sebagai berikut :
1. Wakaf Uang (Cash Wakaf/Waqf al-Nuqud) adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai.
2. Termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga.
3. Wakaf uang hukumnya jawaz (boleh).
4. Wakaf uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang dibolehkan secara syar' i.
5. Nilai pokok Wakaf Uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan, dan atau diwariskan (http://btmsuryamandiri.blogspot.com).


Selain itu, pemerintah melalui DPR juga telah mengesahkan UU No. 41/2004 tentang wakaf, yang di dalamnya juga mengatur bolehnya wakaf tunai. Masalah wakaf uang dituangkan secara khusus dalam bagian kesepuluh Wakaf Benda Berupa Uang yang terdapat pada pasal 28-31. Dalam pasal 28 dinyatakan wakif dapat mewakafkan benda bergerak berupa uang melalui lembaga keuangan syari’ah. Berdasarkan Undang-Undang tersebut, maka peluang pengembangan wakaf produktif dengan cash wakaf terbuka luas.


Dengan demikian, wakaf adalah bagian hukum Islam yang mendapat pengaturan secara khusus dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Dengan demikian, wakaf merupakan salah satu lembaga hukum Islam yang telah menjadi hukum positif di Indonesia (Hasanah, 2009).


C Tinjauan Historis dan Perkembangan Wakaf Tunai


Studi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta (2006), menunjukkan bahwa harta wakaf di Indonesia secara nasional sangatlah besar. Jumlah unit wakaf yang terdata mencapai hampir 363 ribu bidang tanah, dengan nilai secara nominal diperkirakan mencapai Rp 590 trilyun. Ini setara dengan lebih dari 67 milyar dolar AS (kurs Rp 9.250/dolar). Jumlah ini tentu saja sangat besar. Andai saja seluruh harta wakaf ini dijual, hasilnya dapat menutupi 100% total utang luar negeri Pemerintah Republik Indonesia saat ini (awal 2008), yang besarnya 60 milyar dolar AS. Untuk memahami betapa besarnya harta wakaf ini. Ini juga setara nilainya dengan sekitar 85% APBN RI sekarang ini, yang besarnya sekitar Rp 700 triliun/tahun. Jika kita dapat mengelola aset pokoknya, dan memanfaatkan hasilnya kemungkinan yang dapat kita peroleh dari pengelolaan wakaf tersebut, justru jauh lebih hebat lagi. Persoalan yang lebih mendasar tampaknya adalah pada pemanfaatannya: 79% dari perwakafan tersebut digunakan untuk pemebangunan masjid/mushola, 55% untuk lembaga pendidikan, 9% untuk pekuburan, dan 3% atau kurang untuk fasilitas umum lainnya (sarana jalan, sarana olah raga, WC umum, dan sejenisnya); dengan kata lain bukan bersifat produktif (dinar_dirham_indonesia@yahoogroups.com).


Hal senada diungkapkan bahwa menurut data Departemen Agama (sampai dengan September 2005) jumlah seluruh tanah wakaf di Indonesia sebanyak 358.791 dengan luas 818.742.341,86 M. Namun waqaf sebanyak itu belum mampu meningkatkan kesejahteraan umat Islam khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya. Hal itu disebabkan karena pemanfaatan harta waqaf masih dominan bersifat konsumtif dan belum dikelola secara produktif. Wakaf-wakaf ini kebanyakan dipergunakan untuk pembangunan masjid, mushola, sekolah, panti asuhan, dan makam, sehingga bila dilihat dari segi sosial ekonomi, waqaf yang ada belum dapat berperan dalam menanggulangi permasalahan umat, khususnya dalam meningkatkan kesejahteraan ekonomi mereka (Wakaf Produktif, http://mediaamalislami.org).


Sesungguhnya jika ditelaah, wakaf tunai pada hakikatnya bukan merupakan instrumen baru. Praktik wakaf tunai telah dikenal lama dalam sejarah Islam. Sebagaimana dikutip Didin Hafidhuddin, az-Zuhri (wafat tahun 124 H) memberikan fatwa yang membolehkan wakaf diberikan dalam bentuk uang, yang saat itu berupa dinar dan dirham untuk pembangunan sarana dakwah, sosial untuk kepentingan umat. Istilah wakaf tunai tersebut kembali dipopulerkan oleh MA Mannan, seorang pakar ekonomi syariah asal Bangladesh, melalui pendirian Social Investment Bank (SIB), bank yang berfungsi mengelola dana wakaf. Lembaga ini beroperasi dengan menggalang dana masyarakat (kaya), khususnya melalui dana wakaf tunai, untuk kemudian dikelola di mana hasil pengelolaannya disalurkan untuk masyarakat miskin (Wakaf Tunai, http://mediaamalislami.org).


