DISKRESI: Antara Kebijaksanaan dan Penyalahgunaan Wewenang
Abstraksi
Kata kunci: diskresi, kewenangan
A. Pendahuluan
Kontroversial, itulah yang dilekatkan pada putusan-putusan yang ditetapkan oleh Bimar Siregar, semasa ia menjabat sebagai seorang hakim. Kredo kontroversial ini karena terdapat putusan-putusan hakim Bismar yang dianggap “telah keluar” dari apa yang ditentukan oleh undang-undang. Misalnya hukuman pidana bagi pengedar ganja ketika dia menjabat Ketua Pengadilan Tinggi di Medan. Seorang terdakwa yang dituntut jaksa 10 bulan penjara, Bismar melipatgandakannya menjadi 10 tahun. Yang 15 bulan menjadi 15 tahun.
Secara sederhana dapat dinyatakan, putusan hakim yang dianggap “telah keluar” dari apa yang ditentukan oleh undang-undang inilah yang disebut dengan diskresi hukum.
Selanjutnya dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut pengertian diskresi, latar belakang kemunculan penerapan kewenangan diskresi, diskresi dalam bidang hukum, tolok ukur serta penyimpangan pelaksanaannya dan diskresi dalam wacana hukum Islam.
B. Pengertian Diskresi
Pengertian discretion (Inggris) secara bahasa: freedom or authority to make dicisions and choises power to judge or act [1]. Alvina Treut Burrows (ed) menyatakan discreation: ability to choose wisely or to jugde one self (kemampuan untuk memilih secara bijaksana atau mempertimbangkan bagi diri sendiri)[2]. Prajudi Atmosoedirdjo menerjemahkan discreation sebagai kebebasan bertindak atau mengambil keputusan menurut pendapat sendiri[3].
Ada pun secara istilah, berikut ini penulis kutipkan beberapa pendapat:
1. Yan Pramadya Puspa dalam Kamus Hukum, menyatakan discretionair (Bel) berarti kebijaksanaan; memutuskan sesuatu tidak berdasarkan ketentuan-ketentuan peraturan, undang-undang atau hukum yang berlaku tetapi atas dasar kebijaksanaan, pertimbangan atau keadilan[4].
2. Steven H Gifs menyatakan discretion; the resonable exercise of a power or right to act in an offical capacity; involves the idea of choice, of an exercise of the will, so that abuse of discretion involves more than a difference in juditial opinion between the trial and appellate court, and in order to constitute an “abuse” of discretion. The judgement must demonstrate a perversity of will, a defiance of good judment or bias.
a. Judicial discretion the reasonable use of judicial power; freedom to dicide within the bounds of law and fact.
b. Legal discretion the use of one of several equally satisfactory provisions of law.
c. Prosedural discreation the wide range of alternatives avaible to a prosecutor in criminal cases, including the decision to prosecute, the particular change to be brought, plus bargaining, mode of trial conduct, and recommendatins for sentencing, parole, etc
A public officer has discretion whenever the effective limits on his power, his free to make a choice among possible courses of action on in action[5].
3. Indarti Erlyn mendefinisikan diskresi sebagai kemerdekaan dan atau otoritas/ kewenangan untuk membuat keputusan serta kemudian mengambil tindakan yang dianggap tepat/ sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi, yang dilakukan secara bijaksana dan dengan memperhatikan segala pertimbangan maupun pilihan yang memungkinkan[6].
Dari beberapa definisi di atas dapat dinyatakan bahwa pengertian diskresi itu mencakup kewenangan yang bersifat merdeka untuk mengambil keputusan yang tepat/ sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi, tidak berdasarkan ketentuan-ketentuan peraturan, undang-undang atau hukum yang berlaku tetapi atas dasar kebijaksanaan, pertimbangan atau keadilan.
Selain dalam bidang hukum, diskresi juga dikenal dalam institusi yang lain. Misalnya juga ditemukan dalam bidang administrasi negara dan institusi kepolisian. Diskresi dalam bidang administrasi negara dikenal dengan istilah freis ermessen. Freis Ermessen berarti salah satu sarana yang memberikan ruang gerak bagi pejabat atau badan administrasi negara untuk melakukan tindakan tanpa harus terikat sepenuhnya pada undang-undang[7]. Diskresi (freies ermessen) adalah kebebasan bertindak atau mengambil keputusan pada pejabat publik yang berwenang berdasarkan pendapat sendiri. Diskresi diperlukan sebagai pelengkap asas legalitas, yaitu asas hukum yang menyatakan bahwa setiap tindak atau perbuatan administrasi negara harus berdasarkan ketentuan undang-undang, akan tetapi tidak mungkin bagi undang-undang untuk mengatur segala macam hal dalam praktek kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu diperlukan adanya kebebasan atau diskresi pada pejabat publik dalam melaksanakan tugas, fungsi dan kewajiban yang dibebankan kepadanya [8].
Kebijakan yang berdasarkan kewenangan freis ermessen disebut peraturan kebijakan; adalah peraturan yang semata-mata berkaitan dengan doelmatigheid sehingga tidak terkait dengan unsur rechmatigheid, bahkan dapat menyimpangi rechmatigheid. Kesan seperti ini adalah keliru. Unsur doelmatigheid sebagai landasan kewenangan freis ermessen haruslah suatu tujuan atau manfaat yang dibenarkan hukum[9].
Tindakan yang termasuk kategori freis esmessen ini—setiap tindakan administrasi negara di luar wewenang yang telah ditetapkan secara hukum—antara lain: tindakan yang melampaui wewenang (detournement de pouvoir), bahkan dapat melawan hukum (onrechmatigover-heidsdaad), atau penyalahgunaan wewenang (misbruik van recht)[10].
Dalam institusi kepolisian RI juga dikenal adanya kewenangan diskresi. Diskresi kepolisian merupakan realisasi dari azas kewajiban (salah satu azas yang melandasi penggunaan wewenang polri dalam menjalankan tugas). Azas kewajiban ini bersifat preventif dan represif non yustisiil (pemeliharaan ketertiban) dalam menghadapi pencegahan suatu tindak pidana yang akan terjadi.
Konsep mengenai diskresi Kepolisian terdapat dalam pasal 18 Undang-undang Kepolisian Nomor 2 tahun 2002, yang berbunyi :
1. Untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.
2. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dlam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Rumusan kewenangan Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam pasal 18 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 ini merupakan kewenangan yang bersumber dari asas kewajiban umum Kepolisian (plichtmatigheids beginsel) yaitu suatu asas yang memberikan kewenangan kepada pejabat kepolisian untuk bertindak atau tidak bertindak menurut penilaiannya sendiri, dalam rangka kewajiban umumnya menjaga, memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum.
Secara umum, kewenangan ini dikenal sebagai diskresi kepolisian yang keabsahannya didasarkan pada pertimbangan keperluannya untuk tugas kewajiban (Pflichtmassiges Ermessen). Substansi Pasal 18 ayat (1) Undang-undang Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002 merupakan konsep kewenangan kepolisian yang baru diperkenalkan walaupun dalam kenyataan sehari-hari selalu digunakan. Oleh karena itu, pemahaman tentang “diskresi kepolisian” dalam pasal 18 ayat (1) harus dikaitkan juga dengan konsekuensi pembinaan profesi yang diatur dalam pasal 1, 32, dan 33 Undang-undang Nomor 2 tahun 2002, akan mampu mengambil tindakan secara tepat dan professional berdasarkan penilaiannya sendiri dalam rangka pelaksanaan tugasnya.
Rumusan dalam pasal 18 ayat (2) merupakan rambu-rambu bagi pelaksanaan diskresi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu selain asas keperluan, tindakan diskresi tetap harus sesuai dan memperhatikan peraturan perundang-undangan serta kode etik profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia[11].
Latar Belakang Munculnya Penerapan Kewenangan Diskresi
Jika kita melihat peradilan dalam dinamika masyarakat dari waktu ke waktu, dan kita berhenti pada peralihan abad ke-19 ke abad 20, maka kita akan menyaksikan terjadinya perubahan dari peran pengadilan sebagai institusi hukum yang sempit dan terisolasi menjadi pengadilan (untuk) rakyat.
Pengadilan yang terisolasi ini dinyatakan sebagai pengadilan sebagai corong undang-undang. Semangat liberal dan legisme-positivistik memberikan landasan teori bagi peradilan terisolasi dari masyarakat di mana pengadilan berada, yang selanjutnya mengundang asosiasi ke arah kediktatoran pengadilan (judicial dictatorship). Karena ia memutus semata-mata menurut tafsiran hukum terlepas dari dinamika masyarakat. Sehingga secara sosiologis pengadilan itu menjadi benda asing di tubuh masyarakat[12].
Sementara itu dinamika masyarakat menampakkan era baru seperti perkembangan demokrasi, bangkitnya kekuatan baru seperti buruh yang kemudian mengubah peta sosial politik secara mendalam. Dan berlalunya era kaum borjuis yang banyak dikaitkan dengan hukum liberal, menjadi hukum (untuk) rakyat.
Pada masa peralihan dari orde hukum liberal ke orde dinamika masyarakat, terjadi “pembangkangan-pembangkangan” oleh pengadilan. Lebih mendengarkan gejolak dalam masyarakat alih-alih mengikuti bunyi peraturan. Aliran legalistik-positivistik digantikan realisme hukum—realisme Skandinavia dan realisme Amerika, dengan tokohnya Benjamin Cardozo dan Oliver Wendell Holmes. Misalnya hakim membuat putusan yang sebetulnya melampaui peran pengadilan yang hanya mengongkritkan undang-undang [13].
Diasumsikan bahwa praktek diskresi ini berkembang pada sistem hukum Common Law yang menganut aliran Realisme hukum. Aliran Realisme hukum dikenal dengan konsep yang radikal tentang proses peradilan. Mereka menyatakan bahwa hakim tidak hanya menentukan hukum, akan tetapi membentuk hukum. Hakim harus memilih, menentukan prinsip-prinsip mana yang akan dipakai dan pihak mana yang dimenangkan[14].
Keputusan hakim sering kali mendahului penggunaan prinsip-prinsip hukum yang formal. Keputusan pengadilan dan doktrin hukum selalu dapat dikembangkan untuk menunjang perkembangan atau hasil-hasil proses hukum. Keputusan pengadilan dibuat berdasarkan konsepsi-konsepsi hakim yang bersangkutan tentang keadilan dan dirasionalisasikan dalam pendapat tertulis. Ahli-ahli hukum dari aliran ini menaruh perhatian yang sangat besar tentang keadilan walaupun mereka berpendapat secara ilmiah tidak dapat ditentukan apa yang dinamakan hukum yang adil [15].
Adapun dalam sistem hukum Civil Law, diskresi ini muncul sebagai alternatif untuk mengisi kekurangan dan kelemahan dalam penerapan azas legalitas. Bagi negara yang bersifat welfare state, azas legalitas saja tidak cukup untuk dapat berperan secara maksimal dalam melayani kepentingan masyarakat, yang berkembang pesat sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pertimbangan lainnya adalah adanya realitas bahwa suatu kebijakan atau peraturan tidak mungkin mampu merespons banyak aspek dan kepentingan semua pihak sebagai akibat adanya keterbatasan prediksi para aktor atau stakeholders dalam proses perumusan suatu kebijakan atau peraturan [16]
Dalam konteks Indonesia, secara historis kita adalah jajahan Belanda dan mewarisi sistem hukum mereka. Di sisi lain kita tidak bisa terlepas dari pengaruh global sistem hukum yang ada di dunia ini. Indonesia dikatakan tidak mutlak lagi menganut sistem hukum Civil Law tapi bagi Indonesia berjalan juga dengan dasar-dasar lain yang mewarnai berhukumnya[17].
Kelaziman di Indonesia, hakim yang satu memakai undang-undang sebagai dasar keputusannya, hakim yang lain memakai “rasa” sebagai dasar keputusannya, yang lain memakai hukum Adat sebagai dasar keputusannya, dan ada lagi yang mendasarkannya kepada yurisprudensi. Hal tersebut di atas mengingat undang-undang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman no 35 tahun 1999 perubahan dari undang-undang no 14 tahun 1970 secara jelas menyatakan bahwa hakim dan juga semua penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai yang hidup dalam masyarakat. Ini memberi peluang kepada hakim di Indonesia untuk memperbaiki citra miring terhadap berhukumnya bagi sistem yang berkembang di Indonesia[18]
Menurut Sabian Utsman, sistem hukum Indonesia sekarang lebih didominasi oleh aliran Legal Realism dengan cara dan karakteristik budaya bangsa Indonesia. Dengan tidak mengabaikan kenyataan saat ini dengan beberapa perundang-undangan, maka Indonesia sesungguhnya lebih dekat dengan sistem hukum Common Law. Alasannya, karena masyarakat Indonesia dan hukum Kebiasaan (Customary Law) tumbuh dan mengakar di masyarakat sehingga menjadi Living Law yang ada bersama-sama dengan budaya dan agama (terlebih agama Islam). Ini membuat semakin dekatnya kita dengan sistem Common Law ketimbang sistem hukum Roman Law[19].
Diskresi dalam Masalah Hukum
Pemikiran (mind-set) positif-tekstual kurang lebih hanya akan "mengeja" suatu peraturan, menerapkan undang-undang dan prosedur. Cara berpikir hukum seperti itu disebut "linier". Memang itu mudah, tetapi dangkal, menggunakan kecerdasan rasional semata. Kita bisa diingatkan kembali pada pendapat Paul Scholten, seorang pemikir hukum Belanda, yang mengatakan "hukum itu ada dalam UU, tetapi masih harus ditemukan". Maka menjadi salah sekaligus dangkal bila orang hanya "mengeja" peraturan[20].
Perlu untuk melakukan perenungan (contemplation) dan mencari makna lebih dalam dari suatu peraturan. Ini sesuai gagasan Paul Scholten. Apabila "pintu perenungan makna" dibuka, terbentanglah panorama baru di hadapan hakim. Perenungan tidak akan berhenti pada dimensi subyektif, tetapi juga sosial. Hakim tidak hanya mendengarkan dengan telinga subyektif, tetapi juga dengan "telinga sosial” dan menggunakan kecerdasan spritual sehingga dapat menyelami kaedah yang merupakan roh yang menjadi landasan suatu hukum[21].
Jika pendefinisian diskresi dikaitkan dengan masalah penetapan hukum tentu saja muaranya kebijaksanaan yang diambil oleh hakim dalam memutuskan perkara di antara para pihak yang bersengketa.
Berikut ini berapa contoh perkara hukum yang terkait dengan kewenangan diskresi:
1. Keputusan kontroversial Bismar, hukuman pidana bagi pengedar ganja ketika dia menjabat Ketua Pengadilan Tinggi di Medan. Seorang terdakwa yang dituntut jaksa 10 bulan penjara, Bismar melipatgandakannya menjadi 10 tahun. Yang 15 bulan menjadi 15 tahun. Karena itu, dia sangat prihatin dengan keputusan hakim yang menjatuhkan hukuman hanya 4 tahun penjara kepada ratu ekstasi Zarima. Padahal, Zarima tertangkap membawa 29 ribu pil setan. Apakah hakim itu tidak mengetahui dan merasakan akibat dari perbuatan Zarima. Jika Bismar yang jadi hakimnya, Zarima layak dihukum mati. Mestinya bikin shock therapy buat pengedar narkoba[22].
2. Kasus Cut Mariana dan Bachtiar Tahir yang oleh Pengadilan Negeri Medan dihukum 10 bulan penjara karena dituduh memperdagangkan 161 kg ganja. Vonis ini kemudian diubah Bismar yang waktu itu menjabat Ketua Pengadilan Tinggi Sumatera Utara, menjadi 15 dan 10 tahun penjara [23].
3. Kemudian hukuman 7 bulan penjara yang dijatuhkan Pengadilan Negeri Tanjung Balai terhadap kepala sebuah SMP Negeri di Kisaran, Sumatera Utara, yang dituduh berbuat cabul dengan anak didiknya, diubah Bismar menjadi 3 tahun penjara. Statusnya sebagai pegawai negeri juga dicabut. Bismar sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Sumatera Utara, menafsirkan kata barang dalam Pasal 378 KUHP yang dituduhkan dilanggar oleh terdakwa bisa berarti "jasa". Ini dikaitkannya dengan istilah “bonda” (barang) dalam bahasa Tapanuli, yang juga bisa berarti alat kelamin. Jadi, bila Saksi menyerahkan kehormatannya kepada terdakwa sama dengan menyerahkan “bonda”, ujar Bismar berdalih[24].
4. Kasus kendaraan pribadi yang diperbolehkan masuk jalur busway pada jalur lalu lintas yang padat atau jika pebaikan jalan pada lintasan tersebut [25].
6. Putusan hakim Agung Adi Andojo Soetjipto adalah salah satu contoh, yaitu saat mengadili kasasi Muchtar Pakpahan di masa pemerintahan Soeharto. Oleh pengadilan di bawah, Pakpahan dijatuhi pidana atas tuduhan berbuat makar, yaitu kejahatan terhadap negara. Dalam tingkat kasasi MA mengatakan, Pakpahan tidak melakukan perbuatan makar. Menurut MA, para hakim di bawah telah melakukan penerapan hukum yang salah dengan menggunakan yurisprudensi yang sudah ada sejak zaman kolonial. Itu secara sosiologis tidak benar karena Indonesia sudah menjadi negara merdeka dan sudah mulai menjalankan demokrasi dan memperhatikan hak asasi manusia.
Hakim Agung Adi Andojo Soetjipto boleh dimasukkan kategori hakim yang "meletakkan telinganya ke jantung masyarakat". Putusan itu juga bisa disebut progresif, bila mengingat Indonesia saat itu masih dalam pemerintahan Soeharto yang kita tahu wataknya. Seorang hakim agung berani melawan arus dominan kekuasaan otoriter di zamannya. Inilah yang ingin dimaknai sebagai hakim independen dan progresif. Mungkin hakim seperti ini amat sulit dibengkokkan dan dibeli. Ia hanya bisa dibeli oleh rakyatnya[27].
Hakim Agung Adi Andojo Soetjipto boleh dimasukkan kategori hakim yang "meletakkan telinganya ke jantung masyarakat". Putusan itu juga bisa disebut progresif, bila mengingat Indonesia saat itu masih dalam pemerintahan Soeharto yang kita tahu wataknya. Seorang hakim agung berani melawan arus dominan kekuasaan otoriter di zamannya. Inilah yang ingin dimaknai sebagai hakim independen dan progresif. Mungkin hakim seperti ini amat sulit dibengkokkan dan dibeli. Ia hanya bisa dibeli oleh rakyatnya[27].
Penerapan kewenangan diskresi dalam instansi Kepala Kepolisian RI dapat kita contohkan dengan memberikan diskresi kepada anak-anak yang mengonsumsi narkoba. Penyebutan anak pengguna narkoba sebagai tersangka tidak/ kurang tepat, dan lebih baik diganti dengan istilah korban. Anak-anak korban narkoba ini dikembalikan kepada orang tuanya untuk selajutnya direhabilitasi. Orang tua mengambil peran penting dalam membentengi anak dari pengaruh buruk perkembangan zaman khususnya dari narkoba sangat penting. Orang tua harus lebih komunikatif dengan anak bisa memahami dan mengikuti setiap perkembangan anak.
Contoh penerapan kewenangan diskresi dalam bidang administrasi pemerintahan adalah surat edaran, juklak dan juknis yang dikeluarkan oleh lembaga administrasi negara[28].
Tolok Ukur Pemberlakuan Diskresi
Dikatakan bahwa untuk mengatur hal-hal yang lebih rinci dari pelaksanaan suatu ketentuan undang-undang, hakim, pelaksana administrasi negara, juga kepolisian diberikan kebebasan untuk mengambil keputusan berdasarkan pendapat sendiri, namun ini tidak berarti tidak ada rambu-rambu atau koridor-koridor hukum yang membatasinya.
Menurut Muchsan pembatasan penggunaan diskresi adalah :
1. Tidak boleh bertentangan dengan sistem hukum yang berlaku (kaedah hukum positif)
2. Ditujukan untuk kepentingan umum
Sjachran Basah mengemukakan unsur-unsur diskresi[29] adalah:
1. Tindakan itu untuk kepentingan publik
2. Tindakan itu dimungkinkan oleh hukum
3. Tindakan itu diambil untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dianggap krusial.
4. Tindakan ini dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan maupun secara hukum[30]
Lebih lanjut Prajudi Atmosudirdjo mengemukakan bahwa pembuatan keputusan pemerintah yang dibuat oleh pejabat publik terikat kepada 3 (tiga) asas hukum, yaitu :
1. Asas yuridikitas (rechtsmatigheid), artinya keputusan pemerintah tidak boleh melanggar hukum;
2. Asas legalitas (wetmatigheid), artinya keputusan pemerintah harus diambil berdasarkan suatu ketentuan perundang-undangan;
3. Asas diskresi (freies ermessen), artinya pejabat publik tidak boleh menolak mengambil keputusan dengan alasan tidak ada peraturannya, dan oleh karena itu diberi kebebasan untuk mengambil keputusan menurut pendapatnya sendiri asalkan tidak melanggar asas yuridikitas dan asas legalitas tersebut di atas[31] (zuryawanisvandiarzoebir.blogspot.com)
Pemerintah atau dalam hal ini pejabat publik diberikan kebebasan untuk mengambil keputusan berdasarkan pendapat sendiri, namun ini tidak berarti tidak ada rambu-rambu atau koridor-koridor hukum yang membatasinya. Pendapat pribadinya tersebut tetap harus merupakan pengejawantahan undang-undang yang melandasinya tersebut, kemudian asas moralitas dan rasa keadilan masyarakat seharusnya tetap menjiwai kewenangan diskresinya[32].
Penerapan kewenangan diskresi ini berdasarkan : demi kepentingan umum, masih dalam batas wilayah kewenangannya, dan tidak melanggar Asas hukum yang belaku[33] (caplang.wordpress.com). Mungkin secara hukum mungkin ia melanggar, tetapi secara asas ia tidak melanggar kepentingan umum dan hal ini merupakan instant decision (tanpa rencana) dan itu bukan pelanggaran tindak pidana[34].
Satjipto Rahardjo menyatakan seorang pejabat publik tidak melaksanakan peraturan tertulis secara “hitam putih”, melainkan selalu bertanya, apakah yang dilakukannya sudah baik untuk masyarakat. Penegak hukum bukan mesin otomat undang-undang dan prosedur. Tetapi selalu dihantui keinginan untuk memberikan keadilan kepada masyarakat (bringing justice to the people) sehingga pengadilan menjadi pengadilan yang murni, memiliki nurani (court with conscience). Dengan kata lain ketika memutuskan suatu perkara selain menggunakan logika peraturan, hakim juga mempertimbangkan logika kepautan sosial (social reasonableness) dan logika keadilan[35].
Dalam bahasa yang senada dinyatakan pendapat pribadi dalam penerapan kewenangan diskresi tersebut tetap harus merupakan pengejawantahan atau sekurang-kurangnya sejiwa dengan undang-undang yang melandasinya tersebut, kemudian asas moralitas dan rasa keadilan masyarakat[36].
Dari uraian-uraian di atas dapat digarisbawahi pemberlakuan diskresi bahwa tolok ukur kewenangan tersebut:
1. Tidak bertentangan dengan sistem hukum yang berlaku (kaedah hukum positif)
2. Ditujukan untuk kepentingan umum.
3. Tindakan itu diambil untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dianggap krusial.
4. Tindakan ini dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan maupun secara hukum.
5. Asas moralitas
6. Rasa keadilan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat
Penyimpangan Kewenangan Diskresi
Diskresi secara teoritis adalah penyimpangan. Tindakan diskresi apakah dianggap baik atau buruk sebenarnya bukanlah substansi yang perlu dipersoalkan. Sisi positif diskresi apabila diterapkan pada konteks masyarakat yang dinamis akan sangat membantu untuk melakukan berbagai penyesuaian. Sehingga peraturan yang ada tetap mampu menjawab tuntutan aspirasi dan dinamika masyarakat yang berkembang[37].
Diskresi itu ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi bersifat positif apabila diterapkan pada konteks masyarakat yang dinamis akan sangat membantu untuk melakukan berbagai penyesuaian. Diharapkan peraturan yang ada tetap mampu menjawab tuntutan aspirasi dan dinamika masyarakat yang berkembang. Namun di sisi lain, ia bisa menjadi bumerang bagi hakim. Karena kewenangan ini sangat terkait dengan subjektifitas dan kebebasan hakim sehingga rentan pada penyelewengan dan penyalahgunaan wewenang. Hakim dimungkinkan memutuskan suatu perkara dengan tidak memenuhi rasa keadilan dan kemudian mereka berlindung di belakang kewenangan diskresi yang dimilikinya.
Luasnya diskresi membuka peluang untuk penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran. Hal ini jelas perlu diantisipasi dengan pengaturan yang lebih rinci, limitatif, dan memiliki tolok ukur yang obyektif untuk menilai bagaimana aparat penegak hukum dan hakim harus menjalankan tugas dan wewenangnya.
Kelemahannya adalah selama ini diskresi aparat penegak hukum dan hakim masih besar dan belum disertai tolok ukur yang obyektif dalam pelaksanaannya. Hal ini dapat dilihat misalnya dalam diskresi yang luas dan subyektif bagi penyelidik/penyidik/penuntut/hakim untuk mengartikan “bukti yang cukup, ada kekhawatiran tersangka/terdakwa melarikan diri, atau menghilangkan alat bukti” sebagai dasar penahanan tersangka atau terdakwa. Selain itu masalah diskresi ini pun dapat dilihat dalam aturan MA, dimana tidak ada batas waktu yang jelas bagi hakim agung untuk menyelesaikan suatu perkara. Oleh karena itu, perlu dibuat suatu pembatasan atas penggunaan diskresi bagi aparat penegak hukum dan hakim. Selain itu, untuk menutup peluang penyalahgunaan wewenang, pengaturan tentang diskresi yang teknis, baik itu standard operation procedure (SOP), buku pedoman, Prosedur Tetap atau istilah lainnya, penting sebagai dasar untuk menilai performance dan perilaku aparat penegak hukum dan hakim[38].
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa kewenangan diskresi ini juga terdapat pada lembaga adminstrasi negara maupun institusi kepolisian negara. Sehingga penyelewengan penggunaan kewenangan diskresi ini terjadi pada lini ini, seperti kasus:
1. Proyek mobil nasional yang dicanangkan di masa rezim orde baru merupakan contoh nyata terjadinya penyalahgunaan diskresi dalam praktek penyelenggaraan negara.
Dalih untuk memajukan industri otomotif di Indonesia agar setaraf dengan negara maju, Soeharto sebagai seorang pejabat publik telah dengan sengaja melakukan pelanggaran beberapa asas hukum yang seharusnya dipedomani, sekalipun kebijakan yang dibuatnya tersebut dikategorikan kedalam suatu bentuk diskresi, yaitu:
a. Keputusan pemerintah untuk memberikan keistimewan pembebasan pajak kepada PT. Timor Putra Nasional telah melanggar asas legalitas terhadap undang-undang Perpajakan yang seharusnya dikenakan secara sama pada pengusaha;
b. Saat diberlakukannya keputusan pemerintah tersebut, reaksi pasar baik dalam negeri maupun luar negerif tetapi pemerintah tetap memaksakan kebijakannya sehingga dapat dikatakan bahwa dengan reaksi tidak diterimanya kebijaksanaan pemerintah tersebut oleh masyarakat Indonesia dan masyarakat internasional maka legitimitas keputusan pemerintah tersebut sangat kurang dan oleh karenanya tidak layak untuk tetap pertahankan;
c. Telah dilanggarnya prinsip moralitas atau rasa keadilan masyarakat yang seharusnya senantiasa diperhatikan dan dijunjung tinggi oleh pembuat kebijakan. Masyarakat Indonesia pasti mengetahui bahwa kebijakan yang dibuat oleh Soeharto adalah upaya memperkaya diri sendiri, keluarga atau kroni-kroninya.
Jika kita merujuk kepada asas-asas suatu pemerintahan good governance, maka dalam kasus
Proyek Mobil Nasional, Soeharto sebagai seorang pejabat publik pada saat itu dinilai telah melakukan penyalahgunaan jabatan dan wewenang, yaitu dengan ditegakkannya asas-asas:
a. Orang-orang yang ikut menentukan terjadinya keputusan tidak boleh mempunyai kepentingan pribadi (vested interest) di dalam keputusan tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung;Jika kita merujuk kepada prinsip ini, maka kebijakan proyek mobil nasional harus batal demi hukum tanpa memeriksa lagi kasusnya, oleh karena bukan hanya vested interest yang telah terjadi disini melainkan hal yang lebih parah,yaitu unsur-unsur korupsi, kolusi dan nepotisme;
b. Asas larangan kesewenang-wenangan, dalam kasus Proyek Mobil Nasional tersebut Soeharto telah melakukan suatu kebijakan tanpa mempertimbangkan semua faktor yang relevan secara lengkap dan wajar, sehingga secara logika tampak atau terasa adanya ketimpangan. Sikap sewenang-wenang tersebut dikategorikan telah terjadi oleh karena ia menolak untuk meninjau kembali keputusannya yang oleh masyarakat yang bersangkutan dianggap tidak wajar. Keputusan tersebut dapat digugat pada pengadilan perdata sebagai perbuatan penguasa yang melawan hukum.
c. Asas larangan penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir), yaitu Soeharto menyalahgunakan wewenang diskresi yang diberikan kepadanya.
d. Asas larangan melakukan diskriminasi hukum, dalam kasus Proyek Mobil Nasional ini Soeharto dinilai bahwa tidak mampu untuk berpikir, mempertimbangkan segala sesuatunya, dan melakukan evaluasi sedemikian rupa sehingga memperlakukan anggota masyarakat lain (dalam hal ini para pengusaha) secara sama dan sebanding [39].
a. Orang-orang yang ikut menentukan terjadinya keputusan tidak boleh mempunyai kepentingan pribadi (vested interest) di dalam keputusan tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung;Jika kita merujuk kepada prinsip ini, maka kebijakan proyek mobil nasional harus batal demi hukum tanpa memeriksa lagi kasusnya, oleh karena bukan hanya vested interest yang telah terjadi disini melainkan hal yang lebih parah,yaitu unsur-unsur korupsi, kolusi dan nepotisme;
b. Asas larangan kesewenang-wenangan, dalam kasus Proyek Mobil Nasional tersebut Soeharto telah melakukan suatu kebijakan tanpa mempertimbangkan semua faktor yang relevan secara lengkap dan wajar, sehingga secara logika tampak atau terasa adanya ketimpangan. Sikap sewenang-wenang tersebut dikategorikan telah terjadi oleh karena ia menolak untuk meninjau kembali keputusannya yang oleh masyarakat yang bersangkutan dianggap tidak wajar. Keputusan tersebut dapat digugat pada pengadilan perdata sebagai perbuatan penguasa yang melawan hukum.
c. Asas larangan penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir), yaitu Soeharto menyalahgunakan wewenang diskresi yang diberikan kepadanya.
d. Asas larangan melakukan diskriminasi hukum, dalam kasus Proyek Mobil Nasional ini Soeharto dinilai bahwa tidak mampu untuk berpikir, mempertimbangkan segala sesuatunya, dan melakukan evaluasi sedemikian rupa sehingga memperlakukan anggota masyarakat lain (dalam hal ini para pengusaha) secara sama dan sebanding [39].
2. Terdapat istilah- istilah yang terkait dengan penyalahgunaan wewenang ini seperti discretionery corruption: koprupsi yang dilakukan karena adanya kebebasan dalam menentukan kebijaksanaan, sekalipun nampaknya bersifat sah [40]. Salah satu kasus terkait adalah perkara korupsi pengadaan mobil pemadam kebakaran. Pusaran kasus ini adalah Radiogram Depdagri yang ditandatangani Dirjen Otonomi Daerah Oentarto Sindung Mawardi. Dalam sidang, ahli Emin Adi Muhaimin dari Bappenas menegaskan kedudukan Radiogram itu lebih rendah dari Keppres pengadaan barang dan jasa. Karena itu, Radiogram tidak boleh bertentangan dengan Keppres tersebut [41].
Denny Indrayana Ahli Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada menjelaskan bahwa penyelenggara negara berwenang mengeluarkan diskresi atau kebijakan yang menyimpangi peraturan dalam kondisi tertentu. Misalnya dalam keadaan darurat atau dalam keadaan mendesak. Sayang, diskresi yang dibuat kerap hanya menguntungkan penguasa dan kroni-kroni. Diskresi semacam itu harus diproses melalui hukum pidana. ”Sudah memenuhi unsur tindak pidana korupsi,” kata Denny[42].
Selain memenuhi unsur ‘menguntungkan’, diskresi semacam ini juga masuk kualifikasi unsur melawan hukum. Biasanya diskresi yang ditelurkan bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Misalnya Peraturan Pemerintah (PP) 37/2007 tentang insentif DPR. PP itu bertentangan dengan UU No. 10/2004 . Dalam UU 10/2004 peraturan perundang-undangan dilarang untuk berlaku surut. Sementara PP itu malah melegalkan pemberian insentif secara surut. “Itu merupakan bentuk penyalahgunaan kewenang,” tegas Denny[43].
Dalam institusi kepolisian negara, kita juga sering mendengar dan menyaksikan tindakan polisi yang dianggap “menyimpang” ketika menangani tindak kejahatan ditengah-tengah masyarakat. Dan ketika ditanyai oleh wartawan mereka lalu berlindung di bawah “payung” diskresi.
Misalnya Penembakan Nia Sari. Banyak pihak mengecam keras aksi anggota Satuan Intelijen Keamanan Kepolisian Resor Bogor, Brigadir (Pol) Suwandi, yang menembak mati seorang anak perempuan berusia 15 tahun, Nia Sari, di bagian kepalanya. Jenazah Nia, ditemukan di belakang Kantor Desa Tengah, Cibinong, Bogor. Tidak hanya itu, kronologis versi Polres Bogor soal kejadian itu pun dinilai mengada-ada dan sekadar menjadi alibi yang sengaja dibuat untuk melindungi pelaku. Peristiwa seperti itu menunjukkan adanya penyalahgunaan serius kewenangan diskresi yang dimiliki polisi[44].
Diskresi dalam Wacana Hukum Islam
Dalam wacana hukum Islam dikenal adanya istilah ijtihad [45] (proses penggalian hukum Islam). Ijtihad ini dilakukan oleh seorang yang dikategorikan sebagai mujtahid (ahli hukum Islam) dalam menjawab problematika hukum Islam yang terjadi di tengah- tengah masyarakat. Proses kreatif ini dapat dianalogikan dengan proses seorang hakim dalam tugasnya dalam memutuskan perkara hukum.
Ada beberapa metode ijtihad yang dapat ditempuh oleh para mujtahid dalam proses penggalian hukum Islam. Terkait dengan bahasan kita tentang diskresi hukum, maka yang akan disinggung berikut ini dibatasi pada metode ijtihad yang memungkinkan terjadinya diskresi hukum.
Menurut penelusuran yang penulis lakukan, dalam beberapa metode ijtihad dimungkinkan terdapat kasus-kasus yang diputuskan dengan diskresi. Ini adalah sebuah indikasi awal bahwa para mujtahid itu tidak terpaku begitu saja terhadap ayat al-Qur’an dan hadis nabi secara literalis. Tetapi mereka juga mempertimbangkan azas-azas, maksud dan tujuan dibalik teks nash tersebut. Sehingga ketika menetapkan suatu hukum, boleh jadi mereka “keluar” dari ketentuan yang secara eksplisit terdapat dalam al-Qur’an dan Sunah. Pada dasarnya ijtihad itu dilakukan oleh para ulama mujtahid berlandaskan maqshid asy-syari’ah; yaitu memelihara agama, jiwa, harta, kehormatan, dan keturunan pada tataran dharuri, haji dan tahsini.
Diskresi dalam wacana hukum Islam menurut penilaian penulis bukan saja dipraktekkan oleh para mujtahid di era keemasan ilmu-ilmu keislaman; di masa imam mazhab yang empat dan kemudian diteruskan oleh para pengikut mereka. Tapi jauh sebelumnya pada masa tabi’in dan sahabat. Bahkan nabi pun selaku seorang yang bertugas menyampaikan wahyu Allah berupa al-Qur’an kepada umatnya pernah memaknai suatu hukum berbeda dengan yang dijelaskan dalam al-Qur’an [46].
Berikut akan diuraikan metode - metode ijtihad yang memungkinkan terjadinya diskresi hukum. Dalam penjelasannya penulis mencoba menyajikan contoh – contohnya.
1. Istihsan
Istihsan adalah beralih dari penggunaan suatu qiyas kepada qiyas lain dari padanya (qiyas pertama). Dalam hal ini mujtahid tidak menggunakan qiyas zhahir dalam memutuskan permasalahan hukum yang dihadapinya tapi beralih menggunakan qiyas khafi. Karena menurut pertimbangannya cara itulah yang paling tepat[47].
Dalam Istihsan ini seorang mujtahid tidak menggunakan ketentuan yang telah secara jelas yang terdapat dalam al-Qur’an dan atau hadis. Tapi ia beralih menggunakan ketentuan lain yang dianggap lebih kuat.
Berikut ini beberapa contoh kasus penetapan hukum dengan menggunakan Istihsan:
a. Sanksi hukum terhadap pencuri.
Menurut ketentuan umum berdasarkan ketentuan dalam al-Qur’an, sanksi bagi orang yang mencuri adalah potong tangan sebagaimana firman Allah:
Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan, potonglah tangan-tangan keduanya… QS al-Maidah/5: 37
Berdasarkan ayat di atas, bila seseorang itu mencuri dan jika telah memenuhi ketentuan pemberlakuan hukuman potong tangan, maka diberlakukanlah hukuman potong tangan.
Namun bila pencurian tersebut dilakukan pada masa pacelik; kelaparan dan dilakukan dalam keadaan terpaksa untuk mempertahankan hidup, maka hukum potong tangan yang bersifat umum itu tidak diberlakukan. Hal ini karena dalam kasus ini berlaku hukum khusus. Peralihan dari hukum umum kepada hukum khusus ini dalam ilmu Ushul Fiqh disebut dengan Istihsan. Praktek ini pernah dicontohkan oleh Umar ibn Khattab di masa pemerintahannya[48]
b. Orang yang makan dan minum karena lupa ketika ia sedang berpuasa
Pada hakikatnya ibadah puasa adalah menahan makan, minum dan segala hal yang membatalkannya mulai terbit fajar hingga terbenam Matahari. Maka ibadah puasa seseorang itu batal ketika ia makan minum sedang berpuasa. Namun hukum itu dikecualikan oleh hadis nabi yang menyatakan:
Siapa yang makan dan minum karena lupa tidak batal puasanya. Karena hal itu merupakan rizki yang diturunkan Allah kepadanya (HR. at-Tirmidzi)[49]
c. Dokter melihat aurat pasien wanita pada saat pemeriksaan kesehatan
Secara umum seseorang dilarang melihat aurat orang lain. Tetapi dalam keadaan tertentu seseorang harus membuka pakaiannya untuk dilakukan pemeriksaan dan pendiagnosaan penyakitnya. Berdasarkan pertimbangan kemashlahatan orang tersebut, maka menurut kaedah Istihsan seorang dokter laki-laki diperbolehkan melihat aurat pasiennya yang perempuan[50]
2. Mashlahah Mursalah
Mashlahah Mursalah adalah apa yang dipandang baik oleh akal, sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum; namun tidak ada petunjuk syara’ yang memperhitungkannya dan tidak ada pula petunjuk syara’ yang menolaknya[51]
Berdasarkan metode mashlahah mursalah ini dimungkinkan terjadinya suatu hukum yang telah digariskan secara jelas oleh al-Qur’an dan atau hadis kemudian “diabaikan” dan beralih mengambil ketentuan hukum lain yang sebenarnya lebih sesuai dengan kemaslahat umum.
Berikut ini diuraikan beberapa kasus diskresi hukum yang terjadi pada metode mashlahah mursalah:
a. Memerangi mani’ az-zakah pada masa pemerintahan Abu Bakar Shiddiq
Kewajiban membayar zakat merupakan salah satu kewajiban yang harus ditunaikan oleh setiap muslim yang mampu dengan syarat-syarat yang telah ditentukan. Kewajiban ini merupakan salah satu ajaran dasar dalam Islam, sebagai rukun Islam yang ketiga.
Setelah Rasulullah wafat; pada masa pemerintahan Abu Bakar Shiddiq sebagian masyarakat muslim enggan mengeluarkan kewajiban ini. Mungkin mereka menyangka zakat semacam “upeti” kepada Rasulullah. Dan setelah beliau wafat, maka gugurlah kewajiban tersebut. Abu Bakar dengan pertimbangan untuk kemashlahat umat, kemudian memerintahkan untuk memerangi mereka.
b. Tidak memberikan hak zakat untuk para muallaf pada masa Umar ibn Khattab
Dalam QS at-Taubah/9: 60 ditegaskan bahwa salah satu ashnaf (kelompok) yang berhak atas harta zakat adalah para muallaf (mereka yang baru masuk Islam). Pada masa pemerintahannya Umar tidak mengeluarkan bagian para muallaf ini. Menurut Umar kondisi umat Islam telah kuat sehingga tidak perlu lagi memberikan reward kepada orang yang baru masuk Islam melalui harta zakat. Hal ini merupakan ujian kepada para muallaf atas keyakinannya untuk masuk Islam—masuk Islam bukan karena iming-iming materi.
c. Penanganan onta-onta yang tersesat pada masa Usman ibn Affan
Nabi telah memberikan petunjuk dalam menangani onta yang tersesat; terpisah dari pemiliknya. Di masa Nabi, onta-onta tersebut dibiarkan lepas untuk mencari makan sendiri dan tidak boleh ditangkap.
Kebijakan ini lalu dirobah oleh khalifah Usman ibn Affan. Pada masa pemerintahan khalifah Usman ibn Affan keadaan masyarat telah mulai pengalami pergeseran. Di tengah-tengah masyarakat ternyata telah mulai banyak orang yang kurang baik akhlaknya dan tangan jahil yang suka mengambil milik orang lain dengan cara yang tidak dibenarkan agama. Dengan ijtihadnya Usman menetapkan bahwa onta yang tersesat itu harus ditangkap lalu dijual. Kemudian hasil penjualannya akan diserahkan kepada pemilik onta yang sah nantinya. Ketentuan ini diberlakukan Usman berdasarkan pertimbangan kalau onta tersebut tidak ditangkap—dibiarkan lepas mencari makan sendiri, maka akan dicuri orang dan hilanglah hak pemiliknya. Sedang kalau onta tersebut dijual, hak si pemilik akan terpelihara[52].
d. Kebijakan Umar ibn Khattab tidak membagikan ghanimah (harta pampasan perang) berupa tanah pertanian di Irak.
Meski pun di dalam al-Qur'an terdapat tentang pembagian ghanimah, namun Umar mengambil kebijakan setelah ia berijtihad untuk tidak membagikan pampasan perang yang berupa tanah kepada para prajuritnya setelah penaklukan Irak. Tetapi tanah-tanah tersebut tetap digarap oleh para pemiliknya lalu mereka dikenakan pajak (kharaj).
Umar melihat cara inilah yang terbaik untuk kepentingan umum. Sementara jika tanah-tanah tersebut dibagikan kepada para tentaranya yang telah ikut berperang, maka kemungkinan tanah tersebut akan tidak produktif dan terlantar karena mereka prajurit itu sibuk berperang, memelihara wilayah kekuasaan Islam.
3. Sad adz-Dzari’ah
Sad adz-dzari’ah menutup jalan terjadinya kerusakan. Dasar pegangan para Ulama dalam penggunaan sa adz-dzari’ah adalah kehati-hatian dalam beramal ketika menghadapi benturan antara mashlahat dan mafsadat. Jika faktor mashlahatnya yang dominan maka perbuatan itu boleh dilakukan. Namun jika sebaliknya; mafsadatnya yang dominan maka perbuatan itu harus ditinggalkan. Dan jika sama kuat antara keduanya maka untuk ihtiyath diambil prinsip yang berlaku,” dar-u al-mafasid muqaddam ‘ala jalb al-mashalih”.
Dalam metode ijtihad ini akan kita lihat permasalahan yang pada dasarnya dibolehkan dalam syari’at Islam. Namun kemudian dipalingkan dari ketentuan dasar yang memperbolehkan permasalahan tersebut karena ternyata terdapat kemafsadatan besar yang akan terjadi dibaliknya. Di sini letak diskresi dalam metode ijtihad ini. Berikut ini dipaparkan beberapa contoh:
Dalam metode ijtihad ini akan kita lihat permasalahan yang pada dasarnya dibolehkan dalam syari’at Islam. Namun kemudian dipalingkan dari ketentuan dasar yang memperbolehkan permasalahan tersebut karena ternyata terdapat kemafsadatan besar yang akan terjadi dibaliknya. Di sini letak diskresi dalam metode ijtihad ini. Berikut ini dipaparkan beberapa contoh:
a. Pernikahan Tahlil
Pada dasarnya syari’at Islam menganjurkan seseorang untuk menikah. Banyak sekali ayat al-Qur’an dan Hadis Nabi yang menegaskan hal tersebut. Ditinjau dari segi motivasi melakukan suatu pekerjaan, suatu pekerjaan yang awalnya dianjurkan oleh syara’ menjadi terlarang ketika dilakukan berdasarkan motivasi yang tidak benar seperti kasus nikah Tahlil. Nikah Tahlil adalah pernikahan “bohong-bohongan” seorang laki-laki dengan seorang janda yang telah bercerai talak tiga dengan suami sebelumnya. Ini adalah sebagai syarat bagi sang janda untuk menikah kembali dengan mantan suaminya yang telah menjatuhkan talak tiga tersebut [53].
b. Larangan laki-laki muslim menikahi wanita ahl al-kitab
Di dalam al-Qur’an dinyatakan tentang kebolehan seorang laki-laki muslim menikah dengan perempuan ahl al-kitab. Namun para ulama termasuk di dalamnya Majlis Ulama Indonesia (MUI) lalu melarang (mengharamkan) bentuk pernikahan tersebut. Pertimbangan pengharaman ini adalah sad adz-dzari’ah; dalam kondisi masyarakat sekarang ini dikhawatirkan sang pria muslim dengan rayuan dan pengaruh istrinya dapat saja melakukan konversi agama. Tentu saja hal ini kontra produktif dengan alasan pembolehan awal bentuk pernikahan ini yakni; dalam rangka dakwah islamiyah untuk mengajak istri yang ahl kitab untuk memeluk agama Islam[54].
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Diskresi adalah kewenangan mencakup kewenangan yang bersifat merdeka untuk mengambil keputusan yang tepat/ sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi, tidak berdasarkan ketentuan-ketentuan peraturan, undang-undang atau hukum yang berlaku tetapi atas dasar kebijaksanaan, pertimbangan atau keadilan.
2. Pemberlakuan diskresi dalam masalah hukum berlandaskan pada:
a. Tidak bertentangan dengan sistem hukum yang berlaku (kaedah hukum positif)
b. Ditujukan untuk kepentingan umum.
c. Tindakan itu diambil untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dianggap krusial.
d. Tindakan ini dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan maupun secara hukum.
e. Asas moralitas
f. Rasa keadilan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat
3. Latar belakang pemberlakuan kewenangan diskresi dalam sistem hukum kita yang menganut sistem Civil Law sebagai alternatif untuk mengisi kekurangan dan kelemahan dalam penerapan azas legalitas. Bagi negara yang bersifat welfare state, azas legalitas saja tidak cukup untuk dapat berperan secara maksimal dalam melayani kepentingan masyarakat, yang berkembang pesat sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pertimbangan lainnya adalah adanya realitas bahwa suatu kebijakan atau peraturan tidak mungkin mampu merespons banyak aspek dan kepentingan semua pihak sebagai akibat adanya keterbatasan prediksi para aktor atau stakeholders dalam proses perumusan suatu kebijakan atau peraturan.
4. Dalam wacana hukum Islam, ijtihad—proses penggalian hukum dari al-Qur’an dan Sunnah-- yang dilakukan seorang mujtahid itu tidak terpaku begitu saja terhadap ayat al-Qur’an dan hadis nabi secara literalis. Tetapi mereka juga mempertimbangkan azas-azas, maksud dan tujuan dibalik teks nash tersebut. Sehingga ketika menetapkan suatu hukum, boleh jadi mereka “keluar” dari ketentuan yang secara eksplisit terdapat dalam al-Qur’an dan Sunah. Pada dasarnya ijtihad itu dilakukan oleh para ulama mujtahid berlandaskan maqshid asy-syari’ah. Metode - metode ijtihad yang memungkinkan terjadinya diskresi hukum antara lain: Istihsan, mashlahah mursalah, dan sad adz-dzri’ah.
Daftar Pustaka
Ariadi, Toni, Kepolisian dalam Perspektif Penegakan Hukum, http://polair-riau.com Powered by Joomla!
Bismar Siregar, www.ghabo.com
Bismar Siregar (02) Pendekar Hukum Jalan Lurus, http://www.tokohindonesia.com/
Diskresi Jalanan, caplang.wordpress.com
Diskresi Terhadap Anak Pengguna Narkoba Disambut Positif, www2.kompas.com
Dwiyanto, Agus, dkk, 2002, Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia, Yogyakartaa; Galang Pritika
Erlyn, Indarti, 2002, Diskresi Polisi, Semarang: Badan Penerbit Undip.
Gifs, Steven H, 1975, Law Dictionary, New York: Barron’s Educational Series, Inc
Haroen, Nasrun,1997, Ushul Fiqh 1, Jakarta: Logos Wacana Ilmu
Hartiwiningsih, 2001, Perilaku Menyimpang Birokrasi serta Upaya Pertanggungjawabannya, dalam Ahmad Gunaryo (ed), Hukum dan Birokrasi Kekuasaan di Indonesia, Semarang : WRI
Kewenangan Diskresi Kepolisian dan Pertanggungjawabannya secara Hukum www.contohskripsitesis.com
Manan, Bagir, 2004, Hukum Positif Indonesia(Satu Kajian Teoritik), Yogyakarta: FH UUI Press
Neufeldt [ed], tt, Webster New World, USA: Macmillan
Pelaku Korupsi Sering Berlindung Dibalik Kebijakan, www2.kompas.com
Penembakan Nia Sari, Polisi Salah Gunakan Kewenangan Diskresi, 64.203.71.11/kompas-cetak/0708/31/Politikhukum/3800815
Penyalahgunaan Diskresi pada kebijakan Mobil Nasional, zuryawanisvandiarzoebir.blogspot.com
Prakoso, Djoko, 1987, Polri Sebagai Penyidik dalam Penegakan Hukum, Jakarta: PT Bina Aksara
Puspa, Yan Pramadya, 2004, Kamus Hukum, Semarang: Aneka Ilmu
Rahardjo, Satjipto, 2008, Membedah Hukum Progresif, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, cet.ke-3
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara
Soekanto, Soerjono, 2006, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Syarifuddin, Amir, 2001, Ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta: Logos Wacana Ilmu
Utsman, Sabian, 2008, Menuju Penegakan Hukum Resposif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet.ke-1
[1] Neufeldt [ed], tt, Webster New World, USA: Macmillan, h.99
[2] Prakoso, Djoko, 1987, Polri Sebagai Penyidik dalam Penegakan Hukum, Jakarta: PT Bina Aksara,h. 180
[3] Ibid, h.181
[4] Puspa, Yan Pramadya, 2004, Kamus Hukum, Semarang: Aneka Ilmu, h.84
[5] Gifis, Steven H, 1975, Law Dictionary, New York: Barron’s Educational Series, Inc, h.61
[6] Erlyn, Indarti, 2002, Diskresi Polisi, Semarang: Badan Penerbit Undip, h.120
[7] Ridwan HR, 2007, Hukum Administrasi Negara, h. 177
[8]Penyalahgunaan Diskresi pada kebijakan Mobil Nasional, zuryawanisvandiarzoebir.blogspot.com
[9] Manan, Bagir, 2004, Hukum Positif Indonesia(Satu Kajian Teoritik), Yogyakarta: FH UUI Press, h. 16
[10] Ibid
[11] Kewenangan Diskresi Kepolisian dan Pertanggungjawabannya secara Hukum www.contohskripsitesis.com
[12] Rahardjo, Satjipto, 2008, Membedah Hukum Progresif, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, cet.ke-3, h. 38
[13] Ibid. H. 39
[14] Soekanto, Soerjono, 2006, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, h. 44
[15] Ibid, h. 45
[16] Dwiyanto, Agus, dkk, 2002, Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia, Yogyakartaa; Galang Pritika
[17] Utsman, Sabian, 2008, Menuju Penegakan Hukum Resposif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet.ke-1, 71
[18] Ibid, h. 71-72
[19] Ibid, h. 73
[20] Rahardjo, op.cit, h. 20 dan 31
[21] Ibid, h. 20, 56 dan 122
[22] Bismar Siregar, www.ghabo.com
[23] Ibid
[24] Bismar Siregar (02) Pendekar Hukum Jalan Lurus, http://www.tokohindonesia.com/
[25] Diskresi Jalanan, caplang.wordpress.com
[26] Ibid
[27] Rahardjo, op.cit, h.57
[28] Mannan, op.cit, h. 15
[29] Unsur-unsur diskresi ini dimodivikasi dari unsur-unsur freis ermessen; diskresi dalam bidang administrasi negara oleh Sjachran Basah
[30] Ridwan HR, op.cit, h. 178
[31] Penyalahgunaan, lo.cit
[32] Ibid
[33] Dimodivikasi dari tolok ukur pemberlakuan freis ermessen
[34] Ariadi, Toni, Kepolisian dalam Perspektif Penegakan Hukum, http://polair-riau.com Powered by Joomla!
[35] Rahardjo, op.cit, h. 32, 123, dan 124
[36] Penyalahgunaan, lo.cit
[37] Dwiyanto, op.cit, h. 142
[38] Diskresi Jalanan, loc.cit
[39] Penyalahgunaan, loc.cit
[40]Hartiwiningsih, 2001, Perilaku Menyimpang Birokrasi serta Upaya Pertanggungjawabannya, dalam Ahmad Gunaryo (ed), Hukum dan Birokrasi Kekuasaan di Indonesia, Semarang : WRI, h. 324
[41] Penyalahgunaan, lo.cit
[42] Pelaku Korupsi Sering Berlindung Dibalik Kebijakan, www2.kompas.com
[43] Ibid
[44] Penembakan Nia Sari, Polisi Salah Gunakan Kewenangan Diskresi, 64.203.71.11/kompas-cetak/0708/31/Politikhukum/3800815
[45] Ijtihad adalah proses pengerahan segenap kemampuan (oleh seorang mujtahid) dalam penggalian hukum Islam dari al-Qur’an dan Sunnah
[46] Dalam pembahasan kedudukan hadis Rasulullah terhadap al-Qur’an; salah satu hadis nabi adalah menetapkan hukum baru yang belum ditegaskan secara eksplisit dalam al-Qur’an. Ini sebuah petunjuk awal dimugkinkannya Rasulullah pernah melakukan diskresi hukum. Namun karena masih debatable di kalangan para ulama sehingga penulis tidak membahasnya lebih lanjut.
[47] Syarifuddin, op.cit, h. 304-308
[48] Ibid, h. 240, 309, 310, dan 312
[49] Haroen, h. 106
[50] Ibid, h. 107
[51] Syarifuddin, op.cit, h. 332
[52] Ibid, h. 240-241
[53] Haroen, op.cit, h. 169
[54] Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar