Kamis, 18 Juni 2015

PERUBAHAN-PERUBAHAN DALAM PERWAKAFAN (Upaya Optimalisasi Perwakafan di Indonesia)

PERUBAHAN-PERUBAHAN DALAM PERWAKAFAN
(Upaya Optimalisasi Perwakafan di Indonesia)








Oleh:
Suhairi*

Abstrak
Umat Islam di Indonesia telah lama melaksanakan wakaf. Hal tersebut terbukti dengan sarana ibadah maupun pendidikan yang dibangun di atas tanah wakaf serta pembangunannya dilakukan dengan konsep wakaf. Akan tetapi perwakafan di Indonesia masih cenderung pada hal-hal yang berkaitan dengan ibadah maupun sarana lainnya, seperti masjid, mushalla, kuburan, sekolah/madrasah dan sebagainya. Wakaf  belum mampu didayagunakan secara produktif dan memiliki muatan ekonomis. Hal tersebut disebabkan karena pemahaman umat Islam di Indonesia berkaitan dengan wakaf, yang berimplikasi pada pengelolaannya. Oleh karenanya perlu dilakukan perubahan-perubahan baik dalam hal pemahaman maupun aspek manajemen/pengelolaan wakaf. Manakala perubahan-perubahan tersebut dapat dilakukan secara baik, maka potensi wakaf yang sangat besar akan semakin dirasakan manfaatnya oleh umat Islam. Hasil pengelolaan wakaf yang signifikan akan dapat memberdayakan sekaligus meningkatkan kesejahteraan umat Islam.



A.  Pendahuluan
Wakaf telah mengakar dan menjadi tradisi umat Islam di Indonesia. Sejak datangnya Islam, wakaf telah dilaksanakan oleh masyarakat Islam di Indonesia. Di Indonesia, lembaga ini telah menjadi penunjang utama perkembangan masyarakat. Hampir semua rumah ibadah, perguruan Islam dan lembaga-lembaga keagamaan Islam lainnya dibangun di atas tanah wakaf.
Peruntukan wakaf di Indonesia yang kurang mengarah pada pemberdayaaan ekonomi umat dan cenderung hanya untuk kepentingan kegiatan-kegiatan ibadah khusus, lebih karena dipengaruhi oleh keterbatasan umat Islam akan pemahaman wakaf. Keterbatasan pemahaman tersebut, baik mengenai harta yang diwakafkan, peruntukan wakaf maupun nazhir wakaf. Pada umumnya umat Islam di Indonesia memahami bahwa peruntukan wakaf hanya terbatas untuk kepentingan peribadatan dan hal-hal yang lazim dilaksanakan di Indonesia seperti untuk masjid, mushalla, sekolah, madrasah, pondok pesantren, makam dan lain-lain.
Meskipun wakaf telah memainkan peran yang sangat penting dalam pembangunan masyarakat muslim sepanjang sejarah perkembangan masyarakat Islam, namun dalam kenyataannya, persoalan perwakafan belum dikelola secara baik sebagaimana tujuan wakif itu sendiri, khususnya di Indonesia.[1]
Sehingga dapat dikatakan, bahwa potensi wakaf di Indonesia sebagai sarana berbuat kebajikan bagi kepentingan masyarakat belum dikelola dan didayagunaakan secara optimal. Setelah sekian lamanya umat Islam melaksanakan wakaf, belum dirasakan secara maksimal manfaat dan pendayagunaan harta wakaf. Hal tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk di dalamnya adalah paradigma umat Islam di Indonesia tentang wakaf, dan pengelolaannya.
Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf menjadi momentum pemberdayaan wakaf secara produktif. Sebab dalam UU tersebut, wakaf mengandung dimensi yang sangat luas. Ia mencakup harta tidak bergerak termasuk wakaf uang, tidak terbatas untuk pendirian tempat ibadah dan sosial keagamaan. Jika dapat direalisasikan, akan memunculkan pengaruh yang berlipat ganda terutama dalam kaitannya dengan pemberdayaan ekonomi umat. Dengan demikian, UU No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf diproyeksikan sebagai sarana rekayasa sosial (social engineering), melakukan perubahan-perubahan pemikiran, sikap dan perilaku umat Islam agar senafas dengan semangat undang-undang tersebut.[2] Oleh karenanya tulisan ini mencoba mengelaborasi perubahan yang harus dilakukan dalam rangka optimalisasi perwakafan di Indonesia.

B.  Perubahan Paham tentang Wakaf
Sejak dan setelah datangnya Islam di Indonesia, sebagian besar masyarakat Indonesia melaksanakan wakaf berdasarkan paham keagamaan yang dianut, yaitu paham Syafi’iyyah dan adat kebiasaan setempat. Sebelum adanya UU No. 50 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, masyarakat Islam Indonesia masih menggunakan kebiasaan-kebiasaan keagamaan. Kebiasaan tersebut, seperti kebiasaan melakukan perbuatan hukum perwakafan tanah secara lisan atas dasar saling percaya kepada seseorang atau lembaga tertentu, kebiasaan memandang wakaf sebagai amal shaleh yang mempunyai nilai mulia di hadapan Tuhan tanpa harus melalui prosedur administratif.[3]
Selain tradisi lisan dan tingginya kepercayaan kepada penerima amanah dalam melakukan wakaf. Umat Islam Indonesia lebih banyak mengambil pendapat dari golongan Syafi’iyah sebagaimana mereka mengikuti mazhabnya. Mengikuti mazhab Syafi’i seperti tentang: ikrar wakaf, harta yang boleh diwakafkan, kedudukan harta setelah diwakafkan, boleh tidaknya tukar menukar harta wakaf. Beberapa penjelasan klasik mengenai paham ini adalah[4]:
Pertama, ikrar wakaf. Kebiasaan masyarakat kita sebelum adanya PP No. 28 tahun 1977 hanya menggunakan pernyataan lisan saja yang didasarkan pada adat kebiasaan keberagamaan yang bersifat lokal. Pernyataan lisan secara jelas (sharih) menurut pandangan Syafi’i termasuk bentuk dari pernyataan wakaf yang sah. Dari pandangan imam Syafi’i tersebut kemudian ditafsirkan secara sederhana bahwa pernyataan wakaf cukup dengan lisan saja. Sehingga dengan tanpa bukti tertulis, maka banyak benda-benda wakaf yang hilang (diselewengkan) atau karena dengan sengaja diambil oleh pihak ketiga.
Jaih[5]  membedakan wakaf dalam wilayah ibadah dan wakaf dalam wilayah muamalah. Dalam wilayah ibadah, sebaik-baiknya sedekah (termasuk wakaf) dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Sehingga dalam wilayah ibadah wakaf merupakan akad tabarru’. Akan tetapi, menurutnya, penempatan wakaf sebagai wilayah ibadah yang sebaik-baiknya dilakukan secara sembunyi-sembunyi dapat melahirkan beberapa dampak negatif yang tidak diinginkan. Oleh karena itu dalam wilayah muamalah, wakaf yang dilakukan secara terbuka lebih dapat diselamatkan serta untuk menjamin kepastian hukum.
Kedua, harta yang boleh diwakafkan (mauquf bih). Salah satu syarat umum sahnya wakaf sebagaimana dikemukakan Anshori adalah wakaf harus kekal[6]. Imam Syafi’i sebagaimana dikemukakan oleh Syarbini sangat menekankan wakaf pada fixed asset (harta tetap) sehingga menjadikannya sebagai syarat sah wakaf[7]. Mengingat di Indonesia secara fikih kebanyakan adalah pengikut mazhab Syafi’i maka bentuk yang lazim dilaksanakan adalah berupa tanah, masjid, madrasah, kuburan, aset tetap lainnya. Sehingga wakaf kurang bisa dikembangkan secara optimal.
Ketiga, boleh-tidaknya tukar menukar harta wakaf. Dalam masalah ini, mayoritas umat Islam di Indonesia berpegang pada pandangan imam Syafi’i yang menyatakan bahwa harta wakaf tidak boleh ditukar dengan alasan apapun. Dalam kasus masjid misalnya, imam Syafi’i menegaskan bahwa tidak boleh menjual masjid wakaf secara mutlak, sekalipun masjid itu roboh.
Keempat, adanya kebiasaan masyarakat kita yang ingin mewakafkan sebagian hartanya dengan mempercanyakan penuh kepada seseorang yang dianggap tokoh dalam masyarakat sekitar, seperti kyai, ulama, ustadz dan lain-lain untuk mengelola harta wakaf sebagai nazhir. Dalam kenyataannya, banyak para nazhir wakaf tersebut tidak mempunyai kemampuan manajerial dalam pengelolaan harta wakaf, sehingga harta wakaf tidak banyak manfaat bagi masyarakat sekitar. Keyakinan bahwa wakaf harus diserahkan kepada ulama, kyai, ustadz atau lainnya, merupakan kendala yang cukup serius dalam rangka memberdayakan harta wakaf secara produktif.
Oleh karenanya, paling tidak, pelaksanaan perubahan paham yang perlu dilakukan adalah[8]:
Pertama, ikrar wakaf dan sertifikasi. Sertifikasi adalah bentuk pembaharuan paham di lingkungan masyarakat muslim Indonesia, yang selama ini berpedoman bahwa wakaf adalah sah jika dilakukan secara lisan sehingga tidak perlu dicatatkan secara resmi. Sebagai dasar diterbitkannya sertifikat benda wakaf (tanah maupun lainnya) maka diperlukannya akta ikrar wakaf. Dalam hal ini,  Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) adalah Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan, selain dimungkinkannya juga notaris. Sedangkan untuk wakaf uang adalah Pejabat Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU) minimal setingkat Kepala Seksi. Dengan adanya akta otentik berupa Akta Ikrar Wakaf (AIW) yang kemudian dilanjutkan menjadi sertifikat, maka harta benda wakaf (tanah maupun lainnya) dapat terjaga keamanannya dari kemungkinan diselewengkan dan sebagainya. Sehingga harta benda wakaf dari waktu ke waktu akan cenderung bertambah dan semakin banyak, yang memiliki potensi ekonomi yang signifikan.
Kedua, pertukaran benda wakaf. Berdasarkan pasal 41 Undang-Undang No. 41 Tahun 2004[9] serta pasal 49-50 Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 memberikan legalitas terhadap tukar menukar benda wakaf setelah terlebih dahulu meminta ijin dari Menteri Agama dengan dua alasan, yaitu: karena tidak sesuai dengan tujuan wakaf dan kepentingan umum. Keberadaan aturan tersebut merupakan upaya perubahan paham yang sejak awal diyakini oleh mayoritas ulama dan umat Islam Indonesia. Berdasarkan data dari penelitian yang dilakukan oleh CSRC (Centre for Study of Religion and Research), sebagian besar nazhir wakaf masih ragu-ragu untuk melakukan praktik penukaran harta wakaf dengan yang lebih produktif serta perubahan peruntukan wakaf untuk tujuan kemaslahatan yang lebih besar[10].
Adanya peluang dilakukan penukaran benda wakaf, dapat menjadi solusi bagi harta benda wakaf yang sulit dikelola secara produktif. Sehingga aset-aset wakaf yang tidak produktif dapat dilakukan penukaran agar berkembang dan memiliki hasil yang optimal. Demikian pula terhadap harta wakaf yang tidak mungkin lagi diperuntukan sesuai dengan keinginan wakif, dapat dirubah peruntukannya selagi demi kemaslahatan yang lebih besar. Itu semua hendaknya dilakukan secara cermat dan baik serta memenuhi ketentuan peraturan perundangan, agar tidak terjadinya penyelewengan terhadap harta wakaf.
Ketiga, perluasan benda yang diwakafkan (mauquf bih). Sebelum Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 (PP No. 28 Tahun 1977), pengaturan wakaf hanya menyangkut perwakafan benda tak bergerak yang lebih banyak dipergunakan untuk kepentingan konsumtif, seperti masjid, madrasah, kuburan, yayasan yatim piatu, pesantren, sekolah dan sebagainya. Namun setelah diundangkannya UU tersebut, maka objek wakaf (benda yang diwakafkan) semakin diperluas[11].
Dengan perluasan objek wakaf (harta benda wakaf), maka semakin terbuka peluang harta benda wakaf dikelola secara produktif. Untuk menunjang pengelolaan harta benda wakaf berupa aset tetap (fixed asset), seperti tanah maka dibutuhkan sarana pendukung untuk dikelola secara produktif, selain untuk pertanian. Misalnya dibutuhkan gedung/bangunan untuk disewakan, tempat usaha dan lain-lain. Terlebih lagi dengan adanya wakaf uang, sangat potensial menunjang pengembangan dan pengelolaan secara produktif harta benda wakaf berupa aset tetap.
Keempat, persyaratan nazhir (pengelola harta wakaf). Paradigma baru wakaf terkait nazhir, yaitu: (a) selain mengatur nazhir perseorangan, ada nazhir organisasi dan badan hukum. (b) persyaratan nazhir yang mengarah pada kinerja profesional. (c) pembatasan masa jabatan nazhir (d) hak nazhir, reward yang diberikan kepada nazhir berhak mendapatkan 10% dari pengelolaan wakaf, agar nazhir benar-benar mau dan mampu menjalankan tugas-tugasnya secara baik.
Dalam UU No. 41/2004 maupun aturan turunannya PP No. 42/2006 nazhir wakaf terdiri dari perorangan, organisasi dan badan hukum. Untuk mewujudkan optimalisasi pengelolaan harta wakaf, maka nazhir diberikan masa bakti/kerja selama 5 (lima) tahun. Bahkan manakala 1 (satu) tahun sejak pengangkatannya sebagai nazhir tidak melakukan yang seharusnya dilakukan, maka nazhir tersebut dapat diganti. Pergantian nazhir tersebut dapat dilakukan baik atas evaluasi pihak Kemenag. maupun atas usul dan saran dari tokoh agama maupun permintaan wakif (ahli warisnya). Demikian pula, ke depan Badan Wakaf Indonesia telah menetapkan standar bagi nazhir dan akan dilakukan sertifikasi nazhir. Sedangkan upah (reward) bagi nazhir sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan adalah maksimal 10%. Penetapan tersebut lebih baik jika dibandingkan dengan Negara-negara lain[12].
Dalam upaya pengembangan dan pemberdayaan harta benda wakaf, maka peran Nazhir sangat menentukan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya. Jika nazhir mampu mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf, maka bisa dipastikan bahwa harta benda wakaf makin lama makin produktif dan bermanfaat untuk kesejahteraaan umat.
Melihat pentingnya peran nazhir, maka seyogyanya usaha untuk mengembangkan SDM nazhir menjadi prioritas. Hal tersebut perlu dilakukan mengingat eksistensi nazhir dalam memainkan perannya untuk pemberdayaan harta wakaf secara produktif sangat menentukan. Dalam hal ini nazhir wakaf hendaknya dilakukan secara profesional dengan kriteria yang bersangkutan memiliki wawasan dan kemampuan yang lebih dalam pengelolan harta benda wakaf. Demikian pula aktivitas sebagai nazhir bukan hanya dijadikan sampingan, tetapi dijadikan profesi yang fokus dan full time.
Kelima, pemberdayaan, pengembangan dan pembinaan. Undang-undang wakaf menekankan pentingnya pemberdayaan dan pengembangan harta wakaf yang mempunyai potensi ekonomi secara optimal melalui sistem dan arah manajemen dan ekonomi yang sesuai dengan syari’at Islam. Dalam undang-undang wakaf juga menekankan pentingnya sebuah lembaga wakaf nasional untuk menyelenggarakan administrasi pengelolaan serta membina para nazhir yang sudah ada agar lebih profesional. Dalam hal ini telah terbentuk Badan Wakaf Indonesia. Di mana tugas dan fungsi BWI sebagaimana termuat dalam PP No. 42 Tahun 2006 adalah: “Badan  Wakaf  Indonesia,  yang  selanjutnya  disingkat  BWI,  adalah  lembagindependedalam pelaksanaan tugasnya untuk mengembangkan perwakafan di Indonesia[13].

C.  Perubahan Sistem Manajemen/Pengelolaan Wakaf
Dalam paradigma lama wakaf selama ini lebih menekankan pentingnya pelestarian dan keabadian benda wakaf, maka dalam paradigma baru wakaf lebih menitikberatkan pada aspek pemanfaatan yang lebih nyata tanpa kehilangan eksistensi benda wakaf itu sendiri. Untuk upaya peningkatan manfaat tersebut, sebagaimana dikemukakan dalam buku paradigma baru wakaf di Indonesia  tentu yang sangat berperan sentral adalah sistem pengelolaan yang diterapkan.
Pola pengelolaan wakaf yang selama ini berjalan terhitung masih tradisional-konsumtif. Hal tersebut bisa diketahui melalui beberapa aspek:[14]
§  Kepemimpinan. Corak kepemimpinan dalam lembaga ke-nazhiran masih sentralistik-otoriter (paternalistic) dan tidak ada sistem kontrol yang memadai.
§  Rekrutmen SDM ke-nazhiran. Banyak nazhir wakaf yang hanya didasarkan pada aspek ketokohan seperti ulama, ustadz dan lain-lain, bukan aspek profesionalisme atau kemampuan mengelola.
§  Operasionalisasi pemberdayaan. Pola yang digunakan lebih kepada sistem yang tidak jelas (tidak memiliki standar operasional) karena lemahnya SDM, visi dan misi pemberdayaan.
§  Pola pemanfaatan hasil. Dalam menjalankan upaya pemanfaatan hasil wakaf masih banyak yang bersifat konsumtif-statis sehingga kurang dirasakan manfaatnya oleh masyarakat banyak.
§  Sistem kontrol dan pertanggungjawaban. Sebagai konsekuensi dari pola kepemimpinan yang sentralistik dan lemahnya operasionalisasi pemberdayaan mengakibatkan pada lemahnya sistem kontrol, baik yang bersifat kelembagaan, pengembangan usaha maupun keuangan.
Jika melihat sejarah pengelolaan wakaf di Indonesia, paling tidak ada tiga periode besar pengelolaan wakaf di Indonesia:[15]
Periode Tradisional
Dalam periode ini, wakaf masih ditempatkan sebagai ajaran murni dimasukkan dalam kategori ibadah mahdhah (pokok). Yaitu, kebanyakan benda-benda wakaf diperuntukan untuk kepentingan pembangunan fisik, seperti masjid, mushalla, pesantren, kuburan, yayasan dan sebagainya.
Periode semi-profesional
Periode semi-profesional adalah masa di mana pengelolaan wakaf secara umum sama dengan periode tradisional, namun pada masa ini sudah mulai dikembangkan pole pemberdayaan wakaf secara produktif, meskipun belum maksimal. Sebagai contoh adalah pembangunan masjid-masjid yang letaknya strategis dengan menambah bangunan gedung untuk pertemuan, pernikahan, seminar dan acara lainnya.
Selain hal tersebut juga sudah mulai dikembangkannya pemberdayaan tanah-tanah wakaf untuk bidang pertanian, pendirian usaha-usaha kecil seperti toko-toko ritel, koperasi, penggilingan padi, usaha bengkel dan sebagainya. Meskipun pola pengelolaannya masih dikatakan tradisional.
Periode Profesional
Periode pengelolaan wakaf secara profesional ditandai dengan pemberdayaan potensi masyarakat secara produktif. Keprofesionalan yang dilakukan meliputi: manajemen, SDM kenazhiran, pola kemitraan usaha, bentuk benda wakaf bergerak seperti uang, saham dan surat berharga lainnya, dukungan political will pemerintah.
Untuk itu, sebagai salah satu elemen penting dalam pengembangan paradigma baru wakaf, sistem manajemen pengelolaan wakaf harus ditampilkan lebih profesional dan modern. Disebut profesional dan modern itu bisa dilihat pada aspek-aspek pengelolaan:[16]
a.    Kelembagaan
Perlunya pembentukan suatu badan atau lembaga yang khusus mengelola wakaf yang ada dan bersifat nasional yang diberi nama Badan Wakaf Indonesia. Selain mengelola wakaf BWI juga membina nazhir yang sudah ada, sehingga lembaga-lembaga nazhir yang sudah ada ditata sedemikian rupa agar bisa menjalankan tugas-tugas kenazhiran lebih maksimal.
b.    Pengelolaan operasional
Standar operasional pengelolaan wakaf adalah batasan atau garis kebijakan dalam mengelola wakaf agar menghasilkan sesuatu yan lebih bermanfaat bagi kepentingan masyarakat banyak. Pengelolaan operasional ini terasa sangat penting dan menentukan berhasil tidaknya manajemen pengelolaan secara umum. Adapun standar operasional itu meliputi seluruh rangkaian program kerja (action plan) yang dapat menghasilkan sebuah produk (barang atau jasa).
c.    Kehumasan/pemasaran
Dalam mengelola benda-benda wakaf, maka peran kehumasan/pemasaran dianggap menempati posisi penting. Fungsi dari kehumasan itu sendiri dimaksudkan untuk:
§  Memperkuat image bahwa benda-benda wakaf yang dikelola oleh nazhir profesional betul-betul dapat dikembangkan dan hasilnya untuk kesejahteraan masyarakat banyak.
§  Menyakinkan kepada calon wakif.
§  Memperkenalkan aspek wakaf yang tidak hanya berorientasi pahala, tapi juga memberikan bukti bahwa ajaran Islam menonjolkan aspek kesejahteraan bagi masyarakat banyak, khususnya bagi kalangan yang kurang mampu.
Adapun kiat praktis untuk membangun image atau citra pengelolaan wakaf yang baik, maka perlu dilakukan perubahan dan perbaikan sebagai berikut: (1) penampilan, amanah dan tidak membohongi pelanggan, baik wakif maupun penerima wakaf. (2) pelayanan, kualitas pelayanan yang baik (3) persuasi, yaitu menyakinkan dengan tindakan santun dan ramah (4) pemuasan, dengan kerja yang rapi, profesional dan bertanggung jawab.
d.    Sistem keuangan
Penerapan sistem keuangan yang baik sangat diperlukan dalam pengelolaan wakaf. Penerapan sistem keuangan yang baik agar pengelolaan wakaf dapat dipertanggungjawabkan dan dilaporkan secara transparan. Nazhir wakaf harus dapat mewujudkan akuntabilitas pengelolaan wakaf. Pelaporan dengan sistem akuntansi yang baik, akurat dan cermat dapat menumbuhkan kepercayaan umat. Manakala telah terbangunnya kepercayaan (trust) umat Islam terhadap pengelolaan wakaf, maka kemauan dan motivasi berwakaf akan semakin meningkat.
Dalam rangka meningkatkan kemampuan nazhir diperlukan sistem manajemen SDM yang handal. Sistem pengelolaan SDM ini bertujuan untuk:[17]
§  Meningkatkan dan mengembangkan pengetahuan, kemampuan dan keterampilan para nazhir dalam rangka membangun kemampuan manajerial yang tangguh, profesional dan bertanggung jawab.
§  Membentuk sikap dan perilaku nazhir wakaf sesuai dengan posisi yang seharusnya, yaitu pemegang amanat umat Islam.
§  Menciptakan pola pikir atau persepsi yang sama dalam memahami dan menerapkan pola pengelolaan wakaf, baik dari segi peraturan perundang-undangan maupun teknis.
§  Mengajak para nazhir untuk memahami tata cara dan pola pengelolaan yang lebih berorientasi pada kepentingan pelaksanaan syariat Islam secara lebih luas dan dalam jangka panjang.
Untuk mewujudkan hal tersebut perlu dilakukan pembinaan kepada nazhir untuk dapat menjalankan tugas-tugas secara produktif dan berkualitas. Adapun pembinaan dapat dilakukan melalui:[18]
§  Pendidikan formal.
Melalui sekolah-sekolah maupun tingkat perguruan tinggi dapat dicetak caloncalon SDM ke-nazhiran yang siap pakai, dengan catatan sekolah maupun perguruan tinggi harus dibentuk seara berkualitas. Oleh karena itu, sebagai salah satu upaya menciptakan SDM ke-nazhiran yang handal, pemerintah dan juga lembaga-lembaga pendidikan, khususnya lembaga pendidikan Islam harus memulai pembenahan kembali sistem pendidikan yang diterapkan selama ini, agar alumni atau lulusannya menjadi tenaga kerja yang siap pakai, mandiri, produktif dan berkualitas.
§  Pendidikan non formal.
Bentuk dari model pendidikan ini adalah dengan mengadakan kursus-kursus atau pelatihan-pelatihan SDM ke-nazhiran baik yang terkait dengan manajerial organisasi, atau meningkatkan ketrampilan. Pendidikan non formal ini perlu digalakkan oleh beberapa pihak yang terkait dengan dunia perwakafan, seperti Kementerian Agama, Badan Wakaf Indonesia, lembaga-lembaga Islam, perguruan tinggi dan sebagainya dengan mutu pembelajaran yang lebih ditigkatkan sehingga benar-benar dapat menghasilkan tenaga kerja yang terampil dan siap pakai.
§  Pendidikan informal.
Berupa latihan-latihan dan kaderisasi langsung di tempat-tempat pengelolaan benda wakaf. Nazhir yang telah ada, ditingkatkan kemampuannya melalui latihan-latihan yang intensif dan bimbingan yang membuatnya kian maju dan mampu dalam bidang tugas dan tanggung jawabnya.
Sebagai salah satu pilar penting dalam dunia perwakafan, wakif harus terus diberikan stimulus agar pertambahan benda-benda (kekayaan) wakaf terus bisa dicapai. Paling tidak sistem rekrutmen dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan:[19]
§  Pendekatan keagamaan. Wakaf sebagai salah satu instrumen ibadah tabarru’, harus diberikan porsi yang sama banyak sebagaimana ibadah zakat. Apalagi wakaf (shadaqah jariyyah) dijanjikan oleh Allah memiliki bobot pahala yang terus mengalir, walaupun para pelaku (wakif) sudah meninggal dunia. Untuk itu pole pendekatan keagamaan perlu digiatkan oleh para agamawan kepada umat Islam yang memiliki kemampuan secara finansial agar mau mewakafkan sebagian hartanya. Pendekatan keagamaan yang dilakukan oleh tokoh agama akan efektif dan memotivasi umat Islam yang mampu untuk melakukan wakaf.
§  Pendekatan kesejahteraan sosial. Secara sosial, wakaf memiliki peran yang cukup strategis di tengah-tengah kemiskinan yang menggurita umat Islam Indonesia. Untuk itu pola penyadaran yang terus menerus dilakukan agar para pemilik harta (orang kaya) bisa meningkatkan volume beribadah yang berdimensi sosial. Pemahaman secara sosial harus ditanamkan secara berkesinambungan, bahwa harta tidaklah cukup dimiliki dan dikuasai sendiri, melainkan juga harus dinikmati bersama. Kesalehan sosial harus terbangun selain terwujudnya kesalehan individual. Dengan pola pendekatan penyadaran akan problem-problem sosial diharapkan para calon wakif semakin tergerak hatinya menyumbangkan sebagian harta menjadi wakaf (shadaqah jariyah) untuk kepentingan masyarakat umum. Menurut Asy-Syatibi syari’ah adalah untuk kemaslahatan manusia.[20]
§  Pendekatan bukti keberhasilan pengelolaan. Menjadi salah satu kendala nyata bagi calon wakif enggan mewakafkan hartanya karena dipengaruhi oleh sebuah realitas bahwa mayoritas lembaga ke-nazhiran di Indonesia tidak profesional. Karena ketidakprofesionalan itulah banyak harta wakaf yang sama sekali tidak memberi manfaat kepada masyarakat yang dimaksud wakif, bahka ada pula harta wakaf yang dijadikan warisan, diselewengkan dan sebagainya. Oleh karena itu dalam rangka menarik hati para calon wakif, para nazhir atau lembaga nazhir harus mampu membuktikan kepada masyarakat bahwa amanah untuk mengelola benda-benda wakaf bisa berhasil dan dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang membutuhkan sebagai penerima manfaat wakaf (mauquf alaih).
§  Pendekatan efektifitas pemanfaatan hasil. Tidak sedikit pula nazhir wakaf yang menggunakan hasil pengelolaan wakaf dinilai kurang efektif untuk kepentingan kesejahteraan umum. Penggunaan prioritas pemanfaatan benda-benda wakaf begitu penting sehingga sasaran wakaf dapat dicapai dengan baik. Dengan demikian, pemanfaatan benda-benda wakaf dilakukan secara maksimal, berdasarkan prioritas pemanfaatan.

E.  Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dan paparan, maka dapat diimpulkan,  agar  harta wakaf dapat didayagunakan secara optimal perlu dilakukan perubahan-perubahan. Perubahan-perubahan yang perlu dilakukan tersebut baik paham umat Islam tentang wakaf maupun sistem manajemen/pengelolaan wakaf. Manakala kedua aspek tersebut telah mengalami perubahan dan perbaikan secara signifikan, maka potensi wakaf yang sangat besar akan dirasakan manfaatnya oleh umat Islam secara maksimal. Dengan hasil pemanfaatan harta wakaf yang signifikan, mampu memberdayakan umat Islam dan meningkatkan kesejahteraan umat Islam.




DAFTAR PUSTAKA
Achmad Djunaidi dan Thbieb Al-Asyhar, 2008, Menuju Era Wakaf Produktif, Jakarta: Mumtaz Publishing, 2008.

Anshori, Abdul Ghofur, 2006, Hukum dan Praktik Perwakafan Di Indonesia, Yogyakarta: Pilar Media.

Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama RI, 2008, Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif Strategis di Indonesia, Jakarta.

Jaih Mubarok, 2008, Wakaf Produktif, Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Al-Khatib, Muhammad al-Syarbini, t.th., al-Iqna’ fi Hilli Al-Fadz Abi Syuja’, t.tp.: t.p.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf

Prihatna, Andy Agung dkk, 2006, Wakaf Tuhan dan Agenda Kemanusiaan, Jakarta: CSRC UIN Jakarta.

Rozalinda, 2010, Pengelolaan Wakaf Uang, Studi Kasus pada Tabung Wakaf Indonesia (TWI) Dompet Dhuafa Republika, Disertasi, Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Al-Syatibi, tt., Abu Ishak Ibrahim, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, Beirut: Dar al-Fikr.

Tim Penyusun, 2007, Paradigma Baru Wakaf di Indonesia, Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf  Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama RI

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.







* Dosen Jurusan Syariah STAIN Jurai Siwo Metro, email: suhairiyusuf@gmail.com
[1] Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama RI, 2008, Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif Strategis di Indonesia, Jakarta, hlm. 83
[2] Rozalinda, 2010, Pengelolaan Wakaf Uang, Studi Kasus pada Tabung Wakaf Indonesia (TWI) Dompet Dhuafa Republika, Disertasi, Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. hlm. 23
[3] Achmad Djunaidi dan Thobieb Al-Asyhar, Menuju Era Wakaf Produktif, Jakarta: Mumtaz Publishing, 2008, hlm. 47.
[4] Achmad Djunaidi dan Thobieb Al-Asyhar, Menuju Era Wakaf Produktif, hlm. 48-52.
[5] Jaih Mubarok, 2008, Wakaf Produktif, Bandung: Simbiosa Rekatama Media, hlm. 38-40
[6] Anshori, Abdul Ghofur, 2006, Hukum dan Praktik Perwakafan Di Indonesia, Yogyakarta: Pilar Media, hlm. 95.
[7] Al-Khatib, Muhammad al-Syarbini, t.th., al-Iqna’ fi Hilli Al-Fadz Abi Syuja’, t.tp.: t.p., hlm. 376.
[8] Tim Penyusun, 2007, Paradigma Baru Wakaf di Indonesia, Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf  Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama RI, hlm. 98-104.
[9]Pasal 41 UU No. 41 Tahun 2004: (1)   Ketentuan  sebagaimana  dimaksud  dalam  pasal 40  huruf  f dikecualikan apabila harta benda  wakaf  yang  tela diwakafkan  digunakan  untu kepentingan  umum  sesuai dengan   rencana   umu tata   ruang   (RUTR)   berdasarkan   ketentuan peraturan  perundangundangan yanberlaku dan tidak bertentangan dengasyariah (2) laksanaan  ketentuan  sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan setela memperole izin tertuli dari  Menteri atas persetujuan badan wakaf. (3)  Harta  bend wakaf  yang  suda diubah  statusnya  karen  ketentuan  pengecualiasebagaiman dimaksud  pad ayat  (1)  wajib  ditukar  dengan  harta  benda  yang manfaat  da nilai  tukar  sekurangkurangnya  sama  dengan  harta  benda  wakaf semula. (4)  Ketentuan  mengenai  perubaha status  harta  bend wakaf  sebagaiman dimaksud pad ayat   (1),   ayat   (2),   dan   ayat   (3)   diatu lebih   lanju dengan   peraturan  pemerintah.
[10] Andy Agung Prihatna, dkk, 2006, Wakaf Tuhan dan Agenda Kemanusiaan, Jakarta: CSRC UIN Jakarta, hlm.112
[11] Pasal 16 UU No. 41/2004: (1) Harta bendwakaterdiri dari a.           Benda tidak bergerakdan  b Benda bergerak. (2) Benda tidak bergerak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a meliputi: a. Hak  atas  tanah  sesuai  dengan  ketentuan  peraturan  perundangundangan  yang  berlak baik  yang sudah maupun yanbelum terdaftar; b. Bangunan  atau  bagaia bangunan  yang  berdiri  d atas  tanah  sebagaimana dimaksud pada huruf a; c. Tanaman  dan benda  lain yan berkaita  dengatanah; d. Hak   milik   atas   satuan   rumah   susu sesuai   dengan   ketentuan   peraturan perundangundangan yanberlaku; d. Benda  tida bergerak  lain  sesuai  dengan  ketentuan  syariah  dan  peraturan perundangundangan yanberlaku. (3) Benda  bergerak  sebagaiman dimaksu pad ayat  (1)  huru adalah  harta  benda  yan tidak  bisa  habis  karena dikonsumsi, meliputi; a. Uang; b. Logam mulia; c. Surat berharga; d. Kendaraan; e. Hak  atakekayaan intelektual; f. Hasewa; dan  g. Benda bergerak  lain sesuai dengan  ketentuan  syariah  dan  peraturan  perundang undangan  yanberlaku. 
[12] Perbandingan Upah Pengelola Wakaf (Nazhir) di beberapa Negara
No.
Negara
Jumlah Upah
1
Indonesia
10 %
2
Banglades
5 %
3
India
6 %
4
Turki
5 %

[13] Pasal 1 Poin 11 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
[14] Tim Penyusun, 2007, Paradigma Baru Wakaf hlm. 105-106.
[15] Muhammad Syafii Antonio, Pengantar dalam buku: Menuju Era Wakaf Produktif, hlm. v-vi.
[16] Tim Penyusun, 2007, Paradigma Baru Wakaf , Ibid., hlm. 106-112.
[17] Tim Penyusun, 2007, Paradigma Baru Wakaf, hlm. 117-118.
[18] Tim Penyusun, 2007, Paradigma Baru Wakaf, Ibid., hlm. 118-122.
[19] Tim Penyusun, 2007, Paradigma Baru Wakaf, Ibid., hlm. 123-125.
[20] Al-Syatibi, tt., Abu Ishak Ibrahim, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, Beirut: Dar al-Fikr, hlm. 2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar