Fatwa MUI No.3 tahun 2010 tentang Kiblat
menimbulkan kontroversi di tengah-tengah masyarakat. Salah satu diktumnya
menyatakan bahwa letak georafis Indonesia yang berada di bagian Timur
Ka’bah/Mekah, maka kiblat umat Islam Indonesia adalah menghadap ke arah Barat.
Ini tentu saja berseberangan dengan pemahaman di masyarakat. Karena arah kiblat
untuk Indonesia adalah arah Barat serong ke Utara. Adapun besaran sudut serong
ke arah Utara tersebut tergantung hasil perhitungan dalam ilmu Falak untuk
daerah tersebut.
Kata Kunci: Kiblat, Ka’bah, Barat, Fatwa MUI
Pendahuluan
Jum’at, 19 Maret
2010, KH Amidhan Ketua Majelis Ulama
Indonesia (MUI) ketika menjadi nara sumber pada salah satu TV swasta nasional meminta
masjid di Indonesia menyesuaikan arah kiblat agar tepat mengarah Ka’bah di Mekah, Arab Saudi. Alasannya, akibat
pergeseran lempengan bumi, arah kiblat dari Indonesia ke Mekkah bergeser
sekitar 30 centimeter lebih ke kanan. Karena itu, arah kiblat masjid perlu
disesuaikan. Jadi, harus disesuaikan dengan penemuan terbaru. Kalau melenceng
1-2 atau 5 cm tidak begitu masalah. Karena bergeser cukup besar sekitar 30
centimeter lebih.[2] Menanggapi
pengarahan ketua MUI itu, kabarnya ada masjid yang bersiap mengubah arah
kiblatnya.
Pada tanggal 23 Maret 2010 MUI mengumumkan
fatwanya No.3 tahun tahun 2010 tentang Kiblat. Fatwa ini disampaikan pada
konferensi pers di kantor mereka. Seakan melengkapi kontroversi sebelumnya
salah satu diktum dari fatwa MUI menyatakan bahwa letak georafis Indonesia yang
berada di bagian Timur Ka’bah/Mekah, maka kiblat umat Islam Indonesia adalah
menghadap ke arah Barat.
Dalam
makalah ini akan dibahas lebih lanjut persoalan Fatwa MUI No.3 tahun tahun 2010
tentang Kiblat. Bagaimana pemahaman terhadap nash yang menyatakan arah kiblat
itu antara Barat dan Timur? Bagaimana tinjauan ilmu Falak jika dinyatakan bagi
orang Indonesia; yang daerahnya terletak di belahan Timur Ka’bah dalam salatnya
menghadap ke arah Barat? Dengan anggapan arah Barat adalah arah kiblat/Ka’bah
bagi mereka. Tulisan ini diharapkan memberikan penjelasan akibat kontroversi fatwa MUI di atas.
Pandangan Mazhab Tentang Menghadap Kiblat
Terdapat ikhlilaf para ulama tentang menghadap kiblat. Perbedaan
pendapat para ulama tersebut disarikan oleh Ali Mustafa Ya’qub sebagai berikut:
1.
Para ulama sepakat bahwa orang yang melihat Ka’bah
secara langsung, maka dalam salatnya ia wajib menghadap ke bangunan Ka’bah. Maka
orang yang salat melihat Ka’bah, kemudian ia tidak menghadap ke bangunan Ka’bah,
salatnya tidak sah.
2.
Para ulama berbeda pendapat tentang orang yang salat sedang
ia tidak melihat Ka’bah. Apakah ia wajib menghadap ke bangunan Ka’bah (ain
al-Ka’bah) atau menghadap ke arah Ka’bah (jihah al-Ka’bah)
a.
Mayoritas ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa wajib
baginya menghadap arah Ka’bah (jihah
al-Ka`bah). Sedangkan sebagian ulama Hanafi lainnya berpendapat bahwa wajib
menghadap bangunan Ka’bah (`ain al-Ka`bah).
b.
Mayoritas ulama mazhab Maliki berpendapat bahwa wajib
bagi orang yang tidak melihat Ka`bah untuk menghadap ke arah Ka’bah (jihah
al-Ka`bah). Sementara sebagian
Malikiah ada yang berpendapat bangunan Ka`bah (`ain al-Ka`bah)
c.
Adapun
ulama-ulama mazhab Syafi’i, sebagian di antaranya ada yang berpendapat bahwa
yang wajib adalah menghadap ke bangunan Ka’bah (‘ain al-Ka’bah),
sedangkan sebagian Syafi’ah berpendapat bahwa wajib menghadap ke arah Ka’bah (jihah al-Ka’bah).
d. Sementara ulama-ulama mazhab Hambali
berpendapat bahwa yang wajib adalah menghadap arah Ka’bah (jihah al-Ka’bah).[3]
Dengan demikian dapat
digarisbawahi para ulama mazhab dari keempat mazhab (al-Mazahib al-Arba’ah)
satu kata dalam pensyari’atan menghadap kiblat. Mereka yang melihat Ka’bah
secara langsung, maka dalam salatnya ia wajib menghadap ke bangunan Ka’bah(‘ain
al-Ka’bah). Sedang bagi mereka yang tidak melihat Ka’bah secara langsung,
maka dalam salatnya ia wajib mengupayakan untuk menghadap ke bangunan Ka’bah(‘ain
al-Ka’bah), atau setidaknya ke arah Ka’bah
(jihah al-Ka’bah).
Problematika Seputar Arah Kiblat
Diskusi
seputar arah kiblat inipun berkembang. Apa lagi dengan perkembangan teknologi
informasi, banyak kita temui diskusi di internet yang membahas tema arah
kiblat. Terkait dengan kontroversi arah kiblat ini terdapat beberapa tema
pokok. Setidaknya menurut penulis terdapat tiga tema utama yaitu: pertama,
temuan beberapa orang ahli Falak ternyata banyak masjid yang arah kiblatnya
kurang tepat. Kedua, masjid-masjid yang arah kiblatnya diduga berubah karena
pergerakan lempeng bumi dan akibat peristiwa gempa bumi. Ketiga, fatwa MUI
bahwa Letak georafis Indonesia yang berada di bagian Timur Ka’bah/Mekah, maka
kiblat umat Islam Indonesia adalah menghadap ke arah Barat. Ketiga tema diskusi
tentang arah kiblat tersebut berkembang luas di tengah-tengah masyarakat. Tema
pertama, temuan beberapa orang ahli Falak ternyata banyak masjid yang arah
kiblatnya kurang tepat. Masjid yang diteliti bukan hanya di Indonesia tapi juga
di beberapa Negara Islam lainnya.
Beberapa
laporan dari Arab Saudi menyebutkan, sekitar 200 masjid di kota Mekah tidak
menghadap ke arah kiblat. Surat kabar Saudi Gazette melaporkan,
orang-orang yang melihat ke bawah dari atas gedung-gedung tinggi yang baru di
Mekah menemukan, mihrab di banyak masjid tua Mekah tidak mengarah langsung ke Ka’bah.[4]
Wartawan BBC, Sebastian Usher,
mengatakan, pihak berwenang belakangan melakukan pembangunan kembali kawasan di
dan sekitar al-Masjid al-Haram. Namun, masjid-masjid lama di Mekah tetap
dipertahankan keberadaannya. Kini bila dilihat dari gedung-gedung tinggi yang
baru, sejumlah warga menemukan lokasi mihrab di sebagian masjid tersebut tidak
tepat arah. Pada saat masjid-masjid tersebut dibangun, digunakan perkiraan
kasar arah kiblat karena saat itu belum ada alat yang akurat.[5]
Jika memang ini benar adanya, problem
arah kiblat ternyata bukan cuma hanya di Indonesia saja tapi mungkin meliputi
negara-negara Islam lainnya. Untuk kasus Indonesia, di Jawa tengah misalnya,
seperti dituliskan Ahmad Izzudin, 70 % masjid yang ada memiliki arah kiblat
yang tidak tepat.[6]
Lalu
berkembang lagi diskusi bahwa perlu dilakukan perhitungan ulang arah kiblat
masjid-masjid kuno. Alasannya masjid-masjid tersebut dimungkinkan arah
kiblatnya berubah karena pergerakan lempeng bumi. Bahkan karena akhir-akhir ini
kerapkali terjadi peristiwa gempa bumi di Indonesia, maka masjid-masjid yang
relatif belum lama dibangunpun perlu dihitung ulang arah kiblatnya. Hal ini
karena mungkin saja akibat kejadian-kejadian tersebut arah kiblatnya telah
berubah dari yang seharusnya.
Penyebab Kesalahan Dalam Penentuan Arah Kiblat
Menurut
penulis terdapat beberapa faktor diduga kuat menjadi penyebab kesalahan dalam
penentuan arah kiblat masjid di masyarakat, antara lain:
1.
Arah kiblat masjid
ditentukan sekadar perkiraan dengan mengacu secara kasar pada arah
kiblat masjid yang sudah ada. Pada hal masjid yang dijadikan acuan belum tentu
akurat. Ketika membangun sebuah masjid baru, arah kiblatnya hanya mengikuti
masjid yang berdekatan yang telah lebih dahulu dibangun.
2.
Sebagian masjid arah kiblatnya ditentukan menggunakan
alat yang kurang atau tidak akurat. Misalnya untuk penggunaan kompas dalam
penentuan arah, termasuk dalam penentuan arah kiblat perlu dilakukan koreksian
pengaruh daya magnetik di Bumi. Informasi ini tentang besaran
koreksian/deklinasi magnetik kompas ini dapat diperoleh dari Badan Metorologi
Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Di samping itu kita juga perlu diperhatikan
bahwa di pasaran banyak beredar berbagai macam merek kompas, kita perlu
terlebih dahulu mengecek tingkat akurasinya terlebih dahulu.
3.
Terkadang dalam penentuan arah kiblat masjid atau musala
ditentukan oleh seseorang yang ditokohkan dalam masyarakat tersebut. Pada hal
belum tentu sang tokoh tersebut mampu melakukan penentuan arah kiblat secara
benar dan akurat. Sehingga boleh jadi yang bersangkutan menetapkannya dengan
mengira-ngira saja yang mungkin melenceng dari yang seharusnya.[7]
4.
Sebelum pembangunan arah kiblat masjid telah diukur
secara benar oleh ahlinya. Tapi dalam tahap pembangunannya terjadi
pergeseran-pergeseran oleh tukang yang mengerjakannya.
5.
Pendapat yang menyatakan bahwa arah kiblat adalah barat.
Sehingga ketika pengukuran arah kiblat masjid hanya mengarahkannya ke barat.
6.
Bahkan ada juga masjid
yang dibangun lebih mempertimbangkan nilai artistik dan keindahan alih-alih
perhitungan dan pengukuran arah kiblatnya yang presisi. Misalnya masjid yang
bangunannya disejajarkan dengan jalan walaupun dengan mengabaikan arah
kiblatnya.
Itulah
beberapa faktor yang berpotensi menyebabkan arah kiblat suatu masjid tidak
tepat atau tidak presisi. Dari penjelasan di atas dapat digarisbawahi bahwa
faktor yang menyebabkan arah kiblat masjid itu melenceng adalah faktor tidak
diukur secara benar sebelum atau dalam proses pembangunannya.
Menanggapi kontroversi arah kiblat ini, T Djamaluddin menyatakan bahwa masalah arah kiblat yang seolah bergeser
akibat gempa perlu diluruskan. Karena hal itu tidak berdasarkan pada logika
ilmiah dan hal itu berpotensi meresahkan masyarakat. Pergeseran lempeng bumi
hanya berpengaruh pada perubahan peta bumi dalam rentang waktu puluhan atau
ratusan juta tahun. Tidak akan berdampak signifikan pada perubahan arah kiblat dalam
rentang peradaban manusia saat ini. Jadi, saat ini tidak ada pergeseran arah
kiblat akibat pergeseran lempeng bumi atau gempa. Semua pihak (terutama
Kementerian Agama dan MUI) jangan terbawa pada opini yang didasari pada
informasi yang keliru. Pernyataan
tersebut mungkin salah kutip atau salah persepsi, tetapi berpotensi meresahkan
masyarakat. [8]
Upaya
Pembetulan Arah Kiblat: Bukan Membongkar Mihrab Masjid Tetapi
Membetulkan
Shaf
Jika dalam pengecekan arah kiblat, ditemukan masjid yang kurang tepat
arah kiblatnya dengan kemelencengan yang cukup besar tentulah hal ini perlu
dikoreksi atau dibetulkan. Dalam melakukan pembetulan arah kiblat ini perlu
adanya satu kata antara pengurus (takmir) masjid dan seluruh jamaah. Jangan
sampai pembetulan arah kiblat ini justru menimbulkan permasalahan baru, yang
mungkin saja dapat menimbulkan friksi-friksi di tengah-tengah jamaah yang tentu
saja hal ini tidak kita inginkan bersama.
Pembetulan arah kiblat ini bukan berarti merombak masjid atau musala,
atau mungkin menghancurkan mihrabnya. Tapi yang dimaksud di sisi adalah membuat
garis shaf yang baru. Shaf baru yang sesuai dengan perhitungan arah kiblat yang
benar. Konsekuensinya shaf yang baru mungkin tidak semitris lagi dengan mihrab
atau tidak sejajar lagi dalam dindingnya.
Masalah yang penting selanjutnya
setelah kita melakukan pengecekan arah kiblat masjid adalah sosialisasi. Ibarat
mengambil rambut dalam tepung. Rambutnya dapat dikeluarkan dan tepungnya tidak
tumpah. Penting kiranya dilakukan pendekatan persuasif dan pemberian pemahaman
tentang permasalahan ini secara komprehensif sebelum melangkah lebih lanjut.
Tantangannya,
bagaimana melakukan pengukuran dengan benar di lapangan, menyampaikan
hasil-hasilnya kepada masyarakat dan sekaligus mengedukasi publik agar tidak
terjadi situasi di mana ada pihak yang merasa “tersakiti”, yang terjadi
semata-mata hanya karena ketidakpahaman atas duduk perkara yang sebenarnya.
Kementerian Agama bersama MUI, BHR, BHRD, dan kelompok-kelompok peminat hisab
rukyat bisa melakukan sosialisasi penyempurnaan arah kiblat tersebut.
Masyarakat
yang mulai tercerahkan lewat diskusi tentang kedua tema di atas tiba-tiba
dibuat bingung oleh dilkeluarkannya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)
mengeluarkan fatwa terkait arah kiblat sebagai konsekuensi dari pergeseran
lempeng bumi. Dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (22/3), MUI menegaskan
pergeseran tersebut tak mempengaruhi arah kiblat. [9] Di
samping penegasan tersebut, terdapat fatwa lainnya yang justru menimbulkan kontroversi
dan permasalahan baru.
Fatwa MUI No. 03 Tahun 2010 tentang Kiblat
MUI mengumumkan fatwanya No.3 tahun tahun 2010
tentang Kiblat pada konferensi persnya di kantor mereka pada tanggal 23 Maret
2010. Diktum dari fatwa MUI No. 03 Tahun 2010 tertanggal 1 Februari 2010 itu
terdiri dari dua bagian. Pertama, tentang ketentuan hukum. Dalam kententuan
hukum tersebut disebutkan bahwa: (1) Kiblat bagi orang salat dan dapat melihat Ka’bah
adalah menghadap ke bangunan Ka’bah (ain
al-Ka’bah). (2) Kiblat bagi orang yang salat dan tidak dapat melihat Ka’bah
adalah arah Ka’bah (jihat Ka’bah).
(3). Letak georafis Indonesia yang berada di bagian Timur Ka’bah/Mekah, maka
kiblat umat Islam Indonesia adalah menghadap ke arah Barat. Bagian kedua adalah
rekomendasi. MUI merekomendasikan agar bangunan masjid/musala di Indonesia
sepanjang kiblatnya menghadap ke arah Barat, tidak perlu diubah, dibongkar, dan
sebagainya.[10]
Poin
(3) dari diktum pertama fatwa MUI di atas yang menyatakan bahwa letak georafis
Indonesia yang berada di bagian Timur Ka’bah/Mekah, maka kiblat umat Islam
Indonesia adalah menghadap ke arah Barat serta rekomendasi agar bangunan
masjid/musala di Indonesia sepanjang kiblatnya menghadap ke arah Barat, tidak
perlu diubah, dibongkar, dan sebagainya.
Arah Kiblat ke Barat ?
Marilah sejenak kita menyimak penjelasan Ali Mustafa
Ya’qub; sebagai salah seorang anggota MUI Pusat, berasumsi bahwa kiblat bagi
orang Indonesia adalah Barat. Kiblat bagi orang yang berada di
sebelah Utara Ka’bah, apabila ia tidak melihat bangunan Ka’bah, adalah arah Selatan,
mana saja. Kecuali apabila ia salat di dalam masjid Nabawi atau masjid-masjid
yang pernah disinggahi Rasulullah saw untuk salat di sana, maka ia wajib
menghadap ke bangunan Ka’bah. [11]
Hal ini mungkin yang dimaksud bahwa kiblat masjid Nabawi atau yang pernah
disinggahi Nabi telah ditentukan arah kiblatnya (oleh Nabi). Maka salat sesuai
dengan arah kiblat yang telah dituntunkan tersebut. Hadis Abu Hurairah ra.
bahwa Nabi Saw bersabda:
“Arah antara Timur dan Barat adalah kiblat.”(Hadis Riwayat al-Tirmidzi,
dan menurut beliau, Hadis ini hasan shahih).
Hadis ini terdapat dalam Sunan
at-Tirmidzi (Abwab al-Shalah); Sunan Ibn Majah, I/323 (Kitab Iqamah
al-Shalah); al-Muwatha, I/197 (Bab Ma Ja-a fi al-Qiblah). Hadis ini diriwayatkan secara shahih dari Umar
bin al-Khattab ra. dengan status mauquf (disandarkan kepadanya),
sebagaimana dijelaskan dalam al-Majmu’, III/203. Dalil lain, yakni sabda
Nabi saw.
“Arah antara Timur dan Barat adalah kiblat.” (Hadis
Riwayat al-Tirmidzi. Beliau berkata: Hadis ini hasan shahih) ” Secara jelas, Hadis
ini menunjukkan bahwa semua arah antara Timur dan Barat adalah kiblat. adalah
bahwa penduduk yang berada di sebelah Utara Ka’bah, kiblatnya adalah arah Selatan
mana saja. Sedangkan penduduk yang berada di sebelah Selatan Ka’bah, kiblatnya
adalah arah Utara. Mereka menghadap ke arah Utara mana saja. Mereka bebas
menghadap ke arahnya pada bagian manapun. Sedangkan penduduk yang berada di
sebelah Barat Ka’bah, kiblatnya adalah arah Timur mana saja. Adapun penduduk
yang berada di sebelah Timur Ka’bah (seperti Indonesia), kiblatnya adalah arah Barat
mana saja. [12]
Menurutnya inilah pendapat yang kuat (al-rajih).
Karena, pendapat ini
memiliki dalil-dalil yang kuat dan jelas. Selain itu, dengan mengacu pada
pendapat ini, berarti telah mengamalkan dua dalil yang berbeda tanpa
mempersulit kaum muslimin untuk menghadap ke bangunan Ka’bah. Sebab, Islam
adalah agama yang mudah dan memudahkan umatnya, bukan agama yang sulit dan
menyulitkan umatnya. [13]
Selanjutnya,
Ali Mustafa
Ya’qub menyampaikan rekomendasinya, khususnya bagi kaum muslimin di Indonesia
agar tidak perlu ragu dan bimbang tentang sahnya salat mereka di masjid-masjid
yang ada sekarang di Indonesia. Karenanya, tidak perlu repot-repot untuk
merobohkan masjid-masjid yang kiblatnya tidak mengenai bangunan Ka’bah dan
kemudian membangun kembali masjid tersebut dengan kiblat yang menghadap ke
bangunan Ka’bah. Sebab, hal itu tidak diperintahkan dalam Islam dan tidak
merupakan suatu kewajiban.[14]
Dalam ilmu Falak, perhitungan arah kiblat pada dasarnya adalah perhitungan
yang dimaksudkan untuk mengetahui ke arah mana Ka’bah di Mekah itu dilihat dari suatu tempat di permukaan
Bumi. Sehingga semua gerakan orang yang sedang melaksanakan salat, baik ketika
berdiri, ruku’, maupun sujudnya selalu berimpit dengan arah yang menuju Ka’bah.[15]
Arah kiblat adalah arah atau jarak
terdekat sepanjang lingkaran besar yang melewati kota Mekah (Ka’bah) dengan
tempat kota yang bersangkutan. Dengan demikian tidak dibenarkan, misalkan
orang-orang Jakarta melaksanakan salat menghadap ke arah Timur seorang ke Selatan
sekalipun bila diteruskan juga akan sampai ke Mekah. Hal ini karena arah atau
jarak yang paling dekat ke Mekah bagi orang-orang Jakarta adalah arah Barat
serong ke Utara.[16]
Dengan kata lain fatwa MUI ini berseberangan dengan
pendapat para pakar ilmu Falak dan astronomi. Para pakar ilmu Falak dan astronomi sepakat
bahwa arah kiblat masyarakat muslim Indonesia arah Barat serong ke Utara. Besaran sudut yang serong ke arah Utara untuk
suatu kota atau daerah tergantung pada hasil perhitungan arah kiblatnya.
Jika
dinyatakan arah kiblat Indonesia ke arah Barat maka arah yang ditunjukkan atau
dituju bukan lagi mengarah ke Ka’bah atau bahkan kota Mekah tetapi mengarah ke
Somalia di benua Afrika. Na’uzubillah.
Sebuah
kisah yang menarik terkait dengan pehamanan tentang kiblat ini adalah kasus
muslim Suriname. Orang-orang Islam di Suriname
(φ= 04° 00’LU dan λ=-55° 00’BB) yang berasal dari Jawa; Indonesia, salat
menghadap ke Barat serong ke Utara. Karena mereka berkeyakinan bahwa salat
menghadap ke Barat serong ke Utara sama persis ketika mereka masih berada di
Indonesia. Namun mereka yang sudah memahami arah kiblat yang benar, menghadap
ke Timur serong ke Utara. [17]Jadi
arah kiblat suatu daerah tidak mesti ke suatu arah tertentu, seperti pemahaman
sebagian orang Indonesia bahwa arah kiblat itu ke arah Barat. Walaupun mereka
telah pindah ke Suriname, di benua Amerikatetapi pemahaman itu masih terbawa.
Padahal seharusnya arah kiblat suatu daerah itu arah terdekat daerah tersebut
ke Ka’bah.
Upaya Koreksi Arah Kiblat Dalam Lintasan
Sejarah Ilmu Falak Indonesia
Dalam
sejarah ilmu Falak di Indonesia, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari
(1772 M) dan KH Ahmad Dahlan (1897M) telah menorehkan tinta emasnya. Keduanya
berjasa besar bagi aktualisasi ilmu Falak di Indonesia. Terutama dalam
permasalahan penentuan arah kiblat. Di masa hidupnya, mereka mengupayakan
pengoreksian arah kiblat masjid yang melenceng dari arah yang seharusnya.
Secara historis cara penentuan arah kiblat di Indonesia
berkembang sesuai dengan kualitas dan kapasitas intelektual di kalangan kaum
muslimin. Perkembangan penentuan arah kiblat ini mendapatkan momentumnya pada masa
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan KH Ahmad Dahlan atau dapat dilihat pula dari
alat-alat yang digunakan untuk mengukurnya, seperti miqyas, tongkat Istiwa,
Rubu’ Mujayyab, kompas, dan Theodolit. Selain itu sistem perhitungan yang
digunakan juga mengalami perkembangan.[18]
Muhammad Arsyad al-Banjari dilahirkan di kampong Lok
Gabang (dekat Martapura) pada malam Kamis 15 Safar 1122 H bertepatan dengan
tanggal 19 Maret 1710 H. ia meninggal duna pada malam Selasa 6 Syawal 1227 H/
13 Oktober 1812 H di Kalampayan, Astambul, Banjar, Kalimantan Selatan. Ia
adalah salah seorang tokoh Ilmu Falak Nusantara yang melakukan pembaharuan
dengan melakukan pengoreksian arah kiblat. Pengoreksian arah kiblat yang
dilakukannya antara lain masjid Jembatan Lima (Betawi). Menurut pengamatannya
arah kiblat masjid Jembatan Lima terlalu miring ke selatan. Berbekal pengetahuan ilmu Falak yang
dikuasainya, ia lalu melakukan koreksi arah kiblat masjid tersebut; dengan
menggesernya sebesar 25 derajat ke utara. Berdasarkan sumber sejarah, peristiwa
ini terjadi pada 4 Safar 1186 H/ 7 Mei 1772 M.[19]
KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) merupakan salah satu pembaharu dalam bidang ilmu Falak.
Ia lah yang meluruskan arah kiblat masjid agung Yogyakarta pada tahun 1897
M/1315 H. Pada saat itu masjid Agung dan masjid-masjid lainnya, letaknya ke Barat
lurus, tidak tepat menuju arah kiblat. Sebagai ulama yang menimba ilmu
bertahun-tahun di Mekah, ia mengemban amanat mengoreksi kekeliruan tersebut.[20]
Ahmad Dahlan berhasil membangun mushala yang tepat mengarah ke
kiblat. Tapi ia gagal dalam mengubah posisi kiblat di masjid Sultan di
Yogyakarta. Ia kecewa dan ingin meninggalkan kota kelahirannya tersebut. Tetapi
salah seorang keluarganya menghalangi maksudnya itu dengan membangun sebuah
langgar (mushala) yang lain, dengan jaminan bahwa ia dapat mengajarkan dan
mempraktekkan ajaran agama dan keyakinannya berdasarkan interpretasinya di
sana. [21]
Peristiwa telah lama berlalu namun akan terus dikenang. Kiranya
fatwa yang dikeluarkan MUI tentang kiblat diatas dianggap meremehkan
perjuangan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan KH. Ahmad Dahlan yang
meluruskan arah kiblat saat iptek belum semaju sekarang.
Tentunya
dengan kemajuan ilmu pengetahuan sekarang persoalan penentuan arah kiblat yang
presisi bukanlah persoalan yang sulit ataupun berat untuk dilakukan. Banyak
metode yang dapat digunakan dalam penentuan arah kiblat. Mulai dari yang
sederhana sampai berbasis teknologi tinggi. Demikian juga terdapat banyak pihak
yang punya konsen untuk masalah ini; yang dapat dimintaan bantuannya antara
lain Badan Hisab Rukyat (BHR)
Kementerian Agama dan BHR Daerah serta kelompok-kelompok peminat hisab rukyat. Bisa
juga dilakukan koreksi secara massal dengan panduan bayangan matahari pada saat
matahari berada di atas Mekkah atau dengan panduan arah kiblat berbasis
internet Google Earth/Qiblalocator.[22]
Penutup
Fatwa MUI
tentang arah kiblat di atas menjadi kontraproduktif terhadap perkembangan ilmu Falak di
Indonesia. Alih-alih memberikan solusi dari persoalan arah kiblat di
masyarakat, justru membuat bingung. Kiranya kealiman para ulama yang menjadi
anggota MUI Pusat tidak diragukan lagi. Dalam membahas masalah arah kiblat yang
terkait dengan keilmuan Falak ataupun Geodesi, alangkah bijaksana melibatkan para
pakar dalam pembahasan persoalan ini. Sehingga terhindar dari kesalahan dalam
memahami perintah menghadap kiblat dalam pelaksanaan ibadah.
Dengan kejernihan pikiran, akhirnya melalui press rilisnya; MUI mengoreksi
Fatwa nomor 3 tahun 2010. Arah kiblat yang sebelumnya disebutkan
menghadap barat kini telah direvisi menjadi ke arah barat laut. "Untuk
Indonesia secara umum kiblat menghadap ke barat laut, bukan barat, ini
sekaligus merevisi fatwa kita yang tempo hari," ujar Ketua MUI Bidang
Fatwa Ma'ruf Amin, Rabu (14/7/2010).[23]
Daftar Pustaka
Azhari, Susiknan, Ilmu Falak Teori dan
Praktek, Jogjakarta: Lazuardi, 2001, Cet-ke-1
Bukhari, Abi Abdillah Muhammad bin Ismail Al, Shahih al-Bukhari,
Juz I, Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th
Djamaluddin, T , Penyempurnaan Arah
Kiblat dari Bayangan Matahari, Makalah Perkuliahan Astronomi, 26 Mei 2009
____________, Gempa Tidak Sebabkan
Pergeseran Kiblat, http: //t-djamaluddin.space.live.com diakses pada tanggal 1 Mai 2010
____________, LAPAN: Gempa Cile tak Ubah Arah Kiblat, http: //t-djamaluddin.space.live.com diakses
pada tanggal 1 Mai 2010
Fatwa tentang Arah Kiblat,
http://www.mui.or.id diakses pada tanggal 14 Mei 2010
Kiblat Masjid kita:
melenceng lho?, http://blogcasa.wordpress.com diakses pada
tanggal 15 November 2009
Khafid, Penentuan Arah Kiblat, Makalah Pelatihan
Penentuan Arah Kiblat, Cibinong, 22 Februari 2009
Khazin, Muhyiddin, Ilmu Falak Dalam Teori dan Praktek,
Yogyakarta: Buana Pustaka, 2008
K.H. Ahmad Dahlan, http://www.ilmufalak.or.id/
diakses pada tanggal 15 November 2009
K.H. Ahmad
Dahlan: Reformis dan Pembaharu Ajaran Agama,
http://peaceman.multiply.com/journal/ diakses pada tanggal 3 Maret
2010
Iptek dan Arah Kiblat, http://astroscientist.multiply.com diakses pada tanggal 6 November 2009
MUI Ralat
Fatwa Arah Kiblat Salat, http://mui.or.id/ diakses pada tanggal 30 Oktober 2010
Sayyis,
as- Muhammad Ali, Tafsir Ayat al-Ahkam, Tt: Tp
Shihab, M Quraish, Tafsir
Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Vol 6, Jakarta: Lentera
Hati, 2004
___________, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Vol 7,
Jakarta: Lentera Hati, 2004
___________, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Vol 9,
Jakarta: Lentera Hati, 2004
Tim Majlis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah,
2009, Pedoman Hisab Muhammadiyah, Jogjakarta: Majlis Tarjih dan Tajdid
PP Muhammadiyah, cet.ke-2
Tokoh Ilmu Falak: Ahmad Dahlan, http://pakarfisika.blogspot.com diakses pada tanggal 6 November 2009
Ya’qub, Ali Mustofa, Kiblat Antara
Bangunan dan Arah Ka’bah, makalah padaSeminar Menggugat Fatwa MUI tentang
Kiblat, IAIN Walisongo Semarang 2010
200
Masjid di Mekah Tidak Menghadap Kiblat,
http://blogcasa.wordpress.com diakses pada tanggal 30 Oktober 2009
[1] Jayusman,
Lektor fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung.
http://jayusmanfalak.bolgspot.com dan E mail jay_falak@yahoo.co.id
[2] T Djamaluddin,
Gempa Tidak Sebabkan
Pergeseran Kiblat, http: //t-djamaluddin.space.live.com diakses pada
tanggal 1 Mei 2010
[3] Ali Mustafa Ya’qub,
Kiblat Bangunan dan Arah Ka’bah, makalah Seminar Menggugat Fatwa MUI
Tentang Kiblat, IAIN Walisongo, 2010, h. 17-18
[4] 200
Masjid di Mekah Tidak Menghadap Kiblat,
http://blogcasa.wordpress.com diakses
pada tanggal 30 Oktober 2009
[5] Ibid
[6] Ibid
[7] T Djamaluddin, Penyempurnaan Arah Kiblat dari Bayangan Matahari, Makalah Perkuliahan Astronomi, 26 Mei 2009
[8] T Djamaluddin, Gempa, loc.cit
[9] Fatwa tentang Arah Kiblat,
http://www.mui.or.id diakses pada tanggal 14 Mei 2010
[10] Ibid
[11] Ali Mustofa Ya’qub, op.cit, h. 19
[12] Ibid, h. 13
[13] Ibid
[14] Ibid, h. 23
[15] Khafid, op.cit,
h. 3
[16] Ibid
[17] Muhyiddin Khazin,
Ilmu Falak Dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Buana Pustaka, 2008, h.
48
[18] Susiknan Azhari, 2001, Ilmu Falak
Teori dan Praktek, Jogjakarta: Lazuardi, Cet-ke-1, h. 54 dan Tim Majlis Tarjih dan Tajdid PP
Muhammadiyah, 2009, Pedoman Hisab Muhammadiyah, Jogjakarta: Majlis
Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, cet.ke-2, h. 31-32.
[19] Ibid
[20] Tokoh Ilmu Falak: Ahmad Dahlan, http://pakarfisika.blogspot.com diakses pada tanggal 6 November 2009
[21]K.H. Ahmad Dahlan: Reformis dan Pembaharu Ajaran Agama, http://peaceman.multiply.com/journal/ diakses pada tanggal 3
Maret 2010
[22] T Djamaluddin, Penyempurnaan, 2009, loc.cit
[23] MUI Ralat Fatwa
Arah Kiblat Salat, http://mui.or.id/ diakses pada tanggal 30 Oktober 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar