Kamis, 18 Juni 2015

WAKAF UANG ANTARA FLEKSIBILITAS BERDERMA DAN SISTIM RIBAWI (Telaah Ulang Keabsahan Fatwa MUI dan UU No. 41 ayat 28 – 31 tentang Wakaf Uang)

WAKAF UANG
ANTARA FLEKSIBILITAS BERDERMA DAN SISTIM RIBAWI 
(Telaah Ulang Keabsahan Fatwa MUI dan UU No. 41 ayat 28 – 31 tentang Wakaf Uang)






Oleh
Hasbullah Hilmi[1]


Abstrak
Wakaf uang merupakan model wakaf baru bagi umat Islam Indonesia. Keberadaan model derma ini dalam konteks Indonesia diperkuat keberadaanya melalui fatwa MUI yang menetapkan wakaf uang jawaz dan UU No. 41 tahun 2004 tentang wakaf yang didalamnya terdapat pengaturan wakaf uang. Kajian kritis terhadap keberadaan uang rupiah sebagai uang fiat murni yang dikendalikan dengan suku bunga dan instabilitas nilai tukar rupiah beberapa tahun ini menjadi dasar argument untuk mengkritisi kembali validitas wakaf uang. Tulisan ini mengajukan alternatif wakaf tunai untuk pembelian aset wakaf bersama dan wakaf investasi sebagai alternatif pemanfaatan fleksibilitas uang dalam berderma.

A.    Pendahuluan

Wakaf sebagai salah satu instrument filantropi Islam dalam batasan normatifnya tidak terlalu tegas dalam Islam. Hal ini berbeda dengan batasan normatif filantropi Zakat. Walau secara normatif kurang tegas, wakaf telah banyak memainkan peran bagi kelangsungan dan perlindungan institusi layanan publik dalam Islam. Batasan nortmatif wakaf yang tidak teralu rigid memberikan peluang ijtihad yang sangat besar. Peluang ijtihad ini memberikan ruang bagi institusi wakaf untuk berkembang sesuai dengan perkembangan sistim sosiaol dan ekonomi yang melatarinya.
Pada era pertengahan sistim ekonomi lebih tertumpu pada penguasaan tanah pertanian dan bangunan. Oleh karena itu maka perkembangan yang sangat signifikan dalam wakaf adalah wakaf tanah dan bangunan. Dalam konteks kekinian muncul inovasi-inovasi atas institusi wakaf yang disesuaikan dengan sistem dan model ekonomi modern. Inovasi baru terahadap model wakaf dalam sistim ekonomi modern yang muncul diantaraanya wakaf uang, saham dan surat berharga lain, wakaf karya intelektual, hak paten.
Wakaf uang atau dalam istilah lain sering dengan istilah wakaf tunai, sebagtai sebuah model wakaf mendapat respon yang berbeda. Bagi sekelompok orang model wakaf ini disambut antusias dan mereka memandang sudah tidak ada masalah secara fiqhiyah atas model ini. Di lain pihak terdapat kelompok masyarakat masih meragukan keabsahan model wakaf ini.
Makalah ini mencoba memberikan analisis kritis terhadap validitas model wakaf uang yang telah ditetapkan oleh fatwa MUI dan UU wakaf dan mencoba mencari solusi fiqhiyah dan praktis atas problem yang muncul atas validitas model wakaf ini.

B. Konsep Uang dan validitas fiqhiyah atasnya

1.Pengertian dan Kriteria Uang

Dalam bahasa Arab uang disebut "naqdun" bentuk plural "nuqud" yang berarti uang, mata uang, valuta dan moneter[2]. Secara kebahasaan "naqdun" mempunyai arti pembayaran kontan atau uang tunai[3] . Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, uang adalah kertas, emas, perak, atau logam lain yang dicetak dengan bentuk atau gambar tertentu, dikeluarkan oleh pemerintah suatu negara sebagai alat tukar atau standard pengukur nilai (kesatuan hitung) yang sah[4].
Secara istilah (epistemology) uang oleh Taqiyuddin An-Nabhani didefinisikan sebagai sesuatu yang dipergunakan untuk mengukur tiap barang dan tenaga[5]. Muchdarsyah Sinungan[6] mendefinisikan sebagai sesuatu yang diterima oleh umum sebagai alat pembayaran dan sebagai alat tukar menukar. Sedang menurut Eugene A Diulio[7] uang adalah barang yang memenuhi fungsi sebagai alat tukar, unit penghitung, penyimpan nilai dan standard untuk tertangguhkan.
Dari berbagai pendefinisian di atas tercermin bahwasanya uang dalam era sekarang sebagaimana tergambar dalam pendefinisian Eugene A Dilio sudah meluas keberadaannya lebih dari sekadar alat tukar menukar barang. Dalam konteks keberadaan uang bukan hanya sekedar alat tukar inilah perbedaan sistem keuangan konvensional dan Islam. Uang, dalam konsep Islam, diletakkan pada fungsi yang esensi yakni sebagai alat tukar. Adapun fungsi lainnya dalam uang yakni sebagai unit of account dan store of value sangat rentan bertentangan dengan Islam bila dalam jasa keuangannya masih berbasis bunga.

