Senin, 21 September 2015

Perbedaan Pelaksanaan Puasa Arafah Sebagian Kaum Muslimin di Indonesia Dengan Pelaksanaan Wukuf di Arafah Oleh Jamaah Haji di Arab Saudi



Perbedaan Pelaksanaan Puasa Arafah Sebagian Kaum Muslimin di Indonesia Dengan Pelaksanaan Wukuf di Arafah Oleh Jamaah Haji di Arab Saudi



 


Pendahuluan

Ijtimak atau Konjungsi geosentris Bulan-Matahari untuk awal Zulhijah 1436 H, pada hari Minggu 13 September 2015 pukul 13: 41 WIB. Ijtimak yakni peristiwa saat titik pusat cakram Bulan dan titik pusat cakram Matahari menempati satu garis bujur ekliptika yang sama dipandang pusat Bumi.

 
Gambar 1
Garis Tanggal Awal Zulhijah 1436 H versi Mawaaqit 2001


Pada saat Matahari terbenam Minggu 13 September 2015 berdasarkan kriteria Imkanurrukyah Pemerintah Indonesia dalam penentuan 1 Zulhijjah 1436 H. Nampak bahwa Indonesia Timur dan Tengah berada pada garis yang menunjukkan tinggi Bulan sama dengan -1 sampai 0 derajat. Sedangkan sebagian Indonesia Barat; Sumatera,  Jawa, dan Kalimantan + 0 derajat.  Hari Minggu 13 September 2015 pada setiap takwim (kalender) di Indonesia menunjukkan tanggal yang sama bertepatan dengan 29 Zulkaidah 1436 H. Baik dalam takwim resmi pemerintah Republik Indonesia adalah takwim standar Indonesia yang dikeluarkan oleh Kementrian Agama, maupun dalam kalender ormas Islam seperti Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama (NU). Namun di Indonesia terdapat perbedaan dalam penentuan tanggal 1 Zulhijah 1436 H, yang pada tataran selanjutnya berimbas pada perbedaan pelaksanaan ibadah puasa Arafah dan merayakan Idul Adha.

