Senin, 04 Juni 2012

TELAAH TERHADAP FATWA MUI NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG KIBLAT


TELAAH TERHADAP FATWA MUI NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG KIBLAT[1]








Abstrak
Fatwa MUI No.3 tahun 2010 tentang Kiblat menimbulkan kontroversi di tengah-tengah masyarakat. Salah satu diktumnya menyatakan bahwa letak georafis Indonesia yang berada di bagian Timur Ka’bah/Mekah, maka kiblat umat Islam Indonesia adalah menghadap ke arah Barat. Ini tentu saja berseberangan dengan pemahaman di masyarakat. Karena arah kiblat untuk Indonesia adalah arah Barat serong ke Utara. Adapun besaran sudut serong ke arah Utara tersebut tergantung hasil perhitungan dalam ilmu Falak untuk daerah tersebut.

Kata Kunci: Kiblat, Ka’bah, Barat, Fatwa MUI
Pendahuluan
Jum’at, 19 Maret 2010,  KH Amidhan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) ketika menjadi nara sumber pada salah satu TV swasta nasional meminta masjid di Indonesia menyesuaikan arah kiblat agar tepat mengarah Ka’bah di  Mekah, Arab Saudi. Alasannya, akibat pergeseran lempengan bumi, arah kiblat dari Indonesia ke Mekkah bergeser sekitar 30 centimeter lebih ke kanan. Karena itu, arah kiblat masjid perlu disesuaikan. Jadi, harus disesuaikan dengan penemuan terbaru. Kalau melenceng 1-2 atau 5 cm tidak begitu masalah. Karena bergeser cukup besar sekitar 30 centimeter lebih.[2] Menanggapi pengarahan ketua MUI itu, kabarnya ada masjid yang bersiap mengubah arah kiblatnya.
Pada tanggal 23 Maret 2010 MUI mengumumkan fatwanya No.3 tahun tahun 2010 tentang Kiblat. Fatwa ini disampaikan pada konferensi pers di kantor mereka. Seakan melengkapi kontroversi sebelumnya salah satu diktum dari fatwa MUI  menyatakan bahwa letak georafis Indonesia yang berada di bagian Timur Ka’bah/Mekah, maka kiblat umat Islam Indonesia adalah menghadap ke arah Barat.
Dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut persoalan Fatwa MUI No.3 tahun tahun 2010 tentang Kiblat. Bagaimana pemahaman terhadap nash yang menyatakan arah kiblat itu antara Barat dan Timur? Bagaimana tinjauan ilmu Falak jika dinyatakan bagi orang Indonesia; yang daerahnya terletak di belahan Timur Ka’bah dalam salatnya menghadap ke arah Barat? Dengan anggapan arah Barat adalah arah kiblat/Ka’bah bagi mereka. Tulisan ini diharapkan memberikan penjelasan akibat  kontroversi fatwa MUI di atas.

TELAAH TERHADAP PERBEDAAN PERHITUNGAN JADWAL SALAT YANG BEREDAR DI TENGAH-TENGAH MASYARAKAT


TELAAH TERHADAP  PERBEDAAN PERHITUNGAN JADWAL SALAT YANG BEREDAR DI TENGAH-TENGAH MASYARAKAT[1]








Abstrak

Jika dicermati jadwal-jadwal salat yang beredar di tengah-tengah masyarakat antara satu dengan lainnya tidak persis sama; terdapat perbedaan antara jadwal yang satu dengan lainnya. Hal ini berpotensi menimbulkan kebingungan, keraguan, lebih jauh perbedaan-perbedaan dalam masyarakat. Perlu kiranya dilakukan penelusuran lebih lanjut terhadap pola jadwal-jadwal tersebut dan menganalisa faktor-faktor yang melatarbelakangi perbedaan perhitungan, dan solusi alternatif  yang dapat dilakukan untuk menyikapi perbedaan tersebut.

Kata Kunci: Jadwal Salat, Koordinat Geografis Kota, Ihtiyath, opsi waktu salat

Pendahuluan
Tulisan ini diinspirasi oleh temuan penelitian tentang perbedaan beberapa imsakiah yang penulis peroleh pada bulan Ramadan 1430 H untuk kota Bandar Lampung lalu. Perbedaan antara imsakiah atau jadwal salat akan lebih dirasakan saat bulan Ramadan; menjelang berbuka puasa; pada saat masyarakat secara serempak menanti-nantikan saat berbuka puasa.
Penulis terdorong untuk menelusuri lebih lanjut akar dari perbedaan tersebut. Faktor-faktor apa saja yang berpotensi menyebabkan perbedaan hasil perhitungan imsakiah atau perhitungan awal waktu salat pada umumnya. Mungkin saja di antara faktor-faktor yang akan penulis sebutkan nantinya pada riilnya tidak menjadi pemicu atau penyebab perbedaan perhitungan jadwal salat di Indonesia, tapi mungkin di daerah lain di belahan dunia Islam lain mungkin saja menjadi salah satu faktor penyebabnya. Dikatakan di sini faktor-faktor tersebut sebagai penyebab perbedaan perhitungan jadwal salat karena secara teknis perhitungan dan atau secara Syar’i hal ini dimungkinkan terjadi. Dalam tinjauan Syar’i hal ini terjadi karena terdapat khilafiyah di kalangan para ulama dalam memahami nash.