Senin, 04 Maret 2013

KONTROVERSI HADIS YANG DIANGGAP MISSOGINIS



KONTROVERSI HADIS YANG DIANGGAP MISSOGINIS[1]






Prof. Dr. E n i z a r [2]
Guru Besar Hadis STAIN Jurai Siwo Metro Lampung

 

 

Pendahuluan


Bagi umat Islam, semenjak datangnya Islam, Rasulullah Saw. telah memberikan beberapa tuntunan dalam  relasi laki-laki dan perempuan.  Ketika menyampaikan aturan tersebut kadang ada sebab, situasi dan kondisi yang menyebabkan munculnya hadis Rasul. Di samping itu, Rasul punya metode sendiri dalam menyampaikan hadis dengan menggunakan bahasa atau perumpamaan yang membuat paham para pendengarnya.
Meskipun sudah dilakukan seleksi hadis yang sangat luar biasa oleh ulama hadis, namun ada beberapa hadis Rasulullah Saw. dipahami oleh peneliti atau penulis sebagai hadis missoginis (membenci perempuan).  Pemahaman tersebut tentu saja perlu dikaji ulang karena tidak didukung oleh data sejarah dan ajaran dasar al-Qur’an.
Apabila ketentuan Rasul tidak sesuai dengan petunjuk al-Qur’an, maka pasti hadis tersebutlah yang bermasalah dan perlu diragukan. Namun, apabila  hadis yang dianggap missoginis tersebut setelah melalui kritik ekternal (sanad) dan kritik internal (matan) hadis tersebut dinilai sahih oleh para ulama hadis, maka perlu pemahaman yang benar terhadap hadis.



Hadis Rasulullah yang Dianggap Missoginis


Ada beberapa hadis yang missoginis yang akan diungkap dalam bahasan ini dan sebagian besar terkait dengan relasi laki-laki dan perempuan.

1.      Hadis Tentang Perempuan Dari Tulang Rusuk

عن ابى هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم استوصوا بالنساء فان المرئة خلقت من ضلع وان اعوج شيئ فى الضلع اعلاه فان ذهبت تقيمه كسرته وان تركته لم يزل اعوج فاستوصوا بالنساء [3]
Abu Hurairah berkata bahwa Rasul bersabda:’ Nasihatilah perempuan dengan nasihat yang baik. karena sesungguhnya ia diciptakan dari tulang rusuk. Tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang atas, yang jika engkau meluruskannya dengan paksa maka akan mematahkannya tetapi jika dibiarkan akan tetap bengkok. Maka nasihatilah perempuan itu dengan ansihat yang baik.”

Pemahaman tersebut diperkuat dengan penafsiran terhadap QS. Al-Nisa’ ayat 1. Dalam ayat tersebut terdapat frase   من نفس واحد   ditafsirkan  dengan menyatakan bahwa Hawa tercipta dari tulang rusuk Adam.[4]  Penafsiran ini membawa persepsi bahwa Perempuan adalah bagian dari pria.
Dalam hadis di atas, terdapat pernyataan Rasul bahwa “perempuan diciptakan dari tulang rusuk, yang paling bengkok adalah yang paling atas”, menurut hemat penulis maksud hadis tersebut bukan menjelaskan asal kejadian perempuan,[5] karena  konteks hadis ini  bukan  tentang masalah kejadian perempuan.  Akan tetapi, topik yang dibicarakan dalam hadis tersebut adalah tentang cara mendidik perempuan. Dalam memberikan pendidikan terhadap perempuan harus dengan cara yang lemah lembut, jangan dengan cara kekerasan ataupun bentakan.
Menurut Quraish Shihab, maksud hadis itu adalah bahwa perempuan mempunyai sifat, karakter dan kecendrungan yang tidak sama dengan pria.  Bila hal ini tidak disadari, akan menjadikan pria bersikap tidak wajar.  Meskipun pria sudah berusaha, mereka tidak akan mampu mengubah karakter dan sifat bawaan perempuan, seperti tidak berhasilnya meluruskan tulang yang bengkok.[6]
Oleh sebab itu, memahami sebagian hadis itu saja, membawa konsekwensi pemahaman yang rancu.  Topik pembahasan Nabi adalah memberi pelajaran atau pengarahan yang khithabnya ditujukan kepada laki-laki. Pemahaman tekstual, dengan demikian, tidak ada relevansinya dengan asal kejadian perempuan. Untuk lebih jelas dapat dilihat hadis riwayat Muslim dari jalur lain berikut :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ لَنْ تَسْتَقِيمَ لَكَ عَلَى طَرِيقَةٍ فَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا اسْتَمْتَعْتَ بِهَا وَبِهَا عِوَجٌ وَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهَا كَسَرْتَهَا وَكَسْرُهَا طَلاقُهَا [7] 
    Dari hadis yg digarisbawahi “Jika  engkau memaksa meluruskannya engkau mematahkannya, dan patahnya itu adalah menceraikannya”. jika hadis ini dikaitkan dengan hadis pertama, maka konteksnya bukan pada asal kejadian tetapi pada perintah kepada suami untuk menasihati isteri dengan cara yang tepat.

1.      PEREMPUAN TDK BISA JADI PEMIMPIN


عن ابى بكرة ان رسول الله قال :   لن يفلح قوم ولو أمر هم امرأة  [8]

Dari Abu Bakrah Rasulullah bersabda: suatu kaum tidak akan sukses jika kepemim pinannya diserahkan kepada perempuan.

Pemahaman secara tekstual terhadap hadis diatas: perempuan tidak boleh menjadi pemimpin.  Hal itu didasarkan kepada Q.S. al-Nisa’/4:34 Pada umumnya mufassirin menyatakan, bahwa qawwam dalam ayat artinya pemimpin, pelindung, penanggung jawab, pendidik, pengatur, dan lain-lain.[9]
Dilihat dari teks hadis yang ada, tanpa memperhatikan sebab wurudnya, dipahami  bahwa perempuan tidak dapat menjadi pemimpin.  Tetapi jika diperhatikan sebab wurud hadis dan sosial masyarakat pada waktu itu, yaitu  biasanya, yang diangkat sebagai pemimpin laki-laki. Pada waktu itu diangkat  perempuan, karena saudara laki-lakinya telah meninggal akibat perebutan kekuasaan.[10] Dilihat dari sosial masyarakat waktu itu, perempuan jauh di bawah laki-laki.  Perempuan pada masa itu tidak dipercaya sama sekali untuk mengurus kepentingan masyarakat apalagi pemerintahan dan mereka tidak dihargai.  Bagaimana akan sukses kepemimpinannya di tengah-tengah suasana  seperti itu. Menjadikan QS. Al-Nisa’/4:34 sebagai dasar juga terbatas pada wilayah keluarga terlihat dari dasar kenapa laki-laki jadi qawwam karena ada kelebihan yang diberikan Allah kepada suami dan karena suami memberikan nafkahnya kepada isteri.  
Pada saat perempuan sudah berpendidikan sama seperti laki-laki, dan mereka mendapatkan penghargaan, apa salahnya menduduki jabatan sebagai pemimpin.


2.      Perempuan Kurang Akal Dan Agama


Perempuan diberikan kesempatan yang sama oleh Rasul dalam pelaksanaan pendidikan. Pada zaman Rasulullah Saw. perempuan diberikan waktu untuk mendapatkan pendidikan dari Rasul. [11] Bahkan Rasul memberikan kesempatan yang sama kepada isteri beliau terutama ‘Aisyah untuk berkiprah dalam dunia pendidikan.
Dalam banyak hadis, Rasul mendelegasikan kepada ‘Aisyah untuk memberikan penjelasan kepada para sahabat yang mau belajar kepada Rasul.[12] Begitu juga halnya dalam kegiatan keagamaan, seperti melaksanakan haji. Setelah ‘Aisyah diberi tahu oleh Rasulullah Saw. bahwa jihad perempuan adalah mengupayakan ibadah hajji mabrur, sejak saat itu Aisyah tidak pernah meninggalkan haji, dan tidak ditemani oleh Rasulullah Saw. dan Rasulullah Saw. memberikan kesempatan kepada ‘Aisyah. [13]
Bahkan ketika perempuan minta untuk diikutsertakan dalam berjihad pun Rasul memberikan izin kepada perempuan untuk ikut serta di medan perang, bahkan ada seorang perempuan yang tidak hanya dapat melawan musuh satu orang tetapi ia dapat mengalahkan sampai  13 orang musuh Islam.[14] sebagai perawat korban yang terluka, menyediakan makanan dan minuman untuk para mujahid dan membantu menjaga perlengkapan.[15]  Meskipun Rasul agak sedikit menyarankan agar tidak usah berangkat.  Hal itu bukan disebabkan oleh anggapan bahwa perempuan tidak mampu, tetapi kekhawatiran Rasul akan adanya persepsi pihak lawan memandang bahwa Rasul menjadikan perempuan sebagai tameng dalam perang. .[16] Pada masa itu ada anggapan bahwa suatu kelompok dikatakan tidak satria jika di dalamnya terdapat perempuan.
Hadis berikut ini dipahami sebagai pernyataan Rasul bahwa perempuan kurang akal atau kurang rasional :
يا معشر النساء تصدقن فانى اريتكن اكثر اهل النارفقلن وبم يا رسول الله قال تكثرن اللعن و تكفرن العشير ما رأيت من ناقصات عقل و دين اذهب للب الرجل الحازم من احداكن قلن وما نقصان دينناوعقلنا يا رسول الله قال اليس شهادة المرأة مثل نصف شهادة الرجل قلن بلى قال فذلك من نقصان عقلها اليس اذا حاضت لم تصل ولم تصم قلن بلى قال فذلك من نقصان دينها   [17]
Dalam hadis  panjang diatas berisi dialog antara Rasul dengan sahabiah.  Ketika Rasul memerintahkan agar perempuan bersedekah.  Rasul menyatakan bahwa kebanyakan ahli neraka terdiri dari perempuan.  Ketika ditanya penyebabnya, salah satu  jawaban yang diberikan Rasul adalah karena perempuan kurang akal dan agamanya. Kenapa kurang akal, Rasul menjawab karena kesaksian dua perempuan sama dengan satu pria.  Kurang agama, karena perempuan haid atau menstruasi tidak  melaksanakan salat dan puasa.
Ashgar Ali Engineer mengemukakan dalam bukunya bahwa hadis diatas maudhu’.[18] Padahal ulama hadis menyatakan hadis ini sahih. Karena alasan tersebut disampaikan oleh Nabi agar perempuan mau bersedekah, sebagai pengganti dari kekurangannya itu.  Dikaitkan dengan kesaksian, jika perempuan telah memberikan sedekah berarti telah terjadi hubungan antar individu, ada yang memberi dan ada yang menerima.  Hal itu menyebabkan perempuan mempunyai wawasan luas.
Memahami hadis secara tekstual, bertentangan dengan fakta sejarah dan ketentuan agama. Pada masa itu banyak perempuan yang menonjol pengetahuannya dan kuat agamanya.  Seperti Khadijah, ‘Aisyah [19]  dan sahabiyat  lainnya. Jika meninggalkan ibadah karena alasan menstruasi dinyatakan sebagai dasar kurang agama, maka perempuan haid tidak akan dilarang melakukan salat, puasa, dan membaca al-Qur’an (bagi yang berpendapat bahwa perempuan haid tidak boleh menyentuh mushaf) Perempuan tidak salat dan tidak puasa ketika haid karena mengikuti aturan agama. Menurut hemat penulis, semua ini berhubungan dengan metode Rasul memberikan perintah/anjuran sehingga perintahnya dilaksanakan dengan ikhlas.
Oleh sebab itu, pemahaman terhadap hadis dilakukan secara kontekstual, bukan tekstual.  Ini untuk menghindari diri dari menganggap palsu hadis yang  sahih.
         

3.      Perempuan Lebih Baik Salat Di Kamar Tidurnya


 وصلاتك في بيتك خير من صلاتك في حجرتك وصلاتك في حجرتك خير من صلاتك في دارك وصلاتك في دارك خير من صلاتك في مسجدي           [20]

Salatmu di ruang tidurmu lebih baik dari pada salatmu di ruang rumah yang lain, salatmu di ruang rumah yang lain lebih baik dari salatmu di serambi rumahmu, salatmu di serambi rumahmu lebih baik dari salatmu di masjidku.”

Banyak hadis yang menyatakan bahwa perempuan ikut shalat berjama’ah bersama Rasul di mesjid. Dalam menjalankan ibadah, Rasul tidak melarang perempuan untuk ikut dalam jama’ah shalat.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ائذنوا للنساء  بالليل الى المسجد [21]
Dalam hadis ini shalat Isya dan Subuh, yang dilaksanakan pada malam hari pun Rasul memberikan tempat untuk perempuan. Sangat banyak hadis yang menyatakan bahwa di antara jama’ah shalat terdapat makmum perempuan di belakang laki-laki.[22]  Memang ada larangan perempuan memakai parfum ke mesjid. [23]  Ada kekhawatiran ‘Umar tentang kebolehan perempuan di mesjid yang diungkap dalam sebuah hadis, yang menyatakan bahwa tingkah laku perempuan yang tidak benar ketika berangkat ke dan di mesjid dapat berakibat dilarangnya perempuan datang ke mesjid. Berbeda dengan masa sebelumnya, perempuan dilarang datang ke rumah ibadah.[24]  Islam tidak melarang, tetapi Rasul hanya memberikan persyaratan kepada perempuan yang datang ke mesjid pada waktu malam untuk tidak menggunakan minyak wangi.  Bahkan beliau dengan tegas menyatakan bahwa perempuan yang terlanjur memakainya agar pulang dan mandi seperti pelaksanaan mandi janabah.[25] Dengan aturan yang diberikan itu terlihat bahwa perempuan ikut berpartisipasi dalam pemakmuran mesjid dan pengembangan ilmu pengetahuan.

4.      Perempuan sebagai penggoda


عَنْ جَابِرٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى امْرَأَةً فَأَتَى امْرَأَتَهُ زَيْنَبَ وَهِيَ تَمْعَسُ مَنِيئَةً لَهَا فَقَضَى حَاجَتَهُ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى أَصْحَابِهِ فَقَالَ إِنَّ الْمَرْأَةَ تُقْبِلُ فِي صُورَةِ شَيْطَانٍ وَتُدْبِرُ فِي صُورَةِ شَيْطَانٍ فَإِذَا أَبْصَرَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً فَلْيَأْتِ أَهْلَهُ فَإِنَّ ذَلِكَ يَرُدُّ مَا فِي نَفْسِهِ      [26]
Rasululullah melihat seorang perempuan lalu Beliau pulang  ke isterinya, dan melakukan keinginannya. Setelah itu, Beliau menyampaikan kepada Sahabat Bahwa Perempuan depannya dalam bentuk syetan dan belakang dalam bentuk syetan jika kamu melihat perempuan pulanglah ke isterimu, karena itu dapat menghilangkan sesuatu yang ada pada dirimu

Berdasarkan hadis di atas Rasulullah tidak menyamakan perempuan dengan syetan, tetapi seperti yang sudah diketahui oleh masyarakat secara umum bahwa syetan akan melancarkan senjatanya untuk menggoda manusia, maka Rasul menggunakan itu dalam menyampaikan maksudnya.  Dalam hadis konteksnya ketika seorang yang sudah menikah merasa tertarik dengan perempuan yang dilihatnya, Rasul menganjurkan untuk menemui isterinya. Perempuan mempunyai daya tarik baik dari depan atau dari belakang.

5.      Isteri sujud kepada suaminya


فلا تفعلوا لوكنت أمرا أحدأ أن يسجد لبشر لأمرت النساء أن تسجد ن لأزواجهن لما جعل الله لهم عليهن من الحق  [27]
Jangan kamu lakukan itu. Sekiranya aku boleh memerintahkan pada seseorang untuk sujud pada manusia maka sungguh akan aku perintahkan kaum perempuan untuk sujud pada suami-suami mereka karena (besarnya) hak mereka terhadap istrinya”.

Kaum feminis menilai hadis di atas merendahkan martabat kaum perempuan, karena diperintahkan isteri sujud pada suami. Pada hal kalau dilihat Hadis secara keseluruhan, ada beberapa sebab munculnya(sabab al-wurud), adalah:
a.      ketika Qays ibn Sa’ad yang baru pulang dari Hiyarah menuju Madinah. Saat bertemu Nabi SAW  dia langsung sujud, karena di Hiyarah ia melihat orang-orang sujud pada Rabi-Rabi mereka.
b.      Ketika Mu’az bin Jabal datang ke Syam melihat orang Nasrani sujud kepada pastor
c.       Hadis dari ‘Aisyah ketika Rasul melakukan perjalanan bersama Anshar dan Muhajirin, mereka melihat binatang ternak yang dilewati oleh rombongan Rasul sujud kepada Rasul.
Qays, Mu’az dan para sahabat yang melihat realitas yang terjadi, Mereka menganggap bahwa Rasulullah lebih berhak untuk disujudi,Rasul melarang sujud kepadanya. Lalu Nabi SAW langsung menyabdakan hadis diatas. Berdasarkan latar belakang hadis tersebut di atas dan realitas yang ada di zaman Rasul, tidak ada perintah Rasul kepada isteri untuk sujud kepada suaminya.  Dari hadis ini ada kalimat “seandainya boleh manusia sujud kepada manusia lain, maka bukan sujud kepada Rasul tetapi kepada suami”, ini menunjukkan Islam melarang manusia sujud kepada manusia.


6.      Isteri Harus Melayani Biologis Suami

Ada hadis yang sering dipahami sebagai pemaksaan terhadap isteri untuk melayani kebutuhan seksual suaminya. Adanya ancaman dilaknat malaikat bagi isteri yang enggan melakukan hubungan seksual dengan suaminya berikut ini:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا بَاتَتِ الْمَرْأَةُ هَاجِرَةً فِرَاشَ زَوْجِهَا لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ [28]
Menurut riwayat di atas, isteri yang tidak mau diajak oleh suami untuk melayani kebutuhan biologisnya akan mendapatkan laknat malaikat sampai  shubuh. Hadis ini dalam konteksnya bukan untuk memaksa, karena ada perintah yang ditujukan kepada suami untuk mempergauli istri dengan cara yang baik/wajar. Agaknya aturan ini merupakan bentuk kekonsistenan ajaran Islam yang menganjurkan untuk menikah agar terhindar dari zina.[29] Di samping itu, sebelum Islam orang mempunyai isteri tidak terbatas jumlahnya, tetapi setelah Islam datang Rasul membatasi maksimal empat orang dengan persyaratan yang sangat ketat. Jika dengan isteri yang sudah terbatas tersebut suami tidak dapat memenuhi kebutuhan seksualitasnya maka dapat membuka peluang terbukanya pintu perzinaan.

7.      Isteri Ibadah Harus Seizin Suami

Sama juga halnya dengan hadis tentang larangan puasa sunat tanpa izin suami berikut ini:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لا تَصُومُ الْمَرْأَةُ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ يَوْمًا مِنْ غَيْرِ شَهْرِ رَمَضَانَ إِلا بِإِذْنِهِ  [30]
Dalam riwayat di atas, ketika suami berada di rumah si isteri tidak dapat melakukan puasa sunat kecuali atas izin suaminya. Diketahui bahwa puasa merupakan ibadah yang tidak membolehkan hubungan seksual suami isteri.
Hadis di atas tidak dapat dipahami tekstual, dengan pemahaman bahwa jika suami melarang isteri melakukan ibadah si isteri tidak boleh melakukannya. Teks hadis terkesan seakan-akan bahwa untuk melakukan ibadah saja harus dengan izin suami. Pemahaman seperti ini memperlihatkan bahwa suami menduduki posisi sangat tinggi dibandingkan isteri.
Di samping itu, perlu juga diperhatikan kosa kata syahid dalam hadis menunjukkan bahwa konteks hadis ini  pada suami yang biasanya sering tidak berada di rumah atau sering bepergian. Apalagi pada masa Rasul kepergian suami ke luar daerah untuk mencari nafkah,  dan berperang di tempat lain yang jauh dari rumah, maka sangat tepat jika dalam kondisi seperti itu, perlu izin suami untuk melakukan puasa sunnat.  Karena ia hanya punya waktu yang tidak banyak berada bersama keluarganya.

8.      Isteri Tdk Boleh Minta Cerai


عَنْ أَبِي أَسْمَاءَ عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلَاقَ فِي غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ      [31] 
Hadis ini sering digunakan untuk melegitimasi perempuan agar merasa takut dengan ancaman tidak akan mendapatkan surga, bahkan tidak mendapatkan baunya, sehingga perempuan akhirnya menerima dengan terpaksa perlakuan apapun dari suaminya. Dalam hadis terdapat ancaman bagi isteri yang meminta cerai dari suaminya tidak mendapatkan bau surga. 
Namun, di akhir hadis itu dinyatakan  bahwa yang tidak mendapatkan bau surga itu adalah permintaan cerai yang tanpa sebab yang dibolehkan. Hal itu diatur pula dalam hadis tentang khulu’, jika tidak memungkinkan lagi untuk bersama, Islam memberikan hak terhadap isteri untuk mengajukan permohonan cerai.
Hadis tentang kebolehan perempuan mengajukan permohonan cerai
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ امْرَأَةَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ أَتَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ مَا أَعْتِبُ عَلَيْهِ فِي خُلُقٍ وَلا دِينٍ وَلَكِنِّي أَكْرَهُ الْكُفْرَ فِي الإِسْلامِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ قَالَتْ نَعَمْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْبَلِ الْحَدِيقَةَ وَطَلِّقْهَا تَطْلِيقَةً [32]
Ibn Abbas menceritakan bahwa isteri Tsabit bin Qais mendatangi Rasulullah  dan mengungkapkan: ya Rasulullah  Tsabit bin Qais saya tidak merasa 'aib dengan perangai dan tidak pula dengan keberagamaannya, tetapi saya akan terpaksa kafir dalam keislaman, maka Rasulullah bersabda: apakah kamu bersedia mengembalikan kebunnya ?, saya mengatakan ya, ya Rasulullah, lalu Rasulullah bersabda terimalah kebun dan ceraikanlah ia. 

Hadis ini muncul karena ada sebab wurud, yaitu peristiwa yang dihadapi oleh seorang isteri yang tidak mau dalam rumah tangganya akan mengarahkan ia kafir dalam Islam.  Malah ia tidak merasa keberatan terhadap akhlak dan keberagamaan suaminya. Dalam riwayat lain, ada penyebabnya yaitu tindakan kekerasan yang dilakukan oleh suaminya terhadap diri perempuan, sampai tangannya patah.[33]  
Dari peristiwa yang dialami oleh si isteri, terlihat bahwa masalah dalam keluarga yang telah mengarah pada kekerasan fisik atau perempuan tidak sanggup lagi untuk melanjutkan dan suami tidak melepaskan, maka si isteri diberi hak untuk mengajukan diri bebas dengan  ganti rugi. Yang dalam Islam dikenal dengan istilah khulu'. [34].
Peristiwa/masalah dalam keluarga yang dapat dijadikan alasan untuk mengajukan khulu' dalam hadis adalah adanya kekhawatiran si isteri kafir dalam Islam, yaitu dia tidak mungkin dapat melakukan kewajibannya sebagai isteri dan tidak mungkin dapat hidup bersama. Dapat juga bermakna, perempuan diberi hak untuk mengajukan khulu’, jika suaminya tidak memberikan haknya sebagai isteri.

9.      Isteri Harus Ada Muhrim

Dalam sebuah hadis, Rasul bersabda:
  عَنْ ابنِ عَبَّاسٍ رَضِي اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ وَلَا تُسَافِرَنَّ امْرَأَةٌ إِلَّا وَمَعَهَا مَحْرَمٌ فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ اكْتُتِبْتُ فِي غَزْوَةِ كَذَا وَكَذَا وَخَرَجَتِ امْرَأَتِي حَاجَّةً قَالَ اذْهَبْ فَحُجَّ مَعَ امْرَأَتِكَ [35]
Ibn Abbas mendengar Rasul bersabda:’ Janganlah berdua-duaan laki-laki dan perempuan, dan janganlah perempuan melakukan perjalanan, kecuali bersamanya ada muhrimnya.  Seorang berdiri dan berkata, ya Rasul saya diwajibkan mengikuti peperangan itu dan itu, dan isteriku menunaikan ibadah haji, Rasul menjawab: pulanglah dan berhajilah bersama isterimu.  
Hadis di atas memberikan keterangan bahwa perempuan harus selalu didampingi oleh mahramnya.  Ini bukan berarti bahwa perempuan tidak mempunyai kebebasan dan kemerdekaan.  Akan tetapi, demi untuk menjaga perempuan dari berbagai kemungkinan.  Perlu diingat bahwa pada masa itu, perjalanan jauh menggunakan unta sebagai alat transportasi dan medan yang dilalui begitu sulit, serta ditempuh dalam waktu yang cukup panjang.  Sehingga membutuhkan untuk tidur di tenda sepenjang perjalanan. Dapat dibayangkan perjalanan seperti itu mempunyai resiko bagi perempuan, yang sendiri, tanpa mahram. Untuk zaman sekarang pun banyak bukti betapa faktor eksternal yang akan membahayakan perempuan.

 Penutup

1.      Kesimpulan
Hadis yang dianggap missoginis sebagian besar dinilai sahih oleh oleh muhaddisun. Dari beberapa contoh hadis yang dianggap missoginis tersebut ternyata ada pemahaman terhadap hadis yang bias gender, dengan menonjolkan relasi gender atau relasi antara laki-laki dan perempuan yang tidak berimbang. 
Pemahaman tersebut disebabkan oleh dua hal :
1.      Tidak tematis, hadis yang membicarakan masalah yang sama tidak dijadikan dasar dalam memahami pesan. 
2.      Pemahaman tekstual dengan mengabaikan asbab wurud hadis atau situasi dan kondisi yang mengitari ketika hadis itu diwurudkan. Di samping itu, mengabaikan uslub  dan metode Rasul dalam menyampaikan hadis. Bahkan bukan itu saja, adanya pemenggalan pemahaman terhadap teks dalil.
3.      Dampak dari pemahaman tersebut adalah: pemahaman yang keluar dari konteksnya sehingga hadis sahih kemudian dinilai maudhu’





DAFTAR PUSTAKA
Abu Daud, Sulaiman bin al-Asy’as al-Sijistani, Sunan Abi Daud, juz 2,3, Indonesia, Maktabat Dahlan, t.t.,
Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, Beirut, Dar al-Fikr, t.t.,
Anonim, Perjanjian Lama-Baru, Jakarta, Lembaga al-Kitab, 1979
Al-Asqalani, Syihab al-Din Abi al-Fadl Ahmad ibn Ali ibn Hajr, Al-Ishabah fi Tamyiz al-Shahabah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1409 H./ 1989 M.) juz 8,
____________, al-Maqashid al-Hasanah fi Bayani Katsir min al-ahadits al-Musytahirah ‘ala al-Alsinah, (Beirut: Dar al-Hijrah, 1406 H/1986 M), h. 200
____________, Tahazib al-Tatahzib, (India: Dairah  al-Ma’arif Ni§amiyah, 1326 H).
Ashgar Ali Engineer, The Right of Women in Islam, diterjemahkan oleh Farid al-Wajidi dan Cici Fakhra Assegaf, Hak-hak Perempuan dalam Islam, Jakarta, LSPPA, 1994
Al-Bukhari, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il, Shahih al-Bukhari, juz 1,3, Indonesia, Maktabat Dahlan, t.t,
Al-Darimi,  Abu Muhammad ‘Abdullah bin ‘Abd al-Rahman, bin aal-Fadhl, bin Bahram al-, Sunan al-Darimi, juz II, Indonesia, Maktabat Dahlan, t.t.
Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-’Azhim, Singapura,Sulaiman Mar’i, 1985
Ibn Majah, Abu ‘Abdullah bn Yazid al-Qazwini, Sunan Ibn Majah, juz I, Indonesia, Maktabat Dahlan, t.t.,
Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman bin Abi Bakar al-Suyuthi, Asbab Wurud al-Hadis aw al-Lam’ fi Asbab al-Hadis, Beirut, Dar al-Kutub al-’Ilmiyyat, 1404/1984
Malik bin Anas, al-Muwaththa’ Beirut: Dar al-Fikr, 1970.
Al-Mazi,  Jamal al-Din Abi al-Hajjaj Yusuf al-, Tahzib al-Kamal fi Asma’ al-Rijal, juz III  , Beirut: Dar al-Fikr, 1414/ 1994.
Muslim, Abu al-Husain bin al-Hajjaj, Shahih Muslim, Indonesia, Maktabat Dahlan, t.t.,
Al-Nasa’I,  Abu ‘Abd al-Rahman Ahmad bin Syu’aib al-, Sunan al-Nasa’i, juz IV, Semarang, Thoha Putra, t.t
Al-Qari, ‘Ali bin Sulthan Muhammad Al-, Mirqat al-Mafatih Syarh Misykat al-Mashabih, juz VI, Beirut: Dar al-Fikr, 1412/1992, h. 403.
Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, Fingsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung, Mizan, 1992.
Al-Qurthubi, Jami’ li al-Ahkam al-Qur’an, juz I, Kairo, dar al-Qalam, 1966
Ridha, Rasyid, Tafsir al-Manar, jilid IV, Mesir, al-Haiah al-Mishriyyah li al-Kitab, 1973
Al-Saharanfuri, Khalil Ahmad   al-,  Bazl al-Juhud fi Hall Abi Daud, juz X, Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyat, t.t..  
Taufiq ‘Ali Wabah, Al-Jihad fi al-Islam Dirasat Muqarat bi Ahkam al-Qanun al-Duwali   al-’Am, (Riyad: Dar al-Liwa’, 1981 M./1401 H
Al-Thaba’thaba’i, Muhammad Husain al-Mizan fi Tafsir al-Qur'an, juz V, Beirut: Muassasat al-A’lami li al-Mathbu’at, 1411/1991,
Al-Turmuzi, Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Tsaurat al-Turmuzi, Sunan al- Turmuzi (Jami’ al-Shahih), Indonesia, Dahlan, t.t.,
al-Zamakhsyari, al-Kasysyaf ‘an Haqaiq al-Tanzil  wa  Uyun al-Aqawil, jilid I, Beirut, Dar al-Fikr, 1977, h. 492




[1] Workshop Kajian Tafsir dan Hadis, Bandar Lampung, 26 Nov.2012, Hasil penelitian 2001, pernah disampaikan pada Seminar Penghapusan Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)  Rabu 21 Desember 2007 Pemerintahan Kota Metro.
[2] Guru Besar Hadis/ilmu Hadis di STAIN "Jurai Siwo" Metro
[3] al-Bukhari, Shahih al-Bukhari,  jilid III, juz VII, h. 34. Muslim, Shahih Muslim, jilid I,  h. 625, Al-Darimi , Kitab Nikah, Bab ke 35; dan Ahmad ibn Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad ibn Hanbal,  jilid V hadis ke 8.  Para ulama hadis menilainya shahih. Ibn Hajar al-Asqalani, al-Maqashid al-Hasanah fi Bayani Katsir min al-ahadits al-Musytahirah ‘ala al-Alsinah, (Beirut: Dar al-Hijrah, 1406 H), h. 200.
[4] Penafsiran seperti ini berkembang di kalangan mufassir klasik seperti al-Qurthubi, Jami’ li al-Ahkam al-Qur’an, juz I, Kairo, Dar al-Qalam, 1966, h. 301, Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-’Azhim, Singapura,Sulaiman Mar’i, 1985, h. 448, al-Zamakhsyari, al-Kasysyaf ‘an Haqaiq al-Tanzil  wa  Uyun al-Aqawil, jilid I, Beirut, Dar al-Fikr, 1977, h. 492, dan banyak lagi yang lain.
[5] Wanita dari tulang rusuk terdapat dalam  Perjanjian Lama kitab Kejadian II ayat 21-22, yang isinys: Maka didatangkan Tuhan Allah atas Adam itu tidur yang lelap, lalu tertidurlah ia.  Maka diambil Allah sebilah tulang rusuknya, lalu ditutupkannya di tempat itu dengan daging.  Maka dari tulang yang telah dikeluarkannya dari dalam itu diperbuat Tuhan seorang perempuan.  Lalu dibawanya akan dia kepada Adam. Lihat Perjanjian Lama-Baru, Jakarta, Lembaga al-Kitab, 1979, h. 9. Menurut Rasyid Ridha, ide penciptaan wanita dari tulng rusuk tampaknya timbul dari Perjanjian Lama.  Seandainya kisah itu tidak tercantum di sana, niscaya pendapat itu (wanita dari tulang rusuk) tidak akan pernah terlintas dalam benak seorang muslim yang selalu  membaca al-Qur’an. Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, jilid IV, Mesir, al-Haiah al-Mishriyyah li al-Kitab, 1973, h. 330.
[6] Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an,  Tafsir Maudhu’i atas Berbagai Persoalan Umat, Jakarta, Mizan, 1996, h. 300.
[7] Muslim, loc.cit
[8] Al-Bukhari, juz IV, h. 228, al-Turmuzi, juz III, h. 360 dan Ahmad bin Hanbal, jilid V,    h. 38, dan 47.
[9] Ar-Razi, At-Tafsir Al-Qur’an-Kabir, Juz X, h. 88, Az-Zamakh Syari, Al-Qur’an-Kasysyaf, Juz I, h.523, Ath-Thabathaba’i, Tafsir Al-Qur’an-Mizan, Juz IV, h. 351
[10] Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman bin Abi Bakar al-Suyuthi, Asbab Wurud al-Hadis aw al-Lam’ fi Asbab al-Hadis, Beirut, Dar al-Kutub al-’Ilmiyyat, 1404/1984, h. 82-84.
[11] Ada seorang sahabiyah yang protes karena setiap majelis ilm yang diadakan Rasul diikuti oleh laki-laki saja. Lalu Rasul memberkan kesempatan kepada mereka untuk membuat jadwal sesuai dengan waktu yang mereka sepakati bersama.
[12] ‘Aisyah merupakan guru dari sahabat lain dan tabi’in .  Ketika Rasulullah masih hidup pun beliau memrintahkan agar sahabat menanyakan masalah tertentu kepada ‘Aisyah.  Dalam sebuah hadis, Rasul mengemukakan kelebihan yang dimiliki oleh ‘Aisyah sebagai berikut :    Ambillah setengah dari agamamu dari Humaira’.  Ini menunjukkan bahwa ‘Aisyah mempunyai kelebihan bahkan dari sahabat laki-laki pun
[13] al- Bukhari, juz 1., h. 712.
[14] Taufiq ‘Ali Wabah, Al-Jihad fi al-Islam Dirasat Muqarat bi Ahkam al-  Qanun al-Duwali       al-’am, (Riyad: Dar al-Liwa’, 1981 M./1401 H.), h.118-121.
[15] Ibid., h. 117-118.
[16] Ahmad bin Hajar al-’Asqalani, Al-Işabah fi Tamyiz al-Şaĥāba, (Beirut: Dar al-Fikr, 1409 H./ 1989 M.) juz 8, h. 235.
[17]  al-Bukhari, Jilid I, h. 83 dan Muslim, jus 1, h. 48, Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, jilid 2, juz 4, h. 219-220,   Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, juz 2, h. 1326-1327; Ahmad ibn Hanbal dalam Musnad-nya, jilid II, h. 67, 373, dan 374. Mayoritas ulama menghukumi hadis ini shahih
[18] Ashgar Ali Engineer, The Right of Women in Islam, diterjemahkan oleh Farid al-Wajidi dan Cici Fakhra Assegaf, Hak-hak Perempuan dalam Islam, Jakarta, LSPPA, 1994, h. 112.
[19] ‘Aisyah  merupakan guru dari sahabat lain dan tabi’in .  Ketika Rasulullah masih hidup pun beliau memrintahkan agar para sahabat menanyakan masalah yang tidak diketahuinya kepada ‘Aisyah.  Dalam sebuah hadis, Rasul mengemukakan kelebiha yang dimiliki oleh ‘Aisyah sebagai berikut :   
[20] Abu Dawud, juz 1, h. 156  dan Ahmad bin Hanbal juz VI h. 371
[21]  al- Bukhari, dalam kitab azan, Muslim, juz 1, h.327; al-Darimi, dalam kitab shalat;, Abu Daud, dalam kitab shalat; al-Turmuzi, dalam kitab jum’at; al-Nasa'i, dalam kitab mesjid; dan Ibnu Majah, dalam kitab muqaddimah.
[22] Hadis riwayat Muslim, juz 1, h. 326
[23] Wanita mana pun yang menyentuh wewangian, maka tidak boleh mengikuti shalat Isya bersama kami". (Hadits Riwayat Muslim,  h. 328 kitab salat no. 673 & 674, al-Nasa’I, zinah no. 5039-5044
[24] Hadis dari ‘Aisyah, ibid.
[25] Hadis secara lengkap dalam riwayat Abu Daud, dalam kitab tarajjul dan al-Nasa'i, dalam kitab zinah berbunyi:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَرَجَتِ الْمَرْأَةُ إِلَى الْمَسْجِدِ فَلْتَغْتَسِلْ مِنَ الطِّيبِ كَمَا تَغْتَسِلُ مِنَ الْجَنَابَةِ مُخْتَصَرٌ
[26]  Muslim, juz 2, h. 1021, Abu Dawud, juz 2, h. 246, al-Turmuzi, juz 2, h. 313-314 dan Ahmad ibn Hanbal, juz 3, h. 320
[27] Abu Dawud, jilid 1 juz 2, h. 244, Ibn Majah, juz 1, h. 562, al-Turmuzi, juz 2, h. 314, Ahmad ibn Hanbal, juz 4, h. 381 dan juz 6, h. 76
[28] Muslim, juz 2,  h. 1059
[29] Dalam sebuah hadis secara tegas diperintahkan oleh Rasul:
يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج فانه اغض للبصر و احصن للفرج ومن لم يستطع فعليه بالصوم فانه له وجاء
Lihat, Al-Bukhari, juz III, h. 2098-2099, Muslim,  juz II, h. 1018-1020, Abu Daud, juz II, h. 219, Abu ‘Abd al-Rahman Ahmad bin Syu’aib al-Nasa’i, Sunan al-Nasa’i, juz IV, Semarang, Thoha Putra, t.t., h. 170-171 dan juz VI, h. 56-58, Abu ‘Abdullah bn Yazid al-Qazwini Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, juz I, Indonesia, Maktabat Dahlan, t.t., h. 592, Abu Muhammad ‘Abdullah bin ‘Abd al-Rahman, bin aal-Fadhl, bin Bahram al-Darimi, Sunan al-Darimi, juz II, Indonesia, Maktabat Dahlan, t.t., h. 132, dan Ahmad bin Hanbal, juz I, h. 58, 378, 424, 425, 432, dan 447. 
[30] al- Bukhari, kitab nikah no. 4793 dan 4796;  Muslim, kitab zakat no. 1704; Abu Daud, kitab shaum no. 2102; Ibnu Majah, kitab shiyam no. 1751; al-Darimi, kitab shiyam no. 1657
[31] 
[32]  Al-Bukhari, thalaq no. 4867,4868 dan 4869, al-Nasa'i, thalaq no. 3409 dan Ibn Majah, thalaq no. 2046
[33] al-Syaukani, jilid 4, juz  9, h. 
[34] Dinyatakan khulu', karena perempuan melepaskan dirinya dari ikatan lembaga perkawianan yang telah mereka bentuk.
[35] Al-Bukhari, juz 1, h. 712, juz 2, h.1174 dan juz 3, h. 2164, Muslim, juz 2, h. 978

1 komentar:

  1. alhamdulillah.. dengan adanya web ibu ini, saya dapat menemukan hadist yang saya butuhkan dalam penyelesaian tugas sekolah saya. terima kasih bu

    BalasHapus