Untuk kasus Indonesia, upaya seperti yang dilakukan oleh SIB tersebut, merupakan satu alternatif yang menarik. Dengan jumlah penduduk muslim yang mayoritas, maka upaya penggalangan serta pengelolaan dana wakaf (tunai) seperti halnya di atas, diharapkan dapat lebih terapresiasikan oleh masyarakat muslim secara kultural (http:// rumahzakatindonesia).


Di Indonesia sudah ada beberapa lembaga yang memanfaatkan wakaf tunai seperti PB Mathla’ul Anwar, Dompet Dhu’afa Republika, Bank Mu’amalat Indonesia, Pemerintah Kota Bekasi, dan Universitas Indonesia. Namun pengelolaannya belum maksimal sehingga manfaatnya belum begitu nyata dirasakan oleh masyarakat (Direktorat, Strategi: 16).


Menurut Uswatun Hasanah (2009) ada beberapa faktor yang menyebabkan wakaf di Indonesia belum berperan dalam memberdayakan ekonomi umat.
1. masalah pemahaman masyarakat tentang hukum wakaf. Pada umumnya masyarakat belum memahami hukum wakaf dengan baik dan benar, baik dari segi rukun dan syarat wakaf, maupun maksud disyariatkannya wakaf.
2. pengelolaan dan manajemen wakaf. Saat ini pengelolaan dan manajemen wakaf di Indonesia masih memprihatinkan. Sebagai akibatnya cukup banyak harta wakaf terlantar dalam pengelolaannya, bahkan ada harta wakaf yang hilang. Salah satu penyebabnya adalah pengelolaannya yang tidak profesional.
3. benda yang diwakafkan. Pada umumnya tanah yang diwakafkan umat Islam di Indonesia hanyalah cukup untuk membangun masjid atau mushalla, sehingga sulit untuk dikembangkan. Di Indonesia masih sedikit orang yang mewakafkan harta selain tanah (benda tidak bergerak), padahal dalam fikih harta yang boleh diwakafkan sangat beragam termasuk surat berharga dan uang.
4. nazir wakaf. Dalam perwakafan, salah satu unsur yang amat penting adalah nazir. Nazir adalah orang yang diserahi tugas untuk mengurus, mengelola, dan memelihara harta benda wakaf. Berfungsi atau tidaknya wakaf sangat tergantung pada kemampuan nazir. Di berbagai negara yang wakafnya dapat berkembang dan berfungsi untuk memberdayakan ekonomi umat, wakaf dikelola oleh nazir yang profesional.


Menggali wakaf tunai diibaratkan sebagai 'raksasa' yang jika bangkit, perekonomian nasional bakal segera menggeliat dan memerdekakan dirinya dari belenggu kapitalisme global. Dana wakaf yang terkumpul ini selanjutnya dapat digulirkan dan diinvestasikan oleh nazir ke dalam berbagai sektor usaha yang halal dan produktif, sehingga keuntungannya dapat dimanfaatkan untuk pembangunan umat dan bangsa secara keseluruhan. Bisa dibayangkan, jika 20 juta umat Islam Indonesia mau mengumpulkan wakaf tunai senilai Rp 100 ribu setiap bulan, maka dana yang terkumpul berjumlah Rp 24 triliun setiap tahun. Jika 50 juta orang yang berwakaf, maka setiap tahun akan terkumpul dana wakaf sebesar Rp 60 triliun. Sungguh suatu potensi yang luar biasa.


Melihat potensinya yang sangat luar biasa, pemerintah hendaknya mulai memikirkan secara serius upaya untuk menggali potensi wakaf tunai ini. Kita beruntung bahwa Indonesia telah memiliki UU No 41/2004 tentang Wakaf. Namun demikian, hal tersebut belumlah cukup, apalagi Badan Wakaf Indonesia (BWI) sebagai amanat UU tersebut belum juga bisa bekerja secara maksimal. Ada tiga langkah yang mendesak untuk dilakukan. Pertama, hendaknya kampanye dan sosialisasi wakaf tunai lebih ditingkatkan. Kedua, segera membentuk dan memperkuat struktur BWI sebagai lembaga nazir negara. Ketiga, mendorong bank syariah dan lembaga keuangan syariah lainnya untuk mengintensifkan gerakan wakaf tunai sebagai gerakan pengentasan kemiskinan nasional.




D. Sertifikat Dana Wakaf Tunai


Umumnya kita mengenal wakaf berupa properti seperti tanah dan bangunan seperti bangunan mesjid, musola, langgar, sekolah, panti asuhan dan lain-lain. Namun demikian dewasa ini telah disepakati secara luas oleh para ulama bahwa salah satu bentuk wakaf dapat berupa uang tunai, ini juga berdasarkan pertimbangan semakin besar dan kompleksnya kebutuhan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan mereka dalam arti yang luas.


Di samping sosialisasi dan penggalakan wakaf tunai, dalam pengelolaan wakaf benda yang tidak bergerak ini perlu kiranya dilakukan pengamanan dan dalam hal benda wakaf yang memiliki nilai produktif perlu didorong untuk dilakukan pengelolaan secara produktif. Hasilnya dikelola secara profesional dan amanah oleh lembaga pengelola (nazir) untuk dimanfaatkan seluas-luasnya untuk kepentingan sosial dan ibadah seperti; untuk meningkatkan pendidikan Islam, pengembangan rumah sakit Islam, bantuan pemberdayaan ekonomi umat serta pengembangan sarana dan prasarana ibadah.


Secara umum wakaf tunai dapat dinyatakan sebagai penyerahan aset wakaf berupa uang tunai yang tidak dapat dipindahtangankan dan dibekukan untuk selain kepentingan umum yang tidak mengurangi ataupun menghilangkan jumlah pokoknya (substansi esensial wakaf). Sebenarnya, wakaf tunai pada dasarnya bertujuan menghimpun dana abadi yang bersumber dari umat, yang kemudian dapat dimanfaatkan bagi sebesar-besarnya kepentingan dakwah dan masyarakat.


Selama ini, wakaf dalam bentuk uang belum tersosialisasi dengan baik. Padahal, wakaf tunai ini memberi kesempatan kepada setiap orang untuk bersadaqah jariyah dan mendapat pahala yang tidak terputus tanpa harus menunggu menjadi tuan tanah atau saudagar kaya. Orang bisa berwakaf hanya dengan membeli selembar sertifikat wakaf tunai yang diterbitkan oleh institusi pengelola wakaf (nazir). Hal tersebut berbeda dengan zakat, di mana untuk menjadi muzakki, seseorang harus memenuhi sejumlah persyaratan yang di antaranya adalah banyak harta; hartanya harus mencapai nisab atau jumlah tertentu.




E. Ketentuan Wakaf dan Persyaratan Nazir Pengelola Wakaf


Terdapat empat rukun wakaf dengan syarat sahnya sebagai berikut :
1. Orang yang melakukan perbuatan wakaf (al-wakif) hendaklah dalam keadaan sehat rohaninya dan tidak dalam keadaan terpaksa atau dalam keadaan di mana jiwanya tertekan.
2. Harta benda yang akan diwakafkan (al-mawquf) harus jelas wujudnya atau dzatnya, di samping harta itu bersifat tidak cepat habis. Artinya, bahwa harta itu tidak habis sekali pakai. Ia harus bersifat kekal dan dapat diambil manfaatnya untuk jangka waktu yang kekal pula.
3. Sasaran yang berhak menerima hasil atau manfaat wakaf (al-mawquf ‘alaih) dapat dibagi menjadi dua macam: wakaf khairy dan wakaf dzurry. Wakaf khairy adalah wakaf di mana wakifnya tidak membatasi sasaran wakafnya untuk pihak tertentu tetapi untuk kepentingan umum. Sedangkan wakaf dzurry adalah wakaf di mana wakifnya membatasi sasaran wakafnya untuk pihak tertentu, seperti wakaf yang hanya diperuntukkan bagi keluarga atau keturunannya.
4. Bentuk transaksi/akad yang perlu diperhatikan dalam menyatakan harta yang bersangkutan sebagai wakaf disebut sighah (http:// rumahzakatindonesia).


Selanjutnya persoalan yang menyangkut siapa yang akan melakukan perawatan, pengurusan dan mengelolaan aset wakaf yang dalam istilah fikih dikenal dengan nazir wakaf, atau mutawalli wakaf adalah termasuk hal yang sangat krusial. Hal itu karena aset wakaf adalah amanah Allah yang terletak di tangan nazir. Oleh sebab itu, nazir adalah orang yang paling bertanggungjawab terhadap harta wakaf yang dipegangnya, baik terhadap harta wakaf itu sendiri maupun terhadap hasil dan upaya-upaya pengembangannya. Setiap kegiatan nazir terhadap harta wakaf harus dalam pertimbangan kesinambungan harta wakaf untuk mengalirkan manfaatnya demi kepentingan mawquf ‘alaih. Manfaat yang akan dinikmati oleh wakif sangat tergantung kepada nazir, karena di tangan nazirlah harta wakaf dapat terjamin kesinambungannya. Oleh karena begitu pentingnya kedudukan nazir dalam perwakafan, maka pada diri nazir perlu terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi yaitu : telah baligh/berakal, mempunyai kepribadian yang dapat dipercaya (amanah), serta mempunyai keahlian dan kemampuan untuk memelihara dan mengelola harta wakaf.


Idris Khalifah, Ketua Forum Ilmiyah di Tethwan Magribi, dalam hasil penelitiannya yang berjudul ‘Istitsmar Mawarid al-Awqaf’ (Pengembangan Investasi Harta Wakaf) menyebutkan sepuluh tugas nazir wakaf sebagai berikut:
1. Memelihara harta wakaf.
2. Mengembangkan wakaf, dan tidak membiarkan terlantar sehingga tidak mendatangkan manfaat.
3. Melaksanakan syarat dari wakif yang tidak menyalahi hukum syara’.
4. Membagi hasilnya kepada pihak-pihak yang berhak menerimanya tepat waktu.
5. Membayarkan kewajiban yang timbul dari pengelolaan wakaf dari hasil wakaf itu sendiri.
6. Memperbaiki aset wakaf yang rusak sehingga kembali bermanfaat.
7. Mempersewakan harta-harta wakaf tidak bergerak, seperti bangunan dan tanah, dengan sewa pasaran.
8. Menginvestasikan harta wakaf untuk tambahan penghasilannya.
9. Nazir bertanggungjawab atas kerusakan harta wakaf yang disebabkan kelalaiannya dan dengan itu ia boleh diberhentikan dari jabatannya itu (http:// rumahzakatindonesia).




F. Manajemen Kontemporer Dana Wakaf Tunai


Terdapat dua macam praktek wakaf yaitu wakaf mutlaq dan wakaf muqayyad. Wakaf mutlaq adalah praktek wakaf di mana wakif menyerahkan sepenuhnya kepada si wakif untuk mengelolanya tanpa batas. Adapun wakaf muqayyad adalah wakaf di mana wakif mensyaratkan agar harta yang diwakafkan itu hanya boleh dikelola dengan cara tertentu dan diberikan kepada pihak tertentu. Dalam praktek wakaf mutlaq, nazir lebih leluasa melakukan upaya-upaya produktif sehingga harta wakaf bisa berhasil lebih maksimal. Secara historis, cara yang banyak ditempuh, sesuai dengan informasi dalam buku-buku fiqh, adalah dengan jalan mempersewakan harta wakaf. Hal ini sejalan dengan kenyataannya bahwa kebanyakan harta wakaf adalah dalam bentuk al-‘iqar (harta tak bergerak, seperti lahan pertanian dan bangunan.


Ada beberapa bentuk penyewaan yang terdapat dalam konsep fiqh:
1. Sewa biasa (ijarah). Dengan pertimbangan kemaslahatan harta wakaf, para ulama mazhab yang empat sepakat membolehkan mempersewakan harta wakaf, meskipun mereka berbeda dalam beberapa hal.
2. Akad sewa menyewa ganda (‘aqd al-ijaratain). Akad sewa ganda ini dilakukan untuk mengatasi kekurangan modal untuk membangun bangunan di atas sebidang tanah wakaf. Untuk memperoleh modal, diadakan kontrak sewa dengan seorang penyewa untuk jangka waktu lama, dengan dua tingkat sewa menyewa. Sewa pertama dibayar lebih dulu sejumlah yang memungkinkan untuk membangun bangunan dimaksud. Sedangkan sewa kedua merupakan sewa bulanan dengan harga yang lebih murah yang harus dibayar selama menghuni rumah. Sewa kedua ini masih diperlukan untuk menghindarkan kemungkinan ada klaim dari penyewa bahwa rumah itu telah dibelinya.
3. Al-Hikru, yaitu sebuah akad sewa menyewa tanah wakaf untuk masa waktu yang lama, serta memberi hak kepada penyewa untuk mendiami tanah itu, untuk membangun atau bercocok tanam di atas lahan pertanian dan memberinya hak untuk memperpanjang masa sewa setelah kontrak pertama habis, selama ia masih mampu membayar sewa pasaran
4. Al-Marshid, yaitu sebuah kesepakatan dengan calon penyewa yang bersedia meminjami nadzir sejumlah dana untuk memperbaiki bangunan wakaf sebagai hutang yang kemudian akan dibayar dengan sewa harta wakaf itu sendiri.
5. Pengembangan hasil sewa wakaf dengan membelikannya kepada benda yang bias menghasilkan, misalnya dengan memodali pembangunan gedung yang kemudian dapat disewakan lagi.
6. Dengan melakukan kerja sama dalam pengelolaan lahan pertanian wakaf di samping dengan mempersewakannya kepada pihak yang punya modal, juga mungkin dengan kerjasama muzara’ah (http:// rumahzakatindonesia).




H. Manfaat Wakaf Tunai Sebagai Sumber Dana Abadi Bagi Pemberdayaan Pendidikan Umat


Manfaat wakaf secara umum adalah mengekalkan manfaat benda wakaf sesuai dengan tujuan wakaf, yaitu melembagakan manfaat benda wakaf untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat dan keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam. (Kompilasi: Pasal 216). Fungsi atau manfaat ini juga tentunya dapat diperluas dari praktek wakaf tunai. Adapun manfaat wakaf tunai di antaranya adalah :
1. Seseorang yang memiliki dana terbatas sudah bisa mulai memberikan dana wakafnya tanpa harus menunggu menjadi tuan tanah atau orang kaya terlebih dahulu.
2. Melalui wakaf uang, aset-aset wakaf yang berupa tanah-tanah kosong bisa mulai dimanfaatkan dengan pembangunan gedung atau sarana lain yang lebih produktif untuk kepentingan ummat.
3. Dana wakaf tunai juga bisa membantu sebagian lembaga-lembaga pendidikan Islam.
4. Insya Allah, umat Islam dapat lebih mandiri dalam mengembangkan dunia pendidikan tanpa harus terlalu tergantung pada anggaran pendidikan negara yang memang semakin lama semakin terbatas.


Tujuan wakaf ialah rai’/hasil dari manfaat wakaf yang diusahakan. Al-Malibary mengatakan: “penyaluran hasil wakaf kepada yang diberi wakaf itulah yang menjadi tujuan wakaf.” Wakaf membuahkan hasil yang dalam istilah fiqh disebut rai’. Pengertian rai’ ialah: “semua faedah (hasil) dari yang diwakafkan seperti upah (sewa) susu, anak hewan yang baru dikandung induknya sesudah diwakafkan, buah yang baru timbul setelah diwakafkan dan dahan yang biasa dipotong.” Jika tujuan wakaf itu merupakan hasil dari suatu kumpulan aset wakaf, maka substansi esensial wakaf adalah suatu upaya pengakumulasian dana abadi masyarakat (yang hasil pengelolaannya didayagunakan untuk masyarakat).


Dalam pengelolaan wakaf tunai ini ada dua prinsip, yaitu:
1. Hendaklah yang diwakafkan berupa aset. Tujuan wakaf ialah menjadi sumber dana yang berlangsung lama. Ketentuan ini tidak dapat terwujud kecuali pada benda yang dapat diambil manfaatnya, sementara wujud bendanya tetap ada, tidak hilang.
2. Tidak boleh dijual, diwariskan dan dihibahkan Ini adalah syarat yang harus berlaku pada harta yang diwakafkan. Larangan menjual, mewariskan, dan menghibahkan harta wakaf adalah untuk mencegah perubahan status pada harta wakaf dari milik umum (public property) menjadi milik pribadi. Sehingga wakaf akan tetap selamanya menjadi sumber dana masyarakat secara umum (http:// rumahzakatindonesia).


Sertifikat wakaf tunai merupakan semacam dana abadi yang diberikan oleh individu maupun lembaga muslim yang mana keuntungan dari pengelolaan dana tersebut akan digunakan untuk pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin di antaranya melalui program pendidikan. Secara teknis, sertifikat wakaf tunai ini dapat dikelola oleh suatu badan investasi sosial tersendiri seperti halnya Social Investment Bank Limited (SIBL) di Bangladesh atau dapat juga menjadi salah satu produk dari institusi/perbankan syariah yang ada.


Negara yang sangat berpengalaman dalam mengembangkan wakaf, antara lain Mesir dan Turki. Wakaf di Mesir dikelola oleh Badan Wakaf Mesir yang berada di bawah Wizaratul Auqaf. Salah satu di antara kemajuan yang telah dicapai oleh Badan Wakaf Mesir adalah berperannya harta wakaf dalam meningkatkan ekonomi masyarakat. Pengelolaannya dilakukan dengan cara menginvestasikan harta wakaf di bank Islam dan berbagai perusahaan. Dengan dikembangkannya secara produktif, wakaf di Mesir dapat dijadikan salah satu lembaga yang handal yang membantu tugas pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan umat (Hasanah, 2009).


Di samping Mesir, masih ada beberapa negara yang mengelola wakaf secara produktif, salah satunya adalah Turki. Di Turki, wakaf dikelola oleh Direktorat Jenderal Wakaf. Dalam mengembangkan wakaf, pengelola melakukan investasi di berbagai perusahaan, antara lain: Ayvalik and Aydem Olive Oil Corporation; Tasdelen Healthy Water Corporation; Auqaf Guraba Hospital; Taksim Hotel (Sheraton); Turkish Is Bank; Aydin Textile Industry; Black Sea Copper Industry; Contruction and Export/Import Corporation; Turkish Auqaf Bank. Hasil pengelolaan wakaf itu kemudian dimanfaatkan untuk kepentingan pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat, dan kepentingan sosial lainnya (Hasanah, 2009).


Fakta sejarah menunjukkan bahwa banyak lembaga yang bisa bertahan dengan memanfaatkan dana wakaf, dan bahkan memberikan kontribusi yang signifikan. Beberapa lembaga pendidikan Islam terkemuka mampu bertahan bahkan berabad-abad lamanya. Bahkan mereka telah memberikan beasiswa kepada ribuan mahasiswa dari berbagai penjuru dunia Islam. Sebagai contoh adalah Universitas al-Azhar Mesir, Universitas Zaituniyah Tunis, Universitas Nizhamiyah di Baghdad dan ribuan madaris Imam Lisesi di Turki. Pada hal lembaga-lembaga tersebut bukanlah lembaga pendidikan yang profit oriented tapi lebih merupakan lembaga pendidikan yang social oriented. Jawabannya adalah karena mereka telah berhasil dalam mengelolaan wakaf tunai untuk pengembangan dan operasional lembaga pendidikannya.


Untuk kasus Indonesia, wakaf tunai telah terbukti membantu tugas Negara dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang kurang mampu dan mereka yang mungkin tidak tertangani oleh Negara. Hal ini karena terbatasnya dana yang disediakan Negara serta krisis ekonomi yang berkepanjangan; terutama di kalangan umat Islam. Dalam bidang pendidikan kita bisa melihat lebih jauh kiprah seperti Pondok Pesantren Modern Gontor, Pesantren as-Salam, Yayasan Wakaf UII, Universitas Sultan Agung, UMI Makasar, UISU Medan, serta lembaga-lembaga wakaf di bawah naungan NU, Muhammadiyah, al-Washliyah, Persis, al-Irsyad dan sebagainya (Direktorat, Stategi: 62) Lembaga-lembaga ini dapat terus eksis bahkan terus berkembang di tengah-tengah zaman yang terus berubah.


Betapa besar sumbangsih yang telah mereka berikan kepada dunia pendidikan bangsa kita. Sebagian dari lembaga-lembaga ini masih bersahaja bertahan dengan kesederhanaan mereka namun sebagian yang lain telah tumbuh menjadi lembaga pendidikan yang maju, berkembang pesat serta memiliki daya saing yang tinggi. Mereka bertahan tanpa memperoleh perhatian yang berarti dari pemerintah tapi secara mandiri mengelola dana wakaf umat yang diamanahkan kepada mereka.




H. Filosofi Pengelolaan Wakaf Tunai dalam Bidang Pendidikan


Pengelolaan dana wakaf dalam bidang pendidikan ini memiliki tiga filosofi:
1. Pengalokasian wakaf tunai harus merupakan dalam bingkai suatu proyek yang terintegrasi. Sehingga pengalokasian wakaf tunai terintegrasi untuk semua lini dan program suatu lembaga pendidikan dengan semua bentuk biaya dan anggaran di dalamnya.
2. Asas kesejahteraan nazir. Paradigma lama bahwa nazir itu adalah kerja sosial keagamaan yang penuh keikhlasan dengan kata lain non profit. Sehingga sering ditemukan kinerja nazir itu tidak maksimal alias rendah. Untuk pengelolaan wakaf tunai yang profesional tentu jabatan nazir harus dipangku seorang yang professional pula. Untuk menunjang hal tersebut nazir perlu disupport misalnya nazir mendapat prosentase tertentu dari profit wakaf tunai yang dikelolanya.
3. Asas transparansi dan akuntabiliti. Pengelola wakaf tunai dalam hal ini nazir harus memberikan laporan yang berkala kepada umat. Bahkan tentu saja mereka siap untuk diaudit oleh akuntan public.




I. Prioritas Program Pemberdayaan Pendidikan Umat Melalui Wakaf Tunai


Kalau kita urai terlalu banyak dan rumit permasalahan yang terkait dengan pemberdayaan umat melalui sektor pendidikan, namun ada beberapa program yang dianggap penting untuk direalisasikan. Berikut prioritas program pemberdayaan pendidikan umat:
Pembangunan sarana prasarana Pesantren, Madrasah dan Perguruan Tinggi Islam. Keberadaan Pesantren, Madrasah dan Perguruan Tinggi Islam diakui sebagai lembaga yang telah memberikan kontribusi yang besar dalam pembangunan di bidang pendidikan bangsa kita. Walaupun di sisi yang lain kurang mendapatkan perhatian yang memadai dari pemerintah. Untuk tetap menjaga lembaga yang telah begitu berjasa dalam penyebaran Islam ini perlu dukungan semua pihak termasuk umat Islam itu sendiri. Untuk meningkatkan kualitas dan dalam beradaptasi dengan perkembangan zaman perlu penyediaan sarana prasarana yang memadai. Antara lain dengan pembangunan gedung- gedung yang dilengkapi fasilitas yang modern seperti laboratorium, perpustakaan, sarana olah raga, sarana ibadah, jaringan telekomunikasi, dan sebagainya.


Mendirikan lembaga riset teknologi tepat guna. Di antara ketertinggalan dunia pendidikan kita adalah dalam hal pelaksanaan riset, terutama dalam riset-riset teknologi tepat guna—teknologi yang sangat bermanfaat bagi masyarakat luas. Seperti teknologi pertanian, perkebunan, perikanan, pengolahan pangan, dan lainnya.


Mendirikan perpustakaan untuk lembaga pendidikan Islam dan Umum. Arti penting pembangunan perpustakaan dalam rangka penyediaan informasi yang berguna untuk mencerdaskan bangsa. Ini merupakan percepatan bagi bangsa kita menjadi bangsa yang maju.
Mendirikan lembaga pelatihan dan keterampilan untuk anak yatim piatu dan anak putus sekolah dari kalangan tidak mampu. Mereka perlu diberikan keterampilan untuk bekal hidupnya. Dengan keterampilan yang mereka miliki mereka bisa mandiri dan tidak bergantung dan menjadi beban bagi orang lain. Misalnya memberikan pelatihan dan keterampilan reparasi barang elektronik, mengemudi kendaraan, bengkel, sablon, dan keterampilan yang menjadi garapan industri kecil lainnya.


Beasiswa pendidikan, krisis ekonomi yang mendera negeri ini, semakin menyulitkan rakyat Indonesia untuk memajukan dan meningkatkan kualitas pendidikan. Dampak dari kondisi tersebut, banyak anak-anak sekolah dan mahasiswa kesulitan dalam membiayai pendidikannya.
Usaha- usaha positif lainnya




K. Penutup


Demikianlah, wacana wakaf tunai yang merupakan solusi alternatif dalam menyelesaikan persoalan pemberdayaan pendidikan umat yang menjadi pekerjaan rumah kita semua. Wallahu a’lamu bi ash-shawab.








DAFTAR PUSTAKA


Antonio, Muhammad Syafi’I, Bank Syari’ah Sebagai Pengelola Wakaf, (Makalah Workshop Internaional, Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui wakaf Produktif, Wisma Haji bata 7-8 januari 2002) Tidak diterbitkan


____________, Cash Wakaf dan Anggaran Pendidikan Umat, Yogyakarta: Seminar Wakaf Tunai PH Badan Wakaf UII, 13 September 2003


Cf. Hassanein, M., "Towards a Model of the Economics of Islam" in MSA Contemporary Aspects of Economic and Social Thinking in Islam (Proceedings of the III East Coast Regional Conference), N.Y. 1970.


Cf: Kahf Monzer, "A Model of the Household Decision in the Islamic Economic in AMSS: Proceedings


____________, Financing the Depelopment of Aqaf Properti, Kualalumpur: Irti, 1998


Hasanah, Uswatun, Wakaf Untuk Kesejahteraan Umat, Artikel Antara News, 30 Mei 2009
Ibn-'Ashur, M. T., Principles of Social Organisation in Islam (Arabic), pp. 190-1970 Maktabah al-Rasmiyeh, Tunis, 1964.


Instruksi Presisiden RI No 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam


Lewis, W. A., The Theory of Economic Growth, London: 1963


Mawdud, Economic Problem of Man and its Islamic Solution, Maktabah Jama't-ilslamic Delhi.


Muhammad, Abu as-Su’ud, Risalah fi Jawazi Waqfan-Nuqud, Beirut: Dar Ibn Hazm, 1997


Misr, Nahdh dan Abu Yusuf, Al-Kharaj, Al-Matba' al-Salafiya.


Qardawi, al , Yusuf, Fiqh az-Zakat, p. 43,. Vol. I and p. 851, Vol. 11: 1969.


Qutb, Syed, Social Justice in Islam (Arabic Ghazali, M, Islam and Economic Organisation (Arabic), Cairo;


Sabiq, Sayid, Fiqh as-Sunnah, Juz III, Beirut: Dar al-Fikr, tt


Saidi, Zaim, Wakaf Produktif, sebuah Renungan, dinar_dirham_indonesia@yahoogroups.com


Tim Penyusun Buku, Panduan Pemberdayaan tanah wakaf Produktif Staegis di Indonesia, Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyengggaraan Haji, Jakarta, 2003


____________, Fiqih Wakaf, Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyengggaraan Haji, Jakarta, 2005


____________, Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf, Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyengggaraan Haji, Jakarta, 2003


____________, Perkembangan Penelaahan Wakaf di Indonesia, Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyengggaraan Haji, Jakarta, 2003


____________, Startegi Pengembangan Wakaf Tunai di Indonesia, Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyengggaraan Haji, Jakarta, 2005


____________, Sertifikat Wakaf Tunai, Sebuah Inovasi Keuangan Islam (terj) Jakarta: CIBER dan PKTTI UI, 2002


Utomo, Setiawan Budi, Manajemen Efektif Dana Wakaf Produktif, http:// rumahzakatindonesia
Wakaf Produktif Untuk Kesejahteraan Umat, http://mediaamalislami.org


Waqaf Tunai untuk Beasiswa Pendidikan, http://mediaamalislami.org


Zadi, A. M., "The Role of Zakat in the Islamic System Economics of Curing the Poverty Dilemma" in AMSS


Zahrah, Abu Tanzim al lstam-li-'lmujtama'; Abu Saud, M, Main Features of Islamic Economy (Arabic);


Ziauddin Rees, M., Al-Kharaj in An Islamic State (Arabic)




* Dosen fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan BANDAR LAMPUNG

Tidak ada komentar:

Posting Komentar