Mengapa Terdapat Perbedaan Dalam Penentuan Awal Bulan Kamariah
Di Indonesia?
 Dalam penentuan awal bulan Kamariah terdapat perbedaan  di antara ulama, sebagiannya menyatakan harus berdasarkan pada hasil rukyatul hilal sedangkan sebagian lain menggunakan metode hisab.
Penetapan awal bulan berdasarkan pada keberhasilan rukyatul hilal  harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Terdapat perbedaan di kalangan ulama tentang  persyaratan-persyaratan tersebut. Hanafiah mensyaratkan penetapan awal Ramadan dan Syawal berupa hasil rukyatul hilal satu kelompok  besar jika kondisi cuaca atau langit cerah. Dan memadai kesaksian keberhasilan rukyatul hilal  seorang yang adil  pada kondisi berawan, berkabut, dan sejenisnya. Adapun Malikiah mensyaratkan keberhasilan rukyah dari dua atau lebih orang yang adil. Dan mencukupi keberhasilan rukyah satu orang yang adil pada kondisi hilal tidak terdapat keraguan untuk dapat terlihat. Memadai keberhasilan rukyah seorang yang adil menurut Syafi’iah dan Hanabilah, walaupun pada kondisi terdapat penghalang menurut Syafi’iah.  Namun tidak memadai dalam kondisi tersebut menurut Hanabilah.  Menurut kalangan Hanabilah dan Malikiah mensyaratkan keberhasilan rukyah dua orang yang adil pada rukyah awal Syawal untuk penentuan Idul Fitri.
Pelaksanaan rukyatul hilal sebagai metode penentuan awal bulan Kamariah; di Nusantara diyakini sudah dilaksanakan semenjak Islam masuk ke kepulauan Nusantara. Ini berdasarkan pada perintah untuk melaksanakan rukyatul hilal sebelum umat Islam melaksanakan ibadah puasa Ramadan dan hari raya Idul Fitri. Setiap tanggal 29 Syakban dan 29 Ramadan umat Islam beramai-ramai pergi ke bukit-bukit atau pantai-pantai untuk bersama-sama menyaksikan hilal di ufuk barat saat matahari terbenam.  Jika hilal berhasil dirukyah, maka malam itu adalah malam tanggal satu dari bulan yang baru. Namun bila hilal tidak berhasil dirukyah, malam itu adalah malam hari ketiga puluh dari bulan yang sedang berlangsung.
Semula pelaksanaan rukyatul hilal dilakukan secara spontanitas oleh umat Islam untuk mengetahui awal bulan-bulan yang terkait dengan ibadah. Pelaksanaannya dipandu oleh para ulama dan pemimpin keagamaan lainnya. Setelah berdirinya kerajaan-kerajaan Islam Nusantara, pelaksanaan rukyat selain yang dilaksanakan secara spontanitas oleh umat Islam, juga ada yang dikoordinir oleh pejabat-pejabat keagamaan di kerajaan yang bersangkutan.
Selanjutnya, di kalangan ahli hisab terdapat pula perbedaan dalam penentuan awal bulan Kamariah. Di antaranya, terdapat pendapat yang menyatakan bahwa awal bulan baru itu ditentukan hanya oleh terjadinya ijtimak  sedangkan yang lain mendasarkan pada terjadinya ijtimak dan  posisi hilal. Kelompok yang berpegang pada sistem ijtimak menetapkan jika ijtimak  terjadi sebelum Matahari terbenam, maka sejak Matahari terbenam itulah awal bulan baru sudah mulai masuk. Mereka sama sekali tidak mempermasalahkan hilal dapat dirukyah atau tidak. Sedangkan kelompok yang berpegang pada terjadinya ijtimak dan posisi hilal menetapkan jika pada saat Matahari terbenam setelah terjadinya ijtimak dan  posisi hilal sudah berada di atas ufuk, maka sejak Matahari terbenam itulah perhitungan bulan baru dimulai.
Keduanya sama dalam penentuan awal masuknya bulan Kamariah, yakni pada saat Matahari terbenam setelah terjadinya ijtimak. Namun keduanya berbeda dalam menetapkan kedudukan bulan di atas ufuk. Aliran ijtima’ qabl gurub sama sekali tidak mempertimbangkan dan memperhitungkan kedudukan hilal di atas ufuk pada saat sunset. Sebaliknya kelompok yang berpegang pada terjadinya ijtimak dan posisi hilal saat sunset menyatakan apabila hilal sudah berada di atas ufuk itulah pertanda awal masuknya bulan baru. Bila hilal belum wujud berarti hari itu merupakan hari terakhir dari bulan yang sedang berlangsung.
Selanjutnya kedua kelompok ini masing-masingnya terbagi lagi menjadi kelompok-kelompok yang lebih kecil. Perbedaan ini disebabkan atau dikaitkan dengan fenomena-fenomena yang terdapat di sekitar peristiwa ijtimak dan gurub asy-syams.  Dan dalam perkembangan wacana dalam penetapan awal bulan Kamariah, kelompok yang berpegang pada posisi hilal inilah yang lebih mendominasi. Selanjutnya akan dibahas tentang kelompok yang berpedoman pada wujudul hilal dan kelompok yang berpedoman pada imkanur rukyah dalam penentuan awal bulan. Keduanya merupakan bagian dari mereka yang berpegang pada posisi hilal, namun mereka memiliki standar atau patokan yang berbeda.
Mereka yang berpedoman pada wujudul hilal menyatakan bahwa pedoman masuknya awal bulan adalah telah terjadi ijtimak  sebelum terbenam Matahari dan pada saat sunset itu hilal telah wujud di atas ufuk. Sementara itu mereka yang berpedoman pada imkanur rukyah menyatakan bahwa patokan masuknya awal bulan adalah telah ijtimak terjadi sebelum terbenam Matahari dan pada saat sunset itu hilal telah berada di atas ufuk pada ketinggian yang memungkinkan untuk dirukyah.
Dalam menentukan masuknya awal bulan, mereka yang berpedoman pada wujudul hilal berpatokan pada posisi hilal sudah di atas ufuk tanpa mematok ketinggian tertentu. Jika hilal telah di atas ufuk otomatis pertanda masuknya awal bulan. Mereka yang berpedoman pada Imkanur rukyah menentukan ketinggian tertentu hilal sehingga memungkinkan untuk dirukyah. Kriteria ketinggian hilal ini pun dimaknai berbeda-beda, ada mereka yang menyatakan  bahwa ketinggian hilal untuk memungkinkan untuk dirukyah harus memiliki ketinggian tertentu. Di samping itu ada kriteria-kriteria lain sebagai pendukung seperti illuminasi bulan, jarak antara Bulan dan Matahari saat gurub, posisi hilal terhadap Matahari, jangka waktu antara ijtimak dan terbenamnya Matahari, dan lainnya.

Penetapan Awal Zulhijah 1436 H

Pada saat 29 Zulkaidah 1436 H yang bertepatan dengan hari Minggu 13 September 2015, tak satupun titik di Indonesia yang memenuhi kriteria Imkanurrukyat. Sehingga dalam pemaparannya di sidang itsbat penetapan awal Zulhijjah 1436 H, NU menyatakan tak satupun pos rukyat hilal di bawah jejaring NU yang melaporkan keterdeteksian hilal. Sehingga bulan kalender Zulkaidah 1436 H pun digenapkan menjadi 30 hari (istikmal) dan 1 Zulhijjah 1436 H bertepatan dengan Selasa 15 September 2015.
Sementara Muhammadiyah tidak menunggu hasil rukyatul hilal. Muhammadiyah berpedoman pada hisab dengan kriteria wujudul hilal. Tinggi Bulan pada saat terbenam Matahari tanggal 13 September 2015 di Yogyakarta ( Ф = -07 48’, dan  λ= 110 21’BT ) = +0" 25' 52” (hilal sudah wujud). Dengan  demikian Muhammadiyah berbeda dengan hasil sidang itsbat dalam menetapkan hari Raya Idul Adha 1436 H. Pada saat Matahari terbenam tanggal 13 September 2O15 M (hari Ahad), di sebagian wilayah barat lndonesia hilal sudah wujud dan di sebagian wilayah timur lndonesia belum wujud. Dengan demikian, garis batas wujudul hilal melewati wilayah Indonesia dan membagi wilayah lndonesia menjadi dua bagian. Berdasarkan hasil  hisab awal Zulhijah 1436 H tersebut diputuskan bahwa:
  1. Tanggal  1 Zulhijah 1436 H jatuh pada hari Senin Legi, 14 September 2015 M.
  2. Hari Arafah jatuh pada  (09 Zulhijah 1436 H) jatuh pada hari Selasa Wage, 22 September 2015 M.
  3. 10 Zulhijah 1436 H jatuh pada hari Rabu Kliwon, 23 September 2015 M.

Sementara itu Arab Saudi melalui Majlis Ulya (Mahkamah Agung) menetapkan Idul Adha 1436 H bertepatan dengan Kamis 24 September 2015. Penentuan awal Ramadan serta dua hari raya di Arab Saudi tidak berdasarkan atas hisab, melainkan rukyat. Dan jika hasil rukyatnya tidak mendukung, bagi pemerintah Kerajaan Arab Saudi tidak menjadi persoalan bilamana puasa Ramadan dimulai pada 2 Ramadan, atau hari raya Idul Fitri dilaksanakan pada 2 Syawal, ataupun hari raya Idul Adha bertepatan dengan 11 Zulhijah (Ma’rufin, 2015).


Perbedaan Pelaksanaan Puasa Arafah di Indonesia Dengan Pelaksanaan Wukuf  Jamaah Haji di Arab Saudi


Perbedaan Idul Adha dan Ibadah puasa Arafah antara Muhammadiyah dengan penetapan pemerintah pada masa-masa terdahulu misalnya terjadi pada 1409 H/ 1989 M, 1420 H/ 2000 M, 1423 H/ 2003 M dan 1431 H/ 2010 M. Penetapan Muhammadiyah tersebut sama dengan penetapan Arab Saudi. Mereka yang berkeyakinan pelaksanaan ibadah puasa Arafah harus sama dengan pelaksanaan Wukuf  jamaah haji di Arab Saudi, lalu mengikuti putusan Mahkamah Agung Arab Saudi tersebut. Dan merekapun keesokan harinya berbondong-bondong melaksanakan  saat Idul Adha di masjid atau tempat salat warga Muhammadiyah. Sebagaimana diketahui bahwa Muhammadiyah menetapkan hari raya Idul Adha dan ibadah puasa Arafah  berdasarkan hisab dengan kriteria wujudul hilalnya bukan berdasarkan pada penetapan Arab Saudi. Tapi kebetulan apa yang diputuskan oleh Muhammadiyah itu sama dengan penetapan Arab Saudi.
Kondisi perbedaan itu agak berbeda kejadiannya dengan perbedaan hari raya Idul Adha dan ibadah puasa Arafah sebelumnya. Pada tahun 1346 H ini, Muhammadiyah menetapkan hari raya Idul Adha dan ibadah puasa Arafah  lebih dahulu dari pada penetapan Pemerintah sekaligus Arab Saudi. Timbul pertanyaan kenapa pelaksanaan ibadah puasa Arafah yang dilaksanakan tersebut mendahului  pelaksanaan Wukuf jamaah haji di Arab Saudi? Bila kita di Indonesia berpuasa hari Arafah 9 Zulhijjah pada 22 September sementara diketahui penetapan Arab Saudi sehari setelahnya, mungkin ada yang bimbang. Berpuasa pada hari itu apakah berarti mendahului ibadah puasa Arafah yang seharusnya? Kondisi ini membingungkan sebagian warga Muhammadiyah.
Banyak orang bingung dan bertanya-tanya menghadapi perbedaan saat ini maupun pada waktu-waktu sebelumnya. Bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di beberapa negara Asia bagian timur. Ada juga yang mengecam perbedaan itu seolah-olah tidak berdasar. Bahkan ada tokoh yang mempertanyakan perbedaan itu, mengapa Indonesia yang letaknya lebih ke timur ketimbang Arab Saudi beribadah pusa Arafah dan beridul Adha belakangan? Ada yang bertanya-tanya mengapa perbedaan waktu yang hanya empat jam antara Arab Saudi dan Indonesia bisa menyebabkan perbedaan hari raya? Kenapa tidak sama dengan Arab Saudi? Bukankah Mekah tempatnya Ka'bah, kiblatnya umat Islam sedunia. Sudah sewajarnya penentuan waktu ibadah pun (seperti hari raya) mengikuti juga Arab Saudi.
Apakah definisi sama harinya? Dalam pelaksanaan ibadah. Pengertian sama sangat relatif. Secara astronomi bisa berarti mengalami waktu siang secara bersamaan, dengan kata lain bila beda waktunya kurang dari 12 jam. Bila itu diterapkan dalam kasus di Hawaii yang beda waktunya dengan dengan Arab Saudi (dihitung ke arah timur) hanya 11 jam, definisi sama harinya malah berbeda tanggal. Tanggal 23 September di Arab Saudi berarti tanggal 22 September di Hawaii.
Ahli Falak Indonesia sepakat bahwa perhitungan (hisab) dan keberhasilan rukyah itu berlaku lokal. Pendapat ini antara lain berdasarkan dalil hadis Kuraib ra:
“Dari Kuraib, bahwa Ummu Fadl binti al-Haris mengutus Kuraib menghadap Muawiyah di Syam, lalu Kuraib berkata: Setelah saya sampai di Syam, saya selesaikan urusan Ummu Fadl dan tampaklah oleh saya hilal ramadlan ketika saya di Syam. Saya melihat hilal pada malam Jum’at. Kemudian saya datang ke Madinah pada akhir bulan (ramadhan), lalu Abdullah bin Abbas memanggilku lalu membicarakan tentang hilal. Abdullah bertanya: Kapan kamu (Kuraib) melihat hilal?.” Saya menjawab: “Kami melihatnya pada malam Jum’at.” Kamu melihatnya? Aku menjawab: ya, dan banyak orang yang melihatnya lalu mereka berpuasa, Muawiyah juga berpuasa. Abdullah bin Abbas berkata: “Tetapi kami melihatnya pada malam Sabtu, kita senantiasa (mulai) berpuasa hingga menyempurnakan (Sya’ban)30 hari atau melihat hilal.” Kemudian saya (Kuraib) berkata: tidak cukupkah dengan ru’yat mereka dan puasanya Mu’awiyah? Jawab Abdullah: tidak, demikian inilah perintah Rasulullah SAW. (HR. Muslim dari Kuraib)

Dan ditambahkan karena Indonesia memiliki wilayah yang terbentang dari Sabang  sampai Merauke, maka untuk menyatukannya digunakanlah asas wilayatul hukmi --[Hasil perhitungan (hisab) dan keberhasilan rukyah di salah satu wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka berlaku untuk daerah lainnya di seluruh wilayah NKRI].
Selanjutnya terdapat pertanyaan bagaimana memahami perbedaan hari dalam pelaksanaan ibadah puasa Arafah dengan pelaksanaan Wukuf di Arab Saudi?
Rasulullah bersabda: Hari Raya Idul Fitri kalian adalah hari ketika kalian berbuka (usai puasa Ramadhan), dan Hari Raya Idul Adha kalian adalah hari ketika kalian menyembelih kurban, sedangkan Hari Arafah adalah hari ketika kalian (jamaah haji) berkumpul di Arafah (HR as-Syafii dari ‘Aisyah).
Para ulama sepakat bahwa ibadah puasa Arafah itu dilaksanakan pada  tanggal 09 Zulhijah. Tidak ada pihak yang berbeda dalam hal ini. Ibadah puasa Arafah adalah ibadah puasa sunah yang dilaksanakan pada tanggal 09 Zulhijah; tanggal yang sama jamaah haji melaksanakan wukuf di Padang Arafah.
Namun terdapat perbedaan di kalangan ulama dalam penentuan tanggal 09 Zulhijah ini. Hal ini merupakan kelanjutan dari perbedaan penetapan awal bulan Kamariah. Perbedaan dalam penentuan awal bulan ini selanjutnya menyebabkan perbedaan dalam mengawali ibadah puasa Ramadan, Idul Fitri, dan Idul Adha termasuk ibadah puasa Arafah. Dengan demikian, jika Muhammadiyah berdasarkan hisab Wujudul Hilal menetapkan awal Zulhijah 1346 H jatuh pada hari Senin 14 September  2015, maka 10 Zulhijah atau hari raya Idul Adha jatuh pada hari Rabu  23 September 2015.  Dan pelaksanaan  ibadah puasa Arafahnya adalah pada hari Selasa 22 September. 
Selanjutnya bagaimana penjelasan kenapa  Indonesia yang memiliki peerbedaan waktu 04 jam berbeda dalam mengawali ibadah puasa Ramadan, Idul Fitri, dan Idul Adha termasuk ibadah puasa Arafah?
Garis tanggal awal bulan Kamariah itu berbeda setiap bulannya. Garis tanggal ini bergantung pada keberhasilan rukyah atau hasil perhitungan (hisab) berdasarkan kriteria yang ditetapkan. Pada suatu saat boleh jadi Indonesia berada pada posisi yang sama—dalam  keberhasilan rukyah atau hasil perhitungan (hisab) berdasarkan kriteria yang ditetapkan--dengan Arab Saudi sedangkan pada bulan yang lainnya boleh jadi berbeda.   Walaupun daerah tersebut mengalami siang yang sama dengan Arab Saudi seperti kasus Indonesia yang berbeda 4 jam atau Hawaii  yang berbeda 11 jam dengan Arab Saudi. Dengan demikian, jika Muhammadiyah berdasarkan hisab Wujudul Hilal menetapkan awal Zulhijah 1346 H jatuh pada hari Senin 14 September  2015, maka 10 Zulhijah atau hari raya Idul Adha jatuh pada hari Rabu  23 September 2015.  Dan pelaksanaan  ibadah puasa Arafahnya adalah pada hari Selasa 22 September, walaupun dalam hal ini berbeda dengan penetapan Arab Saudi.  
                                                                                      

Dikutip dari berbagai sumber oleh: Jayusman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar