TELAAH TERHADAP PERBEDAAN PERHITUNGAN
JADWAL SALAT YANG BEREDAR DI TENGAH-TENGAH MASYARAKAT[1]
Abstrak
Jika dicermati jadwal-jadwal salat yang beredar di
tengah-tengah masyarakat antara satu dengan lainnya tidak persis sama; terdapat
perbedaan antara jadwal yang satu dengan lainnya. Hal ini berpotensi
menimbulkan kebingungan, keraguan, lebih jauh perbedaan-perbedaan dalam
masyarakat. Perlu kiranya dilakukan penelusuran lebih lanjut terhadap pola
jadwal-jadwal tersebut dan menganalisa faktor-faktor yang melatarbelakangi
perbedaan perhitungan, dan solusi alternatif
yang dapat dilakukan untuk menyikapi perbedaan tersebut.
Kata Kunci: Jadwal Salat, Koordinat Geografis Kota,
Ihtiyath, opsi waktu salat
Pendahuluan
Tulisan ini diinspirasi oleh
temuan penelitian tentang perbedaan beberapa imsakiah yang penulis peroleh pada
bulan Ramadan 1430 H untuk kota Bandar Lampung lalu. Perbedaan antara imsakiah
atau jadwal salat akan lebih dirasakan saat bulan Ramadan; menjelang berbuka
puasa; pada saat masyarakat secara serempak menanti-nantikan saat berbuka
puasa.
Penulis terdorong untuk
menelusuri lebih lanjut akar dari perbedaan tersebut. Faktor-faktor apa saja
yang berpotensi menyebabkan perbedaan hasil perhitungan imsakiah atau
perhitungan awal waktu salat pada umumnya. Mungkin saja di antara faktor-faktor
yang akan penulis sebutkan nantinya pada riilnya tidak menjadi pemicu atau
penyebab perbedaan perhitungan jadwal salat di Indonesia, tapi mungkin di
daerah lain di belahan dunia Islam lain mungkin saja menjadi salah satu faktor
penyebabnya. Dikatakan di sini faktor-faktor tersebut sebagai penyebab
perbedaan perhitungan jadwal salat karena secara teknis perhitungan dan atau
secara Syar’i hal ini dimungkinkan terjadi. Dalam tinjauan Syar’i hal ini
terjadi karena terdapat khilafiyah di kalangan para ulama dalam memahami nash.
Faktor-Faktor Penyebab Atau Pemicu
Perbedaan Jadwal Salat
Ditemui
jadwal salat; dalam hal ini termasuk juga imsakiah, untuk suatu daerah itu
tidak persis sama antara satu dengan yang lain. Walaupun perbedaannya relatif
kecil yakni antara satu-dua menit.
Menurut
Muhyiddin Khazin, perbedaan di antara jadwal-jadwal salat ini disebabkan antara
lain oleh:
1. Perbedaan
data koordinat yang dijadikan acuan.
2. Perbedaan
rumus perhitungan yang digunakan.
3. Perbedaan
nilai ihtiyath.
4. Perbedaan
alat perhitungan yan digunakan.
5. Terdapat
kesalahan dalam melakukan perhitungan.[2]
6. Data-data
yang digunakan
7. Kriteria
atau opsi waktu salat yang berbeda
Perbedaan Data Koordinat Yang Dijadikan Acuan
Perbedaan pengambilan data koordinat ini kemungkinan karena beberapa
faktor:
1.
Perbedaan acuan koordinat. Adakalanya koordinat suatu
kota itu dihitung dari kantor kepala daerahnya, atau monumen yang dijadikan
lanmard kota, atau adapula yang dihitung berdasarkan hasil perhitungan titik
pusat kota atau daerah tersebut dihitung dari bagian daerah yang paling timur
dan barat.
2.
Adanya pengembangan atau perluasan kota atau daerah.
3. Perbedaan sumber
pengambilan data. Adakalanya data koordinat itu diambil dari peta yang
dikeluarkan oleh institusi atau lembaga yang berbeda. Biasanya karena letak
suatu kota pada peta tidak persis pada lintang atau bujur tertentu, maka
dilakukan interpolasi pada peta tersebut. Contoh perbedaan dalam pengambilan
data koordinat daerah ini adalah pengambilan data koordinat kota Bandar Lampung
dalam berbagai Imsakiah Ramadan 1430 H untuk kota Bandar Lampung yang lalu:
Badan Hisab Rukyat Departemen Agama Φ -5° 25’ LS λ 105° 17’BT,
Fakultas Syari’ah IAIN Raden Intan Lampung
Φ -5° 26’ LS
λ 105° 16’BT, dan
Ibnoe Zahid Abdo el-Moeid Φ -5° 26’LS λ 105° 14’BT.
Perbedaan
Rumus Perhitungan Yang Digunakan
Perhitungan atau penentuan awal
waktu salat atau jadwal salat yang lazim digunakan Indonesia ada dua macam. Yakni perhitungan
yang dijadikan pedoman oleh Kemenag (menggunakan rumus yang tidak
memperhitungkan ketinggian tempat). Dan perhituangan yang menggunakan rumus dengan ketinggian tempat tersebut dari permukaan
laut. Berikut ini akan dipaparkan langkah-langkah perhitungan dari kedua rumus
perhitungan tersebut, untuk selanjutnya dapat dilihat sisi-sisi perbedaannya.
1. Perhitungan Awal
Waktu Salat Menggunakan Rumus Kemenag (Perhitungan Awal Waktu Salat Dengan
Tidak Memperhitungan Ketinggian Tempat
Untuk keperluan
perhitungan awal waktu salat secara umum, dalam kajian ilmu Falak ditentukan
dengan menempuh langkah-langkah berikut:
a.
Data h Matahari Magrib
-1°
Terbit
+1°
Isya -18°
Subuh - 20°
b. Perhatikan dengan
cermat Bujur (lx) baik BB atau BT, Lintang ( fx) dan tinggi tempat (TT) dari permukaan laut. Bujur (lx) dan Lintang (fx) dapat diperoleh melalui Tabel, Peta,
Global Posision System (GPS), Google Earth, dan lain-lain. Tinggi Tempat (TT)
dapat diperoleh dengan bantuan altimeter atau juga dengan GPS.
c. Perhatikan deklinasi Matahari (dm) dan equation
of time (e) pada tanggal yang dikehendaki.
d. Untuk merubah Waktu
Hakiki (Waktu Istiwa) menjadi Waktu Daerah / WD (WIB, WITA,WIT) gunakan rumus:
Waktu Daerah / WD = WH – e + (ld - lx): 15 atau
= WH – e + (BTd - BTx):
15
ld = BTd adalah Bujur Daerah, yaitu: WIB =
1050, WITA = 1200 dan WIT = 1350, sedangkan BTx
= adalah Bujur setempat.
e. Apabila hasil
perhitungan ini hendak digunakan untuk keperluan ibadah, maka hendaknya
dilakukan ikhtiyath dengan cara sebagai berikut:
1). Bilangan detik berapapun hendaknya dibulatkan
menjadi satu menit, kecuali untuk terbit detik berapapun harus dibuang.
2). Tambahkan lagi bilangan 2 menit, kecuali untuk terbit kurangi 2 menit.
Contoh :
Perhitungan
awal-awal waktu salat untuk kota Semarang
pada tanggal 12 Mei 2009.
Semarang
terletak pada BT (lx) = 1100 24’ dengan Lintang (fx) =
-70.
Ephemeris 12
Mei 2009 pk. 05 UT (12 WIB) diperoleh data deklinasi Matahari
(dm)
= 180 13’ 5” dan equation of
time (e) = + 0j 3m 40d .
Zuhur WIB = pk. 12 – e + (ld - lx):
15
= pk. 12 – (+0j 3m 40d
) + (1050 – 1100 24’): 15
=
pk. 12 – 0j 5m 24d + (1050 – 1100 29’)
=
pk. 11: 34: 44 WIB
= pk. 11: 37 WIB (+
ihtiyath)
Asar
a.
zm (jarak zenith) = dm
- fx
= 180
13’ 5”- (-70)
=
250 13’ 5”
b.
ha (tinggi
matahari pada awal asar)
cotan ha =
tan zm + 1
ha = tan-1
(1: (tan 250 13’ 5” + 1)
ha = 340 12’ 33”
c. t0 (sudut waktu matahari) awal asar
cos t0 = (sin ha: cos dm : cos fx – tandm tan fx):
15
t0 =
cos-1 (sin 340 12’ 33”: cos 180 13’ 5”: cos -70 –
tan 180 13’ 5” x tan -70):
15
= 03: 12: 48
d. Awal Waktu Asar WIB
=
Zuhur WIB + t0 Asar
= pk
11: 34: 44 + 03:
12: 48
= pk. 14: 56: 32 WIB
=
pk 14: 59 WIB (+ ihtiyath)
Magrib
a.
t0
( sudut waktu matahari ) awal Magrib
cos t0 = (sin h0 :
cos dm: cos fx – tan dm tan
fx ):
15
t0 = cos-1 (sin -10: cos 180 13’ 5”: cos -70 –
tan 180 13’ 5” x tan -70):
15
t0 =
05: 54: 58, 82
b.
Awal Waktu
Magrib WIB
= Zuhur WIB + t0
Magrib
= pk 11:
34: 44 + 05: 54: 58, 82
= pk. 17:
29: 42, 82 WIB
= pk
17: 33 WIB (+ ihtiyath)
Isya
a. t0
( sudut waktu matahari ) awal Isya
cos t0 = (sin h0 :
cos dm: cos fx – tan dm tan
fx ):
15
t0 = cos-1 (sin -180: cos 180 13’ 5”: cos -70 –
tan 180 13’ 5” x tan -70):
15
t0 =
07: 06: 48
b. Awal Waktu Isya
= Zuhur WIB + t0
Isya
= pk 11:
34: 44 + 07: 06: 48
=
pk. 18: 41: 32 WIB
= pk
18: 45 WIB (+ ihtiyath)
Subuh
a. t0
(sudut waktu matahari) awal Subuh.
cos t0 = (sin h0 :
cos dm: cos fx – tan dm tan
fx ):
15
t0 = cos-1 (sin -200: cos 180 13’ 5”: cos -70 –
tan 180 13’ 5” x tan -70):
15
t0 =
07: 15: 13
b. Awal Waktu Subuh
= Zuhur WIB - t0
Subuh
= pk 11:
34: 44 - 07: 15: 13
=
pk. 04: 19: 31 WIB
= pk
04: 22 WIB (+ ihtiyath)
Terbit
a. t0
(sudut waktu matahari) awal Terbit.
cos t0 = (sin h0 :
cos dm: cos fx – tan dm tan
fx ):
15
t0 = cos-1 (sin -10: cos 180 13’ 5”: cos -70 –
tan 180 13’ 5” x tan -70):
15
t0 =
05: 54: 58, 82
b. Awal Terbit
= Zuhur WIB - t0
Terbit
= pk 11:
34: 44 - 05: 54: 58, 82
=
pk. 05: 39: 45, 18 WIB
= pk
05: 37 WIB (- ihtiyath)
2. Perhitungan Awal
Waktu Salat Dengan Memperhitungan
Ketinggian Tempat
Data
Kerendahan
Ufuk (ku) = 00 1’,76 Ö 1000
h0
(tinggi matahari) saat terbit/terbenam
= - (refraksi + semi diameter matahari + ku
= - (00 34’ + 00 16’ + 00
1’,76 Ö
1000)
= - 10 45’ 39”,37
h Isya =
-170 + h0 saat terbit/terbenam
= -170 + - 10 45’ 39”,37
= - 180 45’ 39”,37
h Subuh = -190 + h0
saat terbit/terbenam
= -190 + - 10 45’ 39”,37
= - 200 45’ 39”,37
Magrib
a. t0 ( sudut waktu matahari ) awal Magrib
cos t0 = (sin h0 terbenam: cos dm: cos fx – tan dm tan
fx ):
15
t0 = cos-1 (sin - 10
45’ 39”,37: cos 180
13’ 5”: cos -70 –
tan 180 13’ 5” x tan -70):
15
t0 =
05: 58: 12, 49
b. Awal Magrib
= Zuhur WIB + t0
Magrib
= pk 11:
34: 44 + 05: 58: 12, 49
=
pk. 17: 32: 56,49 WIB( tanpa ihtiyath)
Isya
a.
cos t0 = (sin h0 Isya: cos dm: cos fx – tan dm tan
fx ):
15
t0 =
cos-1 (sin - 180 45’ 39”,37: cos 180 13’ 5”: cos -70 –
tan 180 13’ 5” x tan -70):
15
t0 =
07: 10: 0,25
b. Awal Waktu Isya
= Zuhur WIB + t0
Isya
= pk 11:
34: 44 + 07: 10: 0,25
=
pk. 18: 44: 44,25 WIB (tanpa ihtiyath)
Subuh
a. t0
(sudut waktu matahari) awal Subuh.
cos t0 = (sin h0 Subuh : cos dm: cos fx – tan dm tan
fx ):
15
t0 = cos-1
(sin - 200 45’ 39”,37: cos 180 13’ 5”: cos -70 –
tan 180 13’ 5” x tan -70):
15
t0 =
07: 18: 25,66
b. Awal Waktu Subuh
= Zuhur WIB - t0
Subuh
= pk 11:
34: 44 - 07: 18: 25,66
=
pk. 04: 16: 18,34 WIB (tanpa ihtiyath)
Terbit
a. t0
(sudut waktu matahari) awal Terbit.
cos t0 = (sin h0 terbit: cos dm: cos fx – tan dm tan
fx ):
15
t0 = cos-1 (sin - 10
45’ 39”,37: cos 180
13’ 5”: cos -70 –
tan 180 13’ 5” x tan -70):
15
t0 =
05: 58: 12, 49
b. Awal Terbit
= Zuhur WIB - t0
Terbit
= pk 11:
34: 44 - 05: 58: 12, 49
=
pk. 05: 36: 31, 51 WIB ( tanpa ihtiyath)
Dari
paparan perhitungan awal waktu salat dari kedua rumus yang berbeda sebelumnya;
antara rumus yang memperhitungkan ketinggian tempat dan rumus yang tidak
memperhitungkannya terlihat adanya potensi perbedaan hasil perhitungan
keduanya.
Perbedaan Nilai
Ihtiyath
Dalam perhitungan awal waktu salat, dikenal adanya waktu
Ihtiyath. Ihtiyat adalah
angka pengaman yang ditambahkan pada hasil hisab waktu salat. Dengan maksud
agar seluruh penduduk suatu kota, baik yang tinggal di ujung Timur dan Barat
kota, dalam mengerjakan salat sudah benar-benar masuk waktu. [3]
Dalam pemberian waktu
ihtiyath, terdapat perbedaan di kalangan ahli Falak sebagai berikut:
1. Kalangan
pesantren tertentu tidak mencantumkan waktu ihtiyath dalam jadwal salat yang
dibuatnya. Pelaksanaan azan sebagai pertanda masuknya awal waktu slat
dilaksanakan sesuai dengan waktu yang sebenarnya. Jadwal yang dibuatnya ini
hanya bersifat internal; hanya diberlakukan di pondok pesantren yang
bersangkutan.
2. Noor
Ahmad SS menggunakan Ihtiyath 3 menit untuk setiap perhitungan awal waktu
salat. Kecuali untuk awal waktu Zuhur, ia menggunakan ihtiyath 4 menit.
3. Ibnoe Zahid Abdo el-Moeid yang merupakan salah satu Imasakiah yang
diteliti menggunakan Ihtiyath 2 menit untuk setiap perhitungan awal waktu
salat. Kecuali untuk awal waktu Zuhur, ia menggunakan ihtiyath 4 menit.
4. Muhyidin
Khazin menyatakan bahwa Ihtiyath dalam penentuan awal waktu salat sebenar 1
sampai 2 menit.[4]
5. Zul
Efendi; ahli Falak murid Arius Syaikhi, menggunakan ihtiyath satu atau dua
menit dalam jadwal salat yang ia buat dan banyak dipakai di berbagai kota di Sumatera Barat. Besaran ihtiyath yang
digunakan tergantung besar kecilnya kota yang dihitung jadwal salatnya
tersebut. Misalnya untuk kota Bukittinggi yang relatif kecil digunakan ihtiyath
sebesar 1 menit sedangkan jadwal salat untuk kota Padang yang merupakan kota
besar menggunakan ihtiyath sebesar 2 menit.[5]
Perbedaan Alat Perhitungan, Data-Data
Yang Digunakan, dan Terdapat Kesalahan Dalam Melakukan Perhitungan
Dalam melakukan perhitungan awal waktu salat
dapat dilakukan secara manual, menggunakan kalkulator, atau dibantu dengan
perangkat komputer yang telah terprogram ataupun tidak. Perhitungan secara
manual cukup memakan waktu. Biasanya dalam perhitungan secara manual kerap
dilakukan pembulatan atau penyederhanaan data untuk memudah perhitungan. Untuk
membantu perhitungan dapat menggunakan kalkulator. Namun tetap saja ada
keterbatasan perhitungan dengan kalkulator, misalnya kesulitan mengentri
rumus-rumus atau data yang panjang. Data perhitungan yang biasanya merupakan
bilangan desimal; ditampilkan hanya sebesar digit dari kalkulator tersebut.
Adapun perhitungan dengan dibantu dengan perangkat komputer dalam penyajian
datanya memiliki ketelitian yang tinggi.
Penyebab perbedaan jadwal salat lainnya
adalah karena faktor kesalahan yang bersifat human error dan kesalahan data.
Kesalahan yang bersifat human error misalnya kesalahan hasib (orang yang
melakukan perhitungan) dalam pengambilan data dan kesalahan dalam pengambilan;
penggunaan ataupun pengerjaan rumus. Kesalahan dapat juga karena kesalahan data
yang terdapat dalam buku pedoman perhitungan, mungkin salah cetak yang
dilakukan oleh pihak penerbit atau percetakan yang tidak dikoreksi oleh
penulisnya. Ataupun kesalahan itu berasal dari penulisnya sendiri.
Faktor selanjutnya adalah penggunaan data-data yang bersifat tetap,
tidak berubah oleh hasib juga
dalam menjadi faktor penyebab jadwal salat ketika disandingkan dengan
perhitungan yang menggunakan data yang bersifat aktual, riil, sebenarnya. Dalam
perhitungan awal waktu salat biasanya yang dibutuhkan adalah data eqution of
time dan deklinasi matahari. Data eqution of time dan deklinasi matahari yang
digunakan lazimnya adalah data keduanya untuk perhitungan awal waktu Zuhur.
Data tersebut digunakan juga untuk perhitungan waktu-waktu salat yang lain pada
hari tersebut (tidak menggunakan data ril masing-masing waktu salat. Dengan
alasan perbedaannya tidak banyak; sangat kecil sekali. Data deklinasi biasanya
perata-rataan dari data deklinasi matahari empat tahunan.
Kriteria Atau Opsi Waktu Salat Yang Berbeda
Potensi penyebab perbedaan perhitungan awal waktu salat yang berikutnya
adalah opsi ketinggian matahari untuk awal waktu salat Subuh, Isya, dan Asar.
Para ahli Falak berbeda pendapat dalam penentuan opsi awal waktu salat Subuh
dan Isya seperti yang dirangkum Susiknan Azhari berikut:
a.
Kalangan Organisasi Islam
No
|
Nama
Organisasi
|
Ketinggian
Matahari Waktu Salat
|
Negara
|
|
Subuh
|
Isya
|
|||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
1
|
Univ of Islamic Sciense
Karachi
|
18°
|
18°
|
Pakistan, Banglades, India,
Afganistan, Eropa
|
2
|
Islamic Society of North
America (ISNA)
|
15°
|
15°
|
Canada, sebagian Amerika
|
3
|
Muslim World League
|
18°
|
17°
|
Eropa, Timur Jauh, sebagian
USA
|
4
|
Ummul Qurra‘ Commitee
|
19°
|
90m setelah
magrib dan 120m khusus bulan Ramadan
|
Semenanjung Arabia
|
5
|
Egyptian General Authority
of Survey
|
19,5°
|
17,5°
|
Afrika, Syria, Irak,
Libanon, Malaysia[6]
|
b. Pendapat
para Ahli Falak
No
|
Nama
Ahli
|
Ketinggian
Matahari Waktu Salat
|
|
Isya
|
Subuh
|
||
1
|
2
|
3
|
4
|
1
|
Abu Raihan al-Biruni
|
16°-18°
|
15°-18°
|
2
|
Al-Qaini
|
17°
|
17°
|
3
|
Ibnu Yunus al-Khalili, Ibnu
Syatir, At-Tusi, Mardeni, al-Muwaqit di Syiria, Magrib, Mesir, dan Turki
|
17°
|
19°
|
4
|
Habash, Muadh, Ibnu Haitam
|
18°
|
18°
|
5
|
Al-Marrakushi, Tunis, dan
Yaman
|
16°
|
20°
|
6
|
Abu Abdullah as-Sayyid
al-Moeti
|
18°
|
19°
|
7
|
Abu Abdullah ibn Ibrahim ibn
Riqam
|
19°
|
19°
|
8
|
Chagmini, Barjandi, Kamili
|
15°
|
15°
|
9
|
Syekh Taher Jalaluddin
|
18°
|
20° [7]
|
Para
ahi Falak juga berbeda pendapat dalam penentuan awal waktu salat Asar. Terdapat
tiga pendapat tentang penentuan awal waktu Asar, sebagai berikut:
1.
Kelompok pertama
menyatakan bahwa awal waktu Asar terkait dengan fenomena bayang-bayang suatu
benda sama panjang dengan benda itu ditambah dengan bayang-bayang pada waktu
Zuhur.
2.
Kelompok kedua
menyatakan bahwa awal waktu Asar terkait dengan fenomena bayang-bayang suatu
benda dua kali panjang benda ditambah dengan bayang-bayang pada waktu Zuhur.
3.
Kelompok ketiga
menyatakan bahwa salat Asar adalah salat pertengahan. Waktu Asar itu adalah pertengahan antara salat
Zuhur dan salat Magrib.
Dalam penentuan waktu Asar, di kalangan ulama ahli Falak tidak sepakat.
Hal ini karena terdapat beberapa nash yang berbeda dalam penentukan fenomena
yang dijadikan dasar patokan masuknya waktu asar tersebut. Dalam hadis, Nabi
saw diajak salat Asar oleh malaikat Jibril ketika panjang bayangan sama dengan
tinggi benda sebenarnya dan pada keesokan harinya Nabi diajak pada saat panjang
bayangan dua kali tinggi benda sebenarnya.
عن جابر بن عبد الله أن
النبي صلى الله عليه وسلم جاءه جبريل عليه السلام فقال له: [ قم فصله, فصل الظهر حين زالت الشمس, ثم جاءه
العصر فقال: قم فصله, فصل العصر حين صار ظل كل شيئ مثله, ثم جاءه المغرب
فقال قم فصله فصلى المغرب حين وجبت الشمس, ثم جاءه العشاء فقال: قم فصله, فصلى
العشاء حين غاب الشفق, ثم جاءه الفجر فقال: قم فصله, فصلى الفجر حين برق الفجر, أو
قال: سطع الفجر, ثم جاءه من الغد للظهر فقال: قم فصله, فصلى الظهر حين صار ظل كل
شيئ مثله, ثم جاءه العصر فقال: قم فصله, فصلى العصر حين صار ظل كل شيئ مثليه,
ثم جاءه المغرب وقتا واحدا لم يزل عنه, ثم جاءه العشاء حين ذهب نصف الليل, أو قال:
ثلث الليل فصلى العشاء, ثم جاءه حين أصفر جدا, فقال: قم فصله, فصلى الفجر,
ثم قال: ما بين هذين الوقتين وقت ] (رواه
أحمد والنسائى والترمذي بنحوه. وقال البخارى: هو أصح شيئ فى المواقيت).[8]
Hadis berasal dari Jabir ibn Abdullah bahwa sesungguhnya Nabi saw didatangi
oleh Jibril, ia berkata kepada Nabi,” Dirikanlah salat, maka nabi mendirikan
salat Zuhur ketika tergelincir matahari. Lalu datang waktu Asar, maka Jibril
berkata,” Dirikanlah salat Asar, maka Rasulpun salat ketika
panjang bayangan suatu benda satu kali panjang benda. Setelah masuk waktu
Magrib Jibrilpun berkata, “Dirikanlah salat Magrib, maka Rasulpun salat ketika
terbenam matahari.” Ketika masuk waktu Isya, jibril berkata,” Dirikanlah
salat Isya,
maka Rasulpun salat ketika telah hilang syafak. Saat masuk waktu Subuh,
Jibril berkata,” Dirikanlah salat Subuh, maka Rasulpun salat ketika terbit fajar,
dikatakan munculnya fajar. Kemudian di hari berikutnya pada waktu Zuhur. Maka
Jibril berkata kepada Nabi,”
Dirikanlah salat, maka nabi mendirikan salat Zuhur ketika panjang bayangan suatu benda satu kali
panjang benda. Lalu
datang waktu Asar, maka Jibril berkata,” Dirikanlah
salat Asar, maka Rasulpun salat ketika panjang bayangan suatu benda dua kali panjang benda. Setelah masuk waktu
Magrib Jibrilpun berkata, “Dirikanlah salat Magrib, maka Rasulpun salat pada waktu
yang bersamaan (dengan waktu Asar tadi). Ketika masuk waktu Isya, jibril
berkata,” Dirikanlah salat Isya, maka Rasulpun salat ketika di pertengahan
malam, dikatakan pada sepertiga malam lalu rasul salat Isya. Saat langit telah
sangat kuning (saat terbit matahari), Jibril berkata,” Dirikanlah
salat Subuh,
maka Rasulpun salat. Terdapat redaksi lain yang menyatakan saat masuk waktu
Subuh, Jibril berkata,” Dirikanlah salat Subuh, maka Rasulpun salat. Lalu Jibril
berkata,” di antara dua waktu ini (sepertiga malam dan terbit matahari)
terdapat waktu salat (Subuh). Hadis diriwayatkan oleh Ahmad, Nasai, dan Tirmizi
dengan redaksi yang sama. Bukhari berkata,” hadis ini adalah hadis yang paling
shahih dalam pembahasan waktu-waktu salat.
Berikut ini kita lihat
pendapat berbagai mazhab tentang awal waktu Asar. Menurut jumhur, waktu Asar bermula ketika panjang
suatu benda sama dengan tinggi benda sebenarnya (hiyna shara zhillu kulli syai'in mitslah). Namun menurut Hanafiyah, waktu Asar bermula
ketika panjang suatu benda dua kali dari panjang sebenarnya (hiyna shara
zhillu kulli syai'in mitslayh).[9]
Perbedaan ini disebabkan adanya dua redaksi hadits Nabi saw. Di mana satu
ketika Nabis saw. diajak salat Asar oleh Jibril as. ketika panjang suatu benda
satu kali panjang benda sebenarnya, dikali yang kedua Nabi saw. diajak salat
Asar oleh Jibril as. ketika panjang suatu benda dua kali dari panjang
sebenarnya (HR. Nasa'i, Ahmad dan Turmudzi).[10]
Tentang akhir waktu Asar, menurut Malikiyah
terdapat dua pendapat: Pertama. ketika panjang suatu benda dua kali dari
panjang sebenarnya, pendapat ini juga didukung oleh sebagian Syafi'iyah. Kedua,
selama matahari belum menguning,
pendapat ini didukung juga oleh Hanabilah.[11]
Sementara itu Zhahiriyah memandang akhir Asar sebelum terbenam matahari
seukuran salat satu raka'at, pendapat ini juga dianut oleh jumhur.[12]
Pendapat lain
tentang waktu Asar adalah waktu salat pertengahan antara Zuhur dan Magrib. Di dalam al-Qur'an disebutkan dalam surat al-Baqarah/2: 238
Peliharalah semua salat(mu), dan
(peliharalah) salat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan
khusyu'.
Oleh sebagian ulama ayat ini ditafsirkan
sebagai salat Asar yang merupakan waktu pertengahan antara Zuhur dan Magrib.[13]
Jika pendapat ini digunakan, waktu Asar akan lebih cepat dari jadwal salat yang
digunakan selama ini.
Beberapa Catatan
1.
Terdapat perbedaan atau kekhasan perhitungan dalam jadwal salat dan
perhitungan imsakiah Ramadan. Pada imsakiah Ramadan terdapat waktu imsak dan
berbuka. Waktu berbuka adalah sama dengan awal waktu salat Magrib. Adapun waktu
imsak (awal waktu memulai ibadah puasa sebelum masuknya awal waktu salat
Subuh). Waktu imsak merupakan ihtiyath untuk memulai pelaksanaan ibadah puasa.
Mengenai penentuan waktu imsak ini, para ulama berbeda pendapat dalam memaknai
hadis Rasululah yang menyatakan waktu imsak itu kira-kira sama dengan waktu
yang dibutuhkan untuk membaca lima puluh ayat al-Qur’an. Di antara pendapat
ulama itu sebagai berikut:
a. Jumhur ulama
menyatakan bahwa waktu imsak itu adalah sepuluh menit sebelum awal waktu Subuh.
b. Noor
Ahmad SS Jepara menyatakan bahwa waktu imsak itu adalah tiga belas menit
sebelum awal waktu Subuh.[14]
c. Muhyidin
Khazin menyatakan bahwa waktu imsak itu adalah delapan menit sebelum awal waktu
Subuh. Dengan demikian, ketinggian Matahari pada waktu Imsak adalah -22°.[15]
Kementrian Agama RI dalam
masalah penentuan waktu Imsak menggunakan pendapat Jumhur ulama yakni sepuluh
menit sebelum awal waktu Subuh. Dengan demikian perbedaan opsi waktu imsak ini
juga berpotensi menyebabkan perbedaan dalam perhitungan jadwal salat; yakni
jadwal salat untuk bulan Ramadan (imsakiah).
2. Koreksian daerah
adalah koreksi waktu berupa penambahan
atau pengurangannya dalam menit sebagai
bentuk penyesuaian apabila jadwal salat digunakan di daerah atau kota lain (di
luar peruntukannya). Penggunaan koreksi daerah ini menjadi suatu diskusi
panjang di kalangan ahli Falak. Untuk
melihat akurasi perhitungan dengan menggunakan koreksian daerah, marilah kita
lakukan analisa sebagai berikut:
a.
Biasa dalam
melakukan koreksian daerah hanya memperhitungkan perbedaan bujur daerah.
Perbedaan 1° bujur biasanya dikonversi sama dengan 4 menit. Untuk koreksian
daerah yang berada di sebelah Barat kota yang dijadikan patokan koreksiannya
ditambahkan. Dan untuk daerah atau kota yang berada di sebelah Timur, maka
dikurangkan.
b.
Memang dalam
perhitungan awal waktu salat, koordinat bujur suatu daerah memiliki fungsi yang
penting dalam perhitungan. Tetapi karena dalam melakukan perhitungan awal waktu
salat terkait dengan posisi harian Matahari, maka koordinat lintang juga harus
diperhitungkan. Karena koordinat lintang suatu daerah atau kota sangat terkait dengan posisi Matahari dalam
peredaran tahunannya di ekliptika. Misalnya ada yang berpendapat tanda masuk
waktu Asar bila bayang-bayang tongkat panjangnya sama dengan panjang bayangan
waktu tengah hari ditambah satu kali panjang tongkat sebenarnya dan pendapat
lain menyatakan harus ditambah dua kali panjang tongkat sebenarnya. Awal waktu
Asar adalah sejak bayangan sama dengan tinggi benda sebenarnya (pendapat Jumhur
Ulama), ini menimbulkan beberapa penafsiran karena fenomena seperti itu tidak
bisa digeneralilasi sebab pada musim dingin hal itu bisa dicapai pada waktu
Zuhur, bahkan mungkin tidak pernah terjadi karena bayangan selalu lebih panjang
daripada tongkatnya. Pendapat yang memperhitungkan panjang bayangan pada waktu
Zuhur atau mengambil dasar tambahannya dua kali panjang tongkat (di beberapa
negara Eropa) dimaksudkan untuk mengatasi masalah panjang bayangan pada musim
dingin.
3.
Sebagian jadwal salat mencantumkan koreksian daerah
sedang yang lain tidak mencantumkannya. Koreksian yang ditetapkan untuk suatu
kota adakalanya berbeda besarannya antara yang terdapat jadwal salat yang satu
dengan lainnya. Misalnya koreksian Kota bumi, Liwa, dan Sukadana yang terdapat
pada jadwal imsakiah Ramadan 1430 H untuk kota Bandar Lampung yang merupakan
hasil penelitian Jayusman dan kawan-kawan. Pencantuman koreksian
daerah ini perlu diteliti lebih lanjut tentang akurasinya.
Tabel 1
Koreksian Daerah
No
|
Daerah
/ Kota
|
Jadwal
Imsakiah dan Koreksian Daerah dalam
Menit
|
||
1. Fakultas Syari’ah IAIN Raden Intan Lampung
2. Majlis Tarjih dan Tajdid PWM
Lampung
|
BNI
Syari’ah
|
1. Persatuan
Guru Ngaji Indonesia (PGNI) Kota Bandar Lampung
2. PT
Bank Mandiri (Persero) Tbk
|
||
1
|
Blambangan
Umpu
|
+3
|
||
2
|
Kalianda
|
-1
|
-1
|
-1
|
3
|
Kotabumi
|
+2
|
+2
|
+1
|
4
|
Kota
Agung
|
+3
|
+3
|
+3
|
5
|
Liwa
|
+5
|
+4
|
|
6
|
Sukadana
|
-1
|
-1
|
-2
|
7
|
Kedondong
|
+1
|
||
8
|
Metro
|
0
|
||
9
|
Gunung
Sugih
|
0
|
||
10
|
Menggala
|
0
|
0
|
|
11
|
Way
Kanan
|
+3
|
||
12
|
Ketapang
|
-2
|
||
13
|
Krui
|
+5
|
+5
|
Terdapat juga penyebab perbedaan
jadwal salat yang bersifat akumulatif. Pengertian penyebab yang bersifat
akumulatif adalah penyebab yang tidak tunggal, tapi terdiri dari kumpulan
beberapa penyebab yang telah disebutkan sebelumnya. Misalnya perhitungannya
menggunakan data koordinat kota serta rumus yang berbeda. Atau mungkin
menggunakan data koordinat kota dan nilai ihtiyath yang berbeda dan bentuk
lainnya.
Penutup
Bagaimana kita menyikapi
perbedaan jadwal tersebut, dapat dijelaskan dalam uraian selanjutnya. Jadwal
salat yang beredar di tengah-tengah masyarakat biasanya diidentifikasi dengan
sebutan jadwal salat abadi; jadwal salat sepanjang masa; atau jadwal salat
untuk selama-lamanya. Sebagian jadwal salat itu umurnya telah cukup lama bahkan
ada yang telah puluhan tahun digunakan secara turun temurun. Terkadang
ditemukan adanya perbedaan hasil perhitungan jadwal salat tersebut dengan
jadwal salat yang umurnya relatif lebih muda. Faktor penyebab perbedaan
tersebut biasanya karena:
a. Perbedaan
koordinat kota yang dijadikan acuan. Perbedaan ini lazimnya karena perluasan
kota dari yang sebelumnya sehingga menyebabkan perubahan data koordinat ataupun
pergantian titik acuannya.
b. Perbedaan
nilai ihtiyath. Biasanya kalangan ahli Falak “zaman dulu” menggunakan nilai
ihtiyath yang lebih besar daripada nilai ihtiyath yang digunakan oleh ahli
Falak sekarang. Salah satu alasan nilai ihtiyath yang digunakan ahli Falak itu
adalah untuk memperoleh fadhilah dengan beribadah pada awal waktunya.
c. Data yang
digunakan biasanya data yang bersifat tetap. Yang merupakan perata-rataan dari
data-data yang dihimpun untuk beberapa tahun.
Sehingga dapat dikatakan bahwa
jadwal salat sepanjang masa yang telah lama usianya tersebut adalah hasil
ijtihad ulama Falak pada masanya. Untuk antisipasi perubahan yang mungkin saja
telah terjadi, maka ulama ahli Falak di zaman sekarang kemudian melakukan
ijtihad sehingga menghasilkan jadwal salat yang baru yang mungkin saja terdapat
perbedaan dengan yang sebelumnya.
Daftar Pustaka
Ahmad SS, Noor, T.Th, Syawariq al-Anwar, Kudus: TBS,
Arikunto,
Suharsimi, 2002, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta:
PT Rineka Cipta, cet.ke-12
Azhari, Susiknan, 2001, Ilmu Falak Teori
dan Praktek, Yogyakarta: Lazuari, Cet.ke-1,
____________, 2007, Hisab da Rukyat
Wacana untuk Membangun Kebersamaan di tengah Perbedaan, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, Cet. Ke-1
____________, 2008, Ensiklopedi Hisab
Rukyat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet.ke-2,
____________, 2007, Ilmu Falak:
Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah,
cet.ke-2
Bisri,
Cik Hasan, 2003, Model Penelitian Fiqh Jilid I: Paradigma Penelitian Fiqh
dan Fiqh Penelitian, Jakarta: Prenada Media
____________,
1998, Penuntun Penyusunan Rencana Penelitian dan Penulisan Skripsi Bidang
Ilmu Agama Islam, Jakarta: Logos, cet.ke-1
____________, 2004, Pilar-pilar Penelitian
Hukum Islam dan Pranata Sosial, Jakarta:Rajawali Pers, cet.ke-1
Depag RI,
Ditjen Binbaga Islam, 1990, Laporan Keputusan Musyawarah Hisab Rukyat,
Jakarta: Depag RI,
Depag RI, 1992, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung:
Gema Risalah Press
___________,1995, Pedoman Penghitungan
Awal Bulan Qamariyah, Jakarta: Depag RI, 1994/1995
___________, 1995, Pedoman Penentuan Arah
Kiblat, Jakarta: Depag RI, 1994/1995
___________, 1995, Pedoman Penentuan
Jadwal Waktu Salat Sepanjang Masa, Jakarta: Depag RI, 1994/1995
Djambek, Sa’adoeddin, 1974, Salat dan Puasa di Daerah Kutub,
Jakarta: Bulan Bintang
____________,
1974 a, Pedoman Waktu Salat Sepanjang Masa, Jakarta: Bulan Bintang
Ibn Rusyd, T.Th, Bidâyah
al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtashid, Juz I, Beirut: Dâr al-Fikr,
Izzuddin, Ahmad, 2006, Ilmu Falak Praktis
(Metode Hisab Rukyat Praktis dan Solusi Permasalahannya), Semarang: Komala
Grafika
Hambali, Slamet, 2009, Proses
Menentukan Awal-Awal Waktu Shalat, makalah dipresentasikan pada tanggal 5 Oktober 2009, di PPS IAIN
Walisongo Semarang
Hidayat, Bambang, 1995, Perjalanan Mengenai Astronomi, Cet. I,
Bandung: ITB
Jayusman, 2010, Perbedaan
Jadwal Imsakiah Ramadan 1430 H Untuk Kota Bandar Lampung, Penelitian
Kompetitif IAIN Raden Intan 2010
Jaziri, al-, Abdurrahman, T.Th,
Kitâb al-Fiqh ‘alâ Madzâhib al-Arba’ah, Cet. IV, Beirut: Dâr al-Fikr,
Karim MS, Abdul, 2006, Mengenal Ilmu
Falak, Semarang: Intra Pustaka Utama, Cet.ke-1,
Khazin, Muhyiddin, 2008, Ilmu Falak dalam
Teori dan Praktek, Yogyakarta: Buana Pustaka, Cet.ke-3,
____________, 99 Tanya Jawab
Masalah Hisab & Rukyat, Yogyakarta: Ramadan Press
Murtadho, Moh, 2008, Ilmu Falak Praktis,
Malang: UIN Malang Press, cet.ke1
M. Muslih, 1997, Penetapan Lintang dan Bujur Kab Dati II
Batang (Tahkik di Pusat Kota Dan Pengaruhnya Terhadap Arah Kiblat, Waktu Salat,
dan Ihtiyat), Pekalongan: STAIN
Pekalongan
Rachim, Abdur, 1983, Ilmu Falak,
Yogyakarta: Liberty, Cet.ke-1,
Rusyd,
Ibnu, T.th, Bidayah al-Mujtahid, T.Tp:
Dar al-Fikr,
Sâbiq, al-Sayyid, 1403H./1983M, Fiqh al-Sunnah, Cet. IV, Beirut:
Dâr al-Fikr,
Shiddieqy, ash-, Hasbi, 1954, Pedoman Puasa, Cet. I, Jakarta:
Bulan Bintang
T Djamaluddin, Posisi Matahari Dan
Penentuan Jadwal Salat, http://t-djamaluddin.spaces.live.com diakses
15 November 2009
Waktu
Sholat, http://www.alhusiniyah.com diakses 15 November 2009
Zuhaili,
az, Wahbah, T.Th, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Jilid I, Dimsyiq: Dar
al-Fikr
[1]Jayusman, Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN
Raden Intan Lampung, http: //jayusmanfalak.blogspot.com dan
email: jay_falak@yahoo.co.id
[2]
Muhyiddin Khazin, 99 Tanya Jawab Masalah Hisab & Rukyat, Yogyakarta:
Ramadan Press, h 45-46
[3] M. Muslih, 1997,
Penetapan Lintang dan Bujur Kab Dati II Batang (Tahkik di Pusat Kota Dan
Pengaruhnya Terhadap Arah Kiblat, Waktu Salat, dan Ihtiyat), Pekalongan: STAIN Pekalongan
[4]
Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktik, Jogjakarta: Buana
Pustaka, 2008, h. 82
[5]
Wawancara dengan Zul Efendi tanggal 5 Maret 2010.
[6]
Susiknan Azhari, 2007, Ilmu Falak Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern,
Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, cet.ke-2, h. 68
[7]
Ibid, h.69
[8] Muhammad bin Ali asy-Syaukani, Nayl al-Awthar, j. I, Editor: Muhammad Muhammad Tamir, Dar Ibnul Haitsam-Kairo, tt., h.
345
[9] Ibnu Rusyd, Bidayah
al-Mujtahid, T.Tp: Dar al-Fikr, T.th, h. 119
[10] Muhammad bin Ali as Syaukani, loc.cit.
[11] Lih. Ibnu Rusyd, op.cit.
h 122
[12] Ibid. Muhammad bin Ali as
Syaukani, op.cit., h 351
[13] Terdapat beragam penafsiran dikalangan
ulama tafsir terhadap ayat di atas. Di antaranya ada yang menyebutkan 'salat
pertengahan' itu sebagai salat Subuh, ada pula yang menafsirkan Zuhur, ada juga yang mengatakan Subuh dan Asar, dll.
[14]
Noor Ahmad SS, Syawariq
al-Anwar, Kudus: TBS, T.th
[15]
Muhyiddin Khazin, 2008, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktik, Jogjakarta:
Buana Pustaka, h. 92
Tidak ada komentar:
Posting Komentar