Senin, 18 Juli 2011

Fenomena Gerhana Dalam Wacana Hukum Islam Dan Astronomi

Fenomena Gerhana Dalam Wacana Hukum Islam Dan Astronomi[1]






Abstrak
Gerhana adalah peristiwa yang jarang atau langka. Di tengah-tengah masyarakat masih terdapat kesalahan dan kekurangfahaman terhadap peristiwa gerhana. Gerhana adalah peristiwa astronomi biasa yang tidak dihubungkan dengan mitos atau kepercayaan tertentu. Ketika berterjadi gerhana di suatu daerah disyari’atkan untuk melaksanakan salat gerhana dan melakukan observasi gerhana, sebagai salah satu tanda-tanda kekuasaan Allah.

Kata Kunci: Gerhana Matahari, Gerhana Bulan, Salat Gerhana


Pendahuluan
     Kita mengetahui bahwa bumi mengitari matahari sebagai pusat tatasurya. Sementara itu bumi kita memiliki satelit yakni bulan. Bulan di samping mengitari bumi,  bersama-sama dengan bumi mengitari matahari. Akibatnya bulan kadang-kadang berada di antara matahari dan bumi. Pada saat lain bumi yang berada di antara matahari dan bulan. Ketika bulan berada di antara matahari dan bumi, ketiganya belum tentu segaris. Bulan mungkin berada lebih rendah, mungkin pula lebih tinggi dari garis hubung antara matahari dan bumi. Bila suatu waktu bulan berada tepat segaris  di antara matahari dan bulan, bulan akan menghalangi cahaya matahari yang menuju beberapa daerah di permukaan bumi. Ini menyebabkan terjadinya gerhana matahari. Tidak semua wilayah di permukaan bumi yang bisa mengamati gerhana tersebut. Hanya daerah yang tergelapi oleh bulan itu yang akan melihat gerhana matahari.
            Pada saat yang lain, bumi berada di antara matahari dan bulan. Tetapi ini pun belum tentu segaris. Pada keadaan ini bumi melihat bundaran penuh permukaan bulan yang tersinari oleh matahari, yang kita kenal dengan bulan purnama. Pada saat-saat tertentu, bumi segaris dengan matahari dan bulan. Akibatnya bayangan bumi menutupi bulan sedikit-demi sedikit. Itulah yang menyebabkan gerhana bulan.
Dalam ajaran Islam, gerhana adalah peristiwa astronomi biasa yang tidak dihubungkan dengan mitos atau kepercayaan tertentu. Dalam makalah ini selanjutnya akan dibahas seputar pembahasan gerhana matahari dan bulan dari sudut pandang astronomi dan syari’at Islam.



Pengertian Gerhana

Gerhana dalam bahasa arab dikenal dengan istilah kusuf  dan khusuf. Pada dasarnya istilah kusuf dan khusuf digunakan untuk menyebut gerhana matahari maupun gerhana bulan.   Kata kusuf lebih dikenal untuk menyatakan gerhana matahari sedangkan kata khusuf untuk gerhana bulan.[2] Dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah eclipse. Kusuf artinya menutupi; menggambarkan adanya fenomena alam bahwa (dilihat dari bumi) bulan menutupi matahari, sehingga terjadi gerhana matahari. Adapun khusuf berarti memasuki; menggambarkan adanya fenomena alam bahwa bulan memasuki bayangan bumi, sehingga terjadi gerhana bulan.[3] Sering juga digunakan bentuk ganda kusufain dan khusufani untuk menyebut gerhana matahari dan gerhana bulan sekaligus.[4] Dalam astronomi fenomena gerhana diartikan tertutupnya arah pandang pengamat ke benda langit oleh benda langit lainnya yang lebih dekat dengan pengamat.[5]
Gerhana matahari adalah peristiwa tertutupnya sinar matahari oleh bulan sebagian atau seluruhnya sehingga matahari tidak tampak dari bumi secara keseluruhan pada saat gerhana matahari total dan sebagiannya pada saat gerhana sebagian. Terjadi pada saat siang hari pada saat konjungsi/ijtima’[6], yaitu pada saat matahari, bulan dan bumi berada pada bujur astronomi yang sama serta bayangan bulan akan mengenai bumi.
Gerhana bulan adalah peristiwa saat sebagian atau keseluruhan wajah bulan yang dalam fase purnama tertutup oleh bayangan bumi. Sehingga bulan menjadi tampak gelap; ada kalanya sebagian pada saat gerhana sebagian ataupun seluruhnya pada saat gerhana bulan total. [7] Itu terjadi bila bumi berada di antara matahari dan bulan pada satu bujur astronomi yang sama, sehingga sinar matahari tidak dapat mencapai bulan karena terhalangi oleh bumi.
Konjungsi suatu objek benda langit–dalam hal ini adalah bulan dengan matahari- seperti yang terlihat dari bumi, terjadi jika perbedaan bujur dengan matahari berharga nol. Konjungsi bulan ini menjadi acuan untuk menentukan awal bulan dalam sistem penanggalan Kamariah/Hijriah.[8]
Kedudukan bidang orbit bulan mengelilingi bumi membentuk sudut 5,1° terhadap bidang orbit bumi mengelilingi matahari (bidang ekliptika). Atau sering dikatakan pula bidang orbit bulan mempunyai inklinasi 5,1° dari bidang ekliptika. Hal inilah yang menyebabkan tidak terjadinya gerhana bulan setiap konjungsi maupun gerhana mataharisetiap fullmoon (bulan purnama). [9]




Macam-Macam Gerhana
Terdapat dua macam gerhana, yakni gerhana matahari dan gerhana bulan.








1.      Gerhana Matahari
a.       Gerhana Matahari Total/ GMT (Total Solar Eclipse/Kusuf Kulli)
Pada saat GMT seluruh bundaran matahari di langit tertutup oleh bundaran bulan, diameter sudut bulan lebih besar dibanding dengan diameter sudut Matahari. Terjadi di daerah permukaan bumi yang terkena bayangan umbra bulan. Durasi selama 7 menit, karena ukuran bulan lebih kecil dari bumi. Diawali dan diakhiri dengan gerhana matahari sebagian.
b.      Gerhana Matahari Cincin/ GMC (Annular Solar Eclipse/Kusuf Halqi)
Terjadi saat bundaran bulan berada di dalam bundaran matahari, karena diameter sudut bulan lebih kecil dibanding dengan diameter sudut matahari; di daerah permukaan bumi terkena lanjutan umbra. Pada saat gerhana ini, matahari terlihat bercahaya dan berbentuk seperti cincin. Terjadi pada saat bulan berada pada titik terjauhnya dari bumi (titik Aphelion).
Karena bagian bola matahari yang tampak dari bumi layaknya piringan itu tidak seluruhnya tertutup oleh bayang-bayang bulan. Bagian yang terlihat oleh kita yang di bumi hanya sebagain kecil seperti sabit matahari yang berbentuk cincin. Inilah cincin dari sebagian cahaya matahari.
c.       Gerhana Matahari Sebagian/Parsial (Partial Solar Eclipse/Kusuf Ba’dhi)
Terjadi pada saat sebagian bundaran bulan menutupi sebagian bundaran matahari di daerah permukaan bumi berada pada bayangan kabur (penumbra) bulan sebagian sehingga ada bagian matahari yang tidak terlihat normal (terang).Waktu gerhana bulan lebih lama dari gerhana matahari total,  karena luasnya bayangan kabur bulan dari pada bayangan inti. Sketsa terjadinya Gerhana Matahari kurang lebih sebagai berikut:

2.      Gerhana Bulan
Gerhana bulan terjadi saat sebagian atau keseluruhan wajah bulan yang dalam fase purnama tertutup oleh bayangan bumi. Terjadi bila bumi berada pada posisi di antara matahari dan bulan yan berada pada satu garis lurus yang sama, sehingga sinar matahari tidak dapat mencapai bulan karena terhalangi oleh bumi.
Dengan kata lain, gerhana bulan terjadi bila bulan sedang beroposisi atau bertolak belakang dengan matahari. Tetapi akibat bidang orbit bulan miring terhadap bidang orbit semu matahari (ekliptika), maka tidak setiap oposisi bulan dengan matahari akan mengakibatkan terjadinya gerhana bulan. Perpotongan bidang orbit bulan dengan bidang ekliptika akan memunculkan 2 buah titik potong yang disebut titik node, yaitu titik di mana bulan memotong bidang ekliptika. Gerhana bulan ini akan terjadi saat bulan beroposisi pada titik node tersebut. Bulan membutuhkan waktu sekitar 29,53 hari untuk bergerak dari satu titik oposisi dan kembali  lagi titik oposisi tersebut. Maka biasanya, jika terjadi gerhana bulan maka akan diikuti dengan gerhana matahari karena kedua titik node tersebut terletak pada garis yang menghubungkan antara matahari dengan bumi.
a.       Gerhana bulan total (Total Lunar Eclipse/Khusuf Kulli) yaitu selama gerhana bulan berlangsung, terjadi fenomena seluruh bulan memasuki kawasan umbra bumi pada saat bulan tepat pada daerah penumbra (bayangan kabur) sehingga muka tertutup oleh bumi secara keseluruhan sehingga dia (bulan masuk ke daerah umbra yaitu daerah yang sangat gelap.
Sebenarnya, pada peristiwa gerhana bulan, seringkali bulan masih dapat terlihat. Ini karena masih adanya sinar matahari yang dibelokkan ke arah bulan oleh atmosfer bumi. Dan kebanyakan sinar yang dibelokkan ini memiliki spektrum cahaya merah. Itulah sebabnya pada saat gerhana bulan, bulan akan tampak berwarna gelap, bisa berwarna merah tembaga, jingga, ataupun coklat.[10]
b.      Gerhana bulan sebagian ( Partial Lunar Eclipse/Khusuf Ba’dhi) yaitu selama gerhana bulan berlangsung, hanya sebagian bundaran bulan memasuki kawasan umbra bumi di mana tidak semuanya bulan terhalangi sinar matahari oleh bumi sedangkan sebagian permukaan bulan yang lain berada di daerah penumbra. Sehingga masih ada sebagian sinar matahari yang sampai ke permukaan bulan.


Dari segi bayangan yang terbentuk, gerhana dapat dibedakan menjadi gerhana umra dan penumbra.
  1. Gerhana umra, yakni daerah bayangan inti yang berbentuk kerucut dan sangat gelap karena tertutupnya cahaya sama sekali. Gerhana umra terjadi saat tepat berada di daerah umra. Gerhana umra dapat bersifat total, cincin ataupun sebagian. Pada saat gerhana bulan total keseluruhan bagian bulan masuk ke dalam bayangan inti/umbra bumi. Adapun pada saat gerhana matahari total keseluruhan bagian matahari tertutup oleh bulan. Sedang pada gerhana matahari sebagian yang tertutup bayangan inti adalah sebagiannya. Gerhana anti-umbra hanya terjadi pada gerhana matahari cincin. Gerhana anti-umbra terjadi saat matahari tepat berada di daerah anti-umbra (daerah bayangan umbra yang menutupi; menghalangi bagian titik pusat matahari), di mana seluruh bundaran bulan yang gelap berada dalam bundaran matahari. Bedanya dengan gerhana matahari total adalah pada saat GMT seluruh bagian matahari tertutup oleh bulan, sedang pada saat GMC seluruh bundaran bulan yang gelap dalam bundaran matahari namun terdapat bagian luar matahari yag tidak tergelapi sehingga membentuk cincin. Bedanya dengan GMS tidak seluruh bundaran bulan menutupi bundaran matahari dan sebagian bundaran bulan  di luar bundaran matahari.[11]
  2. Gerhana penumbra yakni bayangan kabur di sekeliling umbra. Daerah penumbra    hanya mendapat sedikit sinar; samar-samar. Bagi penduduk bumi sukar membedakan perubahan kecerlangan bulan purnama ataupun matahari sebelum berlangsung gerhana penumbra dengan saat bulan atau matahari berada pada penumbra. Akan terjadi keredupan yang terkadang sulit diamati/dibedakan oleh mata bugil manusia, karena cahayanya hanya beberapa persen (kurang dari 1%). Karena itu  mata bugil manusia melihat bulan purnama/ matahari tanpa perubahan saat gerhana penumbra.[12]


Pengamatan Gerhana
Ketika mengamati matahari adalah kita tidak boleh melihatnya secara langsung baik dengan mata telanjang ataupun dengan alat optik seperti kamera, binokular, ataupun teleskop. Melakukan hal tersebut dapat mengakibatkan kerusakan mata sementara ataupun permanen (kebutaan).[13]
B. Ralph Chou menjelaskan bahwa meskipun 99% cahaya matahari terlindung oleh bulan pada peristiwa gerhana matarahari sehingga wilayah umbra bumi menjadi gelap, namun tetap ada cahaya radiasi dari matahari yang sampai ke bumi, dan sampai ke mata (jika kita langsung menatap dengan mata bugil). Dan perlu diingat, cahaya matahari terdiri dari berbagai gelombang sinar baik dari sinar tampak (pelangi : me-ji-ku-hi-bi-ni-u) maupun sinar tidak tampak seperti UV yang berenergi dan berfrekuensi tinggi  hingga sinar cahaya dengan gelombang radio yang berenergi dan berfrekuensi rendah. Perilaku pupil mata manusia pada malam hari ternyata sama ketika terjadi gerhana matahari. Pada saat gerhana, pancaran cahaya matahari terhalang sebagian oleh bulan sehingga bumi menjadi gelap. Sehingga reaksi pupil mata secara alami membesar. Dan di saat orang menatap langsung ke matahari yang terlindung oleh bulan, pupil mata tidak bereaksi secara signfikan, padahal radiasi sinar-sinar UV tetap menempus ke bumi, menempus ke retina mata, yang sedang merusak sel batang dan kerucut mata.[14]
Fatal bila sering atau dengan durasi lama menatap secara langsung ke matahari, karena pada saat itu bukan sinar tampak saja yang menembus mata, tetapi sinar-sinar berbahaya seperti UV tetap menerobos masuk menghasilkan reaksi kimia yang merusak sel mata.  Belum lagi, gelombang sinar inframerah (infrared) yang terkandung dalam sinar matahari turut “memanggang” (fotokoagulasi) sel batang dan kerucut. Akhirnya akan menyebabkan mata mengalami buta sementara atau bahkan buta permanen.[15]
            Pengamatan gerhana matahari yang diperbolehkan secara langsung dengan  mata bugil adalah pada fase gerhana matahari total yakni ketika sinar matahari benar-benar tertutup oleh bulan (100%).[16]
Namun ini bukan berarti kita tidak boleh atau tidak dapat menyaksikan fenomena alam yang sangat menakjubkan dan jarang terjadi ini. Ada beberapa cara yang aman untuk mengamati peristiwa gerhana matahari, sebagai berikut:
1.      Menggunakan negatif film atau klise yang sudah ter’bakar’. Amati Matahari dengan menggunakan filter yang aman, dan jangan melihatnya secara terus menerus. Amati paling lama 2 menit, kemudian berhenti dan baru amati lagi setelah 3 menit. Hal ini bertujuan untuk mengurangi kerusakan pada mata seandainya ada cacat pada filter yang kita gunakan.[17]
2.      Paling aman adalah dengan cara memantulkannya di layar, baru kita melihat hasilnya di layar tersebut. Misalnya teleskop kita arahkan ke matahari, lalu kita pasangkan pada lensa okuler selembar kertas dengan diatur posisinya sehingga gambar fokus, maka kita mendapatkan hasilnya dilayar tersebut.[18]
3.      Bisa menggunakan media ember besar atau baskom berisi air jernih yang di letakkan pada tempat terbuka ataupun lewat kolam.
Berbeda dengan gerhana matahari,  peristiwa gerhana bulan dapat diamati secara langsung dengan mata telanjang dan tidak berbahaya sama sekali. Namun demikian akan lebih indah jika ada binokuler atau "keker" ataupun teleskop untuk melihatnya lebih dekat sehingga nampak jelas batas antara daerah gelap dan terang di permukaan bulan.


Perbedaan Karakteristik Gerhana Matahari dan Gerhana Bulan
   Terdapat  beberapa aspek yang berbeda antara gerhana matahari dan gerhana bulan, antara lain:

No
Gerhana Matahari
Perbedaan
Gerhana Bulan
1
Sinar matahari ditutupi bulan
Keadaan sinar
Bulan ditutupi bayangan bumi
2
Saat konjungsi (yaitu kedudukan bulan searah dengan matahari).
Waktu terjadi
Saat oposisi (yaitu kedudukan bulan berlawanan arah dengan matahari dilihat dari bumi).
3
Siang hari
Waktu pengamatan
Malam hari
4
Maksimal 7 menit 58 detik
Durasi gerhana[19]
Maksimal 3 jam
5
Matahari digelapi dari  kanan ke kiri
Keadaan gelap (jika menghadap ke Utara)
Bulan digelapi dari kiri ke kanan
6
Gerhana matahari waktunya ditentukan oleh gerakan bayangan bulan melintasi suatu daerah. Jadi, berbeda dengan gerhana bulan, kita harus melihat data gerhana untuk setiap daerah.
Wilayah/daerah yang mengalami gerhana
Sedangkan gerhana bulan di seluruh wilayah yang mengalami malam yang sama
7

Pelaksanaan Pengamatan (telah dijelaskan pada bagian sebelumnya)



Siklus Gerhana Matahari
Bila bulan dan matahari berda dekat arah titik simpul (yang disebut titik Node/Nodal) yang sama bisa terjadi gerhana matahari. Sedang bila keduanya  berdada pada arah dua titik simpul yang berseberangan bias terjadi gerhana bulan. Siklus matahari dari satu titik simpul ke titik simpul yang sama pada priode berikutnya membutuhkan waktu rata-rata 346,62 hari. Siklus ini disebut dengan satu tahun gerhana.[20]
Gerhana matahari terjadi pada fasa bulan baru/ konjungsi. Priode konjungsi bulan ke konjungsi berikutnya dinamakan priode sinodis. Priode Saros sama dengan 223 lunasi bulan. 223 x 29,53 hari= 6585, 32 hari. Priode ini kira-kira sama dengan 19 tahun gerhana 19 x 346,62 hari = 6585, 78 hari (18 tahun 11 1/3 hari).[21]
Selisish antar priode saros dengan siklus terjadinya gerhana matahari sebesar 0,46 hari. Dalam peredaran semu hariannya, matahari bergeser 360°/ 365, 2425 = 60’ ke timur. Jadi 0, 46 x 60’ = ~28’/Saros. Gerhana matahari dengan nomor seri Saros yang sama terjadi 28’ sebelah barat dari kejadian gerhana matahari  seri Saros yang sama sebelumnya. Batas rata-rata jarak matahari agar terjadi gerhana adalah (15,35° + 18, 51°)/2 = 16° 26’ dan bila batas tempat terjadinya gerhana matahari di sekitar titik simpul tersebut adalah dua kali batas rata-rata 2 x 16° 26’ maka satu seri priode Saros bias terjadi (2 x 16° 26’)/ 28’ = 70 gerhana matahari. Perhitungan yang lebih cermat ~73 kali gerhana atau satu seri Saros rata-rata adalah 73 x 18, 03 tahun = 1315 tahun.[22] Dan tidak semuanya dapat diamati dari tempat yang sama.
Seri Saros dimulai dengan gerhana matahari sebagian pada daerah lintang tinggi, lalu diikuti oleh gerhana matahari total atau gerhana matahari cincin di lintang menengah. Da berakhir dengan gerhana matahari sebagian di lintang tinggi pada arah kutub yang berlawanan dengan ketika seri Saros di mulai. Seri Saros ganjil dimulai dengan gerhana matahari sebagian di kawasan kutub utara dan berakhir di kutub selatan. Sedang seri Saros genap kebalikannya. Dari tahun 1207 SM – 2161 M terdapat 8000 gerhana matahari dan 5200 gerhana bulan atau 238 gerhana matahari/abad atau (238 ~42 seri gerhana matahari dalam siklus Saros (223 priode sinodis bulan atau 18 tahun lebih).[23]


Syarat Terjadinya Gerhana Matahari
Bidang orbit bulan dan ekliptika berpotongan pada dua titik simpul. Garis simpul penghubung titik simpul beregresi  ke arah barat dengan priode 18,6 tahun. Pada fasa bulan baru, bulan dan matahari berada pada bujur ekliptika yang sama. Kerucut umbra bulan tidak selalu dapat menyentuh bumi (yang menyebabkan terjadi gerhana). Gerhana terjadi dekat dengan titik simpul.
Titik simpul beregresi ke barat oleh karena itu matahari lebih cepat mencapai titik simpul. Priode matahari dari titik simpul kembali lagi ke titik simpul yang sama dinamakan satu tahun gerhana = 346, 62 hari (rata-rata). Priode ini lebih pendek 18, 63 hari dengan priode Sideris (365, 25 hari). Kemungkinan terjadi gerhana hanya bila matahari dan bulan berada pada bujur ekliptika dekat titik simpul 15, 35° < ∆ λ 18, 51°. Pada batas tersebut keadaan maksimum yang dapat dicapai adalah gerhana persinggungan anatara matahari dan bulan. Satu hari dalam peredaran semunya, matahari bergerak pada ekliptika (360°/ 346, 62= ~0, 985626283°/ hari. Dalam satu bulan sinodis (360°/ 346, 62) x 29, 53 = 30, 67°. Syarat minor terjadinya gerhana matahari ∆ λ ~15, 35°. Fasa gerhana dicapai 2 x ∆ λ ~ 30,7. Matahari bergerak 30, 67° terhadap titik node/ simpul 29, 53 x 360°/ 346, 62.[24]


Pensyari’atan Salat Gerhana
Terkait dengan peristiwa gerhana, agama Islam mensyari’atkan beberapa hal:
  1. Perbanyaklah zikir, istighfar, takbir, salat gerhana dan sedekah. Dari ‘Aisyah, Nabi saw bersabda:
Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Gerhana ini tidak terjadi karena kematian seseorang atau lahirnya seseorang. Jika melihat hal tersebut maka berdo’alah kepada Allah, bertakbirlah, kerjakanlah salat dan bersedekahlah.”5

  1. Melakukan observasi gerhana menyaksikan salah satu bukti kekuasaan-Nya. Di dalam hadis Nabi dijelaskan:
Dari al-Mughirah Ibn Syu‘bah r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Terjadi gerhana matahari pada hari meninggalnya Ibrahim. Lalu ada orang yang mengatakan terjadinya gerhana itu karena meninggalnya Ibrahim. Maka Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua dari tanda-tanda kebesaran Allah. Keduanya tidak gerhana karena mati atau hidupnya seseorang. Apabila kamu melihat hal itu, maka salat dan berdoalah kepada Allah.[25]HR al-Bukhari.

  1. Menyeru jama’ah untuk melaksanakan salat gerhana dengan panggilan ash-salatu jami’ah dan tidak ada adzan maupun iqamah.
Hadis ’Aisyah mengatakan: “Aisyah radhiyallahu ‘anha menuturkan bahwa pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah terjadi gerhana matahari. Beliau lalu mengutus seseorang untuk memanggil jama’ah dengan: ash-salatu jami’ah (mari kita lakukan salat berjama’ah). Orang-orang lantas berkumpul. Nabi lalu maju dan bertakbir. Beliau melakukan empat kali ruku’ dan empat kali sujud dalam dua raka’at.

  1. Mengerjakan salat gerhana secara berjama’ah di masjid. Salah satu dalil yang menunjukkan hal ini sebagaimana dalam hadis dari ’Aisyah bahwasanya Nabi saw mengendari kendaraan di pagi hari lalu terjadilah gerhana. Lalu Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melewati kamar istrinya (yang dekat dengan masjid), lalu beliau berdiri dan menunaikan salat. Dalam riwayat lain dikatakan bahwa Nabi mendatangi tempat salatnya (yaitu masjidnya) yang biasa dia salat di situ.7 Ibnu Hajar mengatakan, ”Yang sesuai dengan ajaran Nabi adalah mengerjakan salat gerhana di masjid. Seandainya tidak demikian, tentu salat tersebut lebih tepat dilaksanakan di tanah lapang agar nanti lebih mudah melihat berakhirnya gerhana.”
Syekh Muhammad ibn Sholeh al-Utsaimin mengatakan bahwa salat gerhana secara jama’ah bukanlah syarat. Jika seseorang berada di rumah, dia juga boleh melaksanakan salat gerhana di rumah. Dalil berdasarkan sabda Nabi saw:Jika kalian melihat gerhana tersebut, maka salatlah”.Perintah ini baik untuk kaum laki-laki maupun perempuan. Berdasarkan hadis Bukhari,”Salat wanita bersama kaum pria ketika terjadi gerhana matahari.”
  1. Berkhutbah setelah salat gerhana berdasarkan tuntunan Rasulullah: Setelah selesai salat gerhana, Rasulullah berkhotbah di hadapan orang banyak, ia memuji dan menyanjung Allah, kemudian bersabda:

 ”Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Gerhana ini tidak terjadi karena kematian seseorang atau lahirnya seseorang. Jika melihat hal tersebut maka berdo’alah kepada Allah, bertakbirlah, kerjakanlah salat dan bersedekahlah.”[26]

 Tentu saja ada aspek perenungan ayat-ayat kauniyah juga, bukan sekadar aspek ibadahnya. Oleh karenanya disarankan pada saat puncak gerhana, jamaah berkesempatan juga untuk melihat langsung proses gerhana tersebut.[27]


Hadis-hadis sebelumnya  merupakan sunnah fi’liah yang menggambarkan perbuatan  Rasulullah saw melakukan salat saat terjadinya gerhana dan sunnah qauliah yang berisi perintah Nabi saw untuk melakukan salat pada saat terjadinya gerhana. Menurut Jumhur ulama salat kusuf maupun khusuf hukumnya sunnah muakkad.[28]
Salat gerhana terdiri dari dua rakaat dapat dilaksanakan berjamaah di masjid maupun sendiri saja. Dalam pelaksanaannya sesudah melaksanakan salat gerhana diiringi dengan khutbah, seperti salat hari raya (Id) ataupun tanpa khutbah. Salat itu dengan bacaan al-Qur’an yang dijaharkan/ dikeraskan ataupun disirkan.[29] Tentang tata cara pelaksanaan salat gerhana terdapat perbedaan pendapat para ulama:
1.       Abu Hanifah mengatakan bahwa salat gerhana dilakukan sebagaimana salat sunnah biasa. Dalil yang disebutkan Abu Hanifah dan yang senada dengannya, ialah:
hadis Abu Bakrah, ia berkata:“Pernah terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah saw, maka Rasulullah keluar dari rumahnya seraya menyeret selendangnya sampai akhirnya tiba di masjid. Orang-orang pun ikut melakukan apa yang dilakukannya, kemudian Rasulullah saw salat bersama mereka dua raka’at.”[30] (HR Bukhari)

2.      Mayoritas ulama yang lain (Imam Malik, Syafi’i, dan Ahmad) menyatakan bahwa salat gerhana itu seperti salat hari raya yakni dua rakaat, hanya setiap rakaat ada dua kali ruku’.[31] Setelah ruku’ pertama yang agak panjang kembali berdiri lalu membaca al-Fatihah dan surat lainnya baru ruku’ lagi setelah itu barulah dilanjutkan dengan i’tidal dan sujud dan seterusnya sampai salam. Lalu pelaksanaan salat gerhana ini ditutup dengan khutbah. [32] Pendapat ini berdasarkan beberapa hadis, di antaranya:
 Hadis Ibnu ‘Abbas , ia berkata, “Telah terjadi gerhana matahari pada zaman Nabi saw , maka beliau salat dan orang-orang ikut salat bersamanya. Beliau berdiri sangat lama (seperti) membaca surat al-Baqarah, kemudian rukuk yang lama, lalu berdiri, lama sekali berdirinya namun berdiri yang kedua lebih pendek dari berdiri yang pertama, kemudian ruku’, lama sekali ruku’nya namun ruku’ kedua lebih pendek dari ruku’ pertama…” [33](HR Bukhari).

Hadis kedua, dari ‘Aisyah Radhiallahu'anha, ia berkata,“Bahwasanya Rasulullah saw pernah melaksanakan salat ketika terjadi gerhana matahari. Rasulullah berdiri kemudian bertakbir kemudian membaca, panjang sekali bacaannya, kemudian rukuk dan panjang sekali rukuknya, kemudian mengangkat kepalanya (i’tidal) seraya mengucapkan: “Sami’allahu liman hamidah,” kemudian berdiri sebagaimana berdiri yang pertama, kemudian membaca, panjang sekali bacaannya namun bacaan yang kedua lebih pendek dari bacaan yang pertama, kemudian rukuk dan panjang sekali rukuknya, namun lebih pendek dari ruku’ yang pertama, kemudian sujud, panjang sekali sujudnya, kemudian dia berbuat pada raka’at yang kedua sebagimana yang dilakukan pada raka’at pertama, kemudian salam…” [34](HR Bukhari dan HR Muslim).

Hikmah dan Mitos Dibalik Peristiwa Gerhana
Peristiwa gerhana merupakan peristiwa alam biasa yang secara astronomis dapat dihitung dan diprediksi kapan akan terjadi. Peristiwa gerhana bukan tanda kelahiran atau kematian seseorang namun gerhana merupakan momen merenungkan kembali tanda Kemahabesaran Allah. Untuk itu umat Islam memberi makna akan kehadiran gerhana melalui ibadah berupa salat gerhana yang dilakukan secara sendirian maupun berjamaah di masjid-masjid atau mushalla serta memperbanyak takbir dan sedekah. Hal ini sejalan dengan yang diajarkan oleh Rasulullah: ِ
”Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua macam tanda dari tanda-tanda kekuasaan Allah. Terjadinya gerhana matahari atau bulan itu bukan karena kematian seseorang atau kehidupannya. Maka jikalau kamu melihatnya, berdoalah kepada Allah, bertakbirlah, bersedekahlah serta salatlah.”[35]( HR. Bukhari-Muslim )

Mitos seputar kematian ini dalam hadis nabi di atas dikaitkan dengan peristiwa meninggalnya anak laki-laki Rasulullah yang bernama Ibrahim pada saat masih kecil. Mitos lainnya yang berkembang di masyarakat antara lain:
  1. Memukul-mukul pohon kelapa atau yang sejenisnya untuk membangunkan bulan atau matahari supaya tidak di makan gerhana. Tindakan ini tidak masuk akal menurut ilmu pengetahuan.[36]
2.   Orang-orang tua dulu; sebagian masyarakat pedesaan di pulau Jawa menganggap kejadian gerhana dengan ada buto (buta kalarahu) yang memakan bulan. Masyarakat akan beramai-ramai menabuh lumping/lesung (tempat penumbuk dari kayu) agar buto-nya takut dan cepat hilang.[37]
3.      Di Kotabumi, Lampung Utara, saat gerhana sejumlah ibu hamil bersembunyi di kolong tempat tidur. Itu dilakukan supaya anak yang dilahirkannya kelak tidak cacat. Lalu, ibu hamil tersebut diminta memakai sarung, lalu neneknya mengusap perut calon ibu itu tiga kali sembari bermohon agar janin terhindar dari bala. Mereka percaya, ritual itu dilakukan agar bayi yang dilahirkan wajahnya tidak hitam.[38]








Selanjutnya hikmah dan pelajaran yang dapat dipetik dari peristiwa gerhana antara lain:
  1. Gerhana adalah peristiwa alam yang menunjukkan ketundukan alam pada Khaliqnya (Penciptanya). Maka selayaknya kita juga menunjukkan ketaatan kepada Allah dengan melakukan salat gerhana. Matahari dan bulan tak pernah penyalahi hukum-Nya, sehingga manusia pun dapat memperkirakan secara tepat waktu terjadinya gerhana. Manusia karena nafsunya sering kali, sengaja atau tak sengaja, menyalahi hukum Allah, maka sudah selayaknya peristiwa gerhana mengingatkan kita untuk memperbanyak istighfar.[39]  
  2. Matahari dan bulan bisa beriringan dan berdampingan memperlihatkan keharmonisan yang kadang menunjukkan fenomena cincin atau mahkotanya yang indah (korona)[40] yang biasanya tidak terlihat. Bagi para saintis, momentum gerhana matahari total dapat dijadikan sumber data “membongkar rahasia matahari”, terutama struktur matahari, ledakan serta fenomena temperatur matahari.[41] Ini mengajarkan kita untuk juga dapat berjalan beriringan dan berdampingan dengan sesama manusia, maka sudah selayaknya itu direpresentasikan dalam bentuk anjuran memperbanyak sedakah. Lalu khatib pun perlu mengingatkan bahwa gerhana matahari adalah fenomena alam yang tidak terkait dengan kelahiran atau kematian seseorang dan tidak terkait dengan nasib manusia atau bencana alam, tetapi merupakan sebagian tanda-tanda kebesaran-Nya di alam.[42]
  3. Menyaksikan gerhana matahari total ataupun gerhana yang lainnya, merupakan momen yang langka bahkan  GMT hanya dapat dilihat sekali seumur hidup (asumsi usia manusia kurang dari 100 tahun).[43] Beberapa ratus juta tahun mendatang, generasi penerus planet bumi hanya akan mendengar dongeng tentang gerhana. Pada waktu itu matahari akan berevolusi menjadi bintang raksasa, membesar dimensinya; diameter sudut matahari akan lebih besar dari bulan. Dengan demikian tidak akan pernah lagi terjadi gerhana matahari total. Walaupun dalam jangka waktu yang masih sangat lama tapi hukum alam member keyakinan hal itu akan terjadi.[44]
  4. Fenomena gerhana telah menarik perhatian sejak awal peradaban manusia. Di zaman Babylonia (2000 SM-1000 SM) di lembah sungai Eufrat dan Tigris telah mengenal silus Saros, siklus terjadinya gerhana tiap 223 kali priode sinodis bulan atau 6585,3 hari di saat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi masih sangat sederhana. Thales (dari Miletus, 624 SM- 547 SM) termasuk ilmuan dan filosof yang mentransmisikan pengetahuan tentang siklus Sarros dari Babylonia ke Yunani.[45]
  5. Plato; murid Aristoteles dikenal sebagai ilmuan Yunani menggunakan gerhana bulan sebagai bukti bahwa bumi berbentuk bola. Batas umbra bumi yang berbentuk busur lingkaran sebenarnya merupakan bayang-bayang bumi oleh matahari.[46]
  6. Kita dapat melihat dan mengamati reaksi binatang-binatang saat gerhana berlangsung. Misalnya kokok ayam yang terkecoh karena mendadak suasana yang gelap kembali terang seperti di pagi hari pada saat gerhana matahari total.
  7. Gerhana  juga dapat dipergunakan untuk memperkaya karya seni fotografi (Astrofotografi).
  8. Selain memperkaya khazanah pengetahuan manusia tentang gerhana, seperti menguji presisi, ketepatan, berbagai metoda perhitungan kedudukan bulan dan matahari.[47]
  9. Manfaatkan kesempatan momen gerhana ini, untuk pendidikan anak mempelajari sains tentang gerhana, fenomena alam menakjubkan yang memuat tantangan intelektualitas manusia yang memikirkannya.[48] Allah berfirman dalam surat Al-Furqan/ 25 : 45 dan 46:
 Apakah kamu tidak memperhatikan (penciptaan) Tuhanmu, bagaimana dia memanjangkan (dan memendekkan) bayang-bayang dan kalau dia menghendaki niscaya dia menjadikan tetap bayang-bayang itu, Kemudian kami jadikan matahari sebagai petunjuk atas bayang-bayang itu. Kemudian kami menarik bayang-bayang itu kepada kami dengan tarikan yang perlahan-lahan.

Sebuah kisah yang menarik untuk kita simak terkait dengan peristiwa gerhana matahari. Tokohnya adalah seorang ahli ilmu Falak Indonesia Turaikhan Adjhuri (Penggagas Kalender Menara Kudus). Ia dianggap berbeda, tidak sejalan, menentang pemerintah di masa Orde Baru dan sempat diinterogasi  karena perbedaan penentuan waktu Idul Fitri yang berbeda dari Pemerintah  juga pernah menentang maklumat pemerintah yang menyeru agar masyarakat bersembunyi di rumah-rumah ketika gerhana matahari total  pada tahun 1983 dengan menganjurkan umat melihat gerhana dan mendirikan salat Kusuf. Ia mencoba menyadarkan umat Islam  Indonesia bahwa gerhana matahari adalah peristiwa astronomi biasa yang tidak perlu ditakuti. Dan banyak pelajaran penting dan berharga yang bisa dipetik dibalik peristiwa tersebut.


Catatan Akhir
Pembahasan seputar gerhana ini menyisakan beberapa catatan:
  1. Hadis: ”jikalau kamu melihatnya” menyebabkan terdapatnya perbedaan pemahaman seperti pada permasalahan penentuan awal bulan Kamariah. Apakah harus melihat secara langsung atau cukup dengan perhitungan astronomi. Bagaimana kalau tertutup awan? Dan seterusnya.  Permasalahan ini tidaklah serumit pada permasalahan awal bulan Kamariah karena salat gerhana merupakan ibadah sunnah bukan wajib seperti puasa Ramadan maupun pelaksaan Wuquf di Arafah bagi jamaah haji.
  2. Pensyari’atan pelaksanaan salat gerhana adalah pada saat terjadinya gerhana Umra. Karena jika gerhana Penumbra biasanya tidak begitu dirasakan kejadiannya oleh masyarakat secara umum. Jadi pada saat terjadi gerhana Umra lah salat gerhana dilaksanakan. 
  3. Pensyari’atan pelaksanaan salat gerhana hanya diperuntukkan bagi daerah-daerah yang mengalami gerhana. Apabila suatu daerah tidak dilewati/dilintasi oleh gerhana maka tidak ada syari’at pelaksanaan salat gerhana.
  4. Gerhana matahari waktunya ditentukan oleh gerakan bayangan bulan melintasi suatu daerah. Jadi kita harus melihat data gerhana untuk setiap daerah. Kalau tidak cermat, kita bisa mengumumkan informasi yang keliru, seperti yang termuat di Harian Pikiran Rakyat Selasa, 20 Januari 2009 tentang seruan ormas-ormas Islam terkait dengan gerhana. Pada pengumuman itu waktu gerhana merujuk pada data global gerhana matahari.[49]  Sehingga pada saat yang telah dijelaskan tersebut gerhana belum terjadi; belum melewati daerah yang diumumkan. Dan yang dirujuk seharusnya adalah data yang menjelaskan saat gerhana matahari melintas di daerah tersebut.
Ibn Qudamah menegaskan bahwa waktu salat gerhana itu adalah sejak mulai kusuf hingga berakhirnya. Jika waktu itu terlewatkan, maka tidak ada kada (qadha) karena diriwayatkan dari Nabi saw bahwa beliau bersabda, Apabila kamu melihat hal itu, maka berdoalah kepada Allah dan kerjakan salat sampai matahari itu terang (selesai gerhana). Jadi Nabi saw menjadikan berakhirnya gerhana sebagai akhir waktu salat ... ... ... Apabila gerhana berakhir ketika salat masih berlangsung, maka salatnya diselesaikan dengan dipersingkat ... ... ... Jika matahari terbenam dalam keadaan gerhana, maka berakhirlah waktu salat gerhana dengan terbenamnya matahari, demikian pula apabila matahari terbit saat gerhana bulan (di waktu pagi). Imam ar-Rafi‘i menegaskan, sabda Nabi saw “Apabila kamu melihat gerhana, maka salatlah sampai matahari terang” (selesai gerhana) menunjukkan arti bahwa salat tidak dilakukan sesudah selesainya gerhana. Dimaksud dengan selesainya gerhana adalah berakhirnya gerhana secara keseluruhan. Imam an-Nawawi (w. 676/1277) menyatakan, “Waktu salat  gerhana berakhir dengan lepasnya seluruh piringan matahari dari gerhana. Jika baru sebagian yang lepas dari gerhana, maka (orang yang belum melakukan salat gerhana) dapat mengerjakan salat untuk gerhana yang tersisa seperti kalau gerhana hanya sebagian saja.” [50]

Penutup
Permasalahan seputar gerhana ini bagi umat Islam Indonesia belum begitu familiar. Sebagaimana diungkapkan sebelumnya, pada  masa pemerintahan Orde Baru dilarangnya umat Islam untuk melakukan pengamatan gerhana matahari total pada masa itu. Kesalahan dan kekurangfahaman ini menyebabkan dampak phsikologis ketakutan  masyarakat terhadap peristiwa gerhana. Di samping itu gerhana adalah peristiwa yang jarang atau langka. Perlu kiranya sosialisasi fiqh gerhana ini di tengah-tengah masyarakat agar tidak terjadi kebingungan dan kesalahfahaman. Wallahu a’lamu bi as-shawab



Daftar Pustaka
Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim Ibn al-Mughirah ibn Bardizbah al-Bukhari al-Ja’fi, Shahih al-Bukhari juz II, Semarang: Toha Putra, tth

Adi Nurcahyo, Tatacara Salat Gerhana, http://www.scribd.com/doc/9987281/Tatacara-Salat-Gerhana diakses pada tanggal 3 Maret 2011

Alasan Ilmiah Bahaya Menatap Gerhana Matahari, Kegelapan di Siang Hari,


 

AR Gugeng Riyadi, Gerhana Matahari Cincin, http://pakarfisika.wordpress.com diakses pada tanggal 3 Maret 2011


Djamhur Effendi, Sekelumit Penanggalan Komariah dan Gerhana Bulan,  http://www.nu.or.id diakses pada tanggal 3 Maret 2011

Gerhana matahari Jumat siang 15 Januari, http://unik.kompasiana.com/2010/01/15/gerhana/  diakses pada tanggal 3 Maret 2011


Khafid, Gerhana Bulan Total 28 Agustus 2007, makalah yang dipresentasikan pada matakuliah Hisab Kontemporer, pada tanggal 30 Oktober 2009 di Program Pascasarjana IAIN Wali Songo, Semarang


Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak Dalam Teori dan Praktik, Yogyakarta, Buana Pustaka, 2008, cet.ke-3

______________, Kamus Ilmu Falak, Yogyakarta, Buana Pustaka, 2005, cet.ke-1

 

Muhammad Abduh Tuasikal, Panduan Sholat Gerhana, http://www.scribd.com/doc/56620200/Panduan-Sholat-Gerhana diakses pada tanggal 3 Maret 2011

Muslim, Shahih Muslim juz I, Semarang: Toha Putra, tth

Penjelasan Fiqh Gerhana : "Kasus Dua Gerhana Juli 2009", http://ilmufalak.or.id/index.php?option=com_content&view=section&layout=blog&id=5&Itemid=123&limitstart=5 diakses pada tanggal 3 Maret 2011

Ridwan Hamidi, Tata Cara Salat Gerhana, http://ustadzridwan.com/tata-cara-salat-gerhana diakses pada tanggal 3 Maret 2011

 

Sayid Sabiq, Fiqh as-Sunnah,  jilid I, Beirut; Dar al-Fikr, tth

Samarani, as, Zacky, KH Turaikhan Adjuhri (rh); Ahli Falak dari Kudus http://blogcasa.wordpress.com  diakses pada tanggal 15 November 2010


T Djamaluddin, Gerhana Matahari Cincin 26 Januari 2009: Salat Gerhana, http://t-djamaluddin.spaces.live.com diakses pada tanggal 3 Maret 2011

 

____________, Bulan Satelit Bumi, power point perkuliahan Astronomi tanggal 29 September 2009 di IAIN Walisongo Semarang

____________, Gerhana, http://t-djamaluddin.spaces.live.com diakses pada tanggal 3 Maret 2011

Tim Penyusun Naskah IDI Hukum, Islam Untuk Disiplin Ilmu Astronomi; Buku Dasar Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum Jurusan/Program Studi Astronomi, Jakarta: Depag RI, 2000

 

Tim Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Pedoman Hisab Muhammadiyah, Yogyakarta: Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2009, cet.ke-2

 

Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Jilid I, Dimsyiq, Dar al-Fikr, tth,




[1] Jayusman, Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung, http://jayusmanfalak.blogspot.com dan http://jayusman.blog.iainlampung.ac.id/
emai: jay_falak@yahoo.co.id
[2] Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak Dalam Teori dan Praktik, Yogyakarta, Buana Pustaka, 2008, cet.ke-3, h. 187
[3] Ibid

[4] Tim Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Pedoman Hisab Muhammadiyah, Yogyakarta: Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2009, cet.ke-2, h. 103 dan Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Jilid I, Dimsyiq, Dar al-Fikr, tth, h. 1421

[5] Selain gerhana, dikenal juga fenomena-fenomena sejenis, seperti:
a.    Transit planet dalam; Merkurius dan Venus. Yakni saat Merkurius atau Venus melintas arah pandang kea rah bundaran matahari. Fenomena ini seperti fenomena gerhana matahari cincin.
b.    Fenomena Okultasi, yaitu arah pandang ke bintang atau sumber cahaya di langit dengan diameter sudut yang lebih kecil dan lebih jauh ditutup oleh benda langit dengan dismeter sudut yang lebih besar. Misalnya Okultasi bintang oleh asteroid atau bulan, Okultasi asteroid oleh bulan.
c.     Fenomena gerhana bintang dalam system bintang ganda. Komponen primer (komponen yang lebih kuat cahayanya) dan sekunder (yang lebih lemah) bintang ganda bergerak mengelilingi titik pusat massa system dan keduanya bias saling menutupi satu dengan yang lain. Fenomena ini mengakibatkan bentuk atau pola kurva cahaya (kuat cahaya bintang terhadap waktu) bintang umumnya berubah secara priodik. Tim Pengusun Naskah IDI Hukum, Islam Untuk Disiplin Ilmu Astronomi; Buku Dasar Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum Jurusan/Program Studi Astronomi, Jakarta: Depag RI, 2000, h. 77-78
[6] Konjungsi/ijtima adalah saat bulan berada di antara matahari-bumi, di mana wajah bulan menjadi tidak nampak dari bumi. Para astronom menyebut ijtima atau konjungsi itu sebagai ’new moon’ (bulan baru) atau disebut juga ’bulan mati’ karena wajahnya tidak tampak. dengan kata lain, konjungsi bulan terjadi saat bulan baru.
[7] Lih Muhyiddin Khazin, Kamus Ilmu Falak, Yogyakarta, Buana Pustaka, 2005, cet.ke-1, h. 45
[8] Djamhur Effendi, Sekelumit Penanggalan Komariah dan Gerhana Bulanhttp://www.nu.or.id diakses pada tanggal 3 Maret 2011
[9] Ibid

[10] Khafid, Gerhana Bulan Total 28 Agustus 2007, makalah yang dipresentasikan pada matakuliah Hisab Kontemporer, pada tanggal 30 Oktober 2009 di Program Pascasarjana IAIN Wali Songo, Semarang, h. 1-2

[11] Tim Penyusun, op.cit h. 79
[12] Tim Penyusun, op.cit, h 78

[14] Alasan Ilmiah Bahaya Menatap Gerhana Matahari, Kegelapan di Siang Hari,

[15] Ibid
[16] Ibd

[17] Hanief Trihantoro , loc.cit

[18] AR Sugeng Riyadi, Gerhana Matahari Cincin, http://pakarfisika.wordpress.com diakses pada tanggal 3 Maret 2011
[19] Matahari mempunyai diameter sekitar 400 kali lebih besar daripada diameter bulan, sedangkan jarak bumi-matahari 400 kali lebih jauh daripada jarak bumi-bulan. Sehingga penampakan bulan dan matahari dari bumi hampir sama besar, yaitu sekitar setengah derajat (http://www.nu.or.id). Kondisi itu juga menyebabkan gerhana bulan total – yaitu ketika bulan seluruhnya berada di dalam daerah umbra bumi, bisa berlangsung selama 1 jam 47 menit. Sedangkan gerhana matahari  total yaitu ketika bundaran matahari di langit terhalang oleh bulan, dilihat oleh pengamat dari bumi yang berada di jalur yang tersapu umbra bulan paling lama hanya berlangsung sekitar 7 menit. Djamhur, loc.cit
[20] Tim Penyusun, op.cit, h. 86
[21] Ibid, h. 89
[22] Ibid
[23] Ibid
[24] Ibid
[25] Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim Ibn al-Mughirah ibn Bardizbah al-Bukhari al-Ja’fi, Shahih al-Bukhari juz II, Semarang: Toha Putra, tth, h. 24
[26] Untuk redaksi hadis yang lengkap baca Abu Abdullah, op.cit, h. 24-25 dan Muslim, Shahih Muslim juz I, Semarang: Toha Putra, tth, h. 357-358.
[27] T Djamaluddin, Gerhana Matahari Cincin 26 Januari 2009:Salat Gerhana, http://t-djamaluddin.spaces.live.com diakses pada tanggal 3 Maret 2011
[28] Az-Zuhaili, op.cit, h. 1422
[29] Ibid, h. 1423
[30] Abu Abdullah, op.cit, h. 23-24
[31] Dapat dibaca juga lebih lanjut dalan az-Zuhaili, op.cit, h. 1426
[32] Sayid Sabiq, Fiqh as-Sunnah,  jilid I, Beirut; Dar al-Fikr, tth, h. 435-437. Setelah membaca surat al-Fatihah dan membaca surat yang panjang seperti surat al-Baqarah dengan jahar sebagaimana dijelaskan dalam hadis Aisyah:”Nabi saw menjaharkan bacaannya ketika salat gerhana.” (HR. Bukhari dan HR Muslim) Setelah i’tidal ini tidak langsung sujud, namun dilanjutkan dengan membaca surat al-Fatihah dan surat yang panjang namun lebih pendek dari yang sebelumnya. Demikian juga pada rakaat yang kedua, namun lebih singkat dari rakaat yang pertama. Lih juga Abu Abdullah, op.cit, h. 39 dan Muslim, op.cit, h. 358-359.
[33] Lih. Abu Abdullah, op.cit, h. 27-28
[34] Untuk mendapatkan redaksi lengkap hadis tersebut baca lebih lanjut Abu Abdullah, op.cit, h. 24-25 dan Muslim, op.cit. h. 357-358
[35] Ibid
[36] Khafid, op.cit, h. 6
[38] Gerhana matahari Jumat siang 15 Januari, http://unik.kompasiana.com/2010/01/15/gerhana/ diakses pada tanggal 3 Maret 2011
[39] T. Djamaluddin, Gerhana, http://t-djamaluddin.spaces.live.com diakses pada tanggal 3 Maret 2011
[40] Perhatikan struktur Korona yang tidak simetri bundar,  hal ini menunjukkan adanya aktivitas di permukaan Matahari.  Korona Matahari merupakan plasma dengan temperatur berjuta derajat.
[41] Alasan Ilmiah Bahaya Menatap Gerhana Matahari, loc.cit

[43] Alasan Ilmiah Bahaya Menatap Gerhana Matahari, Kegelapan di Siang Hari,

[44] Tim Penyusun, op.cit, h. 96
[45] Ibid
[46] Ibid
[47] Ibid, h. 98
[48] Djamhur, loc.cit
[50] Tim Majlis, op.cit, h. 112-113

Tidak ada komentar:

Posting Komentar