Selasa, 02 Agustus 2011

Penggunaan Kaedah Fiqhiyah Al-Ijtihad la yunqadhu bi al-ijtihad dan La ‘Ibrah bi azh-Zhan al-Bayyin Khatha-uh Dalam Masalah penentuan Arah Kiblat

Penggunaan Kaedah Fiqhiyah 
Al-Ijtihad la yunqadhu bi al-ijtihad dan La ‘Ibrah bi azh-Zhan al-Bayyin Khatha-uh
Dalam Masalah penentuan Arah Kiblat





Al-Ijtihad la yunqadhu bi al-ijtihad
Seseorang yang hendak melaksanakan salat Zuhur namun ia tidak mengetahui arah kiblat dari tempat ia berada tersebut.  Lalu ia berupaya dengan segenap kemampuannya (ijtihad) untuk mengetahui arah kiblat. Sampailah ia pada salah satu arah yang diduga kuat (zhan) sebagai arah kiblat. Lalu iapun melaksanakan salat.  Ketika masuknya waktu Asar, ternyata zhannya berubah. Arah yang semula diasumsikan sebagai arah kiblat mulai diragukan. Dalam kondisi demikian, ia dituntut untuk melakukan ijtihad lagi untuk memperoleh arah kiblat yang lebih diyakini. Jika hasil ijtihad yang kedua ini berubah; berbeda dari sebelumnya, maka dalam melaksanakan salat Asar, ia haruslah menghadap ke arah kiblat hasil ijtihad yang kedua tersebut. Dan ia tidak boleh melaksanakan salat Asar dengan menghadap arah kiblat sebagaimana pada waktu salat Zuhur (hasil ijtihad yang pertama) karena telah dihasilkan arah yang lebih diyakininya dari sebelumnya. Meski dalam hal ini terjadi perubahan arah kiblat antara hasil ijtihadnya yang pertama dengan hasil ijtihadnya yang kedua, bukan berarti salat Zuhur yang telah dilaksanakan sebelumnya menjadi batal atau tidak sah. Tetapi salat Zuhur tersebut hukumnya sah karena telah berdasarkan hasil ijtihad yang pertama. Namun untuk salat Asar, ia harus menghadap ke arah kiblat yang dihasilkan oleh  ijtihad yang kedua. [1]

Walaupun hasil ijtihad pertama  secara de facto sudah tidak diberlakukan lagi karena telah ada hasil ijtihad kedua yang lebih diyakini, namun secara de jure tetap diakui keabsahannya. Inilah yang dimaksud dengan kaedah al-Ijtihad la yunqadhu bi al-ijtihad.  Mungkin ada yang menyatakan kenapa hasil ijtihad yang kedua tidak dapat merubah/ membatalkan hasil ijtihad yang pertama. Padahal  keduanya berbeda. Menurut Fuqaha  alasan yang paling utama adalah karena pembatalan ijtihad akan memicu ketidakpastian  hukum.[2] Jika setiap ijtihad bisa dianulir atau dibatalkan, maka akan terciptalah stuasi dan kondisi  tasalsul; mata rantai hukum yang tidak berujung berpangkal. Hal ini tentunya akan berakibat kesulitan  baik bagi para Fuqaha maupun masyarakat sehingga tidak adanya kepastian hukum.  Berdasarkan hal ini para Fuqaha sepakat bahwa hukum ijtihad seorang hakim tidak dapat dirubah dengan hasil ijtilad lain, walaupun pada hakikatnya yang benar itu adalah tunggal.

La ‘Ibrah bi azh-Zhan al-Bayyin Khatha-uh
Dalam kehidupan  sehari-hari, terkadang sesuatu yang diasumsikan sebagai sebuah kebenaran ternyata tidak sesuai dengan realitas yang sebenarnya. Kesalahan ini adakalanya karena sifat manusia yang terburu-buru dalam memberikan penilaian terhadap sesuatu ataupun  karena keterbatasan pengetahuannya.
Dalam kajian Fiqh, diskursus  tentang prasangka, praduga, persepsi, atau asumsi seorang muslim ini menempati posisi yang cukup penting. Berdasarkan hal tersebut berbagai hukum diputuskan; mendapat legitimasi secara Syari’at. Tetapi bukan berarti setiap zhan (prasangka) itu  bisa dijadikan landasan. Zhan yang dapat dijadikan landasan sebagai dasar penetapan sebuah hukum adalah jika sesuai dengan realitas. Zhan yang jelas-jelas salah; azh-Zhan al-Bayyin Khatha-uh maka harus dike sampingkan La ‘Ibrah.[3]
Kasus tentang status ibadah puasa seseorang di bulan Ramadan. Suatu sore yang berawan bulan Ramadan ia dalam perjalanan berkendara. Ia mendengar suara azan sebagai pertanda masuknya waktu salat Magrib sekaligus waktu berbuka puasa (waktu ia juga tidak punya jam penenunjuk  waktu). Lalu iapun berbuka puasa. Sesampai di rumah, barulah ia menyadari bahwa azan yang ia dengar diperjalanan tadi adalah azan yang salah, mungkin untuk daerah lain dan bukan untuk daerah tempat ia tinggal. Kaedah ini tentu saja dapat juga digunakan dalam kasus pengoreksisn arah kiblat masjid yang jelas-jelas melenceng secara signifikan dari arah kiblat yang benar.





[1] Jalal al-Din Abd ar-rahman ibn Abu Bakr as-Suyuti, al-Asybah wa an-Nazair, Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1998, h. 201-202 dan Abdul Haq dan kawan-kawan, Fomulasi Nalar Fiqh: Telaah Kaidah Fiqh Konseptual, Buku Dua, Surabaya: Khlalista, h. 8
[2] Ibid dan as-Suyuti, op.cit,  h.202
[3] Abdul Haq, op.cit, h. 305

Tidak ada komentar:

Posting Komentar