2. Pandangan Islam Tentang Uang

Dalam konsep Islam, uang diletakkan pada esensi fungsinya yakni sebagai alat tukar. Adapun fungsi lainnya dalam uang yakni sebagai unit of account dan store of falue sangat rentan bertentangan dengan Islam bila dalam jasa keuangannya masih berbasis bunga.
Uang dalam perekonomian Islam memiliki peran sebagaimana esensinya yakni sebagai alat tukar. Uang merupakan alat mempermudah transaksi dan bukan merupakan benda yang dapat diperjualbelikan sebagaimana layaknya komoditas.[8] Menurut ekonomi Islam uang adalah uang bukan capital. Sedang dalam ekonomi konvensial uang diartikan dengan pertukaranan (interchangeable), sebagai uang atau sebagai capital[9].
Dengan pengertian ini, menurut Adiwarman Karim[10]  konsep uang menjadi tidak jelas dan akan menimbulkan kekacauan. Perbedaan lainnya menurut ekonomi Islam uang adalah sesuatu yang bersifat flow concept sedangkan capital bersifat stock concept. Oleh sebab itu capital is private goods, sedang money is public good. Uang yang mengalir adalah public goods (flow concept), sedangkan yang mengendap sebagai milik seseorang (stock concept) adalah milik pribadi (private goods).


Konsep Islam
Konsep Konvensional
Uang tidak identik dengan modal
Uang sering diidentikkan dengan modal
Uang adalah public goods
Uang (modal) adalah private goods
Modal adalah private goods
Uang (modal) adalah flow concept bagi fisher
Uang adalah flow concept
Uang adalah (modal) adalah stock concept bagi Cambridge school
Modal adal stock concept


3. Uang Kertas dan Dinar Dirham

Dinar dan Dirham sebagai mata uang yang berlaku di kalangan umat Islam lenyap seiring dengan runtuhnya khilafah Islamiyah Usmaniyah. Sejak masa itu hampir seluruh umat Islam di berbagai pelosok dunia telah menggunakan uang kertas fiat murni.
Upaya menghidupkan kembali dinar emas dan dirham perak sebagai alat tukar di kalangan umat islam diawali oleh gerakan murabbitun di Eropa yang dipimpin oleh seorang muallaf Islam yang bernama Syekh Abd Qodir as Sufi nama sebelum Islamnya adalah Ian Dallas salah seorang penulis naskah pada TV BBC London.. Gerakan murabbitun yang didirikannya salah satu dakwahnya menyerukan umat Islam untuk keluar dari system perdagangan ribawi menuju perdagangan yang adil sesuai syariat Islam dengan memberlakukan kembali dinar dan dirham. Pada Awal 1990 an Syekh Abdal Qadir as Sufi berjumpa dengan Prof Umar Ibrahim Vadillo di Jerman.  Pada tahun 1992 dinar dan dirham mulai dicetak. Untuk memperjelas pemberlakukannya  didirikan World Islamic Trade Organization (WITO) dan World Islamic mint (WIM)[11].
Keberadan uang kertas menjadi sebuah kenyataan yang tidak terelakkan. Hampir seluruh negara di dunia termasuk Negara-negara muslim menerapkan uang kertas fiat murni sebagai uang negara masing masing.
Kehalalan uang kertas sebagai alat transaksi bagi umat Islam kembali muncul disuarakan oleh beberapa kalangan kecil masyarakat islam. Kalangan yang getol mengugat kehalalan uang kertas adalah kalangan yang sangat yakin keharusan kembalinya mata uang ummat Islam pada prinsip bimentalis yakni mata uang dinar dan dirham. Terhadap keharaman uang kertas telah terbit fatwa keharaman uang kertas oleh gerakan murabitun pada tahun 1991[12]
Argumen pengharaman uang kertas yang dilontarkan oleh kalangan penolaknya adalah:
1)      Uang kertas, nilai yang dipunyai tidak secara instrinsik pada uang tersebut melainkan pada jaminan pembuat uang tersebut. Uang kertas model ini menurut Zaim Saidi[13] ( 2010: 102-103) adalah riba karena nilai nominal ditentukan oleh negara lewat keputusan politik. Penulisan nilai nominal angka yang jauh dari nilai intrinsic harga kertas tersebut termasuk kategori menambah sesuatu dari ketiadaan. Penambahan sesuatu dari ketiadaan mencerminkan uang secara substansi adalah riba.
2)      Uang kertas, pasca dilepaskannya dari jaminan cadangan emas, menjadi uang fiat murni. Sebagai uang fiat murni, nilai tukar mata uang ditentukan dengan tingkat permintaan dan ketersediaan uang tersebut. Pengendalian terhadap nilai mata uang dilakukan dengan kebijakan suku bunga yang dikeluarkan oleh bank central penerbit mata uang. Adanya pendapat yang menguat bahwasanya bunga bank itu sama dengan riba maka dengan sendirinya uang fiat murni sebagai produk sistem bunga adalah produk sistem riba. Segala produk sistem riba adalah riba dan haram. Keberadaan perbankan sebagai mesin penggerak mata uang menjadi alasan lain akan ribanya uang. Menurut Zaim Saidi[14]  selain uang kertas mesin penggerak perbankan adalah bunga dan utang-piutang (kredit). Perbankan adalah mesin penggerak riba. 
Kalangan penolak kehalalan uang kertas, menawarkan solusi kembali pada mata uang yang nilainya intrinsic pada mata uang tersebut yakni mata uang bimentalis dinar dan dirham. Klaim kehalalan mata uang bimentalis yang mereka lakukan sekaligus mengklaim hanya dinar dan dirham satu-satunya mata uang yang sesuai dengan Islam. Dengan pandangan seperti ini, kalangan ini secara lebih jauh memandang tidak sah segala bentuk ibadah maliyah seperti zakat bila menggunakan selain dinar dan dirham.
Klaim bahwa dalam Islam hanya diakui dinar dan dirham sebagai matauang islami sebenarnya terlalu berlebihan. Dinar dan dirham memang satu-satunya mata uang yang berlaku di masa awal islam. Dan berlakunya dinar dan dirham adalah warisan sistem ekonomi sebelum islam yang telah menggunakan dinar dan dirham sebagai matauang. Berlakunya mata uang dinar dan dirham bukan dimulai karena islam datang. Pada masa Umar bin Khattab pernah muncul gagasan dari Ummar untuk mengganti mata uang dinar dan dirham dengan kulit unta. Gagasan ini ditentang oleh banyak kalangan sahabat dengan alasan bila mata uang itu diganti dengan kulit unta maka akan sulit dikontrol dan tidak hanya akan membawa pada excessive creation of money tetapi juga keberlangsungan hidup unta[15]. Adanya ide penggantian mata uang dengan kulit unta oleh Ummar walau urung dilaknsakan secara tidak langsung menunjukkan islam memandang uang itu hanya alat tukar dan tidak mesti dinar dan dirham. Bila dinar dan dirham dipandang sebagai satu-satuny mata uang islami tentunya Ummar tidak akan terbersit untuk menggantinya dan para shabat yang menolak ide ummar mennganti dinar dan dirham dengan kulit unta tentunya akan mengingatkan umar tentang kesalahan idenya karena melanggar islam bukan karena alasan rasional di atas.
Bagi mayoritas kalangan muslimin memandang halal uang kertas. Terhadap kehalalan uang kertas telah ada kesepakatan ulama yang mendekati Ijma yakni dengan adanya putusan fukaha secara internasional oleh komite fikih Rabithah al a’lam al Islami pada tahun 1982 dan OKI pada Oktober 1986[16] (Chapra, 1996: 5). Fatwa ini menggap uang kertas sama posisinya dengan dinar dan dirham sebagai alat tukar dan alat penyimpan kekayaan. Oleh karena itu terhadap uang kertas juga terkena kewajiban zakat bila telah mencapai nishab.
Adanya fatwa tersebut ditegaskan oleh Muh Umer Chapra bukan berarti seseorang dapat mengeluarkan mata uang dalam berapapun jumlahnya. Para fukaha secara mayoritas telah menelkankan bahwa mata uang harus diterbitkan oleh aturan otoritas dan harus mempunyai nilai yang stabil mampu menunjukkan efisiensi fungsi sebagai measure of value, a medium of exchange dan a store of purchasing power. Adanya penekanan fukaha pada stabilitas nilai tukar baik internal maupun eksternal sesuai dengan penekanan al Qur’an yang tegas  dalam keadilan dan kejujuran untuk semua ukuran dan nilai. Kewajiban adil dan jujur tidak hanya ditekankan pada individu tetapi juga pada negara dan masyarakat.

C. Wakaf Uang: Wakaf Ribawi?

1.Konsepsi Wakaf Uang

Wakaf uang adalah wakaf berupa uang tunai yang diinvestasikan ke dalam sektor-sektor ekonomi yang menguntungkan dengan ketentuan prosentase tertentu digunakan untuk pelayanan sosial[17].
Secara historis, wakaf uang telah ada pada abad 16 M, pada masa kekuasaan Turki Usmani[18]. Pada masa ini  aset atau uang tunai yang berasal dari wakaf dikumpulkan dalam pooling fund kemudian oleh nazhir yang ditunjuk oleh pemerintah disalurkan ke sektor bisnis dalam bentuk pinjaman dimana biasanya setelah satu tahun si peminjam tersebut mengembalikan pinjaman pokok plus extra return. Kemudian extra return yang telah diperoleh dan telah terakumulasi digunakan untuk membiayai kebutuhan sosial[19].
Istilah Wakaf Uang era modern ini secara teknis diperkenalkan pertama kali oleh Prof. MA Mannan seorang ekonom yang berasal dari Bangladesh. Ia mendirikan suatu badan yang bernama SIBL (Sosial Investment Bank Limited) di Banglades. SIBL memperkenalkan produk sertifikat Wakaf Tunai (Cash Waqf Certificate) yang pertama kali dalam sejarah perbankan. SIBL menggalang dana dari orang kaya untuk dikelola dan keuntungan pengelolaan disalurkan kepada rakyat miskin[20].
Kemunculan instrument wakaf uang di Indonesia seiring dengan adanya upaya baru atau istilah lainnya paradigma baru pemberdayaan wakaf di Indonesia. Paradigma ini sebagaimana di kemukakan oleh Junaidi dkk sebagaiman di kutip oleh Jaih Mubarak [21] berasas pada 1). Asas keabadian manfaat; 2). Asas pertanggungjawaban 3). Asas profesionalitas manajemen dan 4) asas keadilan sosial.

2. Kebolehan Wakaf Uang

a.Legalitas Wakaf Uang dalam Prespektif Ulama

Dalam perspektif fikih Islam, terdapat ikhtilaf ulama akan keabsahan wakaf uang. Secara garis besar dibagi pada kalangan yang membolehkan dan yang melarang. Dikalangan Syafi’iyah Imam Nawawi “dan berbeda pendapat para sahabat kita mengenai wakaf dengan dinar dan dirham, (sebagian) membolehkan berwakaf dengannya, dan (sebagia lain) tidak memperbolehkan mempersewakan dan memperbolehkan mewakafkannya”. Dalam Mazhab Hanafi Ibnu Abidin ( berpendapat soal sah tidaknya wakaf uang tergantung adat kebiasaan di satu tempat. Wakaf dinar dan dirham sudah menjadi kebiasaan di negeri Romawi sehingga dengan dasar prinsip di atas wakaf dinar dan dirham sah di tempat itu dan tidak sah ditempat lainnya. Dalam mazhab Hanabilah Ibnu Taimiyah  meriwayatkan satu pendapat dikalangan hanabilah yang membolehkan wakaf uang. Pendapat lain dikalangan Hanabilah seperti Ibnu Qudamah dalam kitabnya al Mughni  yang meriwayatkan dari senbagian besar ulama yang tidak membolehkan wakaf uang dirham dengan alasan dirham dan dinar akan lenyap ketika dibayarkan sehingga tidak ada wujudnya. Disamping itu Ibn Qudamah juga menjelaskan alasan tidak sahnya wakaf uang dengan mempersewakan uang maka telah merubah  fungsi utama uang sebagai alat tukar sama halnya dengan larangan mewakafkan pohon untuk jemuran oleh karena fungsi utama pohon bukan untuk jemuran pakaian.
Titik pangkal perbedaan kebolehan wakaf uang adalah pemahaman tentang keabadian uang sebagai  media wakaf sekaligus kebolehan adanya wakaf temporer. Dalam menyikapi perbedaan tersebut  Hendra Kholid[22] cenderung pada pendapat yang membolehkan dengan alasan pada tujuan umum wakaf untuk memberikan manfaat pahala atas benda yang diwakafkan secara terus menerus itu terealisir dalam wakaf uang. Walaupun fisiknya lenyap setelah di-tasharup-kan tapi nilainya tetap dan manfaatnya tetap mengalir. Alasan kedua wakaf merupakan konsep fikih ijtihadiyah sehingga memberi  peluang pintu ijtihad yang lebar. Terlebih Wakaf masuk kategori fikih muamalat dengan kaidah hukum asal dalam muamalah itu adalah sah sampai ada dalil yang menyatakannya tidak sah.
Keputusan Fatwa Komisi Fatwa Majlis Ulama Indonesia mrntapkan bahwa:
1)      Wakaf Uang  (cash wakaf/wakf al-Nuqud) adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai.
2)      Termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga
3)      Wakaf Uang hukumnya jawaz (boleh)
4)      Wakaf Uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang dibolehkan secara syar'i (mashraf mubah).
5)      Nilai pokok Wakaf Uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan dan atau diwariskan[23].

b.Legalitas Wakaf Uang dalam hukum Positif di Indonesia.

Diakuinya model wakaf uang dalam undang-undang diawali dengan pendefinisian benda wakaf lebih fleksible dan luas sebagaimana tercantum dalam pasal 1 ayat 5. Pendefinisian benda wakaf dalam pasal ini tidak hanya mencakup benda tidak bergerak dan benda bergerak secara konvensional tetapi juga mencakup benda ekonomi modern seperti surat berharga dan hak karya intelektual. Dengan pendefinisian benda wakaf seperti ini maka uang dapat dikategorikan sebagai benda wakaf karena memiliki daya tahan lama dan nilai ekonomi. Penegasan uang sebagai benda wakaf terdapat dalam bagian keenam tentang harta benda wakaf pasal 1 tentang harta benda bergerak
Pengaturan khusus wakaf uang terdapat dalam bagian kesepuluh yang membahas wakaf benda bergerak berupa uang. Pelaksanan wakaf uang dilakukan melalui lembaga keuangan syari’ah (LKS) yang ditunjuk menteri. Pernyataan kehendak wakaf uang dilakukan secara tertulis dalam bentuk sertifikat wakaf yang dibuat oleh lembaga keuangan syari’ah dimana wakaf uang itu dilakukan.[24] LKS mempunyai kewajiban melaporkan wakaf uang ke menteri.
Pengaturan wakaf uang secara lebih detil diamanatkan oleh UU untuk dibuat peraturan pemerintah sebagai peraturan pelaksana. Peraturan pelaksana wakaf uang terdapat dalam peraturan pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan UU No.  41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Peraturan khusus terkait pengelolaan wakaf uang terdapat pada paragraph 3 mengenai benda bergerak berupa uang.

3. Menguji keabsahan wakaf uang : Sebuah Kritik

Legalisasi praktek wakaf uang yang terdapat dalam UU No 41 tentang wakaf dan fatwa kebolehan wakaf uang (jawaz) dalam fatwa MUI  perlu ditinjau kembali atau setidaknya harus diberikan catatan tambahan dalam penerimaan dan penerapan wakaf uang. Jangan sampai demi alasan kepraktisan dan kemudahan fundrising dan investasi wakaf mengenyampingkan aspek paling prinsip dalam sistim muamalah Islam yakni "Allah Menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba". Perlunya catatan tambahan atas legalitas wakaf uang di Indonesia karena adanya beberapa problem substansial dan praktis terkait konsep dan model pengelolaan wakaf uang.
Realitas uang yang dipakai di Indonesia sementara ini adalah uang fiat murni yang nilai dan stabilitasnya sangat ditentukan oleh sistim bunga. Bila berpegang pada kesimpulan hukum bahwasanya bunga itu adalah riba maka secara otomotis uang fiat murni yang kita gunakan ini berjalan atas sistim riba. Penetapan jawaz terhadap wakaf uang  bila tanpa catatan lebih lanjut secara intrinsik berarti telah mendukung atau setidaknya telah mentolerir sistim uang fiat murni yang berdasar pada sistim ribawi.
Dengan konsep wakaf menahan pada asalnya dan mendayagunakan hasilnya mengandung pengertian bahwa benda wakaf itu harus bersifat private goods dan  stock concept. Sedang Uang dalam pandangan Islam adalah public goods dan flow concept. Dengan adanya wakaf uang maka secara tidak langsung telah menjadikan uang sebagai capital, bersifat privat goods dan stock concept. Hal ini bertentangan dengan konsep uang dalam Islam dan menjadikannya sebagai bagaian dari sistim ekonomi ribawi/konvensional.
Menelaah argument yang dijadikan dasar acuan kebolehan wakaf uang oleh MUI yang merujuk pada beberapa riwayat beberapa ulama dahulu yang membolehkan wakaf dinar dan dirham sangat lemah. Karena terdapat perbedaan prinsip antara uang dinar dan dirham dengan uang kertas fiat yang berlaku di dunia sekarang khususnya mata uang rupiah di Indonesia.
Problematika lain dari dijadikannya uang kertas sebagai obyek wakaf adalah pada aspek stabilitas harga atau nilai mata uang. Dengan keberadaan sebagai uang fiat murni, nilai mata uang sangat ditentukan dengan kondisi makro ekonomi dari lembaga atau negara penerbit mata uang. Kondisi ini menimbulkan fluktuasi nilai mata uang baik inflasi mapun deflasi. Tingkat fluktuasi pada tingkatan tertentu sampai pada tingkat volatilitas yang sangat tinggi seperti kasus pada era krisisi moneter di Indonesia tahun 1997-1998 yang turun secara tajam nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika serikat dari Rp 2500 mencapai 15 ribu per dolar amerika. Krisis moneter 1997-1998 menimpa hampir semua mata uang di asia. Krisis dimulai dari mata uang bath Thailand yang kemudian meyebar ke Indonesia, Malaysia, Korea dan Filipina. Krisis moneter di dunia yang berakibat jatuhnya sebauah mata uang di dunia sering terjadi dan menimpa hampir semua mata uang. Pada tahun 1982 krisis mata uang Paso di Meksiko yang berakibat pada krisis moneter pada hampir semua negara amerika latin. Tahun 1992 krisis pasar uang finlandia yang berakibat pada semua mata uang Eropa kecuali Jerman.[25]   Kondisi seperti ini menimbulkan permasalahan bila uang itu dijadikan benda wakaf apakah pengurangan atau bahkan mungkin penambahan nilai mata uang karena faktor inflasi atau deflasi bermakna juga pengurangan terhadap benda wakaf walau secara nominal masih tetap. Apakah bila pada tahun  1990 wakaf uang sebesar 25 juta pada tahun 2010 masih tetap utuh 25 juta padahal nilai yang dikandung nominal tersebut telah jauh berkurang?

4.Model lain alternative wakaf uang

Dari argument – argument keharusan memberikan catatan lebih lanjut atas kebolehan wakaf uang ini, demi dapat tetap meraih fleksibilitas pemanfaatan instrument uang dalam berderma maka diajukan model alternative berikut ini:

a.Beralih dari uang fiat ke Uang komuditas

Wakaf uang biar bisa terbebas dari jebakan sistim ribawi sehingga tidak menodai keikhlasan berderma hendaklah beralih dari wakaf uang kertas fiat (rupiah dll) kembali kedalam uang komoditas emas dan perak atau dinar dan dirham.
Upaya kelahiran kembali mata uang Emas dan perak dirintis kembali pada masa kini. Uang koin emas dan perak pertama kali dicetak di zaman mutakhir ini di Granada Spanyol tahun 1992. Untuk di Indonesia telah dicetak oleh fuqara Darqawi mulai tahun 2000[26]. Adapun bagaimana mendapatkan dan bagaimana berinvestasi dengan uang dinar mesti disampaikan pada kajian berikutnya.
Oleh karena itu perlu adanya usulan revisi atas Peraturan Pemerintah (PP) yang mengharuskan wakaf uang dalam mata uang rupiah (PP No. 42 Tahun 2006). Kecuali bila dalam perkembangannya sistim moneter kita betul-betul telah terbebas dari unsur riba dimana uang fiat kertas bukanlah mata uang dikeluarkan oleh perbankan yang stabilitasnya diatur oleh suku bunga melainkan mata uang kertas yag dikeluarkan oleh Negara (Islam) dengan dasar cadangan devisa yang kuat dan stabil sehingga tidak memungkinkan lagi masuknya unsur spekulatif. Model keuangan ini diusulkan oleh Ahmad Hasan[27]  berupa mata uang bersama Negara – Negara Islam seperti yang terjadi dengan mata uang bersama Uni Eropa.

b.Beralih dari wakaf uang ke Wakaf Investasi

Dalam konteks instrument mata uang dinar dan dirham belum establish sekarang ini, dan keberadan uang fiat masih berjalan dalam sistim ribawi, hendaknya uang dalam wakaf uang/tunai hanya sebagai instrument alat pembayaran semata bukan obyek wakaf secara langsung. Gambaran tehnisnya sebagai berikut:
i)Wakaf Uang digunakan sebagai instrument pembentuk wakaf bersama atas barang tertentu. Missal wakaf uang untuk dibelikan tanah bersama-sama oleh beberapa wakif, untuk dibelikan fasilitas umum seperti mobil jenazah dan lainnya yang umum dilaksakan oleh badan-badan pengelola wakaf tunai/uang saat ini. Dengan pola seperti ini 'ain wakafnya adalah barang bergerak atau tidak bergerak yang dijadikan sebagai wakaf bersama / kolektif.
ii)      Wakaf Uang digunakan langsung sebagai instrumen penyertaan modal (mudharabah) sehingga barang wakafnya bukan berupa uang tapi saham atau persentasi kepemilikan modal usaha.

D.Penutup

Dari pemaparan di atas disimpulkan bahwa:
a) Uang dalam kesejarahannya telah mengalami proses perubahan jenis dan sistim dari uang komoditas ke uang fiat. Uang Kertas Fiat yang berkembang saat ini dikembangkan diatas basis sistim ribawi dimana instrument bunga digunakan sebagai instrument utama dalam menjaga stabilitasnya. Mengacu pada fatwa MUI yang menegaskan bunga bank itu haram maka segenap instrument bunga dan produk turunannya mesti haram termasuk uang kertas fiat. Fatwa MUI dan UU wakaf yang melegalisasikan keberadaan wakaf Uang di Indonesia sekarang secara otomatis bertentangan dengan keberadaan sistim uang fiat di di Indonesia yang berbasis sistim bunga. Dan Bunga Bank atas dasar fatwa MUI adalah Riba.
b) Untuk tetap mendayagunakan fleksibilitas uang fiat yang tidak bisa ditolak keberdaannya sekarang ini, maka pola wakaf tunai masih dibutuhkan namun dalam implementasinya uang hanya berupa alat tukar atas benda wakaf yang disepakati misal wakaf tunai untuk pembelian benda bergerak atau untuk saham dengan pola mudharabah.
Semoga tulisan singkat ini bisa menjadi koreksi sekaligus bahan renungan untuk menuju sistim muamalah yang betul-betul halal dan terjauh dari Riba.



Daftar Pustaka

Ahmed, Ziauddin dkk, 1983, Money and Banking in Islam, Islamabad: Institute of Policy Studies.

An-Nabhani, 2000, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif: Suatu Pendekatan Teoritis, Surabaya: Risalah Gusti
Chapra,  Muhammad Umer, 1996, “Monetary Management in an Islamic Economydalam Islamic Economic Studies Vol 4, No. 1 December 1996 hal 1 - 34
Departemen P & K, 1988, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.

Diulio, Eugene A, 1993, Teori dan soal-soal Uang dan Bank, Jakarta: Erlangga.

Djuaeni, M. Napis, 2006, Kamus Kontemporer Istilah politik dan Ekonomi Arab-Indonesia, Jakarta: Teraju.

Djunaidi dkk, 2007, Strategi Pengembangan Wakaf Tunai di Indonesia, Jakarta: Depag RI

El-Diwany, Tarek, Membongkar Konspirasi Bunga Bank, Jakarta: PPM

Hasan, Ahmad, 2005, Mata Uang Islami: Telaah Komprehensif Sistem Keuangan Isami, Jakarta: Rajawali Press.

Hendra, 2008, Wakaf Uang dalam penanggulangan kemiskinan di Indonesia (studi Kasus Tabung Wakaf Indonesia dan Wakaf Uang Muamalat Baitul Mal  Muamalat, Desertasi tidak diterbitkan, Jakarta: SPS UIN Jakarta
Iqbal, Muhaimin, 2009, Dinar The Real Money: Dinar Emas , Uang dan Investasiku, Jakarta: Gema Insani Press.

Karim, Adiwarman, 2002, Ekonomi Islam suatu kajian ekonomi makro, Jakarta: Jakarta: IIIT Indonesia.

Majlis Ulama Indonesia, 2003, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Jakarta: Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji depag RI.

Masyhuri, 2005, Teori Ekonomi Islam, Yogyakarta: Kreasi Wacana

Mubarok, Jaih, 2008, Wakaf produktif, Bandung: Simbiosa Rekatama

Munawir, AW,1984, Kamus al Munawwir: Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka Progresif.
Prasetyantoko, A 2008, Bencana Finansial: Stabilitas Sebagai Barang publik, Jakarta: kompas

Rothbard, Murray N, 2007, Apa yang dilakukan Pemerintah Terhadap Uang Kita?: Sebuah pengantar komprehensif ekonomi uang dari Nazhab Austria, Jakarta: Granit.

Saidi, Zaim, 2007, Ilusi Demokrasi: Kritik dan Oto Kritik Islam, Jakarta: Republika.
________, 2010, Tidak Syar’inya Bank Syari’ah di Indonesia dan jalan keluarnya menuju muamalat, Yogyakarta: Delokomotif.
Sinungan, Muchdarsyah, 1995, Uang dan Bank, Jakarta: Rineka Cipta.

Undang Undang Republik Indonesia, 2007, Undang-undang RI Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, Bandung: Fokus Media.

Wadjdy, Farid dan Mursydi, 2007, Wakaf dan Kesejahteraan Umat: Filantropi Islamyang hamper dilupakan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar





[1] Mahasiswa program Doktor Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang dan Dosen STAI Darullughah Wadda’wah Bangil Pasuruan Jawa Timur
[2] Djuaeni, M. Napis, Kamus Kontemporer Istilah politik dan Ekonomi Arab-Indonesia, (Jakarta: Teraju, 2006) hlm 797.
[3] Munawir, AW, Kamus al Munawwir: Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif,1984) hlm 1452
[4] Departemen P & K, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), hlm 979
[5] An-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif: Suatu Pendekatan Teoritis, (Surabaya: Risalah Gusti, 2000), hal 979
[6] Sinungan, Muchdarsyah, Uang dan Bank, (Jakarta: Rineka Cipta, 1995), hal  4
[7] Diulio, Eugene A, Teori dan soal-soal Uang dan Bank,( Jakarta: Erlangga, 1993), hal 2
[8] Masyhuri, Teori Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005), hal 115.
[9] Wadjdy, Farid dan Mursydi, Wakaf dan Kesejahteraan Umat: Filantropi Islam yang hamper dilupakan,( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 69.
[10] Karim, Adiwarman, Ekonomi Islam suatu kajian ekonomi makro, (Jakarta: Jakarta: IIIT Indonesia, 2002), hal 19.
[11] Nurman Kholis, 2007: 75 – 76
[12] Zaim Saidi, Tidak Syar’inya Bank Syari’ah di Indonesia dan jalan keluarnya menuju muamalat, (Yogyakarta: Delokomotif 2010) hlm 127
[13] Ibid., hlm. 102-103
[14] Ibid., hlm. 105
[15] Muhammad Umer Chapra, “Monetary Management in an Islamic Economydalam Islamic Economic Studies (Vol 4, No. 1 December 1996 hal 1 - 34 1996) hlm 6
[16] Ibid., hlm. 6
[17] Abubakar, dkk. Filantropi Islam & Keadilan Sosial: studi tentang potensi, tradisi, dan pemanfaatan filantropi Islam di Indonesia, (Jakarta: CSRC UIN Jakarta, 2006) hlm. 78
[18] Ibid., hlm.78
[19] Farid Wajdy dan Mursydi, 2007, Wakaf dan Kesejahteraan Umat: Filantropi Islam yang hamper dilupakan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar ,2007) hlm.  84
[20] Djunaidi dkk, Strategi Pengembangan Wakaf Tunai di Indonesia, (Jakarta: Depag RI 2007)  hlm. 12
[21] Jaih Mubarak , Wakaf Produktif, (Bandung: Simbiosa Rekatama , 2008) hlm. 27
[22] Hendra Kholid Wakaf Uang dalam penanggulangan kemiskinan di Indonesia (studi Kasus Tabung Wakaf Indonesia dan Wakaf Uang Muamalat Baitul Mal  Muamalat, Desertasi tidak diterbitkan, ( Jakarta: SPS UIN Jakarta, 2007) hlm. 28 – 29
[23] Majlis Ulama Indonesia, 2003, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta: Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji depag RI , 2003) hlm. 86
Pasal 29 berbunyi: “(1) Wakaf benda bergerak berupa uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dilaksanakan oleh Wakif dengan pernyataan kehendak Wakif yang dilakukan secara tertulis.(2) Wakaf benda bergerak berupa uang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)diterbitkan dalam bentuk sertifikat wakaf uang.(3) Sertifikat wakaf uang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan dan disampaikan oleh lembaga keuangan syariah kepada Wakif dan Nazhir .
[25]  Prasetyantoko,  A,  Bencana Finansial: Stabilitas Sebagai Barang publik, (Jakarta: kompas, 2008) hlm. 26-27
[26] Zaim Saidi, Tidak Syar’inya Bank Syari’ah , hlm. 28-29
[27] Ahmad Hasan, Mata Uang Islami: Telaah Komprehensif Sistem Keuangan Isami, (Jakarta: Rajawali Press, 2005)  hlm. 328

Tidak ada komentar:

Posting Komentar