Rabu, 17 Juli 2013

KALENDER HIJRIYAH BISA MEMBERI KEPASTIAN SETARA DENGAN KALENDER MASEHI




KALENDER HIJRIYAH BISA MEMBERI KEPASTIAN SETARA DENGAN KALENDER MASEHI








Thomas Djamaluddin

(Makalah pada Seminar Internasional IAIN Walisongo 2012)





 Ada suatu kerinduan ummat Islam untuk mendapatkan ketentraman dalam beribadah dengan kepastian dan keseragaman waktu beribadah, khususnya dalam mengawali bulan Ramadhan, mengakhirinya dengan Idul Fitri, dan dalam merayakan Idul Adha. Waktu beribadah tersebut ditentukan berdasarkan kalender Hijriyah. Lebih jauh lagi, mungkinkah kalender Hijriyyah bukan hanya digunakan untuk penentuan waktu ibadah tetapi juga digunakan untuk kepentingan administrasi pemerintahan dan transaksi bisnis, sebagaimana kalender masehi? Sangat mungkin kalau 3 prasyarat kalender mapan terpenuhi. Kalender Masehi perlu waktu 19 abad menuju kemapanan. Kalender Hijriyah baru 14 abad. Sistem kalender yang mapan mensyaratkan tiga hal:


1.Ada otoritas (penguasa) tunggal yang menetapkannya.

2.Ada kriteria yang disepakati

3.Ada batasan wilayah keberlakukan (nasional atau global).




Kita lihat sejarah panjang kelender Masehi (lihathttp://tdjamaluddin.wordpress.com/2010/04/28/milenium-dalam-perspektif-matematis-astronomis/) Memasuki tahun 2000 demam milenium melanda kehidupan kita sehari-hari. Tak terkecuali penamaan suatu produk yang sering dikaitkan dengan milenium. Ada warna milenium, ada model milenium, dan lainnya. Istilah milenium secara harfiah berasal dari bahasa Latin mille (seribu) dan annum (tahun). Jadi itu berarti seribu tahun. Sebenarnya tidak terlalu istimewa, kecuali bila dikaitkan dengan tahun kejadiannya: tahun 2000 atau 2001. Ada juga yang mengaitkan istilah itu dengan sebagian teologi Kristiani (terutama pada masa lalu), bahwa Yesus Kristus akan kembali ke bumi dan memerintah sebelum kiamat selama seribu tahun. Tetapi, tampaknya hal itu sama sekali tidak berkaitan dengan kedatangan tahun 2000. Sebab, tak seorang pun (baik yang mempercayai teologi itu, apalagi yang tidak) yang mengetahui kapan peristiwa itu akan terjadi. Bila kita perhatikan, istilah milenium baru populer ketika muncul kekhawatiran masalah komputer millenium bug. Makna sebenarnya millenium bug adalah “kegagalan [mesin/program akibat] milenium”, bukan “kutu milenium” seperti yang banyak ditulis media massa. Kini istilah populer itu beralih sebutan menjadi masalah Y2K (year 2 kilo, tahun 2000) atau MKT 2000 (masalah komputer tahun 2000). Milenium kini telah menjadi kosa kata baru yang populer di masyarakat kita. Sebelumnya, ketika kita menyambut tahun 2000 kita hanya menyebutkan menyambut abad 21. Tidak banyak yang mempermasalahkan sebutan abad 21 untuk tahun 2000. Setidaknya kita sudah punya pengalaman ketika mencanangkan tahun 1400 Hijriyah sebagai awal abad ke-15, abad kebangkitan Islam.

Saat ini muncul perbedaan pendapat tentang sebutan milenium. Padahal, bila teliti, masalahnya sama: tepatkah 1 Januari 2000 sebagai awal abad 21 atau awal milenium ke tiga? Tampaknya sebutan milemiun yang datangnya seribu tahun sekali lebih menarik perhatian dan keingintahuan banyak orang.

Apakah pangkal semua persoalan perbedaan pendapat ini? Saya berpendapat, pangkal masalah adalah angka nol (0).




Nol

Para perancang komputer tidak mengantisipasi angka nol ketika mendefinisikan tahun dengan dua bilangan terakhir. Pada sistem yang lama tersebut, misalnya tahun 1999 hanya ditulis 99. Menjelang tahun 2000 baru disadari bahwa sistem lama masih terpakai dan bisa berakibat fatal salah interpretasi data bila tahun 2000 hanya tertulis 00. Program-program yang menggunakan tanggal dari komputer akan menafsirkan tahun 00 itu sebagai tahun 1900, bukan tahun 2000. Tentu bisa mengacaukan data-data dan aktivitas yang terkait dengan tanggal dalam sistem komputer.

Lain soal dengan penetapan kelender. Orang dahulu menetapkan tahun untuk kalender, baik syamsiah (berdasarkan matahari) maupun qamariyah (berdasarkan bulan), bermula dari angka 1. Hari pertama kalender Masehi adalah Sabtu, 1 Januari 1. Kalender Hijriyah pun demikian, diawali 1 Muharram 1. Sampai pertengahan abad 9 orang belum mengenal angka nol. Jadi, bukan karena melupakan angka nol, melainkan karena memang saat itu belum tahu.

Tidak diketahui sejak kapan angka nol ditemukan. Tetapi, dokumen sejarah mencatat naskah tertua yang menuliskan bilangan nol berasal dari India yang ditulis pada tahun 876. Tetapi yang berjasa memperkenalkan angka nol dalam makna ilmiah adalah para ilmuwan Islam Arab yang mewarnai Eropa pada abad 12. Salah satu buktinya adalah penggunaan sebutan zero dalam bahasa Inggris yang berasal dari bahasa Arab shifryang berarti kosong.

Penggunaan angka nol telah dianggap sebagai salah satu penemuan cemerlang dalam sejarah matematika yang berpengaruh luas dalam kebudayaan modern. Sebagian pakar berpendapat bahwa hambatan serius yang dihadapi ahli matematika Yunani dan Romawi kuno dalam perkembangan ilmiahnya adalah ketiadaan simbol nol.

Angka Romawi tidak mengenal angka nol. Bilangan dimulai dengan satu yang dituliskan I. Sepuluh ditulis X, 50 dilambangkan dengan L, 100 dengan C, 500 dengan D, dan 1000 dengan M. Suatu bilangan besar dinyatakan sebagai penambahan (diletakkan disebelah kanannya) atau pengurangan (diletakkan disebelah kirinya) lambang-lambang tersebut. Jadi 1999 dituliskan sebagai 1000 + 900 + 90 + 9 sebagai M+CM+XC+IX menjadi MCMXCIX. Memang tidak praktis, kecuali untuk bilangan kelipatan sederhana lambang-lambang tersebut, seperti 2000 yang cukup dituliskan MM.

Kebudayaan Barat yang belum tersentuh budaya Islam menggunakan angka Romawi tersebut sampai abad 14. Sedangkan Spanyol dan wilayah Eropa lainnya yang bersinggungan dengan budaya Islam sejak abad 12 telah secara luas menggunakan sistem angka Arab (seperti yang kita kenal sekarang: 0, 1, 2,….




Sejarah

Angka nol menjadi masalah juga dalam menelusuri sejarah masa lampau. Ada keterputusan ungkapan tahun sebelum masehi dan sesudah masehi karena tidak dikenalnya tahun nol. Urutan tahun di sekitar pergantian sistem kalender masehi adalah tahun 2 SM (sebelum Masehi), 1 SM, 1 M, 2 M, dan seterusnya. Penulis sejarah matematika, dengan menggunakan notasi matematis menuliskan urutan tahun tersebut sebagai tahun -2, -1, 1, 2, dan seterusnya.

Astronomi sebagai ilmu yang berperan menelusur waktu kejadian di masa lampau tidak menggunakan notasi metematis seperti itu. Secara astronomi, tahun 1 SM dianggap sebagai tahun 0 untuk memudahkan perhitungan waktu dalam penelusuran balik kejadian masa lampau.

Kalender Masehi berakar dari kalender qamariyah Romawi yang semula mempunyai 10 bulan. Kalender Romawi ini berawal pada Maret dengan bulan ke tujuh, delapan, sembilan, dan sepuluh disebut September, Oktober, November, dan Desember. Penambahan bulan Januari dan Februari sebagai bulan ke-11 dan ke-12 terjadi sekitar tahun 700 SM.

Kemudian terjadi lagi perubahan dari sistem qamariyah menjadi syamsiah seperti yang kita kenal sekarang, dengan jumlah hari setiap bulan 30 atau 31 hari, kecuali Februari 28 hari. Hari pertama setiap bulan disebut Kalendae (inilah asal mula sebutan “kalender”). Belum dikenal nama-nama 7 hari dalam sepekan.

Perubahan sistem qamariyah ke syamsiah tidak dilakukan mendadak. Penyesuaiannya menggunakan sistem campuran dengan penambahan hari untuk penyesuaian dengan musim. Penambahan itu tidak beraturan. Kadang-kadang Kaisar memperpanjang atau memperpendek kalender semaunya. Masa itulah yang dikenal sebagai masa yang membingungkan untuk menelusur sejarah masa lampau.

Untuk menghilangkan kebingungan itu, Kaisar Julius melakukan reformasi kalender atas saran penasihatnya astronom Sosigense pada tahun 46 SM. Reformasi itu menetapkan tiga hal. Pertama, vernal equinox (awal musim semi, saat malam dan siang sama panjangnya) ditetapkan 25 Maret dengan menjadikan tahun 46 SM lebih panjang 85 hari. Kedua, awal tahun ditetapkan 1 Januari 45 SM. Ke tiga, menetapkan jumlah hari dalam satu tahun 365 hari, kecuali setiap tahun ke empat menjadi tahun kabisat dengan penambahan hari pada bulan Februari.

Penetapan awal musim semi 25 Maret ini berdampak juga pada penetapan 25 Desember sebagai titik balik utara. Pada saat itu posisi matahari berbalik dari titik paling utara menuju selatan. Maka 25 Desember dirayakan masyarakat Romawi sebagai hari Dies Natalis Solis Invicti (hari kelahiran Matahari yang tak terkalahkan). Tanggal inilah yang kemudian dianggap sebagai tanggal kelahiran Yesus Kristus (hari Natal), karena memang tak ada catatan sejarah tanggal pastinya kelahiran Nabi Isa tersebut. Penetapan tahun Masehi baru dilakukan pada tahun 532 M atas usulan rahib Denys le Petit. Berdasarkan penelitiannya, dia menyimpulkan tahun kelahiran Nabi Isa bertepatan dengan tahun Romawi 753. Maka tahun Romawi 753 tersebut ditetapkan sebagai tahun 1 Masehi. Walaupun belakangan kalangan gereja menemukan bukti lain bahwa kelahiran Nabi Isa sebenarnya beberapa tahun sebelum itu, berdasarkan naskah-naskah tentang kematian Herod (penguasa Palestina pada Zaman Nabi Isa).




Milenium

Astronom sebenarnya tidak peduli dengan istilah milenium. Karena dalam astronomi kronologi kejadian umumnya dinyatakan dalam hari Julian (Julian day) yang didefinisikan bermula dari tengah hari 1 Januari 4713 SM. Penetapan awal periode ini pun sebenarnya tidak punya arti astronomis, tetapi sekadar memenuhi siklus dalam sistem kalender lama: siklus metonik (19 tahunan) serta siklus dalam kalender Romawi indiksi (15 tahun) dan dominis (28 tahun).

Siklus metonic berasal dari sistem kalender Yunani dan Arab kuno (Babilonia dan sekitarnya) bahwa 19 tahun syamsiah sama dengan 235 bulan qamariyah. Sedangkan siklus dominis 28 tahun, tampaknya berasal dari keberulangan kalender Julian dengan susunan hari yang sama. Pembagian sepekan menjadi tujuh hari baru masuk Eropa sekitar abad ke-3, diadopsi dari tradisi Yahudi dan Arab kuno. Jumlah hari dalam 28 tahun itu (28 x 365,25 hari) sama dengan 1461 pekan. Belum diketahui alasan siklus indiksi.

Dengan menggunakan hari Julian tersebut 1 Januari tahun 1 dinyatakan sebagai hari ke 1.721.423,5. Sedangkan 1 Januari 2000 adalah hari ke 2.451.544,5. Jadi kalender Masehi sampai saat tahun baru 2000 telah menjalani 730.121 hari. Itu berarti, andaikan sejak awal menggunakan sistem kalender Gregorian seperti yang saat ini berlaku, 1 Januari 2000 semestinya baru tanggal 2 Januari 1999.

Sepanjang sejarah kalender Masehi telah terjadi dua kali reformasi. Pertama, tahun 325 M ketika vernal equinox ternyata telah bergeser dari 25 Maret menjadi 21 Maret. Tetapi, tidak terjadi pergeseran hari, hanya ditetapkan tanggal baru untuk vernal equinox, yaitu 21 Maret. Ini berpengaruh pada penetapan hari besar Kristiani. Paskah ditentukan setiap hari Minggu pertama setelah purnama pada atau sesudah vernal equinox. Itu berarti berpengaruh juga pada penetapan hari Wafat Isa Almasih dan hari Kenaikan Isa Almasih.

Reformasi ke dua pada 1582 disebut reformasi Gregorian. Karena satu tahun syamsiah rata-rata 365,2422 hari, sedangkan kalender Julian menetapkan rata-rata 365,25 hari, awal musim semi saat itu diketahui telah bergeser jauh menjadi tanggal 11 Maret. Maka dilakukan reformasi dalam dua hal agar awal musim semi kembali menjadi tanggal 21 Maret.

Reformasi Gregorian pertama menghapuskan 10 hari dari tahun 1582 dengan menetapkan hari Kamis 4 Oktober langsung menjadi hari Jumat 15 Oktober. Ke dua, rata-rata satu tahun ditetapkan 365,2425 hari. Caranya, tahun kabisat didefinisikan sebagai tahun yang bilangannya habis dibagi empat, kecuali untuk tahun yang angkanya kelipatan 100 harus habis dibagi 400. Dengan aturan tersebut tahun 1700, 1800, dan 1900 bukan lagi dianggap sebagai tahun kabisat. Tahun 2000 adalah tahun kabisat.

Ketika istilah milenium yang berawal dari masalah komputer mulai memasyarakat, orang mulai bertanya, tepatkah 1 Januari 2000 disebut sebagai awal Milenium ke tiga. Para astronom yang ditanya tentu akan mengacu pada sejarah. Karena milenium berarti kurun waktu seribu tahun, sedangkan milenium pertama dimulai 1 Januari tahun 1, maka milenium ke-3 semestinya 1 Januari 2001.

Tetapi, di masyarakat terlanjur menggunakan istilah milenium dalam konteks sepertimillenium bug, sekadar melihat angkanya. Kalau demikian lupakan sejarah, lihatlah pada angka tahunnya. Astronom pun kemudian ditanya, mengapa angka 2000 sudah dianggap sebagai milenium ke-3 atau abad 21. Secara astronomi hal itu masih dapat dibenarkan.

Dalam astronomi suatu tanggal lazim dituliskan sebagai fraksi tahun. Pukul 00:00 1 Januari 2000 bila ditulis dengan desimal menjadi tahun 2000,0. Sedangkan pukul 00:00 23 Januari 2000 dapat dinyatakan sebagai tahun 2000,06284 (dari 2000,0 + 23/366, karena tahun 2000 berjumlah 366 hari). Karenanya setiap tanggal sesudah 1 Januari 2000 dapat dinyatakan dengan angka yang lebih besar dari 2000. Itu berarti tidak termasuk lagi sebagai abad 20 atau milenium 3. Jadi, mestinya sudah boleh dinyatakan sebagai bagian dari abad 21 atau milenium 3. Kalau demikian, beralasan juga untuk menetapkan 1 Januari 2000 sebagai awal abad 21 atau milenium 3.

Selalu ada otoritas yang menetapkan, termasuk kriterianya. Wilayah keberlakuannya tentu saja sebatas wilayah kekaisaran atau wilayah pengaruh otoritas yang berkuasa. Perhatikan, sistem kalender bergantung pada kriteria.

Dasar kalender Masehi ditetapkan pada 46 SM (sebelum Masehi) oleh Kaisar Julius dengan penasihatnya astronom Sosigense. Ada 3 kriteria yang ditetapkan. Pertama, vernal equinox (awal musim semi, saat malam dan siang sama panjangnya) ditetapkan 25 Maret dengan menjadikan tahun 46 SM lebih panjang 85 hari. Kedua, awal tahun ditetapkan 1 Januari 45 SM. Ke tiga, menetapkan jumlah hari dalam satu tahun 365 hari, kecuali setiap tahun ke empat menjadi tahun kabisat dengan penambahan hari pada bulan Februari. Ketika diketahui ada pergeseran vernal equinox, kriterianya diubah pada 325 M. Vernal equinox ditetapkan menjadi 21 Maret.

Namun ketidakakuratan kriteria menyebabkan vernal equinox terus bergeser. Pada 1582 vernal equinox sudah bergeser menjadi 11 Maret. Atas saran astronom pula, Paus Gregorius sebagai otoritas tunggal saat itu dalam penetapan kalender mengubah lagi kriteria kalender. Pertama, mengembalikan vernal equinox pada 21 Maret dengan cara menghilangkan 10 hari dari tahun 1582 dengan menetapkan hari Kamis 4 Oktober langsung menjadi hari Jumat 15 Oktober. Ke dua, rata-rata satu tahun ditetapkan 365,2425 hari. Caranya, tahun kabisat didefinisikan sebagai tahun yang bilangannya habis dibagi empat, kecuali untuk tahun yang angkanya kelipatan 100 harus habis dibagi 400. Dengan aturan tersebut tahun 1700, 1800, dan 1900 bukan lagi dianggap sebagai tahun kabisat. Tahun 2000 adalah tahun kabisat.

Sampai hampir dua abad berikutnya wilayah keberlakuan kalender Masehi dengan kriteria baru masih terbatas hanya di wilayah pengaruh Katolik. Inggris baru menerapkannya pada 1752 dengan melakukan lompatan 2 September langsung menjadi 14 September 1752. Sempat terjadi kekacauan di masyarakat saat itu. Jadi, jangan dikira kalender Masehi mulus-mulus saja dalam penerapannya. Ini menunjukkan bahwa pada kalender Masehi pun perbedaan sempat terjadi dan meresahkan masyarakat. Sebelum perubahan itu, hari Natal di Inggris dan di Roma berbeda 11 hari. Ketika Roma merayakan Natal 25 Desember, di Inggris masih 14 Desember. Sampai awal abad 20 masih ada beberapa negara yang belum menerapkannya, misalnya Rusia baru menerapkan pada 1923. Walau pun demikian, syarat ketiga tentang batas keberlakuan kalender Masehi berhasil ditetapkan dengan kesepakatan garis tanggal internasional pada Oktober 1884. (lihat http://tdjamaluddin.wordpress.com/2010/08/17/perlukah-menggantikan-gmt-dengan-mecca-mean-time/). (Peresmian jam raksasa Mekkah pada awal Ramadhan 1431 H, pada 11 Agustus 2010, membangkitkan kembali keinginan sebagian ulama Islam, terutama di negara-negara Arab, untuk menjadikan Mekkah sebagai pusat waktu. Beberapa argumentasi diajukan, antara lain bahwa Mekkah dianggap sebagai Pusat Dunia, setidaknya kalau dilihat dari distribusi sebaran benua. Sebenarnya proyek tersebut cenderung bersifat ”mercusuar” dengan menjadikannya jam terbesar di dunia dengan beberapa keunggulan lainnya. Tetapi tidak memuat konsep waktu yang berbeda dari yang saat ini diterima secara internasional.

Benar Mekkah sebagai tempat Ka’bah menjadi pusat perhatian Ummat Islam karena menjadi kiblat saat shalat dan menjadi pusat ibadah haji. Tetapi, secara fisik geografis tidak ada keistimewaan yang mendukung untuk menjadikannya sebagai rujukan waktu atau sebagai meridian utama (Prime Meridian). Secara geografis, kalau Mekkah menjadi meridian utama (garis bujur 0), maka garis tanggal internasional pada garis bujur 180 derajat akan memotong Alaska dan terlalu jauh kalau harus dibelokkan ke Selat Bering. Itu berdampak kurang bagus, karena Kanada dan Alaska yang satu wilayah daratan terpaksa harus berbeda hari. Misalnya, di Alaska Senin sedangkan di Kanada masih Ahad. Sehingga untuk mewujudkannya jelas tidak mungkin akan mendapatkan persetujuan internasional. Masalah waktu tidak mungkin diatur secara sepihak, perlu konvensi internasional. Untuk memahaminya, kita harus melihat sejarah konvensi waktu internasional yang merujuk pada waktu rata-rata Greenwich.

Greenwich Mean Time (GMT, Waktu Rata-rata Greenwich) adalah rujukan waktu internasional yang pada mulanya didasarkan pada waktu matahari di Greenwich yang kemudian didasarkan pada jam atom. Sistem waktu yang mapan tersebut mempunyai sejarah panjang yang didukung konvensi internasional dan kajian ilmiah untuk penyempurnaannya. Sampai pertengahan abad 19, masing-masing negara menggunakan sistem jam matahari sendiri dengan menggunakan meridian masing-masing. Meridian adalah garis hubung utara-selatan yang melalui zenit yang dilintasi matahari saat tengah hari. Untuk jaringan transportasi kereta api jarak jauh yang mulai berkembang saat itu, pembuatan sistem waktu baku antarwilayah diperlukan. Tanpa sistem waktu yang baku, jadwal kereta api bisa kacau ketika memasuki wilayah yang menggunakan sistem waktu berbeda. Hal itu terutama dirasakan oleh jaringan kereta api di Kanada dan Amerika Serikat.

Kebutuhan sistem waktu baku tersebut yang mendorong Sir Sandford Fleming, seorang teknisi dan perencana perjalanan kereta api Kanada mengusulkan waktu baku internasional pada akhir 1870-an. Gagasan itu kemudian dimatangkan dalam Konferensi Meridian Internasional di Washington DC pada Oktober 1884 yang dihadiri perwakilan 25 negara (Austria-Hungaria, Brazil, Chile, Kolombia, Costa Rica, Perancis, Jerman, Inggris, Guatemala, Hawii, Italia, Jepang, Liberia, Meksiko, Belanda, Paraguay, Rusia, San Domingo, Spanyol, Swedia, Swiss, Turki, Amerika Serikat, Venezuela, dan Salvador).

Kesepakatan pokok (konvensi) pada konferensi tersebut adalah sebagai berikut:

1.Bersepakat menggunakan meridian dunia yang tunggal untuk menggantikan banyak meridian yang telah ada.

2.Meridian yang melalui teropong transit di Observatorium Greenwich ditetapkan sebagai meridian nol.

3.Semua garis bujur dihitung ke Timur dan ke Barat dari meridian tersebut sampai 180 derajat.

4.Semua negara menerapkan hari universal.

5.Hari universal adalah hari matahari rata-rata, mulai dari tengah malam di Greenwich dan dihitung 24 jam

6.Hari nautika dan astronomi di mana pun mulai dari tengah malam.

7.Semua kajian teknis untuk mengatur dan menerapkan sistem desimal pembagian waktu dan ruang akan dilakukan.



Butir ke-2 tidak mendapat kesepakatan bulat. San Dominggo menentang. Perancis dan Brazil abstain.

Saat ini sistem waktu telah ditetapkan dengan 24 waktu baku, secara umum setiap perbedaan 15 derajat garis bujur, waktunya berbeda 1 jam. Dalam pelaksanaannya, waktu baku tersebut disesuaikan dengan batas wilayah agar tidak memecah waktu di suatu wilayah. Pada 1928, dalam konferensi astronomi internasional, berdasarkan kajian soal waktu, maka penamaan GMT diubah menjadi Universal Time (UT). Rujukan waktunya tetap jam matahari, sehingga tergantung rotasi bumi yang sebenarnya tidak konstan. Pada 1955 ditemukan jam atom Caesium yang lebih stabil, sehingga selalu ada perbedaan dengan UT, walau dalam skala yang sangat kecil dalam orde milisecond (seperseribu detik). Pada akhir 1960-an sampai awal 1970-an banyak dilakukan kajian soal waktu yang sinkron antara UT dan jam atom. Saat ini UT bukan lagi murni didasarkan pada jam matahari, tetapi berdasarkan jam atom yang disinkronkan dengan konsep jam matahari. Namanya menjadi UTC (Universal Time, Coordinated), nama kompromi dari usulan dua bahasa: bahasa Inggris “CUT” untuk “coordinated universal time” dan bahasa Perancis “TUC” untuk “temps universel coordonné”.

Dari sejarah panjang GMT tersebut, kita bisa faham bahwa konvensi waktu baku internasional didasarkan pada kebutuhan untuk mensinkronkan jadwal aktivitas manusia yang bersifat lintas negara. Apalagi saat ini, jadwal penerbangan memerlukan pengaturan waktu yang sangat akurat. Sistem waktu GMT atau UTC yang sudah mapan saat ini tidak mungkin lagi diubah, misalnya dengan MMT (Mecca Mean Time). Tidak ada alasan fisis – teknis yang mendasarinya, selain ghirah (semangat) keagamaan. Juga tidak ada alasan yang mendukung penyatuan waktu ibadah ummat Islam, karena pada dasarnya waktu ibadah bersifat lokal dan sudah tercukupi dengan menggunakan sistem waktu internasional yang telah ada.

Bayangkan, kalender Masehi sampai 19 abad untuk mencapai kemapanan yang bersifat global. Kalender Hijriyah yang baru menapak 14 abad wajar belum mencapai kemapanan sehingga belum bisa dijadikan sistem kalender yang memberi kepastian untuk urusan pemerintahan dan bisnis. Namun, upaya menuju kemapanan seperti itu terus dilakukan. Jangan terlalu jauh dulu mencita-citakan kalender hijriyah global. Mulailah dari yang sudah ada di depan mata kita, kalender hijriyah nasional. Dari 3 prasyarat, sudah ada 2 prasyarat yang terpenuhi, yaitu adanya otoritas tunggal (yaitu Pemerintah yang diwakili Menteri Agama) dan adanya batas wilayah keberlakukan (yaitu wilayah hukum Indonesia). Tinggal selangkah lagi, mengupayakan kesepakatan kriteria. (lihathttp://tdjamaluddin.wordpress.com/2010/08/10/menuju-kalender-islam-indonesia-pemersatu-ummat/). (Kita bisa bersatu tanpa harus memperdebatkan metode rukyat (pengamatan) atau hisab (perhitungan). Kita semua tentu menghendaki sistem kalender Hijriyah yang mapan yang memberikan kepastian waktu Ibadah, sekaligus dapat digunakan dalam administrasi negara dan transaksi bisnis, setara dengan kelender Masehi.

Sistem kalender yang mapan mensyaratkan tiga hal:

1.Ada batasan wilayah keberlakukan (nasional atau global).

2.Ada otoritas tunggal yang menetapkannya.

3.Ada kriteria yang disepakati



Saat ini syarat pertama dan ke dua secara umum sudah tercapai. Batasan wilayah hukum Indonesia telah disepakati oleh sebagian besar ummat Islam Indonesia, walau ada sebagian yang menghendaki wilayah global. Pemerintah yang diwakili Menteri Agama secara umum pun bisa diterima sebagai otoritas tunggal yang menetapkan kalender Hijriyyah Indonesia dengan dilengkapi mekanisme sidang itsbat untuk penetapan awal Ramadhan dan hari raya. Sayangnya, syarat ketiga belum tercapai. Saat ini masing-masing ormas Islam masih mempunyai kriteria sendiri, walau saat ini mulai ada semangat untuk mencari titik temu.

Seandainya kriteria yang saat ini berlaku (wujudul hilal dan ketinggian minmal 2 derajat) tetap menjadi acuan Ormas-ormas Islam, maka potensi perbedaan akan terus terjadi pada tahun-tahun mendatang:

1.Idul Adha 1431/2010 berpotensi terjadi perbedaan karena tinggi bulan hanya sekitar 1,7˚.

2.Idul Fitri 1432/2011 berpotensi terjadi perbedaan karena tinggi bulan hanya sekitar 2˚ atau kurang.

3.Awal Ramadhan 1433/2012 dan 1434/2013 berpotensi terjadi perbedaan karena tinggi bulan hanya sekitar 2˚ dan 0,7˚.

4.Awal Ramadhan dan Idul Adha 1435/2014 berpotensi terjadi perbedaan karena tinggi bulan hanya sekitar 0,8˚.



Sekarang saatnya kita semua terbuka dan berupaya mewujudkan kalender Islam yang mapan dan mempersatukan ummat. Kriteria Hisab Rukyat Indonesia baru perlu diusulkan berdasarkan data rukyat Indonesia yang didukung oleh kriteria astronomi internasional dengan berdasarkan pertimbangan faktor pengganggu utama yaitu kontras cahaya di sekitar matahari dan cahaya senja di atas ufuk. Kriteria baru yang diusulkan dan cukup sederhana adalah sebagai berikut:

Jarak bulan-matahari > 6,4˚ dan beda tinggi bulan-matahari > 4˚ (Rincinya, lihat http://tdjamaluddin.wordpress.com/2010/08/02/analisis-visibilitas-hilal-untuk-usulan-kriteria-tunggal-di-indonesia/ ) Dengan ketentuan:

1.Seandainya ada kesaksian rukyat yang meragukan, di bawah kritria tersebut, maka kesaksian tersebut harus ditolak.

2.Bila ada kesaksian rukyat yang meyakinkan (lebih dari satu tempat dan tidak ada objek yang menggangu atau ada rekaman citranya), maka kesaksian harus diterima dan menjadi bahan untuk mengoreksi kriteria hisab rukyat yang baru.

3.Bila tidak ada kesaksian rukyatul hilal karena mendung, padahal bulan telah memenuhi kriteria, maka data tersebut dapat dijadikan dasar pengambilan keputusan, karena kriteria hisab rukyat telah didasarkan pada data rukyat terdahulu (berarti tidak mengabaikan rukyat).



Kalau kita berhasil mencapai kesepakatan kriteria hisab rukyat nasional, maka kita akan mempunyai kalender hijriyah yang memberikan kepastian. ”Kepastian” adalah kunci menjadikan sistem kalender terpakai dalam urusan yang lebih luas, bukan hanya ibadah. Dokumen resmi kenegaraan dan transaksi bisnis pun dapat dilakukan dengan sistem kalender itu. Kalender Hijriyah akan setara dengan kalender Masehi dalam memberikan kepastian.

Mari kita perluas mimpi kita. Kalau kita berhasil menjadikan kalender Hijriyah mapan di Indonesia dengan 3 prasyarat terpenuhi, sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, kita bisa menjadikannya sebagai prototipe sistem kalender Hijriyah global yang mapan. Insya-allah, kita dapat menyepakati kriteria yang bersifat global yang ditetapkan oleh suatu otoritas kolektif negara-negara Islam. Batas wilayahnya bukanlah batas wilayah tetap (seperti Garis Tanggal Internasional), tetapi batas wilayah yang dinamis sesuai dengan kemungkinan terlihatnya hilal. Itu mudah ditetapkan berdasarkan kriteria yang disepakati. Saya kira sebelum melewati tahun 1500 H kalender Hijriyah global yang mapan bisa kita wujudkan. Insya-allah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar