Kamis, 28 Juli 2011

KEABSAHAN MENGHADAP KIBLAT KE KA'BAH BAGI MEREKA YANG SALAT DI ATAS PESAWAT

 KEABSAHAN MENGHADAP KIBLAT 
KE KA'BAH BAGI MEREKA YANG SALAT 
DI ATAS PESAWAT










Terkait dengan posisi seseorang yang sangat tinggi di atas udara (demikian juga sebaliknya ketika berada jauh di bawah tanah); dapat dinyatakan keadaan tersebut dinyatakan ia tidak menghadap kiblat. Karena dianggap kalaupun menghadap ke Ka’bah itu diduga adalah di atasnya bukan tepat ke Ka’bah.

MELEWATI GARIS TANGGAL KETIKA MELAKSANAKAN IBADAH PUASA RAMADAN

MELEWATI GARIS TANGGAL KETIKA MELAKSANAKAN IBADAH PUASA RAMADAN










BERPUASA MENGEJAR MATAHARI

Kasus:  Seseorang yang berangkat menunaikan ibadah haji atau umrah ke tanah suci. Berangkat dari Jakarta pukul 13.00 WIB. Setelah lima jam perjalanan diumumkan untuk berbuka puasa waktu Jakarta. Waktu diumumkan untuk berbuka; pada  waktu  itu matahari masih bersinar dengan teriknya. Sehingga para penumpang terbelah antara yang membukakan puasa mereka dan sebagian lainnya tetap puasa menunggu Magrib (saat sunset).Padahal penumpang dapat berbuka sesuai dengan daerah atau tempat ia memulai berpuasa.

Sebagai catatan bahwa perbedaan antara  WIB dan waktu Mekah adalah 4 jam. Dan setelah 8 jam melakukan perjalanan  sampailah di Jeddah pada pukul 17.00 waktu setempat.Dan belum masuk waktu Magrib untuk daerah setempat.


Senin, 18 Juli 2011

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP IBADAH KURBAN KOLEKTIF

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP IBADAH KURBAN KOLEKTIF[1]










Abstrak
Tulisan ini mengkaji seputar ibadah kurban secara kolektif; oleh banyak orang. Pertanyaan yang muncul adakah batasan tentang jumlah maksimal orang atau peserta ibadah kurban, demikian juga dengan biaya yang harus ditanggung oleh masing-masingnya. Jawabannya secara syari’ah dibutuhkan untuk menjawab fenomena ini yang berkembang di tengah-tengah masyarakat.

Kata Kunci: Ibadah Kurban, Ibadah Kurban Kolektif


PENDAHULUAN
Makalah ini berjudul Tinjauan Hukum Islam Terhadap Ibadah Kurban Yang Dilaksanakan Secara Kolektif. Yang dimaksud dengan hukum Islam di sini adalah hukum fiqh. Dalam hal ini penulis mengemukakan pendapat para fuqaha dalam membahas persoalan pelaksanaan ibadah kurban secara kolektif.
Pelaksanaan ibadah kurban secara kolektif jamak kita temui di tengah-tengah masyarakat. Pelaksanaannya mengambil beberapa bentuk. Misalnya ibadah kurban yang dilaksanakan di berbagai lembaga pendidikan atau sekolah. Dalam pelaksanaannya, ibadah kurban tersebut tidak hanya melibatkan para pengajar ataupun para pegawainya, tetapi juga para siswanya. Para siswa diajarkan untuk  ikut berperan aktif dalam pelaksanaan ibadah kurban tersebut. Mulai dari ikut dalam penggalangan dana secara kolektif, pelaksanaan penyembelihan dan pendistribusiannya.
Pada kasus yang lain kadang kita temui mereka yang fanatik harus menyembelih seekor hewan kurban hanya untuk ibadah kurban satu orang saja (tidak secara kolektif  atau bersama-sama). Biasanya dalam melaksanakan ibadah kurban seekor kambing, sapi, atau kerbau hanya diperuntukkan untuk satu orang peserta kurban. Adapun lazimnya dalam pelaksanaan ibadah kurban itu seekor sapi atau kerbau dapat dikolektif untuk tujuh orang peserta kurban.

PENGKLASIFIKASIAN SISTEM HISAB AWAL BULAN KAMARIAH DI INDONESIA

PENGKLASIFIKASIAN 
SISTEM HISAB AWAL BULAN
KAMARIAH DI INDONESIA[1]










Abstrak
Banyak pihak yang mencoba mengklasifikasikan metode hisab awal bulan Kamariah yang berkembang di Indonesia. Nama aliran yang digunakan cukup beragam. Pemberian nama yang beragam tersebut menimbulkan pemberian definisi yang tidak seragam pula tentunya. Akibatnya timbul penilaian yang berbeda-beda  terhadap masing-masing aliran. Kadang pengklasikafisian ini sering terjebak pada membandingkan satu sistem hisab dengan sistem hisab lainnya berkaitan dengan tingkat akurasinya.

Kata Kunci: Sistem Hisab, Awal Bulan Kamariah, Urfi, Hakiki, Hakiki Taqribi, Hakiki Tahqiqi 


Pendahuluan
Ilmu Falak sebagai sebuah sains yang dikembangkan oleh umat Islam tentulah mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Sejarah perkembangan ilmu Falak di Indonesia bersifat dinamis. Saat dunia Islam memasuki priode modernnya pada awal abad ke-20, ilmu Falak pun bersentuhan dengan kemoderenan; ilmu pengetahuan yang berasal dari Barat. Teori-teori lama yang sudah out of date mulai ditinggalkan digantikan dengan penemuan baru yang lebih sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dalam penentuan awal bulan Kamariah di Indonesia, terdapat beragam metode hisab. Para ahli ilmu Falakpun mencoba membuat kategorisasi metode-metode hisab tersebut. Kategorisasi yang paling popular dan jamak dipakai oleh kalangan Falak adalah yang dikeluarkan oleh Kementrian Agama—yang waktu itu bernama Departemen Agama dalam forum seminar sehari ilmu Falak tanggal 27 April 1997 di Tugu, Bogor, Jawa Barat berdasarkan usulan Usulan Taufik. Secara garis besar metode hisab rukyat awal bulan itu ada dua, yakni hisab Urfi dan Hakiki. Kemudian hisab hakiki dibagi lagi menjadi tiga tingkatan yakni:  hisab Hakiki Taqribi,  hisab Hakiki Tahqiqi, dan hakiki kontemporer.

Fenomena Gerhana Dalam Wacana Hukum Islam Dan Astronomi

Fenomena Gerhana Dalam Wacana Hukum Islam Dan Astronomi[1]






Abstrak
Gerhana adalah peristiwa yang jarang atau langka. Di tengah-tengah masyarakat masih terdapat kesalahan dan kekurangfahaman terhadap peristiwa gerhana. Gerhana adalah peristiwa astronomi biasa yang tidak dihubungkan dengan mitos atau kepercayaan tertentu. Ketika berterjadi gerhana di suatu daerah disyari’atkan untuk melaksanakan salat gerhana dan melakukan observasi gerhana, sebagai salah satu tanda-tanda kekuasaan Allah.

Kata Kunci: Gerhana Matahari, Gerhana Bulan, Salat Gerhana


Pendahuluan
     Kita mengetahui bahwa bumi mengitari matahari sebagai pusat tatasurya. Sementara itu bumi kita memiliki satelit yakni bulan. Bulan di samping mengitari bumi,  bersama-sama dengan bumi mengitari matahari. Akibatnya bulan kadang-kadang berada di antara matahari dan bumi. Pada saat lain bumi yang berada di antara matahari dan bulan. Ketika bulan berada di antara matahari dan bumi, ketiganya belum tentu segaris. Bulan mungkin berada lebih rendah, mungkin pula lebih tinggi dari garis hubung antara matahari dan bumi. Bila suatu waktu bulan berada tepat segaris  di antara matahari dan bulan, bulan akan menghalangi cahaya matahari yang menuju beberapa daerah di permukaan bumi. Ini menyebabkan terjadinya gerhana matahari. Tidak semua wilayah di permukaan bumi yang bisa mengamati gerhana tersebut. Hanya daerah yang tergelapi oleh bulan itu yang akan melihat gerhana matahari.
            Pada saat yang lain, bumi berada di antara matahari dan bulan. Tetapi ini pun belum tentu segaris. Pada keadaan ini bumi melihat bundaran penuh permukaan bulan yang tersinari oleh matahari, yang kita kenal dengan bulan purnama. Pada saat-saat tertentu, bumi segaris dengan matahari dan bulan. Akibatnya bayangan bumi menutupi bulan sedikit-demi sedikit. Itulah yang menyebabkan gerhana bulan.
Dalam ajaran Islam, gerhana adalah peristiwa astronomi biasa yang tidak dihubungkan dengan mitos atau kepercayaan tertentu. Dalam makalah ini selanjutnya akan dibahas seputar pembahasan gerhana matahari dan bulan dari sudut pandang astronomi dan syari’at Islam.

Selasa, 05 Juli 2011

URGENSI IHTIYATH DALAM PERHITUNGAN AWAL WAKTU SALAT

URGENSI IHTIYATH DALAM PERHITUNGAN AWAL WAKTU SALAT[1]










Abstrak
Biasanya dalam penentuan awal waktu salat, para ahli Falak memperhitungkan waktu Ihtiyath—waktu untuk kehati-hatian. Ihtiyath merupakan bentuk pengamanan pada perhitungan awal waktu salat agar seluruh kota; termasuk juga mereka yang bermukim di sebelah baratnya dalam melaksanakan salat sudah benar-benar masuk waktunya. Terdapat perbedaan di kalangan ahli Falak mengenai besaran ihtiyath dalam perhitungan awal waktu salat. Perbedaan ini pada tahap selanjutnya menyebabkan perbedaan jadwal salat yang dihasilkan.


Kata Kunci: Ihtiyath, Awal Waktu Salat, Waktu Imsak

Pendahuluan
Dalam perhitungan awal waktu salat dalam ilmu Falak terdapat waktu antisipatif yang dikenal dengan ihtiyath. Waktu ihtiyath ini merupakan antisipasi agar ibadah salat yang dilaksanakan pada waktu yang ditentukan—diyakini waktunya telah benar-benar masuk. Hal ini sangat urgen karena keyakinan masuknya waktu merupakan syarat sah ibadah salat yang dilaksanakan.
Landasan syar’i pensyariatan waktu ihtiyath ini antara lain hadis-hadis Nabi yang menegaskan tentang larangan pelaksanaan salat saat matahari terbit,  terbenam, dan istiwa (berkulminasi atas). Misalnya untuk menambah keyakinan salat Zuhur yang dilaksanakan benar-benar saat matahari telah tergelincir; bergeser ke arah barat setelah berkulminasi biasanya para ahli Falak dalam perhitungan awal waktu salat menambahkan yang dinamakan waktu ihtiyath.
Selanjutnya dalam makalah ini akan mencoba mengupas lebih lanjut tentang dasar perhitungan waktu ihtiyath, nilai/besarannya, tujuannya secara teoritis keilmuan Falak, akan diulas tentang hasil penelitian penulis yang mengungkapkan bahwa perbedaan dalam pemberian nilai ihtiyath itu berpengaruh terhadap jadwal salat yang dihasilkan. Terakhir kita juga mengenal yang disebut dengan waktu imsak, sebagai waktu antisipatif atau ihtiyath dalam memulai ibadah puasa di bulan Ramadan.