Rabu, 17 Juli 2013

FATWA, SIDANG ISBAT DAN PENYATUAN KALENDER HIJRIYAH



FATWA, SIDANG ISBAT DAN PENYATUAN KALENDER HIJRIYAH





Slamet Hambali
(Dosen Ilmu Falak IAIN Walisongo)
Malakah Pada Seminar Internasional IAIN Walisongo 2012





Pendahuluan.
Waktu yang terus berjalan seolah tak terkendalikan dan tak pernah memperdulikan, membuat semua akan tergilas oleh waktu. Hanya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berilmu pengetahuan, orang-orang yang senantiasa beramal shaleh, orang-orang yang senantiasa berada di jalan yang benar dan orang-orang yang senantiasa bersabar akan selalu hidup sepanjang waktu walaupun telah tiada dipanggil oleh Sang Pencipta. Perputaran matahari semu mengelilingi bumi telah memunculkan kalender sistem syamsiyah (solar system calender). Sedangkan gerak bulan mengelilingi bumi (gerak sebenarnya) telah memunculkan kalender sistem kamariyah (lunar system calender). Kalender yang dipakai oleh umat manusia hingga saat ini, pada dasarnya berkisar di antara 3 sistem, yaitu sistem syamsiyah (solar system), sistem kamariyah (lunar system) dan sistem kamariyah syamsiyah (luni solar system).Kalender solar system di antaranya dapat dijumpai dalam kalender Mesir Kuno, kalender Romawi Kuno, kalender Jepang, kalender Maya, kalender Saka dan kalender Masehi. Untuk kalender lunar system di antaranya dapat dijumpai dalam kalender Hijriyah atau kalender Islam dan kalender Jawa Islam. Sedangkan kalender luni solar system di antaranya dapat dijumpai dalam kalender Babilonia, kalender Cina dan kalender Yahudi. Dalam semua sistem kalender tidak ada perbedaan pendapat dalam penetapan awal bulan dan awal tahun, hanya dalam kalender Hijriyah saja yang sering terjadi adanya perbedaan, itupun hanya terjadi di Indonesia. Umat Islam Indonesia, telah terkotak-kotak dalam berbagai kelompok ormas dan semacamnya, masing-masing kelompok ormas mempunyai kecenderungan membuat kalender hijriyah sesuai dengan seleranya sendiri, sehingga mengakibatkan dalam penetapan awal bulan kamariyah khususnya awal Ramadhan, Syawal, Dzulhijjah dan awal bulan lainnya menjadi sering berbeda. Umat Islam Indonesia, telah terkotak-kotak dalam berbagai kelompok ormas dan semacamnya, masing-masing kelompok ormas mempunyai kecenderungan membuat kalender hijriyah sesuai dengan seleranya sendiri, sehingga mengakibatkan dalam penetapan awal bulan kamariyah khususnya awal Ramadhan, Syawal, Dzulhijjah dan awal bulan lainnya menjadi sering berbeda.

UNIFIKASI KALENDER HIJRIYAH DI INDONESIA (MENGGAGAS KALENDER MADZHAB NEGARA)


UNIFIKASI KALENDER HIJRIYAH DI INDONESIA

(MENGGAGAS KALENDER MADZHAB NEGARA)









Imam Yahya

(Dosen Fiqh Siyasah Fak Syariah IAIN Semarang)
Makalah Pada Seminar Internasional IAIN Walisogo 2012











Pengantar

Penyatuan kalender Hijriyah merupakan isu reguler yang biasanya dibahas pada waktu menjelang datangnya bulan Ramadlon, syawal, dan Dzul Hijjah. Pada awal tiga bulan inilah umat butuh kapan datangnya tanggal satu berkaitan dengan pelaksanaan ibadah.

Kebutuhan akan kepastian tanggal bulan Hijriyah inilah, menandakan bahwa sesungguhnya kalender hijriyah menjadi kebutuhan azazi bagi umat Islam. Umat sering dihadapkan dengan beragamnya pendapat para tokoh Islam yang sering beragam, bahkan terkadang saling menyalahkan antara satu tokoh dengan tokoh lainnya. Keragaman ini menjadi rahmat manakala disikapi saling memahami substansi perbedannnya, sebaliknya menjadi laknat bila menjadikan saling menyalahkan.

Substansi perbedaannya adalah perselisihan madzhab hisab dan madzhab rukyat dalam menentukan awal bulan hijriyah. Perselisihan ini menjadi persolan klasik yang selalu berkelit berkelindan dalam pusaran konflik umat. Berbagai upaya telah dilaksanakan baik oleh masyarakat maupun mediasi yang dilakukan oleh negara khususnya Badan Hisab Rukyat di bawah naungan Kementerian Agama RI. Namun demikian setiap tahun BHR bersidang dan setiap tahun itu pula pertentangan semakin berkembang.

Perkembangan penetapan tahun hijriyah ini tidak saja menjadi persoalan fiqh dan astronomi yang mempunyai kaidah-kaidah religiusitas dan scientifik, tetapi juga menjadi konflik politik di tengah masyarakat Indonesia. Awal bulan hijriyah yang seharusnya dirayakan dengan ceria, terkadang justru kita umat Islam mengawali dengan saling ejek, baik yang bermadhab hisab maupun rukyah. Tahun baru Hijriyah seharusnya menjadi tonggak kekuatan dan kemajuan umat Islam dalam menyongsong kehidupan yang penuh damai dan sejahtera. Mungkinkah tahun baru Hijriyah menjadi tetenger waktu bagi umat dalam kehidupan sehari-hari.




KALENDER HIJRIYAH BISA MEMBERI KEPASTIAN SETARA DENGAN KALENDER MASEHI




KALENDER HIJRIYAH BISA MEMBERI KEPASTIAN SETARA DENGAN KALENDER MASEHI








Thomas Djamaluddin

(Makalah pada Seminar Internasional IAIN Walisongo 2012)





 Ada suatu kerinduan ummat Islam untuk mendapatkan ketentraman dalam beribadah dengan kepastian dan keseragaman waktu beribadah, khususnya dalam mengawali bulan Ramadhan, mengakhirinya dengan Idul Fitri, dan dalam merayakan Idul Adha. Waktu beribadah tersebut ditentukan berdasarkan kalender Hijriyah. Lebih jauh lagi, mungkinkah kalender Hijriyyah bukan hanya digunakan untuk penentuan waktu ibadah tetapi juga digunakan untuk kepentingan administrasi pemerintahan dan transaksi bisnis, sebagaimana kalender masehi? Sangat mungkin kalau 3 prasyarat kalender mapan terpenuhi. Kalender Masehi perlu waktu 19 abad menuju kemapanan. Kalender Hijriyah baru 14 abad. Sistem kalender yang mapan mensyaratkan tiga hal:


1.Ada otoritas (penguasa) tunggal yang menetapkannya.

2.Ada kriteria yang disepakati

3.Ada batasan wilayah keberlakukan (nasional atau global).


Senin, 04 Maret 2013

KONTROVERSI HADIS YANG DIANGGAP MISSOGINIS



KONTROVERSI HADIS YANG DIANGGAP MISSOGINIS[1]






Prof. Dr. E n i z a r [2]
Guru Besar Hadis STAIN Jurai Siwo Metro Lampung

 

 

Pendahuluan


Bagi umat Islam, semenjak datangnya Islam, Rasulullah Saw. telah memberikan beberapa tuntunan dalam  relasi laki-laki dan perempuan.  Ketika menyampaikan aturan tersebut kadang ada sebab, situasi dan kondisi yang menyebabkan munculnya hadis Rasul. Di samping itu, Rasul punya metode sendiri dalam menyampaikan hadis dengan menggunakan bahasa atau perumpamaan yang membuat paham para pendengarnya.
Meskipun sudah dilakukan seleksi hadis yang sangat luar biasa oleh ulama hadis, namun ada beberapa hadis Rasulullah Saw. dipahami oleh peneliti atau penulis sebagai hadis missoginis (membenci perempuan).  Pemahaman tersebut tentu saja perlu dikaji ulang karena tidak didukung oleh data sejarah dan ajaran dasar al-Qur’an.
Apabila ketentuan Rasul tidak sesuai dengan petunjuk al-Qur’an, maka pasti hadis tersebutlah yang bermasalah dan perlu diragukan. Namun, apabila  hadis yang dianggap missoginis tersebut setelah melalui kritik ekternal (sanad) dan kritik internal (matan) hadis tersebut dinilai sahih oleh para ulama hadis, maka perlu pemahaman yang benar terhadap hadis.

MENYIKAPI HADIS-HADIS MISOGINIS


MENYIKAPI HADIS-HADIS MISOGINIS





Dr. Alamsyah, M.Ag
Dosen Fakultas Syari'ah IAIN Raden Intan Lampung





 PENDAHULUAN


Salah satu masalah hangat dibicarakan saat ini adalah terjadinya perlakuan tidak adil atas kaum perempuan, mulai dari kehidupan rumah tangga sampai kepada lingkup negara. Banyak kasus terungkap terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, eksploitasi ekonomi dan seksual, keterbelakangan pendidikan dan sosial, korban steriotipe sehingga perempuan menjadi kelompok marjinal dan minoritas di tengah jumlahnya yang mayoritas.
Implikasi dari steriotipe ini muncul anggapan perempuan itu memang rendah, bodoh, lemah, sehingga wajar jika miskin dan terbelakang. Ungkapan ini bahkan tercetus oleh perempuan itu sendiri, lalu diyakini sehingga hidupnya selalu tergantung dan tidak berdaya. Kaum perempuan dianggap sebagai makhluk kelas dua, dieksploitasi, dan dimanipulasi, baik secara insidental maupun sistematis. Perbedaan antara laki-laki dan perempuan tidak hanya dilihat sebatas identitas jenis kelamin dan kodrat fisik (atau sex) yang memang tidak berubah, tetapi juga menular secara negatif kepada perlakuan peran, fungsi, kedudukan, kualitas dan prestasi (atau Gender).
Oleh karena itu, dalam realitas masyarakat banyak terjadi fenomena kekerasan terhadap perempuan, seperti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), eksploitasi ekonomi dan seksual, keterbelakangan pendidikan dan sosial, korban steriotipe, marjinal dan minoritas. Realitas tersebut ternyata didukung oleh masih ada pandangan miring (steriotipe) seperti bahwa perempuan itu rendah, bodoh dan  lemah (bahkan oleh perempuan sendiri). Akibatnya terjadi ketimpangan status dan peran sosial, marjinalisasi dan kemiskinan, keterbelakangan dan kemunduran serta ketergantungan dan ketidakberdayaan.
Fakta realitas menunjukkan memang ada pandangan yang timpang dan miring terhadap perempuan yang ternyata memakai teks-teks keagamaan, terutama hadis Nabi, sebagai alat legitimasi.  Bahkan banyak hadis-hadis yang dijadikan sebagai alat pembenaran untuk memojokkan kaum perempuan atau untuk diberikan label-label yang merendahkan. Reaksi perlawanan lalu muncul dengan membangun teori ada kelompok konspirasi yang sengaja membuat hadis-hadis untuk menghina perempuan, atau hadis misoginis, seperti termuat dalam berbagai kitab tafsir yang sudah populer, maupun kitab hadis dan syarahnya.Dalam tulisan ini akan dikaji fenomena hadis-hadis misoginis.

Rabu, 20 Februari 2013

PERMASALAHAN ARAH KIBLAT: ANTARA KHILAFIAH DAN SAINS


PERMASALAHAN ARAH KIBLAT: ANTARA KHILAFIAH DAN SAINS[1]



Abstrak
Dalam penentuan arah kiblat di tengah-tengah masyarakat, ditemukan banyak metode yang digunakan. Mulai dari metode yang masih tradisional dan sederhana sampai metode terbaru yang canggih. Metode-metode itu antara lain: menggunakan alat bantu tongkat Istiwa, kompas, rashd al-qiblah global, rashd al-qiblah lokal, theodolit, mengacu secara kasar pada arah kiblat masjid yang sudah ada,  ditentukan oleh seseorang yang ditokohkan dalam masyarakat,  arah kiblat adalah barat, dan disejajarkan dengan jalan di dekatnya. Makalah ini akan memberikan penjelasan tentang  pandangan Syar’i menyikapi perbedaan tersebut.

Kata Kunci: Arah Kiblat, Presisi, Pengecekan Arah Kiblat, Koreksi Arah Kiblat