Sabtu, 20 Juni 2009

HUKUM ISLAM: ‘Urf : Potensi Tradisi Lokal dalam Menjawab Problematika Hukum Islam

‘Urf : Potensi Tradisi Lokal dalam Menjawab Problematika Hukum Islam







Abstrak

Hukum Islam mengakomodir tradisi shahih yang berkembang dalam masyarakat. Dalam proses pensyari’atan hukum Islam, Rasulullah mengadopsi tradisi shahih masyarakat Arab pra Islam. Ulama Malikiyah pun banyak melestarikan tradisi (a’mal) ahl al-madinah—sebagai masyarakat yang mewarisi tradisi kenabian dalam ketetapan hukum mereka. Banyak tradisi-tradisi yang telah mengakar dalam masyarakat kita, tradisi yang telah menjadi bahagian dan tidak dapat dipisahkan dari mereka. Tradisi-tradisi tersebut yang telah lulus “penyeleksian” melalui persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan dalam kajian Ushul-al-Fiqh dapat dinyatakan sebagai tradisi Islam yang bercorak kedaerahan kita—ke-Indonesiaan. Tradisi ini dijadikan rujukan dalam menyelesaikan persoalan hukum Islam yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.

Kata kunci: ‘urf, tradisi masyarakat, hukum Islam



A. Pendahuluan

Ajaran Islam itu diwahyukan pada nabi Muhammad saw diturunkan pada masyarakat Arab yang tentu saja bukan suatu masyarakat yang “hampa budaya”. Masyarakat Arab itu tentu saja memiliki tradisi-tradisi—dalam istilah hukum Islam dikenal dengan istilah ‘urf atau ‘adah-- yang telah membudaya, melekat erat dan menjadi bagian dari kehidupan mereka. Ketika ajaran Islam datang, tradisi-tradisi bangsa Arab itu yang baik lalu diakomodir ke dalam ajaran Islam. Sebaliknya tradisi-tradisi yang tidak sesuai dengan ajararan Islam lalu dilarang. Kita perlu melihat bagaimana hukum Islam berinteraksi dengan tradisi yang ada di masyarakat. Di satu sisi ada ajaran-ajaran agama yang sifatnya permanen, tetap karena merupakan dasar atau pondasi agama Islam. Pada sisi yang lain ada ajaran-ajaran agama yang bersifat fleksibel; dapat berubah ketika terjadinya perubahan dalam masyarakat. Dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut pengertian ‘urf, macam, landasan pensyari’atan, syarat penerimaan, serta posisinya dalam legislasi hukum Islam.


B. Pengertian ‘Urf
Kata ‘urf secara etimologi berasal dari kata ‘arafa, ya’rifu berarti sesuatu yang dikenal , sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh akal sehat . Sedangkan secara terminologi, sebagaimana dinyatakan Abdul Karim Zaidan ‘urf berarti: sesuatu yang tidak asing lagi bagi suatu masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan atau perkataan . Abu Zahrah menyatakan ‘urf adalah kebiasaan manusia dalam urusan muamalat dan menegakkan urusan-urusan mereka .

Di antara para ulama, ada yang menyatakan bahwa pengertian ‘urf sama dengan ‘adah, keduanya muradif . Selanjutnya Amir Syarifuddin menyatakan bila diperhatikan kedua kata tersebut dari segi asal penggunaan dan akar katanya, maka terdapat perbedaan antara keduanya. Kata ‘adah berasal dari kata ‘ada, ya’udu yang mengandung arti pengulangan (tikrar). Sesuatu dikatakan sebagai ‘adah jika telah dilakukan secara berulang. Namun tidak ada ukuran dan banyaknya pengulangan sehingga perbuatan tersebut dinyatakan sebagai ‘adah. Kata ‘urf tidak mengacu pada segi berulang kalinya suatu perbuatan itu dilakukan tetapi dari segi bahwa perbuatan tersebut sudah sama-sama dikenal dan diakui oleh orang banyak.

Jika kita telusuri sebenarnya tidak ada perbedaan yang prinsip karena pengertian kedua kata tersebut tidak ada perbedaan yang prinsip. Keduanya mempunyai pengertian yang sama yaitu suatu perbuatan yang telah berulang-ulang dilakukan menjadi dikenal dan diakui orang banyak; sebaliknya karena perbuatan tersebut telah dikenal dan diakui orang banyak, maka perbuatan itu dilakukan orang secara berulang-ulang .Dari segi kandungan artinya kedua kata tersebut memiliki perbedaan makna. Kata ‘adah hanya memandang dari segi pengulangan suatu perbuatan itu dilakukan dan tidak meliputi penilaian segi baik atau buruknya perbuatan tersebut sehingga dapat dinyatakan ia berkonotasi netral. Sedangkan ‘urf digunakan dengan memandang segi pengakuan terhadap suatu perbuatan, diketahui dan diterima oleh orang banyak. Dengan demikian kata ‘urf mengandung konotasi baiknya perbuatan tersebut sebagai mana penggunaannya dalam QS. al-A’raf/7: 199.


Lain lagi tinjauan Musthafa Syalabi yang membedakan keduanya dari segi ruang lingkup penggunaannya. Kata ‘urf selalu digunakan untuk jamaah atau golongan sedang kata ‘adah dapat saja berlaku pada perorangan, sebagian orang di samping pada golongan .Ketentuan harus sesuatu yang dikenal, diakui dan diterima oleh orang banyak pada ‘urf dan ‘adah di atas memiliki kemiripan dengan ijma’. Namun terdapat perbedaan-perbedaan sebagai berikut:


1. Dari segi ruang lingkupnya, ijma’ harus diakui dan diterima semua pihak. Ijma’ tidak terwujud jika terdapat segelintir orang yang tidak setuju atau menolak. Sedangkan ‘urf dan ‘adah cukup dilakukan atau dikenal oleh sebagian besar orang saja.
2. Ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid bukan masyarakat pada umumnya berbeda dengan ‘urf dan ‘adah melibatkan seluruh anggota masyarakat termasuk di antaranya adalah para mujtahid.
3. ‘Adah dan ‘urf bisa mengalami perubahan karena perubahan situasi dan kondisi masyarakat. Sedang ijma’ sebagai sebuah dalil hukum tidak mengalami perubahan .


Selanjutnya dalam makalah ini penulis menggunakan istilah ‘urf saja untuk mewakili ‘urf dan ‘adah mengingat keduanya memiliki makna yang hampir sama dan untuk konsistensi dan keseragaman penulisan.




C. Macam- Macam ‘Urf


Penggolongan ‘urf dapat ditinjau dari berbagai segi:
1. Ruang lingkup penggunaannya, terbagi menjadi:
a. Al-‘Urf al-‘am (adat kebiasaan umum), adat kebiasaan mayoritas dari berbagai negeri pada satu masa. Contoh kebiasaan menyewa kamar mandi umum dengan jumlah sewa tertentu tanpa menentukan secara pasti berapa lamanya mandi dan banyaknya air yang digunakan, ketika memasuki kolam renang/pemandian umum terkadang tak bisa dihindari terlihatnya aurat sebagian pengunjung oleh yang lain, dan memakan buah-buahan yang jatuh dari pohon yang terdapat di jalan umum.
b. Al-‘Urf al-khash (adat kebiasaan khusus), yaitu adat istiadat yang berlaku pada masyarakat atau negeri, iklim, dan kelompok tertentu. Contoh catatan jual beli yang dipegang oleh penjual sebagai alat bukti ketika terjadi permasalah hutang piutang, kebiasaan tertentu dalam berjual beli, garapan lahan pertanian .


Al-‘Urf al-khash ini juga mencakup pengertian-pengertian tentang suatu hal atau masalah tertentu menurut terminologi ilmu tertentu pula. Misal kita mengetahui pengertian sunnah menurut fuqaha, ushuliyun dan muhadditsun. Masing-masing mereka memberikan definisi yang berbeda untuk pengertian sunnah. Dalam ilmu Falak kita juga mengenal metode hisab ‘urfi sebagai salah satu metode perhitungan awal bulan Qamariyah. Hisab ‘Urfi adalah suatu sistem perhitungan awal bulan yang didasarkan pada peredaran rata-rata bulan mengelilingi Bumi dan ditetapkan secara konvensional. Perhitungannya bersifat tetap seperti dalam penanggalan masehi. Dalam artian bahwa bilangan hari pada tiap-tiap bulan dalam setiap bulannya bersifat tetap. kecuali ada penambahan hari pada tahun kabisat. Model perhitungan ini tidak sesuai dengan perhitugan sebenarnya peredaran bulan. Karena perhitungan bulan dalam perhitungn tahun Qamariyah tidak selamanya tetap tapi dapat berubah-ubah sesuai dengan kondisi riilnya. Berdasarkan hal tersebut perhitungan hisab ‘urfi ini tidak dapat dijadikan dasar dalam hal ibadah .


Berikut ini penuliskan beberapa ‘urf yang menjadi tradisi dalam masyarakat Minangkabau, wilayah teritorial Sumatera Barat sekarang:


1) Di pesantren-pesantren seperti Diniyah Putri, Thawalib Padang Panjang, Sumatera Thawalib Parabek, Tarbiyah Islamiyah Candung, dan lainnya ada suatu tradisi menutup kepala bagi perempuan yang disebut dengan mudawarah. Yakni dengan metode melilitkan selendang di kepala. Inilah identitas santri putri di pesantren-pesantren tersebut .
2) Tradisi lama dalam masyarakat Minangkabau, anak laki-laki yang telah baligh tidur di surau. Biasanya mereka tidak lagi tidur di rumah orang tuanya tapi di masjid/surau berkumpul dengan teman-teman mereka lainnya. Ini dapat kita baca misalnya dalam buku Kenang-Kenangan Hidup karya Hamka.
3)Tradisi lainnya adalah merantau, meninggalkan kampung halaman untuk pergi ke daerah lain. Merantau ini dilakukan berdasarkan berbagai macam motif, mulai dari dari menuntut ilmu pengetahuan, mencari pekerjaan atau penghidupan yang lebih baik, menambah pengalaman, dan motif-motif lainnya. Hal ini bisa kita telusuri lebih jauh dari buku hasil disertasinya Mukhtar Na’im yang berjudul Merantau.
4)Dalam pembagian harta pusaka dalam masyarakat Minangkabau ada yang namanya Harta Pusaka Tinggi. Harta Pusaka Tinggi adalah harta yang merupakan peninggalan suku/kaum secara turun temurun . Harta Pusaka tinggi ini hanya diwariskan melalui jalur matrilinial. Dari nenek diwariskan ke ibu dan saudara-saudara perempuan ibu (bibi), selanjutnya diwariskan pada anak perempuan mereka dan seterusnya.
5) Satu lagi tradisi masyarakat Minangkabau yang akan dijelaskan adalah tradisi “jemputan” dalam tradisi perkawinan masyarakat daerah Pariaman—sebuah kabupaten di Sumatera Barat. Tradisi ini kadang difahami orang di luar Sumatera Barat secara simpang siur. Dalam tradisi masyarakat Pariaman, jika seorang pemuda akan menikah dengan perempuan yang berasal dari daerah yang sama (sama-sama berasal dari daerah Pariaman) biasanya pemuda itu akan memperoleh “jemputan”. “Jemputan” ini biasanya berbentuk uang atau benda berharga lainnya yang diberikan oleh pihak keluarga perempuan kepada pihak keluarga pemuda itu. Besaran “jemputan” itu tergantung status sosial si pemuda. Semakin tinggi satus sosialnya, maka samakin tinggi nilai “jemputan”nya. Setelah keduanya menikah, “jemputan” ini merupakan modal mereka dalam berumah tangga. Tradisi ini tidak berlaku atau lebih longgar sifatnya jika pemuda tersebut menikah dengan perempuan yang berasal dari luar daerah itu.

2.Materi yang biasa dilakukan, terbagi menjadi:a. ‘Urf qawli/ lughawi, yaitu kebiasaan yang berlaku dalam penggunaan kata-kata atau ucapan bukan pengertiannya secara kebahasaan.
1) Seperti penggunaan kata walad dalam QS an-Nisa/4: 11-12 , pengertiannya mengacu pada anak laki-laki dan perempuan. Sedangkan dalam kebiasaan bangsa Arab menggunakannya khusus untuk anak laki-laki saja. ‘Urf qauli ini misalnya digunakan ketika memahami QS. an-Nisa/4: 176


Pengertian walad dalam ayat tersebut hanya mengacu pada anak laki-laki saja tidak anak perempuan.
2) Penggunaan kata lahm yang berarti daging hanya untuk daging sapi dan kambing. Jika seseorang itu bersumpah atas nama Allah tidak akan makan lahm lalu ternyata ia makan ikan, tidaklah ia dianggap malanggar sumpahnya. Karena menurut ‘urf dalam masyarakat pengertian lahm itu hanya untuk daging sapi dan kambing, tidak termasuk ikan. Pada hal secara bahasa pengertian lahm mencakup berbagai macam daging termasuk di dalamnya ikan sebagaimana Firman Allah QS an-Nahl/16: 14 Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur.


3) Kata daabbah digunakan untuk keledai saja pada sebagian daerah di Mesir atau pengertiannya adalah kuda pada sebagian daerah di Irak dan Sudan pada hal pengartiannya dalam bahasa Arab mencakup semua yang hewan berkaki empat.


Fuqaha dari kalangan mazhab Hanafi menyatakan, “al-‘urf qadhin ‘ala al-lughah.” (pengertian menurut ‘urf itu yang digunakan dalam memahami suatu istilah)
b. ‘Urf ‘amali/ fi’li, yaitu kebiasaan yang berlaku dalam perbuatan. Berikut contoh ‘urf ‘amali:
1) Umpamanya kebiasaan jual beli barang-barang yang murah atau kurang berharga biasanya transaksi antara penjual dan pembeli cukup hanya dengan menunjukkan barang serta serah terima barang dan uang tanpa terjadi akad apa-apa. Kebiasaan ini tidak menyalahi aturan akad dalam jual beli karena telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat
2) Kriteria ‘adalah untuk diterimanya kesaksian seseorang. Firman Allah QS ath-Thalaq/ : 2 'adalah diartikan sifat yang melekat pada diri seseorang sehingga ia senantiasa bertaqwa pada Allah dan menjaga muru’ahnya. Tentang menjaga muru’ah ini, di daerah Timur orang yang tidak menutup kepalanya dianggap tidak menjaga muru’ah. Namun persepsinya berbeda dengan orang di Barat.


Ini sesuai dengan kaedah: al-‘adah muhakkamah, at-ta’yin bi al-‘urf ka at-ta’yin bi an-nash, ats-tsabit bi al-‘urf tsabit bi dalilin syar’iyyin, dan al-ma’ruf ‘urfan ka al-masyruth syarthan . ‘Urf mempengaruhi pertimbangan dalam penetapan hukum. Pengaruh itu terutama berkenaan dengan makna yang harus diberikan pada ungkapan yang digunakan dalam hukum. Banyak ungkapan dalam bidang perikatan, muamalat, munakahat, sumpah, nazar dan lainnya yang harus diartikan menurut ‘urf si pembicaranya. Suatu ungkapan yang pada tempat dan waktu tertentu dipandang jelas (sharih) mungkin saja mengalami perubahan makna pada waktu atau tempat yang lain. Perubahan ‘urf tentang penggunaan suatu ungkapan dapat mempengaruhi hukum .


3. Penilaian baik dan buruk, terdiri atas:a. ‘Urf shahih (adat kebiasaan yang benar), yaitu suatu hal yang baik yang menjadi kebiasaan suatu masyarakat, tidak bertentangan dengan ajaran agama, sopan santun, dan budaya yang luhur. Misalnya pemberian pihak laki-laki kepada calon istrinya dalam pelaksanaan pinangan dianggap hadiah bukanlah mahar. Kebiasaan penduduk Baghdad dulunya untuk menyiapkan makan siang bagi tukang yang bekerja dalam pembangunan rumah.


b. ‘Urf fasid (adat kebiasaan yang tidak benar), yaitu suatu yang menjadi kebiasaan yang sampai pada penghalalan sesuatu yang diharamkan Allah (bertentangan dengan ajaran agama), undang-undang negara, dan sopan santun. Seperti menyediakan hiburan perempuan yang tidak memelihara aurat dan kehormatannya dalam perayaan suatu perhelatan, dan akad perniagaan yang mengandung riba .


Para Ushuliyun memiliki pola yang berbeda-beda dalam pengklasifikasian macam-macam ‘urf ini. Ada yang mempolakannya seperti pola di atas, adapula yang pula yang membagi ‘urf berdasarkan benar atau salahnya lalu ‘urf yang shahih dan ‘urf fasid itu masing-masingnya terdiri dari ‘urf ‘am-khash dan ‘urf lafzhi-‘amali. Atau mereka yang mempolakannya dengan bentuk pemolaan lainnya.




D. Landasan Pensyari’atan ‘Urf Menjadi Landasan Hukum

Para Ushuliyun sepakat menolak ‘urf fasid untuk dijadikan landasan hukum. Menurut ath-Thayyib Khudari as-Sayyid, guru besar Ushul Fiqh universitas al-Azhar Kairo, menyatakan bahwa pada prinsipnya mazhab yang empat sepakat menerima adat istiadat sebagai landasan pembentukan hukum. Walaupun dalam jumlah dan rinciannya terdapat perbedaan di antara mereka. Sehingga ‘urf dimasukkan dalam dalil hukum yang diperselisihkan oleh para Ushuliyun . Di antara dalil pensyari’atan ‘urf adalah.1. QS. al-A’raf/7: 199 Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.
Kata ‘urf dalam ayat di atas oleh Ushuliyun difahami sebagai sesuatu yang baik dan telah menjadi kebiasaan masyarakat. Maka ayat di atas menjadi landasan untuk mengerjakan sesuatu yang dianggap baik yang menjadi tradisi dalam suatu masyarakat . Pada prinsipnya syari’at Islam menerima dan mengakui adat dan tradisi selama tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah. Islam tidak serta merta menghapus tradisi dalam masyarakat Arab ketika ia diturunkan. Tradisi yang baik dilestarikan sedang tradisi yang buruk secara bertahap dihapuskan. Sebagi contoh tradisi masyarakat Arab yang dilestarikan adalah praktek bagi hasil dalam perdagangan (mudharabah), jual beli salam yang merupakan kebiasaan masyarakat Madinah, dan jual beli ‘araya (jual beli kurma yang masih “basah” yang masih di pohon dengan kurma yang sudah kering).
2. Hadis nabi ,”Segala sesuatu yang dianggap kaum muslimin baik, maka demikian itu di sisi Allah adalah perbuatan yang baik”. Menurut hadis ini perbuatan yang telah menjadi kebiasaan kaum muslimin yang dipandang baik maka di sisi Allah merupakan perbuatan yang baik. Perbuatan yang menyalahi kebiasaan yang dipandang baik tersebut akan menyebabkan terjadinya kesulitan dan kesempitan dalam hidup mereka. Mazhab Hanafi dan Maliki menyatakan bahwa sesuatu yang ditetapkan berdasarkan ‘urf yang shahih setara dengan penetapan dengan dalil syara’ . Dan hadis Rasulullah saw. tentang kisah Hindun; istri Abu Sufyan yang mengadukan kebakhilan suaminya dalam memberikan nafkah. Rasul bersabda,”khudzi min mali Abi Sufyan ma yakfiki wa waladaki bi al-ma’ruf.”(ambillah dari harta Abi Sufyan sesuai kebutuhan yang pantas untukmu dan anakmu). Menurut al-Qurthubi dalam hadis ini dijadikannya ‘urf sebagai pertimbangan penetapan hukum Syari’at oleh Rasulullah saw .
3. Para ulama dari masa yang berbeda, berhujjah dengan ‘urf dengan memasukkan pertimbangan ‘urf dalam ijtihad mereka. Ini sebagai pertanda sahnya penggunaannya, ini posisinya sama dengan ijma’ sukuti. Sebagian mereka secara tegas menggunakannya sedang yang lain tidak membantahnya. Lebih lanjut ia menyatakan sesungguhnya ‘urf pada hakikatnya berdasarkan pada dalil Syara’ yang mu’tabarah, seperti Ijma’, mashlahah mursalah dan adz-dzri’ah. ‘Urf yang berdasarkan Ijma’ antara lain: jual beli secara pesanan, ketentuan tentang penyewaan kamar mandi umum . Syatibi mendasarkan bahwasan ijma’ ulama menyatakan bahwa sesungguhnya syari’at Islam itu datang untuk memelihara kemaslahatan manusia. Untuk itu wajib memperhatikan tradisi-tradisi mereka karena di dalamnyalah terwujudnya kemaslahatan tersebut .
4. Keberlakuan ‘urf dalam kehidupan manusia merupakan sebagai dalil bahwa ia mendatangkan kemaslahatan bagi mereka atau melenyapkan kesulitan. Mashlahah merupakan dalil syar’i demikian juga melenyapkan kesulitan adalah tujuan syar’i. Ajaran Islam datang dengan mengakomodir kemashlahatan yang telah menjadi ‘urf bangsa Arab pra Islam seperti dalam masalah kafaah dalam perkawinan, ashabiyyah dalah perwalian dan waris, dan kewajiban membayar diyat bagi orang membunuh secara tidak sengaja (khatha’) .


Berdasarkan dalil-dalil di atas, secara istiqra’ dapat dinyatakan kehujjahan ‘urf sebagai dalil syar’i itu tidak dapat dibantah lagi.



E. Penyerapan ‘Urf dalam Hukum Islam


Pada bagian ini kita akan melihat lebih jauh bagaimana bentuk akulturasi hukum Islam dengan kebiasaan bangsa Arab ketika proses pewahyuan berlangsung. Proses penyeleksian kebiasaan masyarakat tersebut berdasarkan pada kemashlahatan yang diakui oleh syari’at. Bersadarkan penyeleksian tersebut, ‘urf dapat di kelompokkan sebagai berikut:


1. ‘Urf yang di dalamnya terdapat unsur manfaat dan tidak ada unsur mudharahnya; atau unsur manfaatnya lebih besar dari unsur mudharahnya. Kebiasaan dalam bentuk ini diterima sepenuhnya dalam hukum Islam. Sebagai contoh hukum diyat yang harus dibayarkan oleh pelaku pembunuhan kepada pihak keluarga yang dibunuh. Ketentuan ini berlaku dalam masyarakat Arab pra Islam. Setelah Islam datang lalu ditetapkanlah ketentuan tersebut sebagai bagian dari syari’at Islam.
2. ‘Urf yang secara substansial mengandung unsur mashlahah; tidak mengandung unsur mafsadah dan mudharah. Namun dalam pelaksanaannya tidak dipandang baik oleh syari’at Islam. Kebiasaan ini diterima sebagai bagian dari syari’at Islam dengan mengalami perubahan dan penyesuaian. Seperti kebiasaan menzhihar istri. Dalam tradisi bangsa Arab zhihar adalah salah satu bentuk ungkapan suami untuk menceraikan istrinya. Namun dalam Islam, zhihar tidak memutuskan hubungan perkawinan tetapi ia menyebabkan terlarangnya melakukan hubungan sexual antara suami istri tersebut. Bila keduanya ingin berhubungan lagi haruslah membayar kafarah, sebagaimana firman Allah: Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. dan Sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta. dan Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, Kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), Maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak Kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. dan Itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih. QS. al-Mujadilah/58: 2-4


3. ‘Urf yang prinsip dan pelaksanaannya mengandung unsur mafsadah, tidak memiliki unsur manfaat; atau unsur mafsadahnya lebih besar atau dominan dari manfaatnya. Seperti kebiasaan berjudi, minum minuman yang memabukkan, sebagimana Firman Allah: Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah , adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.


dan praktik riba, yang dilarang Allah dalam firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. QS. Ali Imram/3:130


Syari’at Islam datang melarang dan mengharamkan praktik-praktik tersebut.
4. ‘Urf yang secara prinsip mengandung unsur manfaat dan tidak terdapat di dalamnya unsur mafsadah dengan pengertian tidak bertentangan dengan dalil syara’. Namun keberadaannya belum terserap ke dalam syara’ baik secara langsung maupun tidak langsung .


‘Urf bentuk pertama dan kedua merupakan ‘urf shahih. Keduanya diterima dan menjadi bagian dari hukum Islam itu sendiri. Eksistensinya diakui dengan menerimaan secara eksplisit oleh nash. Sedangkan ‘urf bentuk ketiga para ulama sepakat menolaknya karena merupakan ‘urf fasid. Karena kebiasaan yang bertentangan dengan syari’at Islam, budaya yang luhur, sopan santun dan undang-undang negara harus ditinggalkan meskipun kebiasaan atau tradisi itu diterima oleh orang banyak.




F. Perbenturan dalam ‘Urf

Berikut ini bentuk ta’arudh terkait dengan masalah ‘urf:

1. Jika ‘urf bertentangan dengan hukum yang bersifat umum yang didasarkan pada dalil yang zhanni.
a. Jika ‘urf itu adalah ‘urf lafzhi maka ia memahami nash itu berdasarkan pemahaman ‘urf tersebut. Seperti dalam memahami makna salat, nikah, jual beli dan sebagainya.
b. Jika dengan ‘urf ‘amali, maka ia mentakhshish dalil zhanni itu .
Berikut ini beberapa contoh:
1) Membolehkan istishnaa’ berdasarkan ‘urf yang berkembang di masyarakat yang mentakhshish hadis tetang larangan praktik jual beli sesuatu yang belum ada bendanya.
2) Di kalangan Hanafiyah dan Malikiyah membolehkan pempersyaratkan sesuatu hal dalam berjual beli. Persyaratan itu haruslah persyaratan yang telah menjadi ‘urf dalam masyarakat tersebut. Ini mentakhshish hadis Nabi yang melarang jual beli bersyarat.
3) Demikian juga keumuman yang terdapat dalam QS. al-Baqarah/2:233 tentang persusuan yang ditakhshish dengan kebiasaan wanita bangsawan Arab yang tidak menyusui sendiri anak-anak mereka
2. Jika ‘urf yang datang belakangan bertentangan dengan nash yang bersifat umum. Maka berdasarkan kesepakatan para Ushuliyun maka ‘urf tersebut tidak boleh mentakhshish nash tersebut .
3. Jika ‘urf bertentangan dengan nash yang bersifat khusus. Jika suatu berbuatan itu dilarang oleh syara’ karena terdapat kerusakan dan kemudharatan di dalamnya, kemudian terdapat tradisi dalam masyarakat yang menganggap baik larang tersebut, maka tradisi itu harus ditolak.
4. Jika ‘urf bertentangan dengan qiyas, para ulama sepakat mengabaikan qiyas dan mengamalkan ‘urf; sekalipun’urf itu datangnya belakangan. Karena ‘urf itu biasanya menjadi dalil berdasarkan kebutuhan padanya dan memelihara kemaslahatan, demikian itu lebih kuat dari qiyas. Inilah yang disebut oleh kalangan Hanafiyah dan Malikiyah dengan Istihsan .




G. ‘Urf dalam Legislasi Hukum Islam


Hukum-hukum yang dibangun berdasarkan Qiyas yang bersifat Zhanni berubah sesuai dengan perubahan zaman. Dibolehkan para ulama muta’akhirin berbeda dengan ulama mutaqaddimin ketika pendapat ulama mutaqaddimin tersebut didasarkan pada qiyas yang disandarkan pada ‘urf/ kebiasaan-kebiasaan mereka . Ali Hasaballah menyatakan, hukum-hukum yang dibangun berdasarkan ‘urf berubah dengan perubahan waktu dan tempat, yang mencakup persoalan-persoalan yang mubah karena hukum itu tidak mungkin sampai pada penghalalan sesuatu yang diharamkan atau mengharamkan sesuatu yang halal .Perubahan ‘urf yang menyebabkan perubahan hukum adalah hukum-hukum yang dibangun berdasarkan ‘urf. Tidak demikian halnya dengan hukum-hukum yang ditetapkan oleh syara’ secara qath’i. Perubahan itu tidak boleh menghapus hukum syari’ah karena hukum kategori ini bersifat kekal. Dalam hal terjadi perubahan ‘urf dengan pengertian mesti diberlakukannya hukum yang lain atau bahwa hukum yang sebelumnya bersifat kekal tetapi perubahan ‘urf menyebabkan perlunya penyempurnaan dalam pelaksanaan hukum tersebut seperti masalah ‘adalah dalam persaksian (pada bagian perubahan hukum disebabkan perubahan ‘urf dalam Masyarakat). Pengetahuan tentang kondisi masyarakat ini sangat urgen dimiliki dan merupakan persyaratan seorang mujtahid. Banyak hukum yang berubah sesuai dengan terjadinya perubahan zaman. Memaksakan pelaksanaan hukum yang lama sementara hukum tersebut tidak sesuai lagi dengan perubahan zaman akan menimbulkan kesulitan dan kesusahan bagi manusia. Hal ini tidak sesuai dengan ketentuan dasar syari’ah yang dibangun berlandaskan ringan, mudah, menolak kemudaratan dan kerusakan bagi manusia. Fiqh itu sebagian besarnya disandarkan para fuqaha kepada ‘urf yang berlaku pada masyarakat semasa mereka hidup. Al-Qarafi menyatakan bahwa menetapkan hukum yang disandarkan kepada ‘urf yang telah berubah (namun hukum tersebut tidak turut berubah) adalah perbuatan menyalahi ijma’dan merupakan suatu kebodohan dalam agama. Setiap hukum dalam syari’at itu mengikuti ‘urf. Terjadinya perubahan hukum ketika ‘urf itu berubah sesuai dengan tuntutan dari ‘urf yang baru. Seseorang yang berijtihad dalam hal ini harus memiliki kapabilitas sebagai mujtahid . ‘Urf harus dijadikan pertimbangan dalam penetapan suatu keputusan dan fatwa. Seorang Faqih tidak boleh menetapkan hukum atau berfatwa dengan mendasarkan pada ‘urf yang bertentangan dengan ajaran-ajaran pokok dalam agama. Kecuali pemberlakuan ‘urf itu merupakan sesuatu yang dharurah, tidak boleh berdasarkan pada suatu kebodohan dan keinginan hawa nafsu semata Hukum yang didasari oleh suatu keadaan yang dharurah diberlakukanlah dispensasi; yang dikenal dengan rukhshah. Hal ini harus berdasarkan ijtihad dari si faqih . ‘Urf yang termasuk kategori shahih atau fasid telah jelas posisinya dalam ajaran Islam. Untuk mengikapi tentang ‘urf yang secara prinsip mengandung unsur manfaat dan tidak terdapat di dalamnya unsur mafsadah dengan pengertian tidak bertentangan dengan dalil syara’. Namun keberadaannya belum terserap ke dalam syara’ baik secara langsung maupun tidak langsung, para ulama memberikan standar dalam penerimaan ‘urf tersebut sebagai berikut:

1. Termasuk ‘urf shahih, dengan pengertian tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah, sopan santun, dan budaya yang luhur.
2. Bersifat umum—minimal telah menjadi kebiasaan mayoritas penduduk suatu negeri.
3. ‘Urf itu sudah ada ketika terjadinya suatu peristiwa yang akan dilandaskan kepadanya.
4. Tidak terdapat ketegasan dari pihak-pihak terkait yang berlainan dengan kehendak ‘urf tersebut. Sebab jika terdapat dua orang yang melakukan suatu akad kesepakatan untuk tidak terikat dengan kebiasaan yang berlaku umum. Maka yang diberlakukan adalah hasil kesepakatan bukan ‘urf . Hal ini sesuai dengan kaedah ,”la ‘ibrah li ad-dalalah fi maqam at-tashrih” dan “al-ma’ruf syarthan ka al-masyruth syarthan” . Misalnya ketika seseorang membeli sebuah lemari es. Terjadi kesepakatan antara penjual dan pembeli bahwa lemari es tersebut akan dibawa pulang sendiri oleh si pembeli. Adapun kebiasaan atau tradisi yang berlaku bahwa setiap pembeliaan lemari atau alat elektronika tertentu yang besar ukurannya mendapatkan service antar dari pihak toko dalam hal ini penjual ke alamat pembeli. Namun dalam kasus ini tidak berlaku ‘urf atau kebiasaan tersebut yang berlaku adalah kesepakatan yang terjadi antara mereka yang bertransaksi.


Berikut ini disajikan beberapa contoh hukum yang mengalami perubahan karena terjadinya perubahan zaman sehingga ‘urf masyarakatpun berubah.
1. Pembukuan sunnah terwujud pada abad kedua hijriyah atas perintah khalifah Umar ibn Abd al-‘Aziz. Ini berdasarkan pada kekhawirannya akan hilang lenyapnya sunnah dengan meninggalnya para penghafalnya. Larangan nabi sebelumnya dalam penulisan sunnah ini karena kekhawatiran tercampurnya dengan al-Qur’an. Sabda beliau, “man kataba ‘anni ghair al-Qur’an falyamhuh.”
2. Dalam mazhab Hanafi tidak membolehkan menerima upah dari mengajarkan al-Qur’an dan dalam menjalankan tugas syi’ar agama. Karena yang demikian dikategorikan sebagai ibadah dan dalam hal ibadah tidak boleh mengambil upah/ imbalan. Tetapi tatkala manusia itu enggan mengajarkan al-Qur’an dan menjalankan tugas syi’ar agama kecuali dengan menerima imbalan maka para fuqaha lalu membolehkannya untuk kontinuitas pemeliharaan al-Qur’an dan syi’ar agama . Dalam versi yang berbeda Abd al-Karim Zaidan menyatakan dulunya orang-orang yang mengajarkan al-Qur’an itu mendapat sokongan dari bait al-mal. Ketika bantuan itu terputus maka dibolehkan untuk menerima upah dari tugas mengajar tersebut. Jika tidak diperbolehkan dikhawatirkan kesibukan mereka mencari nafkah menyebabkan mereka tak dapat lagi mengajarkan al-Qur’an .
3. Pada masa Abu Hanifah, ia menerima persaksian seseorang tanpa ada klarifikasi lebih lanjut kecuali dalam kasus pidana dan qishsash. Tapi pada Abu Yusuf dan Muhammad terjadi banyak kebohongan dalam masyarakat sehingga dalam menerima setiap kesaksian seseorang mereka mengadakan recek dan klarifikasi terlebih dahulu .
4. Penerapan ayat QS al-Baqarah/2: 233. Al-Jashash dalam kitabnya Ahkam al-Qur’an, apabila serang perempuan menuntut nafkah melebihi dari pada kebiasaan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat, maka jangan diberi. Demikian juga yang pelit sehingga memberikan nafkah yang tidak sesuai dengan kebiasaan yang berkembang yang ada dalam masyarakat harus dipaksa untuk menunaikan hak istrinya tersebut .
5. Penyewaan barang wakaf dalam mazhab Hanafi tidak ditentukan jangka waktunya. Lalu para ulama yang belakangan memberikan batasan waktu tertentu. Seperti penyewaan penginapan dan gedung bertingkat tidak melebihi satu tahun, penyewaan tanah untuk lahan pertanian biasanya selama tiga tahun. Hal ini berdasarkan pada ‘urf yang berlaku dalam masyarakat .
6. Abu Hanifah melarang menjual lebah dan ulat sutra karena keduanya tidak dikategorikan sebagai harta. Demikian ketika menqiyaskannya dengan hama seperti katak dan tokek. Kemudian Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani menfatwakan kebolehannya berdasarkan ‘urf .
7. Sebagian fuqaha menyatakan dalam pembelian rumah (yang memiliki ruang di bagian plafonnya) yang tidak ada pernyataan termasuk dalam transaksi itu tangganya, maka tangga tersebut tidak termasuk dalam pembelian rumah itu. ‘Urf lalu berubah dengan memasukkan tangga tersebut dalam transaksi pembelian rumah walaupun tanpa pembuat pernyataan secara eksplisit. Karena pemanfaatan ruangan di bagian atas rumah itu akan menyulitkan tanpa adanya tangga itu .


Dari contoh-contoh di atas kita melihat bahwasanya begitu akomodatifnya hukum Islam itu dalam menyikapi perubahan-perubahan dalam masyarakat. Perubahan tradisi dalam masyarakat--tradisi yang menjadi landasan penetapan suatu hukum, tentu memerlukan peninjauan ulang terhadap hukum yang tersebut sesuai dengan telah terjadinya perubahan-perubahan dalam tradisi mereka. Hal ini sesuai dengan kaedah dalam Ushul Fiqh,”al-hukm yaduuru ma’a ‘illatin wujudan wa ‘adaman”. Jika suatu hukum yang dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan masyarakat itu tidak sejalan lagi dengan ritme dan tradisi yang terus berkembang dalam masyarakat tersebut tentulah akan menimbulkan pertentangan atau menghilangkan kemaslahatan dan menimbulkan kesulitan-kesulitan dalam hidup mereka. Tentu saja ini tidak sejalan dengan ketentuan dasar syari’ah yang dibangun berlandaskan ringan, mudah, menolak kemudaratan dan kerusakan bagi manusia.Ini bukan berarti Hukum Islam itu tidak punya prinsip. Karena sebagaimana telah dijelaskan pada bagian terdahulu bahwa ‘urf yang dapat dijadikan sandaran hukum dalam Islam adalah ‘urf yang shahih-- suatu hal yang baik yang menjadi kebiasaan suatu masyarakat, tidak bertentangan dengan ajaran agama, sopan santun, dan budaya yang luhur. Adapun ‘urf yang fasid tidak dapat dijadikan sebagai sandaran dalam penetapan hukum Islam.Demikian juga dengan hukum-hukum dasar dalam syari’at Islam yang ditetapkan berdasarkan dalil yang qath’i, tidak dapat berubah. Hukum-hukum yang masuk kategori ini adalah hukum-hukum yang bersifat abadi sebagai sendi dan dasar ajaran Islam. Ia menjadi identitas dan ciri ajaran Islam. Misalnya kewajiban melaksanakan salat lima waktu, menjalankan puasa di bulan Ramadhan, menunaikan zakat, dan yang lainnya. Kewajiban-kewajiban itu tidak dapat berubah walaupun misalnya terjadinya perubahan-perubahan tradisi pada suatu masyarakat.




H. Kaedah Ushuliyyah yang Terkait dengan Pemberlakuan ‘Urf

Diterimanya ‘urf sebagai salah satu dalil dalam penetapan hukum Islam memberi peluang bagi dinamisasi hukum Islam. Sebab banyak permasalahan yang tidak tertampung dalam metode qiyas, istihsan, mashlahah mursalah dan yang lainnya dapat ditampung oleh ‘urf. Di antara kaedah ushuliyah yang terkait dengan pembahasan ‘urf antara lain :
1. Kaedah yang menyatakan bahwa hukum yang dalam pembentukannya oleh mujtahid berdasarkan ‘urf, akan berubah jika ‘urf itu berubah. Ibnu Qayyim al-Jauziyah (w. 751H) menyatakan, taghayyur al-ahkam bitaghayyur al-azminah wa al-amkinah (hukum itu berubah karena ada perubahan waktu dan tempat). Sebagai contoh ketentuan pemberian nafkah istri dan anak. Ini dapat dengan merujuk kepada adat kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat tempat seseorang itu berada . Dalam bahasa yang sedikit berbeda, ada ulama yang menyatakan,’ la yunkir taghayyur al-ahkam bitaghayyur al-azman” . Begitulah kiranya memahami ayat berikut:


2. Kaedah al-adah muhakkamah (adat kebiasaan itu bisa menjadi hukum)
3. Kaedah Isti’mal an-nash hujjatun yajibu al-‘amal biha. Kaedah ini sama pengertiannya dengan kaedah nomor dua.
4. Kaedah al-ma’ruf ‘urfan ka al-masyruth syarthan (sesuatu yang baik itu menjadi ‘urf, sebagaimana yang disyaratkan itu menjadi syarat). Sesuatu yang telah menjadi ‘urf dalam masyarakat baik berupa perbuatan maupun perkataan adalah untuk pengaturan hidup dan kebutuhan mereka. Apabila mereka berkata atau menulis sesuatu yang dimaksudkan adalah sesuai dengan pengertian yang telah mereka kenal (telah menjadi ‘urf di antara mereka). Apabila mereka berbuat sesuatu maka mereka berbuat sesuai dengan kebiasaan yang telah melembaga di kalangan mereka. Dan apabila mereka mendiamkan; tidak memberi ketegasan tentang sesuatu maka yang dimaksudkan adalah sesuatu yang sesuai dengan ‘urf mereka. Oleh sebab itu para fuqaha menyatakan: al-ma’ruf ‘urfan ka al-masyruth syarthan (sesuatu yang baik itu menjadi ‘urf, sebagaimana yang disyaratkan itu menjadi syarat). Dan sesungguhnya syarat dalam sebuah akad itu dipandang sah jika merupakan keharusan dari akad itu sendiri, telah ditentkan oleh Syara’, atau sesuatu yang berlaku dalam ‘urf .
5. Kaedah al-ma’ruf bain at-tujjar ka al-masyruth bainahum (kebiasaan yang berlaku di kalangan pedagang kedudukannya sama dengan berlakunya persyaratan di antara mereka). Kaedah ini semakna dengan kaedah sebelumnya.
6. Kaedah at-ta’yin bi al-‘urf ka at-ta’yin bi an-nash
7. Kaedah ats-tsabit bi al-‘urf ka ats-tsabit bi an-nash ( sesuatu yang ditetapkan berdasarkan ‘urf sama dengan yang ditetapkan melalui nash) . Ulama yang mensyarah kitab Asybah wa an-Nazhai-ir, menyatakan “ats-tsabit bi al-‘urf tsabit bi ad-dalil syar’i” dan dalam bahasa yang senada Sarakhsi menyatakan, “ats-tsabit bi al-‘urf tsabit bi an-nash” bahwa permasalahan yang ditetapkan berdasarkan ‘urf merupakan penetapan dengan dalil yang diyakini sebagaimana halnya nash (al-Qur’an dan hadis) ketika tidak ditemukannya nash tentang persoalan tersebut .
8. Fuqaha dari kalangan mazhab Hanafi menyatakan, “al-‘urf qadhin ‘ala al-lughah.” (pengertian menurut ‘urf (‘urf lafzhi) itu yang digunakan dalam memahami suatu istilah) .
9. Kaedah al-haqiqah tutrak bi dilalah al-‘adah berlaku hanya pada ‘urf lafzhi. Artinya yang dipakai adalah pengertian kata tersebut dalam kebiasaan masyarakat bukan maknanya yang hakiki.
10. Kaedah al-isyarat al-ma’hudah li al-akhras ka al-bayan bi al-lisan (bahasa isyarat yang diungkapkan oleh orang tuna wicara itu kedudukannya sama dengan penjelasan secara lisan).
11. Kaedah al-kitab ka al-khitab berlaku pada ‘urf lafzhi . Kaedah kedua sampai dengan kesebelas ini terkait dengan ‘urf lafzhi.
12. Kaedah Innama tu’tabar al-‘adah idza iththaradat aw ghalabat, artinya suatu ‘urf itu barulah dapat dijadikan landasan hukum jika ia telah menjadi tradisi serta dipraktikkan oleh masyarakat secara umum.
13. Kaedah al-‘Ibrah li al-ghalib la li an-nadir. Kaedah ini dan kaedah kesepuluh menjadi qayyid dari kaedah al-adah muhakkamah.




I. Penutup

Demikianlah, penulis telah berusaha menjabarkan tentang proses selektif dan akomodatif hukum Islam terhadap tradisi-tradisi yang telah melembaga di tengah-tengah masyarakat. Sikap inilah yang menjadikan hukum Islam itu “shalihun li kulli zaman wa makan.” Kiranya kita perlu menggali lebih lanjut tradisi dan potensi yang terdapat dalam masyarakat. Proses kreatif ini untuk menjadi solusi alternatif untuk menyelesaikan dan menjawab persoalan-persoalan yang terdapat dalam masyarakat yang sesuai dengan tuntunan Islam dus sesuai dengan local wisdom.






















Daftar Pustaka


Barriy, al, Zakariya, Mashadir al-Ahkam al-Islamiyah, Kairo:Dar al-Ittihad al-Arabiy: 1975


Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung: Gema Risalah Press, 1992


Haroen, Nasrun, 1997, Ushul Fiqh 1, Jakarta: Logos, cet. Ke-2


Hasaballah, ‘Ali, Ushul at-Tasyri’ al-Islami, Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi,1998


Khallaf, Abd a-Wahhab, Mashadir at-Tasyri’ al-Islami fiimaa laa Nashsha fiihaa, Beirut: Dar al-Qalam, 1972


____________, Ushul Fiqh, Beirut: Dar al-Fikr, 1986, cet.ke-20


Murtadho, Moh, 2008, Ilmu Falak Praktis, Malang: UIN Malang, 2008, cet.ke-1


Nasution, Lahmuddin, 2001, Pembaharuan Hukum Islam dalam Mazhab Syafi’i, Jakarta: PT Remaja Rosda Karya, Cet.ke-1


Syarifuddin, Amir, 2001, Ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta: Logos, cet.ke-2


Zahrah, al-Imam Muhammad Abu, 1958, Ushul al-Fiqh, Tt: Dar al-Fikr al-‘Arabi.


Zaidan, Abd al-Karim, Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, Beirut: Ma’asasah ar-Risalah, 1986


Zein, Satria Effendi M, 2005, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media, Cet.ke-1


Zuhaili, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami Juz II, Beirut: Dar al-Fikr, 2001

Tidak ada komentar:

Posting Komentar