Perbedaan Pelaksanaan Puasa Arafah Sebagian Kaum Muslimin di Indonesia Dengan Pelaksanaan Wukuf di Arafah Oleh Jamaah Haji di Arab Saudi
Pendahuluan
Ijtimak atau Konjungsi
geosentris Bulan-Matahari untuk awal Zulhijah 1436 H, pada hari Minggu 13
September 2015 pukul 13: 41 WIB. Ijtimak yakni peristiwa saat titik
pusat cakram Bulan dan titik pusat cakram Matahari menempati satu garis bujur
ekliptika yang sama dipandang pusat Bumi.
Gambar
1
Garis
Tanggal Awal Zulhijah 1436 H versi Mawaaqit 2001
Pada saat Matahari terbenam Minggu 13
September 2015 berdasarkan kriteria Imkanurrukyah Pemerintah Indonesia dalam
penentuan 1 Zulhijjah 1436 H. Nampak bahwa Indonesia Timur dan Tengah berada
pada garis yang menunjukkan tinggi Bulan sama dengan -1 sampai 0 derajat.
Sedangkan sebagian Indonesia Barat; Sumatera, Jawa, dan Kalimantan + 0 derajat. Hari Minggu 13 September
2015 pada setiap takwim (kalender) di Indonesia menunjukkan tanggal yang sama
bertepatan dengan 29 Zulkaidah 1436 H. Baik dalam takwim resmi pemerintah
Republik Indonesia adalah takwim standar Indonesia yang dikeluarkan oleh
Kementrian Agama, maupun dalam kalender ormas Islam seperti Muhammadiyah dan
Nahdatul Ulama (NU). Namun di Indonesia terdapat
perbedaan dalam penentuan tanggal 1 Zulhijah 1436 H, yang pada tataran
selanjutnya berimbas pada perbedaan pelaksanaan ibadah puasa Arafah dan merayakan
Idul Adha.
Mengapa Terdapat Perbedaan
Dalam Penentuan Awal Bulan Kamariah
Di Indonesia?
Dalam
penentuan awal bulan Kamariah terdapat perbedaan di antara ulama, sebagiannya menyatakan harus
berdasarkan pada hasil rukyatul hilal sedangkan sebagian lain menggunakan
metode hisab.
Penetapan
awal bulan berdasarkan pada keberhasilan rukyatul hilal harus memenuhi syarat-syarat tertentu.
Terdapat perbedaan di kalangan ulama tentang
persyaratan-persyaratan tersebut. Hanafiah mensyaratkan penetapan awal
Ramadan dan Syawal berupa hasil rukyatul hilal satu kelompok besar jika kondisi cuaca atau langit cerah.
Dan memadai kesaksian keberhasilan rukyatul hilal seorang yang adil pada kondisi berawan, berkabut, dan
sejenisnya. Adapun Malikiah mensyaratkan keberhasilan rukyah dari dua atau
lebih orang yang adil. Dan mencukupi keberhasilan rukyah satu orang yang adil
pada kondisi hilal tidak terdapat keraguan untuk dapat terlihat. Memadai
keberhasilan rukyah seorang yang adil menurut Syafi’iah dan Hanabilah, walaupun
pada kondisi terdapat penghalang menurut Syafi’iah. Namun tidak memadai dalam kondisi tersebut
menurut Hanabilah. Menurut kalangan
Hanabilah dan Malikiah mensyaratkan keberhasilan rukyah dua orang yang adil
pada rukyah awal Syawal untuk penentuan Idul Fitri.
Pelaksanaan
rukyatul hilal sebagai metode penentuan awal bulan Kamariah; di Nusantara diyakini
sudah dilaksanakan semenjak Islam masuk ke kepulauan Nusantara. Ini berdasarkan
pada perintah untuk melaksanakan rukyatul hilal sebelum umat Islam melaksanakan
ibadah puasa Ramadan dan hari raya Idul Fitri. Setiap tanggal 29 Syakban dan 29
Ramadan umat Islam beramai-ramai pergi ke bukit-bukit atau pantai-pantai untuk
bersama-sama menyaksikan hilal di ufuk barat saat matahari terbenam. Jika hilal berhasil dirukyah, maka malam itu
adalah malam tanggal satu dari bulan yang baru. Namun bila hilal tidak berhasil
dirukyah, malam itu adalah malam hari ketiga puluh dari bulan yang sedang
berlangsung.
Semula
pelaksanaan rukyatul hilal dilakukan secara spontanitas oleh umat Islam untuk
mengetahui awal bulan-bulan yang terkait dengan ibadah. Pelaksanaannya dipandu
oleh para ulama dan pemimpin keagamaan lainnya. Setelah berdirinya
kerajaan-kerajaan Islam Nusantara, pelaksanaan rukyat selain yang dilaksanakan
secara spontanitas oleh umat Islam, juga ada yang dikoordinir oleh
pejabat-pejabat keagamaan di kerajaan yang bersangkutan.
Selanjutnya,
di kalangan ahli hisab terdapat pula perbedaan dalam penentuan awal bulan
Kamariah. Di antaranya, terdapat pendapat yang menyatakan bahwa awal bulan baru
itu ditentukan hanya oleh terjadinya ijtimak
sedangkan yang lain mendasarkan pada terjadinya ijtimak dan posisi hilal. Kelompok yang berpegang
pada sistem ijtimak menetapkan jika ijtimak
terjadi sebelum Matahari terbenam, maka sejak Matahari terbenam itulah
awal bulan baru sudah mulai masuk. Mereka sama sekali tidak mempermasalahkan hilal dapat
dirukyah atau tidak. Sedangkan kelompok yang berpegang pada terjadinya ijtimak
dan posisi hilal menetapkan jika pada saat Matahari terbenam setelah terjadinya
ijtimak dan posisi hilal sudah berada di
atas ufuk, maka sejak Matahari terbenam itulah perhitungan bulan baru dimulai.
Keduanya sama dalam penentuan awal masuknya bulan
Kamariah, yakni pada saat Matahari terbenam setelah terjadinya ijtimak. Namun
keduanya berbeda dalam menetapkan kedudukan bulan di atas ufuk. Aliran ijtima’
qabl gurub sama sekali tidak mempertimbangkan dan memperhitungkan
kedudukan hilal di atas ufuk pada saat sunset. Sebaliknya kelompok yang
berpegang pada terjadinya ijtimak dan posisi hilal saat sunset menyatakan
apabila hilal sudah berada di atas ufuk itulah pertanda awal masuknya bulan
baru. Bila hilal belum wujud berarti hari itu merupakan hari terakhir dari
bulan yang sedang berlangsung.
Selanjutnya kedua kelompok ini masing-masingnya terbagi
lagi menjadi kelompok-kelompok yang lebih kecil. Perbedaan ini disebabkan atau
dikaitkan dengan fenomena-fenomena yang terdapat di sekitar peristiwa ijtimak
dan gurub asy-syams. Dan dalam
perkembangan wacana dalam penetapan awal bulan Kamariah, kelompok yang
berpegang pada posisi hilal inilah yang lebih mendominasi. Selanjutnya akan
dibahas tentang kelompok yang berpedoman pada wujudul hilal dan kelompok yang
berpedoman pada imkanur rukyah dalam penentuan awal bulan. Keduanya merupakan
bagian dari mereka yang berpegang pada posisi hilal, namun mereka memiliki
standar atau patokan yang berbeda.
Mereka yang berpedoman pada wujudul hilal menyatakan
bahwa pedoman masuknya awal bulan adalah telah terjadi ijtimak sebelum terbenam Matahari dan pada saat sunset
itu hilal telah wujud di atas ufuk. Sementara itu mereka yang berpedoman pada
imkanur rukyah menyatakan bahwa patokan masuknya awal bulan adalah telah
ijtimak terjadi sebelum terbenam Matahari dan pada saat sunset itu hilal
telah berada di atas ufuk pada ketinggian yang memungkinkan untuk dirukyah.
Dalam menentukan masuknya awal bulan, mereka yang
berpedoman pada wujudul hilal berpatokan pada posisi hilal sudah di atas ufuk
tanpa mematok ketinggian tertentu. Jika hilal telah di atas ufuk otomatis
pertanda masuknya awal bulan. Mereka yang berpedoman pada Imkanur rukyah
menentukan ketinggian tertentu hilal sehingga memungkinkan untuk dirukyah.
Kriteria ketinggian hilal ini pun dimaknai berbeda-beda, ada mereka yang
menyatakan bahwa ketinggian hilal untuk
memungkinkan untuk dirukyah harus memiliki ketinggian tertentu. Di samping itu
ada kriteria-kriteria lain sebagai pendukung seperti illuminasi bulan, jarak
antara Bulan dan Matahari saat gurub, posisi hilal terhadap Matahari, jangka
waktu antara ijtimak dan terbenamnya Matahari, dan lainnya.
Penetapan Awal Zulhijah 1436 H
Pada saat 29 Zulkaidah 1436 H
yang bertepatan dengan hari Minggu 13 September 2015, tak satupun titik di
Indonesia yang memenuhi kriteria Imkanurrukyat. Sehingga dalam pemaparannya di
sidang itsbat penetapan awal Zulhijjah 1436 H, NU menyatakan tak satupun pos rukyat hilal di bawah jejaring NU yang
melaporkan keterdeteksian hilal. Sehingga bulan kalender Zulkaidah 1436 H pun
digenapkan menjadi 30 hari (istikmal) dan 1 Zulhijjah 1436 H bertepatan dengan
Selasa 15 September 2015.
Sementara Muhammadiyah tidak
menunggu hasil rukyatul hilal. Muhammadiyah berpedoman pada hisab dengan kriteria wujudul
hilal. Tinggi Bulan pada saat terbenam Matahari tanggal 13 September 2015
di Yogyakarta ( Ф = -07⁰
48’, dan λ= 110⁰ 21’BT ) = +0" 25' 52” (hilal sudah wujud). Dengan demikian Muhammadiyah berbeda dengan hasil
sidang itsbat dalam menetapkan hari Raya Idul Adha 1436 H. Pada saat Matahari terbenam
tanggal 13 September 2O15 M (hari Ahad), di sebagian wilayah barat lndonesia
hilal sudah wujud dan di sebagian wilayah timur lndonesia belum wujud. Dengan
demikian, garis batas wujudul hilal melewati wilayah Indonesia dan membagi
wilayah lndonesia menjadi dua bagian. Berdasarkan hasil hisab awal Zulhijah 1436 H tersebut diputuskan
bahwa:
- Tanggal 1 Zulhijah 1436 H jatuh pada hari Senin Legi, 14 September 2015 M.
- Hari Arafah jatuh pada (09 Zulhijah 1436 H) jatuh pada hari Selasa Wage, 22 September 2015 M.
- 10 Zulhijah 1436 H jatuh pada hari Rabu Kliwon, 23 September 2015 M.
Sementara itu Arab Saudi melalui
Majlis Ulya (Mahkamah Agung) menetapkan Idul Adha 1436 H bertepatan dengan
Kamis 24 September 2015. Penentuan awal Ramadan serta dua hari raya di Arab Saudi
tidak berdasarkan atas hisab, melainkan rukyat. Dan jika hasil rukyatnya tidak
mendukung, bagi pemerintah Kerajaan Arab Saudi tidak menjadi persoalan bilamana
puasa Ramadan dimulai pada 2 Ramadan, atau hari raya Idul Fitri dilaksanakan
pada 2 Syawal, ataupun hari raya Idul Adha bertepatan dengan 11 Zulhijah
(Ma’rufin, 2015).
Perbedaan Pelaksanaan Puasa Arafah di Indonesia Dengan Pelaksanaan Wukuf Jamaah Haji di Arab Saudi
Perbedaan Idul Adha dan Ibadah
puasa Arafah antara Muhammadiyah dengan penetapan pemerintah pada masa-masa
terdahulu misalnya terjadi pada 1409
H/ 1989 M, 1420 H/ 2000 M, 1423 H/ 2003 M dan 1431 H/ 2010 M. Penetapan Muhammadiyah tersebut sama dengan penetapan Arab
Saudi. Mereka yang berkeyakinan pelaksanaan ibadah puasa Arafah harus sama
dengan pelaksanaan Wukuf jamaah haji di
Arab Saudi, lalu mengikuti putusan Mahkamah Agung Arab Saudi tersebut. Dan
merekapun keesokan harinya berbondong-bondong melaksanakan saat Idul Adha di masjid atau tempat salat
warga Muhammadiyah. Sebagaimana diketahui bahwa Muhammadiyah menetapkan hari
raya Idul Adha dan ibadah puasa Arafah
berdasarkan hisab dengan kriteria wujudul hilalnya bukan berdasarkan
pada penetapan Arab Saudi. Tapi kebetulan apa yang diputuskan oleh Muhammadiyah
itu sama dengan penetapan Arab Saudi.
Kondisi perbedaan itu agak
berbeda kejadiannya dengan perbedaan hari raya Idul Adha dan ibadah puasa
Arafah sebelumnya. Pada tahun 1346 H ini, Muhammadiyah menetapkan hari raya
Idul Adha dan ibadah puasa Arafah lebih
dahulu dari pada penetapan Pemerintah sekaligus Arab Saudi. Timbul pertanyaan
kenapa pelaksanaan ibadah puasa Arafah yang dilaksanakan tersebut
mendahului pelaksanaan Wukuf jamaah haji
di Arab Saudi? Bila kita di Indonesia berpuasa hari Arafah 9 Zulhijjah pada 22
September sementara diketahui penetapan Arab Saudi sehari setelahnya, mungkin
ada yang bimbang. Berpuasa pada hari itu apakah berarti mendahului ibadah puasa
Arafah yang seharusnya? Kondisi ini membingungkan sebagian warga Muhammadiyah.
Banyak orang bingung dan
bertanya-tanya menghadapi perbedaan saat ini maupun pada waktu-waktu
sebelumnya. Bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di beberapa negara Asia
bagian timur. Ada juga yang mengecam perbedaan itu seolah-olah tidak berdasar.
Bahkan ada tokoh yang mempertanyakan perbedaan itu, mengapa Indonesia yang
letaknya lebih ke timur ketimbang Arab Saudi beribadah pusa Arafah dan beridul
Adha belakangan? Ada yang bertanya-tanya mengapa perbedaan waktu yang hanya
empat jam antara Arab Saudi dan Indonesia bisa menyebabkan perbedaan hari raya? Kenapa tidak sama dengan Arab
Saudi? Bukankah Mekah tempatnya Ka'bah, kiblatnya umat Islam sedunia. Sudah
sewajarnya penentuan waktu ibadah pun (seperti hari raya) mengikuti juga Arab
Saudi.
Apakah definisi sama harinya? Dalam
pelaksanaan ibadah. Pengertian sama sangat relatif. Secara astronomi bisa
berarti mengalami waktu siang secara bersamaan, dengan kata lain bila beda
waktunya kurang dari 12 jam. Bila itu diterapkan dalam kasus di Hawaii yang
beda waktunya dengan dengan Arab Saudi (dihitung ke arah timur) hanya 11 jam,
definisi sama harinya malah berbeda tanggal. Tanggal 23 September di Arab Saudi
berarti tanggal 22 September di Hawaii.
Ahli Falak Indonesia sepakat
bahwa perhitungan (hisab) dan keberhasilan rukyah itu berlaku lokal. Pendapat
ini antara lain berdasarkan dalil hadis Kuraib ra:
“Dari Kuraib, bahwa Ummu Fadl binti al-Haris mengutus
Kuraib menghadap Muawiyah di Syam, lalu Kuraib berkata: Setelah saya sampai di
Syam, saya selesaikan urusan Ummu Fadl dan tampaklah oleh saya hilal ramadlan
ketika saya di Syam. Saya melihat hilal pada malam Jum’at. Kemudian saya datang
ke Madinah pada akhir bulan (ramadhan), lalu Abdullah bin Abbas memanggilku
lalu membicarakan tentang hilal. Abdullah bertanya: Kapan kamu (Kuraib) melihat
hilal?.” Saya menjawab: “Kami melihatnya pada malam Jum’at.” Kamu melihatnya?
Aku menjawab: ya, dan banyak orang yang melihatnya lalu mereka berpuasa,
Muawiyah juga berpuasa. Abdullah bin Abbas berkata: “Tetapi kami melihatnya pada
malam Sabtu, kita senantiasa (mulai) berpuasa hingga menyempurnakan (Sya’ban)30
hari atau melihat hilal.” Kemudian saya (Kuraib) berkata: tidak cukupkah dengan
ru’yat mereka dan puasanya Mu’awiyah? Jawab Abdullah: tidak, demikian inilah
perintah Rasulullah SAW. (HR. Muslim dari Kuraib)
Dan ditambahkan karena
Indonesia memiliki wilayah yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, maka untuk menyatukannya
digunakanlah asas wilayatul hukmi --[Hasil perhitungan (hisab) dan
keberhasilan rukyah di salah satu wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia,
maka berlaku untuk daerah lainnya di seluruh wilayah NKRI].
Selanjutnya terdapat pertanyaan
bagaimana memahami perbedaan hari dalam pelaksanaan ibadah puasa Arafah dengan
pelaksanaan Wukuf di Arab Saudi?
Rasulullah bersabda: Hari Raya Idul Fitri kalian
adalah hari ketika kalian berbuka (usai puasa Ramadhan), dan Hari Raya Idul
Adha kalian adalah hari ketika kalian menyembelih kurban, sedangkan Hari Arafah
adalah hari ketika kalian (jamaah haji) berkumpul di Arafah (HR as-Syafii dari ‘Aisyah).
Para ulama sepakat bahwa ibadah
puasa Arafah itu dilaksanakan pada
tanggal 09 Zulhijah. Tidak ada pihak yang berbeda dalam hal ini. Ibadah puasa
Arafah adalah ibadah puasa sunah yang dilaksanakan pada tanggal 09 Zulhijah;
tanggal yang sama jamaah haji melaksanakan wukuf di Padang Arafah.
Namun terdapat perbedaan di
kalangan ulama dalam penentuan tanggal 09 Zulhijah ini. Hal ini merupakan
kelanjutan dari perbedaan penetapan awal bulan Kamariah. Perbedaan dalam
penentuan awal bulan ini selanjutnya menyebabkan perbedaan dalam mengawali
ibadah puasa Ramadan, Idul Fitri, dan Idul Adha termasuk ibadah puasa Arafah. Dengan
demikian, jika Muhammadiyah berdasarkan hisab Wujudul Hilal menetapkan awal
Zulhijah 1346 H jatuh pada hari Senin 14 September 2015, maka 10 Zulhijah atau hari raya Idul
Adha jatuh pada hari Rabu 23 September
2015. Dan pelaksanaan ibadah puasa Arafahnya adalah pada hari Selasa
22 September.
Selanjutnya bagaimana
penjelasan kenapa Indonesia yang
memiliki peerbedaan waktu 04 jam berbeda dalam mengawali ibadah puasa Ramadan,
Idul Fitri, dan Idul Adha termasuk ibadah puasa Arafah?
Garis tanggal awal bulan
Kamariah itu berbeda setiap bulannya. Garis tanggal ini bergantung pada
keberhasilan rukyah atau hasil perhitungan (hisab) berdasarkan kriteria yang
ditetapkan. Pada suatu saat boleh jadi Indonesia berada pada posisi yang
sama—dalam keberhasilan rukyah atau
hasil perhitungan (hisab) berdasarkan kriteria yang ditetapkan--dengan Arab
Saudi sedangkan pada bulan yang lainnya boleh jadi berbeda. Walaupun daerah tersebut mengalami siang
yang sama dengan Arab Saudi seperti kasus Indonesia yang berbeda 4 jam atau
Hawaii yang berbeda 11 jam dengan Arab
Saudi. Dengan demikian, jika Muhammadiyah berdasarkan hisab Wujudul Hilal
menetapkan awal Zulhijah 1346 H jatuh pada hari Senin 14 September 2015, maka 10 Zulhijah atau hari raya Idul
Adha jatuh pada hari Rabu 23 September
2015. Dan pelaksanaan ibadah puasa Arafahnya adalah pada hari
Selasa 22 September, walaupun dalam hal ini berbeda dengan penetapan Arab
Saudi.
Dikutip dari berbagai sumber oleh: Jayusman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar