Senin, 26 Januari 2015

KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PENETAPAN AWAL BULAN KAMARIAH DI INDONESIA

KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PENETAPAN AWAL BULAN KAMARIAH DI INDONESIA










Abstrak
Kerap difahami bahwa dalam penetapan awal bulan kamariah di Indonesia, pemerintah menganut faham imkanurrukyah dengan berpatokan pada kriteria 238. Tetapi dalam praktik atau kenyataannya di lapangan, pemerintah berpatokan pada keberhasilan rukyah. Walaupun keberhasilan rukyah itu harus sesuai atau memenuhi kriteria yang ditetapkan pemerintah tersebut.

Kata Kunci: Awal Bulan Kamariah, imkanurrukyah, Indonesia

Pendahuluan

Semenjak masuknya Islam ke nusantara dan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam, mereka telah punya kebijakan tentang penetapan awal bulan kamariah dalam penentuan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah. Umat Islam beramai-ramai pergi ke bukit-bukit atau pantai-pantai untuk bersama-sama menyaksikan hilal di ufuk barat saat matahari terbenam.  Jika hilal berhasil dirukyah, maka malam itu adalah malam tanggal satu dari bulan yang baru. Namun bila hilal tidak berhasil dirukyah, malam itu adalah malam hari ketiga puluh dari bulan yang sedang berlangsung.
Dalam perkembangannya terdapat juga kelompok yang menggunakan metode hisab (--baca memanfaatkan data-data hasil observasi bulan dan matahari dalam jangka waktu yang panjang sehingga data-data keduanya dapat dihitung dengan sangat teliti). Metode rukyah dan hisab ini saling bersinergi. Hasil hisab membantu pelaksanaan rukyatul hilal sedangkan observasi/ rukyatul hilal itu untuk pembuktian data hisab sekaligus mengoreksinya jika terdapat kekeliruan.
Penetapan awal bulan kamariah di Indonesia masih sering terjadi perbedaan. Permasalahan apa yang belum tuntas yang tengah dihadapi sehingga masih terdapat perbedaan dalam penentuan awal bulan Kamariah di Indonesia? Sehingga persoalan perbedaan penentuan awal bulan Kamariah ini tak kunjung selesai. Walaupun secara teknis Pemerintah telah berusaha dan mengupayakan penyatuan ini. Namun sampai sekarang belum menampakkan hasil (jika tidak disebut hanya sia-sia belaka).
Menurut penulis perbedaan tersebut disebabkan karena perbedaan kriteria. Makalah ini selanjutnya mengupas tentang kebijakan dan kriteria pemerintah dalam penetapan awal bulan Kamariah di Indonesia.

Penentuan Awal Bulan Kamariah Secara Syar’i

Dalam penentuan awal bulan Kamariah terdapat perbedaan  di antara ulama, sebagiannya menyatakan harus berdasarkan pada hasil rukyatul hilal sedangkan sebagian lain menggunakan metode hisab.
Penetapan awal bulan berdasarkan pada keberhasilan rukyatul hilal  harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Terdapat perbedaan di kalangan ulama tentang  persyaratan-persyaratan tersebut. Hanafiah mensyaratkan penetapan awal Ramadan dan Syawal berupa hasil rukyatul hilal satu kelompok  besar jika kondisi cuaca atau langit cerah. Dan memadai kesaksian keberhasilan rukyatul hilal  seorang yang adil  pada kondisi berawan, berkabut, dan sejenisnya. Adapun Malikiah mensyaratkan keberhasilan rukyah dari dua atau lebih orang yang adil. Dan mencukupi keberhasilan rukyah satu orang yang adil pada kondisi hilal tidak terdapat keraguan untuk dapat terlihat. Memadai keberhasilan rukyah seorang yang adil menurut Syafi’iah dan Hanabilah, walaupun pada kondisi terdapat penghalang menurut Syafi’iah.  Namun tidak memadai dalam kondisi tersebut menurut Hanabilah.  Menurut kalangan Hanabilah dan Malikiah mensyaratkan keberhasilan rukyah dua orang yang adil pada rukyah awal Syawal untuk penentuan Idul Fitri.[1] Mereka juga berbeda pendapat tentang kesaksian keberhasilan rukyah perempuan. Diterima kesaksian atau keberhasian rukyatul hilal perempuan menurut Hanafiah dan Hanabilah. Namun  kesaksian tersebut tidak dapat diterima menurut kalangan Malikiah dan Syafi’iah.[2]
Pelaksanaan rukyatul hilal sebagai metode penentuan awal bulan Kamariah; di Nusantara diyakini sudah dilaksanakan semenjak Islam masuk ke kepulauan Nusantara. Ini berdasarkan pada perintah untuk melaksanakan rukyatul hilal sebelum umat Islam melaksanakan ibadah puasa Ramadan dan hari raya Idul Fitri. Setiap tanggal 29 Syakban dan 29 Ramadan umat Islam beramai-ramai pergi ke bukit-bukit atau pantai-pantai untuk bersama-sama menyaksikan hilal di ufuk barat saat matahari terbenam.  Jika hilal berhasil dirukyah, maka malam itu adalah malam tanggal satu dari bulan yang baru. Namun bila hilal tidak berhasil dirukyah, malam itu adalah malam hari ketiga puluh dari bulan yang sedang berlangsung.
Semula pelaksanaan rukyatul hilal dilakukan secara spontanitas oleh umat Islam untuk mengetahui awal bulan-bulan yang terkait dengan ibadah. Pelaksanaannya dipandu oleh para ulama dan pemimpin keagamaan lainnya. Setelah berdirinya kerajaan-kerajaan Islam Nusantara, pelaksanaan rukyat selain yang dilaksanakan secara spontanitas oleh umat Islam, juga ada yang dikoordinir oleh pejabat-pejabat keagamaan di kerajaan yang bersangkutan.[3]
Ditinjau dari sarana prasarana yang digunakan dalam melaksanakan rukyatul hilal, semula pelaksanaan rukyatul hilal hanya dilakukan dengan mata telanjang; tanpa menggunakan alat bantu apapun. Setelah kebudayaan manusia makin maju, maka pelaksanaan rukyahpun secara berangsur-angsur menggunakan sarana prasarana yang menunjang. Sarana prasarana rukyah ini terus berkembang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.[4]
Cara pelaksanaan rukyahpun mengalami perkembangan. Pada awalnya dalam pelaksanaan rukyatul hilal, orang hanya melihat atau pengarahkan pandangannya  ke ufuk barat. Dengan pengertian bahwa mengarahkan pandangannya ke ufuk barat yang sedemikan luas. Hal ini sebagai akibat tidak atau kurang pengetahuan mereka dalam bidang ilmu Falak atau astronomi. Setelah kedua ilmu tersebut mulai dikuasai dengan baik, pelaksanaan rukyatul hilalpun menjadi lebih baik dan terarah. Mereka yang melaksanakan rukyah dapat menfokus dan konsentrasikan pandangan mereka ke posisi yang diduga tempat hilal berada. Bahkan lebih jauh lagi hilalpun dapat dipantau pergerakannya. Jika hilal berhasil dirukyat, maka gambarnya dapat didokumentasikan. Posisi dan waktunya dapat diperhitungkan dengan sangat akurat.[5]
Selanjutnya, di kalangan ahli hisab terdapat pula perbedaan dalam penentuan awal bulan Kamariah. Di antaranya, terdapat pendapat yang menyatakan bahwa awal bulan baru itu ditentukan hanya oleh terjadinya ijtimak [6] sedangkan yang lain mendasarkan pada terjadinya ijtimak dan  posisi hilal. Kelompok yang berpegang pada sistem ijtimak menetapkan jika ijtimak  terjadi sebelum Matahari terbenam, maka sejak Matahari terbenam itulah awal bulan baru sudah mulai masuk. Mereka sama sekali tidak mempermasalahkan hilal dapat dirukyah atau tidak. Sedangkan kelompok yang berpegang pada terjadinya ijtimak dan posisi hilal menetapkan jika pada saat Matahari terbenam setelah terjadinya ijtimak dan  posisi hilal sudah berada di atas ufuk, maka sejak Matahari terbenam itulah perhitungan bulan baru dimulai.[7]
Keduanya sama dalam penentuan awal masuknya bulan Kamariah, yakni pada saat Matahari terbenam setelah terjadinya ijtimak. Namun keduanya berbeda dalam menetapkan kedudukan bulan di atas ufuk. Aliran ijtimak qabl gurub sama sekali tidak mempertimbangkan dan memperhitungkan kedudukan hilal di atas ufuk pada saat sunset. Sebaliknya kelompok yang berpegang pada terjadinya ijtimak dan posisi hilal saat sunset menyatakan apabila hilal sudah berada di atas ufuk itulah pertanda awal masuknya bulan baru. Bila hilal belum wujud berarti hari itu merupakan hari terakhir dari bulan yang sedang berlangsung.[8]
Selanjutnya kedua kelompok ini masing-masingnya terbagi lagi menjadi kelompok-kelompok yang lebih kecil. Perbedaan ini disebabkan atau dikaitkan dengan fenomena-fenomena yang terdapat di sekitar peristiwa ijtimak dan gurub asy-syams.  Dan dalam perkembangan wacana dalam penetapan awal bulan Kamariah, kelompok yang berpegang pada posisi hilal inilah yang lebih mendominasi. Selanjutnya akan dibahas tentang kelompok yang berpedoman pada wujudul hilal dan kelompok yang berpedoman pada imkanur rukyah dalam penentuan awal bulan. Keduanya merupakan bagian dari mereka yang berpegang pada posisi hilal, namun mereka memiliki standar atau patokan yang berbeda.
Mereka yang berpedoman pada wujudul hilal menyatakan bahwa pedoman masuknya awal bulan adalah telah terjadi ijtimak  sebelum terbenam Matahari dan pada saat sunset itu hilal telah wujud di atas ufuk. Sementara itu mereka yang berpedoman pada imkanur rukyah menyatakan bahwa patokan masuknya awal bulan adalah telah ijtimak terjadi sebelum terbenam Matahari dan pada saat sunset itu hilal telah berada di atas ufuk pada ketinggian yang memungkinkan untuk dirukyah.
Dalam menentukan masuknya awal bulan, mereka yang berpedoman pada wujudul hilal berpatokan pada posisi hilal sudah di atas ufuk tanpa mematok ketinggian tertentu. Jika hilal telah di atas ufuk otomatis pertanda masuknya awal bulan. Mereka yang berpedoman pada Imkanur rukyah menentukan ketinggian tertentu hilal sehingga memungkinkan untuk dirukyah. Kriteria ketinggian hilal ini pun dimaknai berbeda-beda, ada mereka yang menyatakan  bahwa ketinggian hilal untuk memungkinkan untuk dirukyah harus memiliki ketinggian tertentu. Di samping itu ada kriteria-kriteria lain sebagai pendukung seperti illuminasi bulan, jarak antara Bulan dan Matahari saat gurub, posisi hilal terhadap Matahari, jangka waktu antara ijtimak dan terbenamnya Matahari, dan lainnya.[9]

Penetapan Awal Bulan Kamariah di Indonesia

Pelaksanaan rukyatul hilal sebagai metode penentuan awal bulan Kamariah; di Nusantara diyakini sudah dilaksanakan semenjak Islam masuk ke kepulauan Nusantara. Ini berdasarkan pada perintah untuk melaksanakan rukyatul hilal sebelum umat Islam melaksanakan ibadah puasa Ramadan dan hari raya Idul Fitri.  Setiap tanggal 29 Syakban dan 29 Ramadan umat Islam beramai-ramai pergi ke bukit-bukit atau pantai-pantai untuk bersama-sama menyaksikan hilal di ufuk barat saat matahari terbenam.  Jika hilal berhasil dirukyah, maka malam itu adalah malam tanggal satu dari bulan yang baru. Namun bila hilal tidak berhasil dirukyah, malam itu adalah malam hari ketiga puluh dari bulan yang sedang berlangsung.[10]
Semula pelaksanaan rukyatul hilal dilakukan secara spontanitas oleh umat Islam untuk mengetahui awal bulan-bulan yang terkait dengan ibadah. Pelaksanaannya dipandu oleh para ulama dan pemimpin keagamaan lainnya. Setelah berdirinya kerajaan-kerajaan Islam Nusantara, pelaksanaan rukyat selain yang dilaksanakan secara spontanitas oleh umat Islam, juga ada yang dikoordinir oleh pejabat-pejabat keagamaan di kerajaan yang bersangkutan.[11]
Ditinjau dari sarana prasarana yang digunakan dalam melaksanakan rukyatul hilal, semula pelaksanaan rukyatul hilal hanya dilakukan dengan mata telanjang; tanpa menggunakan alat bantu apapun. Setelah kebudayaan manusia makin maju, maka pelaksanaan rukyahpun secara berangsur-angsur menggunakan sarana prasarana yang menunjang. Sarana prasarana rukyah ini terus berkembang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.[12]
Cara pelaksanaan rukyahpun mengalami perkembangan. Pada awalnya dalam pelaksanaan rukyatul hilal, orang hanya melihat atau pengarahkan pandangannya  ke ufuk barat. Dengan pengertian bahwa mengarahkan pandangannya ke ufuk barat yang sedemikan luas. Hal ini sebagai akibat tidak atau kurang pengetahuan mereka dalam bidang ilmu Falak atau astronomi. Setelah kedua ilmu tersebut mulai dikuasai dengan baik, pelaksanaan rukyatul hilalpun menjadi lebih baik dan terarah. Mereka yang melaksanakan rukyah dapat menfokus dan konsentrasikan pandangan mereka ke posisi yang diduga tempat hilal berada. Bahkan lebih jauh lagi hilalpun dapat dipantau pergerakannya. Jika hilal berhasil dirukyat, maka gambarnya dapat didokumentasikan. Posisi dan waktunya dapat diperhitungkan dengan sangat akurat.[13]
Tahapan perkembangan hisab penentuan awal bulan Kamariah di Nusantara terkait dengan perkembangannya  sains ilmu Falak dapat penulis klasifikasikan sebagai berikut:
1.   Pengaruh tabel Zij Sulthani karya Ulugh Beik (w. 1449 M)
Sejarah tentang perkembangan ilmu Falak sebagai sebuah keilmuan yang mandiri di Indonesia dimulai pada awal abad ke-20. Dalam perhitungan awal bulan Kamariah misalnya, sebelum abad ke-20, di dunia Islam umumnya berkembang metode hisab yang belakangan diidentifikasi sebagai metode hisab hakiki Taqribi. Perhitungannya masih berpatokan pada asumsi teori Geosentris.
Perhitungan awal bulan yang dilakukan menggunakan tabel-tabel astronomi yang dirumuskan oleh  Ulugh Beik (w. 1449 M) yang biasanya disebut Zij Sulthani. Tabel astronomi Ulugh Beik ini merupakan penemuan yang sangat berharga pada masa itu. Tabel ini telah digunakan bahkan juga oleh para astronom di Barat selama berabad-abad lamanya. 
Dalam sejarah perkembangan modern ilmu Falak di Indonesia pada awal abad ke-20, ditandai dengan penulisan kitab-kitab ilmu Falak oleh para ulama ahli Falak Indonesia. Seiring kembalinya para ulama yang telah berguru di Mekah pada awal abad ke-20, ilmu Falak mulai tumbuh dan berkembang di tanah air. Ketika berguru di tanah suci, mereka tidak hanya mempelajari ilmu-ilmu agama seperti: tafsir, hadis, fiqh, tauhid, tasawuf, dan pemikiran yang mendorong umat Islam yang pada masa itu rata-rata di bawah belenggu kolonialisme untuk membebaskan diri, melainkan juga membawa catatan tentang ilmu Falak. Kemudian proses transfer knowledge ini berlanjut kepada para murid mereka di tanah air.[14]
Dengan semangat menjalankan dakwah islamiah, di antara para ulama ada yang baerdakwah ke berbagai daerah yang baru. Pada dekade itu misalnya, Syekh Abdurrahman ibn Ahmad al-Mishra (berasal dari Mesir) pada tahun 1314H/1896M datang ke Betawi. Ia membawa Zij (tabel astronomi) Ulugh Beik (w. 1449 M) yang masih mendasarkan teorinya pada teori Geosentris. Ia kemudian mengajarkannya pada para ulama di Betawi pada waktu itu. Di antara muridnya adalah Ahmad Dahlan as-Simarani atau at-Tarmasi (w. 1329H/1911M) dan Habib Usman ibn Abdillah ibn ‘Aqil ibn Yahya yang dikenal dengan Mufti Betawi. 
Lalu Ahmad Dahlan as-Simarani atau at-Tarmasi mengajarkannya di daerah Termas (Pacitan)  dengan menyusun buku Tażkirah al-Ikhwan fi Ba’dhi Tawarikhi A’mal al-Falakiyah bi Samarang yang selesai ditulis pada 1321 H/1903M. Sedang Habib Usman ibn Abdillah ibn ‘Aqil ibn Yahya tetap mengajar di Betawi. Ia menulis buku Iqazu an-Niyam fima Yata’allaq bi Ahillah wa ash-Shiyam dicetak pada 1321H/1903M. Buku ini di samping memuat masalah ilmu Falak, juga terdapat di dalamnya tentang masalah puasa (Khazin, 2008: 29). Adapun pemikirannya tentang ilmu Falak kemudian dibukukan oleh salah seorang muridnya Muhammad Manshur bin Abdul Hamid ibn Muhammad Damiri bin Muhammad Habib bin Abdul Muhit bin Tumenggung Tjakra Jaya yang menulis kitab Sullam an-Nayyirain dicetak pertama kali pada 1344H/1925M. Itulah kitab-kitab yang dihasilkan oleh ulama Falak nusantara pada priode awal ini. Kitab Sullam an-Nayyirain lah paling dikenal dari karya ulama Falak pada masa ini dan masih banyak dipelajari sampai sekarang.
Sementara tokoh Falak  yang menonjol di daerah Sumatera adalah Thahir Djalaluddin dan Djamil Djambek. Thahir Djalaluddin dengan karyanya Pati Kiraan Pada Menentukan Waktu yang Lima diterbitkan pada 1357H/1938M, dan Natijah al-Ummi The Almanac: Muslim and Christian Calendar and Direction of Qiblat according to Safie Sect dicetak pada 1951. Tokoh lainnya Djamil Djambek dengan karyanya Almanak Djamiliyah dan Diya’ al-Niri fima Yata’allaq bi al-Kawakib.[15] Tokoh Falak Nusantara yang hidup pada masa itu yang bersinar antara lain Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Ahmad Rifa’i, dan Kyai Sholeh Darat.[16]
2.   Pengaruh Mathla’ as-Sa’id fi Hisabat al-Kawakib ‘ala Rashd al-Jadid dan al-Manahij al-Hamidiyah.
Setelah Nicolas Copernicus (1473-1543) menemukan teori Heliosentris, tentu saja penemuan ini berpengaruh terhadap metode dan rumus ilmu Falak atau astronomi yang selama ini digunakan. Awalnya tidak mudah untuk menentang doktrin yang diyakini gereja, namun pada tahapan selanjutnya teori ini mendapat dukungan secara ilmiah dari ilmuan setelahnya. Pembaharuan yang digulirkan inipun kemudian sampai ke Indonesia. Diperkirakan baru sampai ke Indonesia pada pertengahan abad ke-20.
Menurut M. Taufik  bahwa kitab ilmu Falak yang ditulis oleh ulama Falak nusantara pada priode kedua ini banyak yang merupakan cangkokan dari kitab Mathla’ as-Sa’id fi Hisabat al-Kawakib ‘ala Rashd al-Jadid karangan Husen Zaid al-Mishra dan al-Manahij al-Hamidiyah  karangan Abd al-Hamid Mursy Ghais al-Falaki asy-Syafi’i. Kedua kitab tersebut dibawa ke Indonesia oleh mereka yang menunaikan ibadah haji dan lalu menyempatkan diri untuk belajar di tanah suci dan sampai ke Indonesia kira-kira pada pertengahan abad ke-20. Di antara kitab-kitab karangan ulama Nusantara tersebut adalah kitab al-Khulashah al-Wafiyah karya Zubair Umar al-Jailani yang dicetak pertama kalinya pada 1354H/ 1935M, buku Ilmu Falak dan Hisab dan buku Hisab Urfi dan Hakiki karya K Wardan Dipo Ningrat yang dicetak pada 1957, al-Qawa’id al-Falakiyah karya Abd al-Fatah as-Sayyid ath-Thufi al-Falaki,  dan Badi’ah al-Mitsal karya Ma’shum Jombang (w 1351H/1933M).[17]
Pada tahap selanjutnya kitab-kitab ilmu Falak karya para ulama Indonesia selain menjadikan  Mathla’ as-Sa’id dan al-Manahij al-Hamidiyah sebagai rujukan utamanya juga merujuk karya ulama Indonesia sebelum mereka; yakni para guru mereka (yang telah mempelajari dan mencangkok kitab Mathla’ as-Sa’id dan al-Manahij al-Hamidiyah).  Di antara karya-karya yang dihasilkan adalah Almanak Menara Kudus karya Turaikhan Adjhuri, Nur al-Anwar karya Kyai Noor Ahmad SS Jepara yang dicetak pada 1986, al-Maksuf  karya Ahmad Soleh Mahmud Jauhari Cirebon, Ittifaq Dzat al-Bain karya Muhammad Zuber Abdul Abdul Karim Gresik.
3.   Perkawinan Ilmu Falak dan Astronomi
Pembahasan tentang sejarah perkembangan ilmu Falak modern Indonesia tak lepas dari peran Saadoe'ddin Djambek. Ia lahir di Bukittinggi pada tanggal 24 Maret 1911 M/ 1330 H. Ia wafat di Jakarta pada tanggal 22 November 1977 M/11 Zulhijah 1397 H. Ia merupakan seorang guru serta ahli hisab dan rukyat, putra ulama besar Syekh Muhammad Djamil Djambek (1860-1947M/1277-1367H) dari Minangkabau.[18]
Ia mulai tertarik mempelajari ilmu hisab pada tahun 1929 M/1348 H. pada tahap awal, ia belajar ilmu hisab dari Syekh Taher Jalaluddin yang mengajar di Al-Jami'ah Islamiah Padang tahun 1939 M/1358 H. Pertemuannya dengan Syekh Taher Jalaluddin membekas dalam dirinya dan menjadi awal pembentukan keahliannya di bidang penanggalan. Untuk memperdalam pengetahuannya, ia kemudian mengikuti kursus Legere Akte Ilmu Pasti di Yogyakarta pada tahun 1941-1942 M/1360-1361 H serta mengikuti kuliah ilmu pasti alam dan astronomi pada FIPIA (Fakultas Ilmu Pasti dan Ilmu Alam) di Bandung pada tahun 1954-1955 M/1374-1375 H.[19]
Keahliannya di bidang ilmu pasti dan ilmu Falak dikembangkannya melalui tugas yang dilaksanakannya di beberapa tempat. Pada tahun 1955-1956 M/1375-1376 H menjadi lektor kepala dalam mata kuliah ilmu Pasti pada PTPG (Perguruan Tinggi Pendidikan Guru) di Batusangkar, Sumatra Barat. Kemudian ia memberi kuliah ilmu Falak sebagai dosen tidak tetap di Fakultas Syari'ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (1959-1961 M/1379-1381 H). Sebagai ahli ilmu Falak, ia banyak menulis tentang ilmu Hisab. Di antara karyanya adalah : (1) Waktu dan Djadwal Penjelasan Populer Mengenai Perjalanan Bumi, Bulan dan Matahari (diterbitkan oleh Penerbit Tintamas tahun 1952 M/1372 H), (2) Almanak Djamiliyah (diterbitkan oleh Penerbit Tintamas tahun 1953 M/1373 H), (3) Perbandingan Tarich (diterbitkan oleh penerbit Tintamas pada tahun 1968 M/1388 H), (4) Pedoman Waktu Sholat Sepanjang Masa (diterbitkan oleh Penerbit Bulan Bintang pada tahun 1974 M/1394 H), (5) Sholat dan Puasa di daerah Kutub (diterbitkan oleh Penerbit Bulan Bintang pada tahun 1974 M/1394 H) dan (6) Hisab Awal bulan Qamariyah (diterbitkan oleh Penerbit Tintamas pada tahun 1976 M/1397 H).[20]
Karya yang terakhir ini; Hisab Awal bulan Qamariyah merupakan pergumulan pemikirannya yang akhirnya merupakan ciri khas pemikirannya dalam hisab awal bulan Kamariah. Ia lah yang meletakkan dasar perhitungan awal bulan Kamariah menggunakan hisab yang berdasarkan pada ilmu astronomi di Indonesia.
Satu lagi kontribusi Sa’adoeddin Djambek adalah dalam penentuan koordinat geografis Ka’bah. Sewaktu melaksanakan ibadah haji, ia melakukan pengukuran koordinat geografis Ka’bah. Ia menyatakan bahwa koordinat geografis Ka’bah adalah lintang (Φ) 21° 25’  LU dan bujur (λ) 39° 50’ BT.
Jaringan keilmuan Sa’adoeddin Djambek ini diteruskan oleh muridnya. Di antara muridnya adalah Abdul Rachim dan A Mustadjib. Karya Abdul Rachim antara lain Ilmu Falak yang dicetak pada 1983, Perhitungan Awal Bulan dan Gerhana Matahari sistem Newcomb.
Selanjutnya jajaran ulama yang berkiprah dalam mengembangan ilmu Falak pada priode ini antara lain: M. Taufik.  Ia dan putranya menyusun Win Hisab versi 2.0 pada tahun 1998. Hak lisensinya pada badan Hisab dan Rukyat Kementrian Agama RI. Win Hisab ini dikenal juga dengan Sistem Ephemeris.[21]
Perbedaan dalam ber-Idul Fitri pada tahun 1993, 1993 dan 1994 mendatangkan berkah tersendiri bagi perkembangan ilmu Falak Indonesia. Yakni dengan lahirnya software-software Falak yang praktis dari para ahli Falak. Sofware Falak itu antara lain: Mawaqit oleh ICMI Korwil Belanda pada tahun 1993; yang disempurnakan menjadi Mawaqit versi 2001 oleh Khafid, program Falakiyah Najmi oleh Nuril Fuad tahun 1995, program Astinfo softaware astronomi komersial oleh Zephyr, dan program Badiah al-Mitsal tahun 2000, Ahillah, Misal, Pengetan dan Tsaqib oleh Muhyiddin Khazin pada tahun 2004.[22]

Penetapan awal bulan kamariah di Indonesia, dilaksanakan dalam mekanisme sebuah sidang; yang dikenal dengan sidang Isbat. Sebelum keputusan diambil, para peserta berkesempatan untuk memaparkan hasil perhitungan mereka untuk awal bulan kamariah tersebut.  Acara dilanjutkan dengan mendengarkan hasil rukyatul hilal dari berbagai tempat observasi di Indonesia. Mulai dari hasil observasi dari daerah Indonesia Timur, yang lebih dahulu mengalami ghurub kemudian dilanjutkan dengan daerah di sebelah baratnya, begitulah seterusnya sampai ke daerah paling barat Indonesia; propinsi Aceh Nangroe Darussalam. Berdasarkan laporan keberhasilan rukyah tersebutlah keputusan tentang penetapan awal bulan tersebut diambil pada sesi berikutnya.
Kondisi cuaca Indonesia yang cenderung hujan ataupun berawan sering membuat para ahli Falak merasa was-was. Walaupun posisi hilal tinggi, tapi karena faktor cuaca tadi bisa jadi tidak memungkinkan untuk terlihat. Kalau hilal tidak terlihat prosedurnya dilakukannya istikmal (keesokan harinya merupakan tanggal ketiga puluh dari bulan yang sedang berjalan), padahal secara perhitungan kondisinya sudah tinggi; ketinggian yang memungkinkan untuk berhasil dirukyah. Namun kekhawatiran itu belum pernah benar-benar terjadi di Indonesia. Hal ini karena pada ketinggian hilal yang memenuhi criteria untuk berhasil dirukyat tersebut, ada saja laporan keberhasilan dari berbagai tempat observasi di tanah air .
Pemerintah melalui petugasnya yang diturunkan ke lapangan; tempat observasi melakukan klarifikasi terhadap laporan keberhasilan rukyah anggota Badan Hisab Rukyah. Apakah laporan yang disampaikan tersebut benar secara perhitungan ilmu Falak dan astronomi ataukah yang dilihat oleh yang bersangkutan adalah hilal halusinasi. Bahkan pemerintah pernah menolak laporan keberhasilan rukyatul hilal yang dinilai tidak sesuai dengan kedua ilmu tersebut.

Pendirian Badan Hisab Rukyah

Kementerian Agama yang dulunya bernama Departemen Agama Republik Indonesia didirikan tanggal 3 Januari 1946. Setelah berdirinya Depag, persoalan yang terkait dengan libur Peringatan Hari Besar Islam (PHBI) dan penetapan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah diserahkan dan menjadi kewenangannya. Ini berdasarkan Penetapan Pemerintah tahun 1946 No.2/ Um, 7/Um, 9/Um jo Keputusan Presiden No. 25 tahun 1967, No. 148 tahun 1968 dan No.10 tahun 1971.[23]
Dalam wilayah etis-praktis sampai saat ini penetapan dan  awal bulan Kamariah tersebut belum seragam. Bahkan perbedaan ini menjadi penyebab friksi dan mengusik ukhuwah islamiah di antara umat Islam Indonesia (Susiknan, 1999: 15). Persoalan inilah yang melatarbekangi pendirian sebuah Lembaga yakni Badan Hisab dan Rukyat.
Untuk merealisasikan pendiriannya, maka dibentuklah sebuah tim yang beranggotakan lima orang; mereka berasal dari tiga lembaga. Anggota tim itu adalah: dari unsur Departemen Agama: A Wasit Aulawi, Zaini Ahmad Noeh, dan Sa’adoeddin Djambek, Lembaga Meteorologi dan Geofisika: Susanto, dan Planetarium: Santoso Nitisastro (Susiknan, 1999: 15).[24] Setelah melalui serangkaian rapat, pada tanggal 23 Maret  1972 tim sampai pada kesimpulan:
1.Tujuan dari Lembaga Hisab dan  Rukyat adalah mengupayakan persatuan dalam menentukan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah.
2.Status Lembaga Hisab dan Rukyat adalah resmi (pemerintah) dan berada di bawah Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam yang berkedudukan di Jakarta.
3.Tugas Lembaga Hisab dan Rukyat adalah member saran kepada Menteri Agama dalam penetapan awal bulan Kamariah.
4.Keanggotaan Lembaga Hisab dan Rukyat terdiri dari anggota tetap (inti) dan anggota tersebar. Anggota tetap terdiri dari tiga  unsur, yakni: unsur Departemen Agama, unsur ahli Falak dan Hisab, serta unsur ahli Hukum Islam/Ulama. (Susiknan, 1999: 16).[25]

Hasil rumusan  tersebut lalu diserahkan kepada Direktorat Peradilan Agama. Pada tanggal 2 April 1972 Direktur Peradilan Agama menyampaikan nama-nama anggota; baik anggota tetap maupun anggota tersebar kepada Menteri Agama. Pada tanggal 16 Agustus 1972 dikeluarkan surat Keputusan Menteri Agama no.76 tahun 1972 tentang Pembentukan Badan Hisab dan Rukyat Departemen Agama.
Selanjutnya dengan Surat Keputusan No. 77 tahun 1972 tanggal 16 Agustus 1972 memutuskan susunan personalia Badan Hisab dan Rukyat  Departemen Agama sebagai berikut: Sa’adoeddin Djambek Jakarta sebagai ketua merangkap anggota, Wasit Aulawi MA Jakarta sebagai wakil ketua merangkap anggota, dan Drs Djabir Manshur Jakarta sebagai sekretaris merangkap anggota. Adapun anggotanya adalah: ZA Noeh Jakarta, Drs Susanto LMC Jakarta, Drs Santoso Jakarta, Rodi Saleh Jakarta, Djunaidi Jakarta, Kapten Laut Muhadji Jakarta,  Drs Peunoh Dali Jakarta, dan Syarifudin BA Jakarta.
Adapun anggota tersebar diserahkan penyelesaiannya oleh Direktur Jendral Bimas Islam. Dirjen Bimas Islam dengan surat keputusannya No. D.I/96/P/1973 tanggal 28 Juni 1973 telah menetapkan susunan anggota tersebar Badan Hisab dan Rukyat Departemen Agama sebagai berikut: KH Muchtar Jakarta, KH Turaichan Adjhuri Kudus, K.R.B Tang Soban Sukabumi, KH Ali Yafi Ujung Pandang, KH A Djalil Kudus, KH Wardan Yogyakarta, Drs Abdur Rachim Yogyakata, Ir Basit Wachit Yogyakarta, Ir Muchlas Hamidi Yogyakarta, H Aslam Z Yogyakarta, H Bidran Hadi Yogyakarta, Drs Bambang Hidayat Bandung/ITB, Ir Hamran Wachid Bandung/ITB, KH O.K.A Azis Jakarta, Ustaz Ali Ghozali Cianjur, Banadji Aqil Jakarta, dan Kyiai Zuhdi Usman Nganjuk.
Anggota Badan Hisab Rukyah tersebut terdiri  dari unsur: Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Planetarium, dan Observatorium Jakarta, Observatorium Bosscha Lembang, Dishidros TM AL, Bakosurtanal, dan LAPAN, Perguruan Tinggi, serta perorangan yang ahli (Widiana, 2004: 12).[26]
Badan Hisab dan Rukyat mengupayakan unifikasi dalam menentukan awal bulan Kamariah di Indonesia; terutama  awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah. Namun dalam wilayah etik praktis belum bisa terwujud. Menurut Susikanan Azhari (1999: 19-20): perbedaan tersebut tidak hanya tarik menarik antara mereka yang berpedoman kepada hisab ataupun mereka yang menggunakan rukyat. Akan tetapi problem intern dari masing-masing kalangan tersebut. Kajian hisab misalnya, selama ini lebih bercorak paktis (practical guidance) dan kian melupakan wilayah teoritis-filosofis.
Kehadiran  Badan Hisab dan Rukyat merupakan wadah bagi pemikiran hisab dan rukyat di Indonesia. Akan tetapi menurut Susiknan Azhari (1999: 20): dalam perjalannya badan Hisab dan Rukyat terkungkung oleh rutinitas dan lebih bercorak Bayani ketimbang Burhani. Sudah saatnya Badan Hisab dan Rukyat mengembangkan wilayah teoritis dan filosofis.
Dalam hal ini patut direnungkan pernyataan KH Syukri Ghazali sebagaimana yang dikutip oleh Susiknan Azhari (1999: 21): agar Badan Hisab dan Rukyat Departemen Agama memperhatikan masyarakat Islam Indonesia. Bila masyarakat dipaksa menganut suatu pendapat sebelum ada titik temu dari berbagai pendapat, maka usaha untuk mempersatukan pendapat akan mengalami kegagalan. [27]

Kegiatan Badan Hisab Rukyah antara lain:
1.Menghimpun data dan pendapat  serta melakukan musyawarah  menelang dan saat siding isbat awal  Ramadan, Syawal, dan Zulhijah.
2.Melakukan temu kerja (muker) dan musyawarah untuk  menentukan data hisab bagi  kepentingan rukyah dan penetapan awal bulan Kamariah. Termasuk juga penentuan hari-hari libur nasional yang berhubungan dengan PHBI. Temu kerja ini diadakan setiap tahun.
3.Mengadakan musyawarah dan rukyah bersaa dengan Negara-negara: Malaysia, Brunei Darussalam,  dan Singapura (Mabims).
4.Melakukan konsultasi dengan  Majlis Ulama Indonesia, terutama dalam menghadapi situasi kritis.
5.Mengadakan pelatihan yang  diikuti oleh unsur  instansi peerintah dan masyarakat (pesantren dan ormas).
6.Melakukan kajian terhadap system dan referensi hisab yang berkembang di masyarakat. Kemudian menusun suatu system dan data hisab untuk digunakan oleh semua pihak. Sistem dan data yang dimaksud adalah Ephemeris Hisab Rukyat[28].
7.Menerbitkan  Takwim Standar  Indonesia setiap tahunnya. Takwim ini memuat penanggalan hijriah yang telah disepakati oleh temu kerja BHR.
8.Melakukan rukyat bersama ;  baik untuk kepentingan penentuan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijjah maupun pada awal-awal bulan lainnya.
9.Melakukan observasi gerhana sebagai  pengecekan hasil hisab [29] (Widiana, 2004: 12-14).

Kriteria Visibilitas Hilal/ Imkanurrukyah Pemerintah

Kriteria visibilitas hilal ditentukan berdasarkan keberhasilan pengamatan hilal secara empiris. Kriteria dasar yang dapat digunakan berdasarkan pengamatan dan model teoritik adalah limit Danjon, bahwa hilal tidak mungkin teramati bila jarak sudut bulan-matahari kurang dari 7o .[30] Hal ini disebabkan oleh batas kepekaan mata manusia yang tidak mungkin melihat “tanduk” sabitnya hilal yang lebih redup dari ambang batas kepekaan mata manusia. Pada jarak sudut bulan-matahari  sedikit lebih dari 7o, hilal mungkin hanya tampak sebagai goresan tipis, tanpa tanda-tanda lengkungan sabit. Bila kurang dari 7o, sama sekali mata rata-rata manusia tidak bisa menangkap cahaya hilal tersebut.[31]
Kriteria lain di antaranya dikembangkan oleh Mohammad Ilyas dari IICP (International Islamic Calendar Programme), Malaysia. Kriteria visibilitas hilal yang dirumuskan IICP (dengan sedikit modifikasi: bukan nilai rata-rata yang diambil sebagai kriteria, tetapi nilai minimumnya) terbagi menjadi tiga jenis, tergantung aspek yang ditinjau.[32] :
1.Kriteria posisi bulan dan matahari: beda tinggi bulan-matahari minimum agar hilal dapat teramati adalah 4o bila beda azimut bulan - matahari lebih dari 45o , bila beda azimutnya 0o perlu beda tinggi > 10,5o.
2.Kriteria beda waktu terbenam: sekurang-kurangnya bulan 40 menit lebih lambat terbenam daripada matahari dan memerlukan beda waktu lebih besar untuk daerah di lintang tinggi, terutama pada musim dingin.
3.Kriteria umur bulan (dihitung sejak ijtimak): hilal harus berumur lebih dari 16 jam bagi pengamat di daerah tropik dan berumur lebih dari 20 jam bagi pengamat di lintang tinggi. [33]

Kriteria IICP sebenarnya belum final, mungkin berubah dengan adanya lebih banyak data. Visibilitas berdasarkan umur bulan dan beda posisi tampaknya kuat dipengaruhi jarak bulan-bumi dan posisi lintang ekliptika bulan, bukan hanya faktor geografis. Rekor pengamatan hilal termuda bisa dijadikan bukti kelemahan kriteria beda posisi dan umur hilal. Rekor keberhasilan pengamatan hilal termuda tercatat pada umur hilal 13 jam 24 menit yang teramati pada tanggal 5 Mei 1989 (6 Mei 01:10 UT) di Houston, Amerika Serikat.[34]
Mengenai kriteria imkanurrukyah dalam penetapan awal bulan hijriah yang dikembangkan oleh pemerintah, sebagaimana disepakati dalam persidangan hilal Negara-negara Islam se-dunia  di Istanul Turki 1978 dengan ketentuan sebagai berikut:
1.Tinggi hilal tidak kurang dari 5 derajat dari ufuk barat
2.Jarak sudut hilal ke matahari tidak kurang 8 derajat
3.Umur hilal tidak kurang dari 8 jam setelah ijtimak terjadi.[35]

Namun demikian ketentuan ini sering mengalami penyesuaian berdasarkan faktor geografis dan kesulitan teknis lainnya. Seperti Negara-negara serumpun Indonesia, Malasyia, Brunai Darussalam, dan Singapura (MABIMS) 1990 bersepakat untuk menyatukan kriteria kebolehtampakan hilal dengan ketentuan yang berdasarkan kriteria Turki dan penggabungan hisab rukyah, yaitu sebagai berikut:
1.Tinggi hilal tidak kurang dari 2 derajat
2.Jarak sudut hilal ke matahari tidak kurang 3 derajat
3.Umur hilal tidak kurang dari 8 jam setelah ijtimak terjadi.[36]

Kriteria ini juga yang disepakati dalam sidang komite penyatuan kalender Hijriah ke-8 yang diselenggarakan oleh Departemen Kehakiman Saudi Arabia 7-9 Nopember 1998 di Jeddah. Indonesia pada saat itu mendelegasikan Taufiq dan Abdur Rahim. Akan tetapi dalam prakteknya kriteria tersebut tidak dapat disepakati sebagaimana Turki yang tetap menggunakan 8 derajat atau International Islamic Calendar Program (IICP) dengan kriteria 4 derajat.
Sebenarnya terdapat korelasi antara ketentuan Turki dan yang disepakati oleh MABIMS yaitu apabila ketinggian hilal di negara-negara ASEAN mencapai 2 derajat, maka ketinggian itu akan menjadi 5 derajat di Negara-negara sekitar laut tengah dan ketinggian itu akan semakin bertambah di negara-negara sekitar laut tengah.[37]
Kriteria imkanurrukyah sebenarnya adalah titik temu yang paling baik antara semua praktisi hisab dan rukyah di Indonesia. Kriteria ini dibuat dari perpaduan data rukyat dan data hisab. Walaupun kriteria yang digunakan di Indonesia lebih rendah dari kriteria Internasional, sebagai langkah awal itu sudah cukup baik. Kriteria itu harus terus disempurnakan.
Pada bulan Maret 1998 para ulama ahli hisab rukyah Indonesia dan para perwakilan masyarakat Islam mengadakan pertemuan yang membahas tentang kriteria imkanurrukyah Indonesia dan menghasilan keputusan sebagai berikut:
1.Penentuan awal bulan kamariah didasarkan pada sistem hisab hakiki tahkiki dan atau rukyah.
2.Penentuan awal bulan kamariah yang terkait dengan pelaksanaan ibadah mahdhah yaitu awal ramadhan, syawal dan dzulhijjah ditetapkan dengan memperhitungkan hisab hakiki tahkiki dan rukyah.
3.Kesaksian rukyah hilal dapat diterima apabila ketingian hilal 2 derajat dan jarak ijtimak ke ghurub matahari minimal 8 jam.
4.Kesaksian rukyah hilal dapat diterima apabila ketingian hilal kurang dari 2 derajat maka awal bulan didasarkan istikmal.
5.Apabila ketinggian hilal 2 derajat atau lebih awal bulan dapat ditetapkan.
6.Kriteria imkanurrukyah tersebut akan diadakan penelitian lebih lanjut.
7.Menghimbau kepada seluruh pimpinan organisasi kemasyarakatan Islam untuk menyosialisasikan keputusan ini.
8.Dalam pelaksanaan sidang itsbat, pemerintah mendengarkan pendapat-pendapat dari organisasi kemasyarakatan Islam dan para ahli[38].

Di Indonesia, Selama ini belum ada penelitian sistemik tentang kriteria visibilitas hilal berdasarkan data-data rukyatul hilal. Departemen Agama RI menggariskan yang biasa digunakan di Indonesia adalah kriteria imkanurrukyah MABIMS di atas. [39]Menurut para astronom, kriteria visibilitas hilal tersebut lebih rendah dari pada yang telah mereka tentukan.
Kriteria visibilitas ini ditentukan berdasarkan keberhasilan pengamatan hilal. Kriteria dasar yang dapat digunakan yang berdasarkan pengamatan dan model teoritik adalah limit Danjon: hilal tidak mungkin dapat diobservasi bila jarak sudut bulan-matahari kurang dari 7°. Hal ini dikarenakan oleh batas kepekaan mata manusia yang tidak mungkin melihat ujung sabitnya sabitnya hilal yang lebih redup dari ambang batas kepekaan mata manusia. Pada jarak sudut bulan-matahari lebih sedikit dari 7°, hilal hanya mungkin tampak sebagai goresan tipis, tanpa adanya lengkungan sabit. Bila kurang dari 7°, mata rata-rata manusia tidak dapat menangkap cahaya hilal tersebut. [40]
Ada kriteria lain yang dikembangkan oleh Mohammad Ilyas dari IICP (International Islamic Calendar Programme), Malaysia. Kriteria yang dirumuskannya (dengan sedikit modifikasi: bukan nilai rata-rata yang diambil sebagai kriteria, tapi nilai minimumnya) terbagi menjadi tiga jenis, tergantung aspek yang ditinjau:
1.Posisi matahari dan bulan: beda tinggi matahari-bulan minimum agar hilal yang bisa terobservasi adalah 4° bila beda azimuth matahari-bulan lebih dari 45°, bila beda azimuthnya 0° perlu beda tinggi > 10,5°.
2.Beda waktu terbenam: sekurang-kurangnya bulan 40 menit lebih lambat terbenam daripada matahari dan memerlukan beda waktu lebih besar untuk daerah di lintang tinggi, terutama pada musim dingin.
3.Umur bulan (dihitung sejak ijtimak): hilal harus berumur lebih dari 16 jam bagi pengamat di daerah tropik dan berumur lebih dari 20 jam bagi pengamat di lintang tinggi.[41]
    
Kriteria Mohammad Ilyas ini sebenarnya belum final, mungkin berubah dengan data yang lebih banyak. Visibilitas berdasarkan umur bulan dan beda posisi, tampaknya kuat dipengaruhi jarak bulan-bumi dan posisi lintang ekliptika bulan, bukan hanya faktor geografis. Rekor pengamatan hilal termuda bisa dijadikan bukti kelemahan kriteria beda posisi dan umur hilal. Rekor keberhasilan pengamatan hilal termuda tercatat pada umur hilal 13 jam 24 menit yang teramati pada tanggal 5 Mei 1989 (6 Mei 01:10 UT) di Houston, Amerika Serikat (Durani, 1989).
Data observasi hilal diambil T Djamaluddin dari kumpulan keputusan Menteri Agama Tentang penetapan tanggal 1 Ramadan dan 1 Syawal 1381-1418 H/ 1962-1997 M.[42] Dalam selang waktu tersebut ada 38 laporan observasi hilal. Dalam kumpulan data tersebut yang dianalisis adalah waktu pengamatan (meliputi tanggal dan jam), jumlah lokasi pengamatan, dan jumlah pengamat. Data-data tersebut kemudian dikomperkan dengan data astronomis bulan, planet Mars dan Venus pada saat matahari terbenam dengan menggunakan perangkat lunak Astro Info (Zephyr, Servise, 1989).
Data astronomis yang dikomperkan meliputi sudut waktu matahari saat terbenam di lokasi pengamatan (tm), sudut waktu bulan saat terbenam matahari (bulan baru, tb),  waktu terjadinya ijtimak, serta tinggi dan azimut matahari dan bulan pada saat matahari terbenam. Dari data tersebut dapat dihitung umur bulan (tm-tb), beda tinggi bulan matahari, beda azimut bulan-matahari, serta jarak sudut bulan-matahari.
Guna meminimalisir efek kesalahan observasi tersebut, dibutuhkan analisis awal untuk mengklasifikasi data berdasar kriteria berikut:
1.Kriteria primer: pada sudut beda tinggi bulan-matahari kurang dari 4o (kriteria menurut Ilyas, 1988), perlu mempertimbangkan hasil pengamatan yang dilakukan oleh tim observator lain di tiga atau lebih tempat berbeda. Data yang diinformasikan oleh tim-tim observator tersebut mimimal harus terdiri dari data lengkap tentang waktu pengamatan. Data tersebut digunakan untuk dikomperkan dengan data terbenam matahari dan bulan. Apabila dilaporkan bahwa hilal dapat terlihat pada waktu hilal sudah terbenam, maka laporan tersebut harus ditolak.
2.Kriteria sekunder: pada saat planet venus dan merkurius berdekatan dengan bulan, cahaya terang dari planet-planet tersebut sangat menggangu  saat observasi hilal. Dalam kasus ini para observator hilal sering terkecoh dengan visibilitas planet mars dan merkurius. Oleh karena itu, informasi penampakan hilal pada kasus ini harus ditolak. 

Berdasarkan data dari kumpulan keputusan Menteri Agama di atas, ternyata banyak teori-teori tentang visibilitas hilal yang tidak sesuai dengan kenyataan. Misalkan saja menurut teori limit Danjon yang menyatakan bahwa hilal hanya dapat terlihat bila jarak bulan-matahari lebih dari 7­o (Shaefer, 1991), pada kenyataannya hilal dapat terlihat pada saat jarak bulan-matahari minimum 3,2o. Demikian juga teori kriteria Ilyas yang menyatakan bahwa hilal dapat dapat terlihat bila umur bulan minimum 16 jam. Namun ternyata teori tersebut terpatahkan oleh data dari Menteri Agama yang mencatat bahwa umur bulan minimum 4,3 jam sudah dapat terlihat.  Kriteria beda jarak tinggi bulan-matahari  minimum 1o untuk beda azimut 5o dan tinggi beda jarak 4o untuk beda azimut 0o, inipun berbeda dengan teori kriteria Ilyas yang menyatakan lebih tinggi dari data Menteri Agama.[43]
Problematika penentuan awal bulan Hijriah ada kemungkinan terpecahkan bila menggunakan metode peminimalisiran faktor-faktor kesalahan  pada observasi hilal, khususnya pada bulan Sya’ban, Ramadan, dan Syawal. Terbukti selain ketiga bulan ini laporan pengamatan hilal lebih sedikit. Salah satu faktor kesalahan yang sering terjadi dalam pengamatan hilal adalah kesalahan dalam mengidentifikasi hilal, yakni anggapan terhadap benda non hilal sebagai hilal.  Faktor kesalahan diharapkan dapat diminimalisir dengan menerapkan eliminasi terhadap data-data yang sudah diperkirakan salah menurut kaidah umum. Faktor kesalahan dalam pengamatan hilal bisa meliputi kesalahatan karena perbedaan tempat pengamatannya dan kesalahan karena keserupaan benda lain dengan hilal. Faktor kesalahan yang pertama dapat diantisipasi dengan mempertimbangkan hasil observasi lebih dari tiga tempat dengan batasan waktu dikonfirmasikannya hasil observasi sesuai dengan tempat pengamatan masing-masing. Konfirmasi tidak dapat diterima apabila dikatakan hilal tampak pada waktu yang melebihi waktu perkiraan hilal dibawah ufuk. faktor kesalahan yang kedua dapat diantisipasi dengan menyisihkan data pengamatan ketika planet venus dan merkurius berada pada posisi dekat dengan bulan.[44] 
Jarak sudut bulan-matahari minimum sekitar 5o dan jarak antara ijtimak dan waktu observasi sekitar 7 jam. Sedangkan beda tinggi bulan-matahari minimum sekitar 3o (tinggi hilal 2o dari ufuk, karena tinggi matahari saat terbenam -50o) untuk beda azimut 6o. Untuk beda azimut sekitar 0o, beda tingginya lebih dari 9o. Ini lebih mendekati kriteria Ilyas walaupun masih lebih rendah.
Hasil yang bisa menggambarkan kriteria tampaknya hilal yang ada di Indonesia ialah:
a.Jarak antara ijtimak dengan waktu observasi adalah 8 jam.
b.Jarak sudut bulan-matahari minimum 5,6o.
Beda azimut antara antara hilal-matahari mempengaruhi beda kriteria tinggi minimum hilal. Untuk beda azimut sekitar 6o jarak bulan-matahari minimum 3o (tinggi hilal sekitar 2o). Untuk beda azimut <6 sup="">o
berlaku pendekatan  t > 0.14 a2 – 1.83 a + 9.11, dengan t: beda tinggi bulan matahari dan a: beda azimut. Untuk beda azimut 0o, jarak minimum bulan-matahari 9.1o (tinggi hilal sekitar 8o) (dengan mempertimbangkan juga rekor bulan termuda 8o, di Cicco 1989 dan Durani 1989).[45]


Catatan Akhir

Berikut ini beberapa catatan penulis terkait penentapan awal buan Kamariah di Indonesia:
1.Kriteria visibilitas hilal pemerintah tersebut lebih rendah daripada kriteria yang diakui para astronom. Sehingga dianggap tidak realistik; tidak sesuai dengan fakta ilmiah hasil pengamatan hilal. Demikian juga untuk dijadikan sebagai pedoman dalam pengamatan hilal di lapangan. Hal inilah yang menyebabkan Muhammadiyah sebagai salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia, belum bersedia menggunakan kriteria tersebut. Kriteria yang digunakan Muhammadiyah adalah wujudul hilal (wujudnya hilal di atas ufuk). [46]
2.Selanjutnya, akan dikaji permasalahan pengkategorian metode hisab penentuan awal bulan  Kamariah versi Kementerian Agama. Kementerian Agama yang dulunya bernama Departemen Agama telah mencoba melakukan pengklasifikasian kitab-kitab ilmu Falak karya ulama Indonesia terkait dengan perhitungan penetapan awal bulan Kamariah ke dalam beberapa kategori sesuai dengan tingkat akurasi penghitungannya. Secara garis besar, perhitungan hisab rukyat awal bulan itu ada dua, yakni hisab Urfi dan Hakiki. Hisab Hakiki itu didasarkan pada peredaran bulan yang sebenarnya; dibagi lagi menjadi tiga tingkatan. Pertama, hisab hakiki Taqribi;  metode yang tingkat akurasi penghitungannya rendah. Kedua, hisab hakiki Tahqiqi; metode yang tingkat akurasi penghitungannya sedang, dan ketiga, hakiki kontemporer; metode yang tingkat akurasi penghitungannya tinggi. Pemilahan ini usulan M. Taufik dalam forum seminar sehari ilmu Falak tanggal 27 April 1997 di Tugu, Bogor, Jawa Barat.[47] Berdasarkan klasifikasi metode hisab dalam forum di atas, maka kitab Sullam an-Nayyirain karya Muhammad Manshur bin Abdul Hamid bin Muhammad Damiri, Qawa’id al-Falakiah karya Abdul Fatah ath-THuhi dan Fath ar-Rauf al-Mannan karya Abu Hamdan Abdul Jalil adalah tergolong hisab Hakiki Taqribi. Metode hisab Sullam an-Nayyirain yang termasuk dalam metode hisab Tradisional masih termasuk sistem/metode penentuan awal bulan Kamariah yang diakomodir oleh Kementerian Agama dalam sidang isbat penetapan awal bulan Ramadan, Syawal, dan Zulhijah setiap tahunnya sampai sekarang. Untuk memahami permasalahan  ini, tentu diperlukan penjelasan, argumentasi, dan pendapat lebih mendalam para ahli hisab rukyah di balik eksisnya perhitungan awal bulan Kamariah menggunakan sistem hisab rukyah kitab Sullam an-Nayyirain ini. Menurut penganut sistem ini, metode Sullam an-Nayyirain adalah  hasil ijtihad Manshur al-Batawi; al-ijtihad la yunqadu bi al-ijtihad. Muhyiddin Khazin menyatakan bahwa tetap dijadikannya  kitab Sullam an-Nayyirain sebagai salah satu rujukan dalam penetapan awal bulan Kamariah adalah untuk mengakomodir anggota masyarakat--jumlah mereka cukup banyak--yang berpedoman kepada kitab tersebut. Ia menambahkan bahwa pernah mengusulkan pada ahli waris pengarang kitab tersebut untuk melakukan perobahan agar perhitungannya akurat tetapi usulan ini ditolak oleh mereka. Biarkanlah kitab Sullam an-Nayyirain sebagaimana adanya.[48]
Menurut penulis seharusnya Kementerian Agama hanya mengakomodir hasil perhitungan awal bulan Kamariah metode Hisab yang akurat sebagai masukan dalam pelaksanaan sidang isbat penetapan awal bulan Ramadan, Syawal, dan Zulhijah. Karena tetap mengakomodir metode hisab yang sudah tidak akurat adalah sikap ambigu Kementerian Agama. Sikap ini bukan berarti kurang atau bahkan mungkin dikatakan tidak menghargai khazanah ilmu Falak Tradisional yang telah begitu berjasa dalam penetapan awal bulan Kamariah di Indonesia. Para ahli Falak Tradisional dari kalangan pesantren tetap diundang pada acara sidang isbat untuk urun rembuk dalam penetapan awal bulan Kamariah tersebut dan upaya unifikasi takwim nasional. Permasalahan penetapan awal bulan Kamariah bukan hanya masalah sains tentang perhitungan awal bulan Kamariah saja tapi juga terkait dengan pemahaman terhadap dalil Syar’i dalam masalah terkait. Perlu adanya kesatuan pemahaman guna mewujudkan unifikasi takwim nasional.[49]
Kiranya permasalahan ini didekati dengan pendekatan  perkembangan ilmu pengetahuan. Pendekatan ini dalam kerangka memposisikan suatu metode hisab secara porposional dalam pemetaan sejarah ilmu Falak di Indonesia. Sehingga kita akan memposisikan metode hisab Tradisional dan metode hisab Semi Modern sesuai dengan perkembangan ilmu Falak dan menjawab persoalan umat pada masanya. Bukan secara serta merta menyatakan penyejajaran ataupun  hanya melihat ketertinggalannya dari perkembangan ilmu Hisab Modern. Ilmu Falak Tradisional dan Semi Modern merupakan landasan, dasar, pijakan awal untuk merumuskan sistem hisab Modern yang lebih akurat.

Penutup

Pemerintah kiranya harus mendorong dan menggalakkan penelitian dalam bidang ilmu Falak; baik itu ilmu Falak Modern yang berbasis Astronomi maupun khazanah ilmu Falak tradisional. Penelitian khazanah ilmu Falak Tradisional tujuannya bukan untuk bernostalgia tentang kejayaan ilmu Falak di masa lampau, tetapi merupakan pijakan untuk pengembangan ilmu Falak di masa mendatang termasuk yang berkaitan dengan penetapan awal bulan Kamariah di Indonesia.


Daftar Pustaka

Azhari, Susiknan, Pembaharuan Pemikiran Hisab di Indonesia, Jogjakarta: Pustaka Pelajar, cet.ke-1, 2002

____________, Ilmu Falak Teori dan Praktek, Jogjakarta: Lazuardi, Cet-ke-1, 2001

____________, Ilmu Falak Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2007, Cet. Ke-2

____________,, Tokoh-Tokoh Falak di Indonesia: Saadoe'ddin Djambek,  http://bimasislam.depag.go.id diakses pada tanggal 5 Maret 2009

____________,Sa’adoeddin Djambek (1911-1977) dalam Sejarah Pemikiran Hisab Di Indonesia, Yogyakarta: Proyek PTA IAIN Sunan Kalijaga, 1998/1999

____________ dan Ibnor Azli Ibrahim, Kalender Jawa Islam: Memadukan Tradisi dan Tuntutan Syar'i dalam Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 42 No. I, 2008. http://ern.pendis.kemenag.go.id/DokPdf/jurnal/07-susiknan.pdf diakses pada tanggal 5 Maret 2009

Badan Hisab Rukyat Depag, Almanak Hisab Rukyat, Jakarta: Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1981

Dawanas, Djoni N., Mimbar Hukum: Aktualisasi Hukum Islam No.14 Tahun V, Kemungkinan penampakan Hilal Untuk Penentuan Awan Ramadan dan Syawal 1414H, Ditbinbapera: 1994

Depag RI,  Pedoman Tehnik Rukyat, Jakarta: Depag RI, 1994

Ditbinbapera, “Kebijaksanaan Pemerintah Indonesia dalam Menyikapi Permasalahan Hisab Rukyat di Tingkat Nasional dan Internasional”, Pertemuan Tokoh Pemuka Agama Islam dalam Rangka Peningkatan Pelaksanaan Hisab Rukyat (PTA Jabar), Bandung 1-3 Agustus 2000.

Fathurohman SW, Oman,  Kalender Muhammadiyah, Power point disampaikan pada Musyawarah Ahli Hisab Muhammadiyah, Yogyakarta,  29-30 Juli 2006

Ilyas, M, “Limiting Altitude Separation in the New Moon’s Visibility Criterion”, Astron. & Astrophys., Vol. 206, 1988

____________ dan Khalid-Taib, “Pengantarbangsaan Kalender Islam”, Univ. Sains Schaefer, BE 1991, “Length of the Lunar Crescent”, Q. J. R. Astron. Soc., Vol. 32, 1989

Izzuddin, Ahmad,  Fiqh Hisab Rukyah Indonesia: Sebuah Upaya Penyatuan Madzhab Hisab Dan Madzhab Rukyah, Yogyakarta: Logung Pustaka, 2003

____________, Ilmu Falak Praktis (Metode Hisab Rukyat Praktis dan Solusi Permasalahannya), Semarang: Komala Grafika, 2006

Khazin,  Muhyiddin, Materi Pembukaan dan Pengarahan  pada Pelatihan Hisab Rukyah Tingkat Nasional, Ponpes Setinggil, Kriyan Kalinyamatan Jepara pada tanggal 26-29 Desember 2008M/ 28 Dzulhijjah- 1 Muharram 1430 H

____________,  Ilmu Falak Dalam Teori dan Praktik. Yogyakarta: Buana Pustaka, 2008

Schaefer, BE, “Length of the Lunar Crescent”, Q. J. R. Astron. Soc., Vol. 32,1991


T. Djamaluddin, Visibilitas Hilal Di Indonesia, makalah perkuliahan Fiqh Hisab Rukyah di IAIN Wali Songo, 6 November 2009

Wahid, B, “Mengapa Muhammadiyah Menetapkan 1 Syawal 1418 H Jatuh hari Kamis?”, Pikiran Rakyat, Februari 1998.

Wahyu Widiana,  “Pelaksanaan Rukyatul Hilal di Indonesia“ dalam Selayang Pandang Hisab Rukyat, Jakarta: Ditjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2004

Wawancara dengan Noor Ahmad SS, Jepara, 28 Desember 2008

Wahbah az- Zuhaili, tt, al-Fiqh al-Islami  wa Adillatuh, Jilid III, Dimsyiq: Dar al-Fikr

Wahyu Ima Sumantri, Manhaj Penyatuan Kalender Muslimin, dalam www. Imran Kuzsa.com diakses pada tanggal 5 Maret 2009.







[1] Wahbah az- Zuhaili, tt, al-Fiqh al-Islami  wa Adillatuh, Jilid III, Dimsyiq: Dar al-Fikr, h. 1656
[2] Ibid
[3] Ibid
[4] Depag, 1994, Pedoman Tehnik Rukyat, Jakarta: Depag RI, h. 2
[5] Ibid, h. 2-3
[6] Ijtimak/ konjungsi/ iqtiran/ pangkreman yaitu apabila Matahari dan Bulan berada pada kedudukan/bujur astronomi yang sama. Dalam astronomi dikenal dengan istilah konjungsi (conjunction) dan dalam bahasa Jawa disebut pangkreman. Ijtimak  dalam ilmu hisab dikenal juga dengan istilah ijtima’  an-nayyirain. Ijtimak itu adakalanya terjadi setelah Matahari terbenam dan pada waktu yang lain terjadi sebelum matahari terbenam. Ijtimak setelah Matahari terbenam, posisi hilal masih di bawah ufuk dan pasti tidak dapat dirukyah. Adapun apabila ijtimak terjadi sebelum matahari terbenam ada tiga kemungkinan, yaitu:
a.Hilal sudah wujud di atas ufuk dan mungkin bisa dirukyah.
b.Hilal sudah wujud di atas ufuk dan tidak mungkin bisa dirukyah.
c.Hilal belum wujud di atas ufuk/masih di bawah ufuk  dan pasti tidak mungkin bisa dirukyah.
[7] Badan Hisab dan Rukyat. Dep. Agama Pusat, Almanak Hisab Rukyat. Jakarta: Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama  Islam , 1981, h.  99
[8] Susiknan Azhari, Ilmu Falak Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2007, Cet. Ke-2, h. 109
[9] Misalnya Muhammadiyah dalam hal ini memilih posisi Bulan dan Matahari terhadap ufuk sebagai tanda awal bulan, yakni apabila Matahari lebih dulu terbenam daripada Bulan setelah sebelumnya telah terjadi ijtimak. Inilah yang dikenal dengan wujudul hilal. Kata hilal pada kata wujudul hilal, dengan demikian, bukan hilal dalam arti visual sebagaimana ditunjukkan dalam hadis-hadis Nabi saw. melainkan hilal dalam arti konsepsual, yakni bagian permukaan Bulan yang tersinari Matahari menghadap ke Bumi. Atau lebih tepat lagi, istilah itu harus diartikan Matahari sudah terlampaui oleh Bulan dalam peredarannya dari arah barat ke timur; pembatasnya adalah ufuk. Oman Fathurohman SW,  Kalender Muhammadiyah, Power point disampaikan pada Musyawarah Ahli Hisab Muhammadiyah, Yogyakarta,  29-30 Juli 2006
[10]  Wahyu Widiana, “Penentuan Awan Bulan Qomariyah Dan Permasalahannya di Indonesia”, dalam Depag RI, Hisab Rukyat dan Perbedaannya, Jakarta: Depag RI,  2004, h.  25.
[11] Ibid
[12] Depag RI , Pedoman, op.cit, h. 2.
[13] Ibid, h. 2-3.
[14] Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak Dalam Teori dan Praktik. Yogyakarta: Buana Pustaka, 2008, h. 28-29.
[15] Azhari, Ilmu Falak, op.cit, h. 10.
[16] Ibid.
[17] Mohammad Murtadho, Ilmu Falak Praktis. Cet.I. Malang: UIN Malang Press 2008, h. 29.
[18] Susiknan Azhari, Tokoh-Tokoh Falak di Indonesia: Saadoe'ddin Djambek,  http://bimasislam.depag.go.id diakses pada tanggal 5 Maret 2009.
[19] Ibid.
[20] Ibid.
[21] Khazin,  op.cit, h. 36-37.
[22] Ibid, h. 37.
[23] Susiknan Azhari, Sa’adoeddin Djambek (1911-1977) dalam Sejarah Pemikiran Hisab Di Indonesia, Yogyakarta: Proyek PTA IAIN Sunan Kalijaga, 1998/1999, h.  14
[24] Ibid, h. 15
[25] Ibid, h. 16
[26] Widiana, Penentuan, op.cit, h. 12
[27] Susiknan, Sa’adoeddin, op.cit, h. 21
[28]Sistem ini menyajikan data astronomis Bulan dan Matahari haran, bahkan tiap jamnya. System ini disebar dan disosialisasikan kepada seluruh Pearadilan Agama, beberapa pesantren, serta para peminat hisab rukyat.
[29] Gerhana Matahari terjadi pada saat ijtmak atau konjungsi. Konjungsi adalah peristiwa astronomis pada saat bulan dan matahari berada pada bujur astronomi yang sama.
[30] Schaefer, BE, “Length of the Lunar Crescent”, Q. J. R. Astron. Soc., Vol. 32,1991,  h. 265
[31] T. Djamaluddin, Visibilitas Hilal Di Indonesia, makalah perkuliahan Fiqh Hisab Rukyah di IAIN Wali Songo, 6 November 2009
[32] Ilyas, M. “Limiting Altitude Separation in the New Moon’s Visibility Criterion”, Astron. & Astrophys., Vol. 206, 1988, h. 133 dan Ilyas, M dan Khalid-Taib, M, “Pengantarbangsaan Kalender Islam”, Univ. Sains Schaefer, 1989
 [33] Djamaluddin, loc.cit
[34] Ibid
[35] Wahyu Ima Sumantri, Manhaj Penyatuan Kalender Muslimin, dalam www. Imran Kuzsa.com diakses pada tanggal 5 Maret 2009.
[36] Ibid.
[37] Lihat selengkapnya dalam laporan hasil sidang komite penyatuan kalender hijriah ke 8 di Jeddah, Saudi Arabia, 7-9 Nopember 1998.
[38] Hasil musyawarah ulama ahli hisab rukyah dan ormas Islam tentang kriteria imkanurrukyah yang dilaksanakan pada tangal 24-26 Maret 1998/ 25-27 Dzulqo’dah 1418 H di hotel USSU Cisarua bogor, sebagaimana dinukil oleh Ahmad Izzuddin, Fiqh Hisab Rukyah Indonesia: Sebuah Upaya Penyatuan Madzhab Hisab Dan Madzhab Rukyah, Yogyakarta: Logung Pustaka, 2003, hlm. 80-81.
[39] Ditbinbapera, “Kebijaksanaan Pemerintah Indonesia dalam Menyikapi Permasalahan Hisab Rukyat di Tingkat Nasional dan Internasional”, Pertemuan Tokoh Pemuka Agama Islam dalam Rangka Peningkatan Pelaksanaan Hisab Rukyat (PTA Jabar), Bandung 1-3 Agustus 2000.
[40] Schafer, 1991
[41] Ilyas, loc.cit,  Ilyas dan Khalid-Taib, loc.cit,  Djamaluddin, loc.cit
[42] Ditbinpera, loc.cit
[43] Ibid
[44] Ibid
[45] Ibid
[46] Ibid dan Wahid, B. 1998, “Mengapa Muhammadiyah Menetapkan 1 Syawal 1418 H Jatuh hari Kamis?”, Pikiran Rakyat, Februari 1998.
[47]Ahmad Izzuddin,  Ilmu Falak Praktis (Metode Hisab Rukyat Praktis dan Solusi Permasalahannya), Semarang: Komala Grafika, 2006, h.  135-136.
[48] Muhyiddin KhazinMateri Pembukaan dan Pengarahan  pada Pelatihan Hisab Rukyah Tingkat Nasional, Ponpes Setinggil, Kriyan Kalinyamatan Jepara pada tanggal 26-29 Desember 2008M/ 28 Dzulhijjah- 1 Muharram 1430 H
[49] Ironisnya di Indonesia juga terdapat pengamal hisab Urfi. Dalam penetapan awal bulan yang mengemuka di Indonesia, dalam hal ini penetapan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah kerap terdapat perbedaan antara penanggalan berdasarkan perhitungan secara Urfi dengan hasil putusan pemerintah dalam sidang Isbatnya. Patokan pemerintah dalam penetapan sidang Isbat adalah posisi hilal yang sebenarnya sebagai pertanda masuknya awal bulan berdasarkan perhitungan visibilitas hilal; imkanur rukyah yang dikuatkan dengan hasil rukyatul hilal. Berdasarkan hisab Hakiki, ketentuan masuknya awal bulan itu tergantung posisi hilal. Apabila menurut hasil perhitungan hisab pada tanggal 29 bulan yang sedang berlangsung, ketinggian hilal memungkinkan untuk dirukyah (imkanur rukyah)—dalam hal ini pemeritah kita  mengikuti kriteria yang disepakati MABIMS (Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura), yakni ketinggian hilal minimal 2˚, elongasi minimal 3˚, dan umur hilal minimal 8 jam; maka itu pertanda masuknya awal bulan berikutnya. Besok hari adalah tanggal satu bulan yang baru. Namun apabila belum memenuhi kriteria tersebut, maka besok harinya merupakan hari terakhir (tanggal 30)  dari bulan yang sedang berjalan.  Dengan demikian ketentuan tentang umur suatu bulan sangat bergantung pada visibilitas hilal awal bulan tersebut. Kenyataannya umur bulan itu tidak mesti berselang-seling antara 30 dan 29 hari untuk bulan ganjil dan genap. Bisa saja umurnya justru sebaliknya 29 dan 30 hari. Bisa juga umur bulan itu berturut-turut 29 atau berturut-turut 30 hari.  Itulah logikanya yang kadang menjadikan perhitungan yang berdasarkan hisab Urfi ini terkadang berbeda dengan kenyataan; yang didasarkan pada perhitungan yang berdasarkan hisab Hakiki. Misalnya untuk perhitungan tanggal 1 Syawal, berdasarkan hisab Urfi, Ramadan itu selalu berumur 30 hari (karena merupakan bulan ganjil—bulan ke-9). Pada hal bisa jadi kenyataannya berdasarkan hisab Hakiki, umur Ramadan itu 29 hari. Sehingga mereka yang merayakan Idul Fitri berdasarkan hisab Urfi terlambat satu hari dari ketetapan pemerintah. Atau kejadiannya  adalah kebalikan peristiwa di atas, misalnya dalam penetapan tanggal 1 Ramadan. Berdasarkan hisab Urfi Syakban itu selalu berumur 29 hari (karena merupakan bulan genap—bulan ke-8). Bisa jadi kenyataannya dan berdasarkan hisab Hakiki umur Syakban pada waktu itu 30 hari. Sehingga mereka yang perhitungannya berdasarkan hisab Urfi melaksanakan ibadah puasa Ramadan sehari mendahului ketetapan pemerintah. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan terbukti bahwa sistem hisab ini tidak akurat digunakan untuk keperluan penentuan waktu ibadah. Penyebabnya karena perata-rataan peredaran Bulan tidaklah tepat, tidak sesuai dengan penampakan hilal (newmoon) pada awal bulan Susiknan Azhari dan Ibnor Azli Ibrahim, Kalender Jawa Islam: Memadukan Tradisi dan Tuntutan Syar'i dalam Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 42 No. I, 2008. http://ern.pendis.kemenag.go.id/DokPdf/jurnal/07-susiknan.pdf diakses pada tanggal 5 Maret 2009, h. 137. Sehingga perhitungan secara Urfi ini disepakati oleh para ulama tidak dapat dijadikan sebagai pedoman untuk pelaksanaan ibadah. Kiranya mereka perlu edukasi  untuk menentukan waktu ibadah sesuai dengan tuntunan Syari’at.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar