Senin, 19 Oktober 2009

Pentashihan Buku Yasin yang Beredar di Masyarakat:Upaya Memelihara Otensitas al-Qur’an

Pentashihan Buku Yasin yang Beredar di Masyarakat:Upaya Memelihara Otensitas al-Qur’an







Abstrak
Faktanya terdapat kesalahan dalam penulisan buku Yasin yang beredar di tengah-tengah masyarakat. Bentuk kesalahan-kesalahan yang ditemukan dapat dikelompokkan sebagai berikut: kesalahan huruf, kesalahan harakat, kesalahan teknis penulisan, dan inkonsistensi dalam penulisan. Kesalahan huruf, kesalahan harakat, dan kesalahan teknis penulisan di atas termasuk kategori kesalahan yang merubah makna ayat. Kesalahan yang tidak merubah makna ayat misalnya inkonsistensi dalam penulisan antara mengikuti rasm Utsmani dan atau mengikuti rasm Imla’i. Kiranya kondisi ini perlu menjadi perhatian semua pihak yang terkait dalam menjaga dan memelihara otentisitas al-Qur’an. Diperlukan dedikasi Lajnah Pentashih al-Qur’an sebagai lembaga yang diberi kewenangan oleh Pemerintah, di sisi lain dibutuhkan komitmen dari penulis dan pihak percetakan. Yang tak kalah pentingnya adalah setiap pribadi muslim ikut mentashih dan mengontrol peredaran buku Yasin tersebut .

Kata kunci: buku Yasin, tashih, pemeliharaan otentisitas al-Qur’an.




Pendahuluan
Tradisi Yasinan adalah salah satu tradisi keagamaan yang mengakar dan melembaga dalam masyarakat kita. Tradisi yang menjadikan pembacaan QS Yasin/36 sebagai bagian terpenting dari rangkaian acaranya di samping juga dibacakan ayat dan zikir lainnya.
QS Yasin/36 merupakan bagian dari al-Qur’an, mestilah genuine, authentic dan terbebas dari upaya tahrif yang akan mengurangi kemuliaannya. Upaya pemeliharaan otentisitas al-Qur’an telah dimulai semenjak proses turunnya al-Qur’an pada masa Rasulullah. Hal ini terus berlanjut ketika memasuki tahapan pengumpulan dan kodifikasinya pada masa Khulafa Rasyidun. Bahkan sampai saat ini dan begitu selanjutnya sampai akhir zaman, upaya pemeliharaan otentisitas al-Qur’an ini terus berlangsung baik dalam bentuk hafalan dan tulisan.
Mushaf al-Qur’an pun terus mendapat pantauan dan perhatian oleh pihak yang berwenang dan dibantu oleh kaum muslimin. Upaya menjaga quality control ini dilaksanakan semenjak dari naskah cetakan maupun setelah dicetak dan diedarkan di tengah-tengah masyarakat. Dalam tulisan ini selanjutnya akan diulas tentang upaya pemeliharaan kemurnian al-Qur’an dan antisipasi upaya pemalsuannya. Adapun yang dijadikan fokusnya adalah pentashihan buku Yasin. Mengingat fungsi dan perannya yang begitu signifikan dalam menopang tradisi Yasinan tersebut.
Jika pentashihan al-Qur’an mendapat perhatian yang ketat, kiranya perlu dipertanyakan tentang pentashihan buku Yasin. Bagaimanakah proses pentashihannya sebelum diedarkan secara luas ke masyarakat. Dan jika ditemui buku-buku Yasin yang tidak ditashih oleh pihak yang berwenang kiranya perlu dilakukan penelitian dan pentashihan secara mandiri untuk menyelidiki jika ditemukan kesalahan di dalamnya.



Pemeliharaan Otentisitas al-Qur’an
Al-Quran al-Karim memperkenalkan dirinya dengan berbagai ciri dan sifat. Salah satu di antaranya adalah bahwa ia merupakan kitab yang keotentikannya dijamin oleh Allah, dan ia adalah kitab yang selalu dipelihara. Firman Allah:
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Quran, dan Sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya. QS al-Hijir/15: 9
Demikianlah Allah menjamin keotentikan al-Quran, jaminan yang diberikan atas dasar Kemahakuasaan dan Kemahatahuan-Nya, serta berkat upaya-upaya yang dilakukan oleh makhluk-makhluk-Nya, terutama oleh manusia. Dengan jaminan ayat di atas, setiap muslim percaya bahwa apa yang dibaca dan didengarnya sebagai al-Quran tidak berbeda sedikit pun dengan apa yang pernah dibaca oleh Rasulullah saw., dan yang didengar serta dibaca oleh para sahabat Nabi saw[1].
Walaupun Nabi saw. dan para sahabat menghafal ayat-ayat al-Quran, namun guna menjamin terpeliharanya wahyu-wahyu Ilahi itu, beliau tidak hanya mengandalkan hafalan, tetapi juga tulisan. Sejarah menginformasikan bahwa setiap ada ayat yang turun, Nabi saw. lalu memanggil sahabat-sahabat yang dikenal pandai menulis, untuk menuliskan ayat-ayat yang baru saja diterimanya, sambil menyampaikan tempat dan urutan setiap ayat dalam surahnya. Ayat-ayat tersebut mereka tulis dalam pelepah kurma, batu, kulit-kulit atau tulang-tulang binatang. Sebagian sahabat ada juga yang menuliskan ayat-ayat tersebut secara pribadi, namun karena keterbatasan alat tulis dan kemampuan maka tidak banyak yang melakukannya. Di samping itu kemungkinan besar tulisan mereka tersebut tidak mencakup seluruh ayat al-Quran. Kepingan naskah tulisan yang diperintahkan oleh Rasul itu, baru dihimpun dalam bentuk "kitab" pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar r.a.[2]
Al-Quran, demikian pula Rasul saw. menganjurkan kepada kaum muslim untuk memperbanyak membaca dan mempelajari al-Quran. Anjuran tersebut mendapat sambutan yang hangat. Ayat-ayat al-Quran turun berdialog dengan mereka, mengomentari keadaan dan peristiwa-peristiwa yang mereka alami, bahkan menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka. Di samping itu, ayat-ayat al-Quran turun sedikit demi sedikit. Hal itu lebih mempermudah mencerna makna dan proses menghafalnya[3].
Dalam al-Quran, demikian pula hadis-hadis Nabi, ditemukan petunjuk-petunjuk yang mendorong para sahabatnya untuk selalu bersikap teliti dan hati-hati dalam menyampaikan berita --lebih-lebih kalau berita tersebut merupakan firman-firman Allah atau sabda Rasul-Nya.[4] Faktor-faktor di atas menjadi penunjang terpelihara dan dihafalkannya ayat-ayat al-Quran. Itulah sebabnya, banyak riwayat sejarah yang menginformasikan bahwa terdapat ratusan sahabat Nabi saw. yang menghafalkan al-Quran.



Pengumpulan, Pembukuan, dan Proses Pentashihan
Al-Qur’an pada Masa Khulafa Rasyidun


Ketika terjadi peperangan Yamamah, terdapat puluhan penghafal Al-Quran yang gugur dalam peperangan tersebut. Hal ini menjadikan 'Umar ibn al-Khaththab menjadi risau tentang "masa depan al-Quran" dan keberlangsungannya. Karena itu, ia mengusulkan kepada khalifah Abu Bakar agar mengumpulkan tulisan-tulisan al-Qur’an yang pernah ditulis pada masa Rasul. Walaupun pada mulanya Abu Bakar ragu menerima usul tersebut --dengan alasan bahwa pengumpulan semacam itu tidak pernah dilakukan oleh Rasul saw.-- namun pada akhirnya 'Umar r.a. dapat meyakinkannya. Dan keduanya sepakat membentuk suatu tim yang diketuai oleh Zaid ibn Tsabit—mantan juru tulis; katib Nabi untuk menuliskan Al-Quran ketika masa pewahyuan--dalam rangka melaksanakan tugas suci dan besar itu.[5]
Zaid ibn Tsabit pun pada mulanya merasa sangat berat untuk menerima tugas tersebut, tetapi akhirnya ia dapat diyakinkan. Dengan dibantu oleh beberapa orang sahabat Nabi, Zaid memulai tugasnya. Abu Bakar r.a. memerintahkan kepada seluruh kaum muslim untuk membawa naskah tulisan ayat al-Quran yang mereka miliki ke masjid Nabawi untuk kemudian diteliti oleh tim tersebut. Dalam hal ini, Abu Bakar r.a. memberi petunjuk agar tim tidak menerima satu naskah kecuali yang memenuhi dua syarat: harus sesuai dengan hafalan para sahabat yang lain dan tulisan tersebut benar-benar adalah yang ditulis atas perintah dan atau di hadapan Nabi saw. Karena, sebagian sahabat ada yang menulis atas inisiatif sendiri. Untuk membuktikan syarat kedua ini, diharuskan adanya dua orang saksi yang menyaksikan langsung penulisan tersebut. Zaid menggabungkan antara hafalan sekian banyak sahabat dan naskah yang ditulis di hadapan Nabi saw., dalam rangka memelihara keotentikan al-Quran. Dengan demikian, dapat dibuktikan dari tata kerja dan data-data sejarah bahwa al-Quran yang kita baca sekarang ini adalah otentik dan tidak berbeda sedikit pun dengan apa yang diterima dan dibaca oleh Rasulullah saw., lima belas abad yang lalu.[6]
Pada masa khalifah Abu Bakar dan Umar bin Khattab masalah perbedaan dalam membaca al-Qur’an belum merupakan hal yang mengkhawatirkan, walaupun begitu mereka telah mengantisipasinya dengan melakukan kodifikasi atas al­-Qur’an sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya. Namun setelah dua masa kepemimpinan, masalah tersebut mulai menimbulkan kekhawatiran sehingga para sahabat segera mengambil tindakan seperti yang disebutkan pada riwayat berikut ini :

Berkata kepada kami Musa, berkata kepada kami Ibrahim, berkata kepada kami Ibnu Syihab bahwa Anas bin Malik mengatakan kepadanya: “Khudzaifah bin al-Yaman datang kepada Utsman, dan sebelumnya ia memerangi warga Syam dalam penaklukan Armenia dan Azarbaijan bersama warga Irak, maka terkejutlah Khudzaifah akan adanya perbedaan mereka dalam hal bacaan al-Qur’an, maka berkatalah Khudzaifah kepada Utsman: “Wahai pemimpin orang-orang yang beriman, beritahulah umat ini sebelum mereka berselisih dalam masalah kitab sebagaimana umat Yahudi dan Nasrani”, Utsman lantas berkirim surat kepada Hafshah : “Kirimkan kepada kami lembaran-lembaran untuk kami tulis dalarn mashahif (bentuk plural dari mushaf -kumpulan lembaran dengan diapit dua kulit seperti buku-) kemudian kami kembalikan kepadamu”, Hafshah segera mengirimkannya kepada Utsman, maka Utsman segera memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin Ash, serta Abdurrahman bin al-Harits bin Hisyam untuk menyalinnya ke dalam mushaf-mushaf, dan dia (Utsman) mengatakan kepada ketiga otoritas Quraisy tersebut di atas: Jika kalian berselisih dengan Zaid bin Tsabit tentang masalah Qur’an, maka tulislah dengan lisan Quraisy sebab al-Qur’an diturunkan dengan dialek mereka (Suku Quraisy), dan mereka melakukan hal itu, maka ketika mereka selesai menyalin lembaran-lembaran tersebut ke dalam beberapa mushaf, Utsman segera mengembalikan lembaran-lembaran tersebut kepada Hafshah, (Utsman) kemudian mengirim ke tiap tempat satu mushaf yang telah mereka salin, dan memerintahkan agar selain mushaf tersebut entah berupa lembaran (sahifah) atau sudah berupa mushaf untuk dibakar.[7]


Pada masa selanjutnya barulah dilakukan penyempurnaan-penyempurnaan dalam hal teknis seperti dalam hal bentuk huruf dan pemberian titik pada huruf yang membedakan antara huruf yang satu dengan yang lain, yang sangat bermanfaat bagi mereka yang hidup belakangan apalagi bagi masyarakat muslim non Arab.



Al-Qur’an Rasm Utsmani

1. Pengertian
Rasm, secara etimologis, merupakan bentuk infinitif (al-mashdar) dari kata kerja rasama yarsamu, yang berarti menggambar atau melukis. Istilah rasm dalam Ulum al-Qur’an diartikan sebagai pola penulisan al-Qur’an yang digunakan Utsman bin Affan dan para sahabatnya ketika menulis dan membukukan al-Qur’an. Kemudian pola penulisan tersebut dijadikan standar dalam penulisan kembali atau penggandaan mushaf al-Qur’an.
Berdasarkan makna bahasa itu dapat dikatakan bahwa rasm al-Qur’an berarti bentuk tulisan al-Qur’an. Ulama tafsir lebih cenderung menamainya dengan istilah rasm al-Mushaf, dan ada pula yang menyebutnya dengan rasm Utsmani. Penyebutan demikian dipandang wajar karena Khalifah Utsman ibn Affanlah yang merestui dan mewujudkannya secara resmi. Dengan demikian rasm al-Mushaf/ rasm Utsmani adalah ketentuan atau pola yang digunakan oleh Utsman bin Affan beserta sahabat lainnya dalam hal penulisan al-Qur’an. Selanjutnya pola ini dijadikan standard baku dalam penulisan kembali atau penggandaan mushaf al-Qur’an.
Mushaf' Utsmani ditulis dengan kaidah-kaidah tersendiri, yang oleh beberapa kalangan dinilai terdapat inkonsistensi dari aturan bahasa secara konvensional. Oleh karena itu, ada sebahagian ulama mempersempit pengertian rasm al-Qur’an yaitu apa yang ditulis oleh para sahabat Nabi saw. menyangkut sebagian lafazh-lafazh al-Qur’an dalam mushaf 'Utsmani, dengan pola tersendiri yang menyalahi kaidah-kaidah penulisan bahasa Arab atau yang dikenal dengan istilah rasm Imla’i
Menyikapi fenomena rasm Utsmani dengan inkonsistensinya, maka muncullah perbedaan pendapat di kalangan para ulama mengenai kedudukan rasm Utsmani tersebut. Jumhur ulama berpendapat rasm Utsmani yang menggunakan pola tersendiri bersifat tauqifi atau atas petunjuk Nabi SAW, dengan alasan bahwa para penulis wahyu itu adalah orang-orang yang ditunjuk langsung dan dipercayai oleh Nabi. Sehingga bentuk-bentuk inkonsistensi tersebut tidak bisa dilihat hanya dari sisi kaedah penulisan baku bahasa arab (rasm Imla’i) tetapi di balik inkonsistensinya itu terdapat rahasia atau hikmah tersendiri. Sedang sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa rasm Utsmani itu tidak bersifat tauqifi, tapi merupakan ijtihad para sahabat semata berdasarkan sebuah riwayat bahwa sesungguhnya memerintahkan untuk menulis al-Qur’an tetapi tidak memberikan petunjuk teknis penulisannya dan tidak pula melarang menulisnya dengan pola-pola tertentu. Seandainya rasm Utsmani bersifat tauqifi tentu akan disebut rasm Nabawi, belum lagi kalau ke-ummiyan Nabi dipahami sebagai “buta huruf”, jadi tidak mungkin petunjuk teknis penulisan datang dari Nabi. Sehingga dengan adanya perbedaan pendapat ini, maka hukum mengikuti rasm Utsmani dalam penulisan al-Qur’anpun diperselisihkan oleh para ulama. Ada yang menyatakan wajib diikuti dan harus dipertahankan meskipun terdapat sebagian yang menyalahi kaedah-kaedah penulisan yang telah dibakukan, bahkan imam Ahmad bin Hambal dan imam Malik memfatwakan haram hukumnya menulis al-Qur’an jika menyalahi rasm Utsmani. Sementara ulama lain membolehkan menulis al-Qur’an dengan tidak mengikuti rasm Utsmani.

2. Macam-Macam Rasm al-Qur’an dan Karakteristik Rasm Utsmani

Pola penulisan rasm 'Utsmani memiliki perbedaan, dan lain dengan kaidah-kaidah atau standar penulisan bahasa Arab baku yang berkembang di dalam masyarakat modern. Menurut mayoritas ulama, sedikitnya ada enam pola penulisan al-Qur’an versi Mushaf 'Utsmani yan g menyimpang dari kaidah-kaidah pe­nulisan bahasa Arab baku,[8] yaitu:



a. Pengurangan-pengurangan huruf (al-hadzf), seperti pengurangan huruf waw (و ) dan alif ( ا ).
b. Penambahan-penambahan huruf, seperti huruf alif (\ ) dan ya ' ( ي),.
c. Penggabungan (al-washl) dan pemisahan (al-fashl), yaitu menggabungkan suatu lafal dengan lafal lain yang biasanya ditulis terpisah, atau pemisahan suatu lafal dengan lafal lain yang biasanya disatukan.
d. Penggantian satu huruf dengan huruf lain (al-badl), seperti mengganti huruf alif (ا ) dengan huruf waw ( و ).
e. Ayat-ayat yang mempunyai dua qira'at yang berbeda.

Terdapat beberapa pengecualian, atau konsistensi di dalam rasm 'Utsmdni, misalnya huruf alif ( \ ) yang penulisannya diganti dengan huruf wow ) و), misalnya kata :الربو, الحيوة, الزكوة, الصلوة. Pola penulisan pada kata-kata tersebut berbeda dengan penulisan ayat-ayat lainnya.
Melihat bentuk-bentuk inkonsistensi pola penulisan rasm 'Utsmani, kalangan ulama menolak membandingkan antara rasm tersebut dengan kaidah penulisan standar. Sebaliknya tidak dapat pula rasm Utsmani dijadikan pola standar baku. Kelompok ini membiarkan kekhususan pola penulisan rasm 'Utsmani sebagaimana adanya.[9]

3. Kedudukan Rasm 'Utsmani
Kedudukan rasm 'Utsmani diperselisihkan para ulama, apakah pola penulisan tersebut merupakan petunjuk Nabi (tawqifi) atau hanya ijtihad kalangan sahabat. Ada tiga pandangan dalam menentukan keududukan rasm Utsmani yaitu kelompok yang berpendapat bahwa rasm utsmani bersifat tawqifi. Kelompok yang kedua berpendapat bahwa rasm utsmani besifat ijtihadi. Dan kelompok ketiga berusaha mengkompromikan dua pendapat tersebut.
Kelompok pertama adalah Jumhur ulama yang berpendapat bahwa pola rasm 'Utsmani bersi­fat tawqifi dengan alasan bahwa para penulis wahyu adalah sahabat-sahabat yang ditunjuk dan dipercaya Nabi Saw. Pola penulisan tersebut bukan merupakan ijtihad para sahabat Nabi, dan para sahabat tidak mungkin melakukan kesepakatan (ijma’) dalam hal-hal yang bertentangan dengan kehendak dan restu Nabi. Bentuk-bentuk inkonsistensi di dalam penulisan al-Qur'an tidak bisa dilihat hanya berdasarkan standar penulisan baku, tetapi di balik itu ada rahasia yang belum dapat terungkap secara keseluruhan. Pola penulisan tersebut juga dipertahankan para sahabat dan tabi'in.
Pendapat yang demikian ini dikemukakan oleh Jumhur Ulama dengan beberapa alasan, antara lain:
a. Penulisan al-Qur’an dengan rasm 'Utsmani dilakukan oleh para juru tulis wahyu di hadapan Nabi saw. dan apa yang dilakukan oleh mereka telah ditetapkan oleh beliau.
b. Penulisan al-Qur’an itu berlanjut pada masa Abu Bakar dan pada masa 'Utsman bin 'Affan sampai pada masa tabi'in dan seterusnya. De­ngan demikian, penulisan al-Qur’an menurut rasm 'Utsmani telah merupakan konsensus (ijma') para sahabat.

Alasan di atas didukung juga oleh Hadis Nabi saw. ketika beliau berpesan kepada Muawiyyah: "Letakanlah tinta, pegang pena baik-baik, luruskan huruf ba', bedakan sin. Jangan butakan mim dan buat baguslah tulisan Tuhan. Panjangkan al-rahman dan buat baguslah al-rahim. Lalu letakanlah kalammu di atas telinga kirimu, karena itu akan membuatmu lebih ingat." Para pendukung rasm Utsmani berusaha memperkuat pendapatnya dengan mengemukakan hikmah pola penulisan tersebut. Selain itu, dimaksudkan pula untuk memberikan versi bacaan.
Kelompok kedua, ulama yang berpendapat bahwa pola penulisan di dalam rasm 'Utsmani bersifat ijtihadi atau merupakan hasil ijtihad para sahabat. Tidak pernah ditemukan riwayat Nabi mengenai ketentuan pola penulisan wahyu. Bahkan sebuah riwayat dikutip oleh Rajab Farjani:

"Sesungguhnya Rasulullah Saw, memerintahkan me­nulis al-Qur'an, tetapi tidak memberikan petunjuk teknis penulisan-nya, dan tidak pula melarang menulisnya dengan pola-pola tertentu. Karena itu ada perbedaan model-model penulisan al-Qur'an dalam mushaf-mushaf mereka. Ada yang menulis suatu lafal al-Qur'an sesuai dengan bunyi lafal itu, ada yang menambah atau mengurang-inya, karena mereka tahu itu hanya cara. Karena itu dibenarkan menulis mushaf dengan pola-pola penulisan masa lalu atau ke da­lam pola-pola baru."37


Lagi pula, seandainya itu petunjuk Nabi, rasm itu akan disebut rasm Nabawi, bukannya rasm 'Utsmani. Belum lagi kalau ummi Nabi diartikan sebagai buta huruf, yang berarti tidak mungkin pe­tunjuk teknis datang dari Nabi. Tidak pernah ditemukan suatu riwayat, baik dari Nabi maupun sahabat bahwa pola penulisan al-Qur'an itu bersumber dari petunjuk Nabi.
Dengan demikian, kewajiban mengikuti pola penulisan al-Qur'an versi mushaf Utsmani diperselisihkan para ulama. Ada yang mengatakan wajib, dengan alasan bahwa pola tersebut meru­pakan petunjuk Nabi (tawqifi). Pola itu harus dipertahankan meskipun beberapa di antaranya menyalahi kaidah penulisan yang telah dibakukan. Bahkan Imam Ahmad ibn Hanbal dan Imam Malik ber­pendapat bahwa haram hukumnya menulis al-Qur'an menyalahi rasm Utsmani. Bagaimanapun, pola tersebut sudah merupakan kesepakatan ulama mayoritas (jumhur 'ulama ').38
Al-Baqillaniy sebagaimana dikutip oleh Mana’ Khalil al-Qaththan berpendapat bahwa betul Nabi saw. menyuruh untuk menuliskan al-Qur'an, tetapi beliau tidak menunjukkan pola tertentu kepada para sahabatnya dan tidak melarang menuliskannya dalam mo­del tertentu. Oleh karena itu, dibolehkan menuliskan mushaf dengan bentuk huruf dan pola penulisan gaya klasik dan boleh pula menulisnya dengan bentuk huruf serta pola penulisan gaya modern.[10]
Ulama yang tidak mengakui rasm Utsmani sebagai rasm taw­qifi, berpendapat bahwa tidak ada masalah jika al-Qur'an ditulis dengan pola penulisan standar (rasm imld'i). Soal pola penulisan diserahkan kepada pembaca; kalau pembaca merasa lebih mudah dengan rasm imla'i, ia dapat menulisnya dengan pola tersebut, karena pola penulisan itu hanya simbol pembacaan, dan tidak mempengaruhi makna al-Qur 'an.39
Pendapat senada juga mengatakan bahwa tidak mesti kaum Muslimin mengikuti Rasm 'Utsmaniy dalam penulisan al-Qur’an; artinya boleh menuliskan al-Qur’an dengan rasm lain (al-rasm al-imla’i). Mereka menyatakan bahwa model tulisan hanyalah formula dan simbol saja. Oleh karena itu, segala bentuk model tulisan al-Qur’an sepanjang menunjukkan ke arah bacaan yang benar dapat dibenarkan. Sedangkan rasm 'Utsmaniy yang menya­lahi rasm imla’i dipandang menyulitkan banyak orang.[11]
Kelompok ketiga adalah ulama yang berusaha mengkompromikan kedua pendapat di atas dengan mengatakan bahwa penulisan al-Qur'an dengan rasm imla'i dapat dibenarkan, tetapi khusus bagi orang awam. Bagi para ulama yang memahami rasm 'Utsmani, tetap wajib mempertahankan keaslian rasm tersebut. Pendapat ini diperkuat al-Zarqani dengan mengatakan bahwa rasm Imla'i diperlukan untuk menghindarkan umat dari kesalahan membaca al-Qur'an, sedang rasm 'Utsmani diperlukan untuk memelihara keaslian mushaf al-Qur’an.

Pentashihan al-Qur’an di Indonesia
Pemerintah RI pun menaruh perhatian yang besar terhadap masalah ini dengan membentuk sebuah lembaga, yaitu Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur`an--yang berada di bawah Balitbang Departemen Agama-- salah satu tugas pokoknya adalah memelihara kesahihan al-Qur`an sebagai implementasi maksud firman Allah Surat al-Hijr/15: 9 di atas.[12]
Lebih lanjut Menag mengatakan, tugas Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur`an Depag dari masa ke masa terus bertambah berat, mengingat bukan hanya bertugas mentashih teks, bacaan, terjemahan atau tafsir al-Qur`an, baik dalam bentuk tulisan maupun media elektronik, melainkan juga termasuk mensosialisasikan al-Qur`an di tengah-tengah masyarakat.[13]
Pendirian Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur`an Depag dapat kita lacak dari mushaf al-Qur’an yang telah ditashih. Biasanya tentang keberadaan team ini terdapat penjelasan pada bagian pengantar mushaf al-Qur’an tersebut. Kalau kita mengamati pada Kata Pengantar Yayasan Penyelenggara Penerjemah/ Pentafsir al-Qur’an yang diketuai oleh Prof.R.H.A.Soenardjo, SH dan ditandatangani di Jakarta, 1 Maret 1971, maka ada 10 (sepuluh) anggota dewan penerjemah, antara lain: Prof.T.M.Hasbi Ashshidiqi.(alm), Prof.H.Bustami A.Gani, Prof.H.Muchtar Jahya, Prof.H.M.Toha Jahya Omar.(alm), Dr.H.A.Mukti Ali, Drs.Kamal Muchtar, H.Gazali Thaib.(alm), K.H.A.Musaddad, K.H.Ali Maksum.(alm), dan Drs.Busjairi Madjidi. Merekalah yang telah turut berjasa dalam melaksanakan tugas mentashih dan menterjemahkan al-Qur’an ke dalam bahasa Indonesia selama 8 tahun.
Team ini terus menjalankan tugasnya. Dan pada priode selanjutnya terjadi perubahan komposisi team karena sebagian dari mereka telah berpulang ke rahmatullah. Seperti yang dapat dilacak pada al-Qur’an dan Terjemahnya versi cetakan PT.Karya Toha Putra Semarang ditandantangani di Jakarta pada 15 Desember 1997, team tashih ini terdiri seorang ketua dan seorang sektretaris dan beranggotakan 17 orang[14].
Tugas dan fungsi Lajnah sebagaimana diamanatkan oleh Peraturan Menteri Agama Nomor 1 tahun 1982, adalah:
1. meneliti dan menjaga kemurnian mushaf al-Qur’an, rekaman, bacaan al-Qur’an, terjemahan dan tafsir al-Qur’an secara preventif dan refresif.
2. mempelajari dan meneliti kebenaran mushaf al-Qur’an untuk tuna­netra (al-Qur’an Braille), bacaan al-Qur’an dalam kaset, piringan hitam dan penemuan elektronik lainnya yang beredar di Indonesia.
3. berusaha mengantisipasi peredaran mushaf al-Qur’an yang belum ditashih oleh Lajnah. Kegiatan Lajnah mentashih mushaf al-Qur’an 30 Juz, Juz ‘Amma, al-Qur’an dan terjemahnya, al-Qur’an dan tafsirnya, dan bacaan-bacaan dalam bentuk kaligrafi lainnya[15].


Lebih lanjut Menag mengatakan, tugas Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur`an Depag dari masa ke masa terus bertambah berat, mengingat bukan hanya bertugas mentashih teks, bacaan, terjemahan atau tafsir al-Qur`an, baik dalam bentuk tulisan maupun media elektronik, melainkan juga termasuk mensosialisasikan al-Qur`an di tengah-tengah masyarakat.[16]
Pelaksanaan tugas Lajnah lainnya adalah merespon masukan, saran-saran dan menjawab pertanyaan yang diajukan oleh masyarakat. Segala permasalahan yang menyangkut kitab suci al-Qur’an yang dikemukakan oleh masyarakat dan ditujukan kepada Departemen Agama. Selain itu, tugas Lajnah adalah membina penerbit, melalui komunikasi lisan maupun tertulis, termasuk dengan surat edaran, juga pertemuan-pertemuan, diskusi dan dialog dengan para penerbit dan produsen al-Qur’an, juga dengan tim kerja dari pihak-pihak yang melakukan penulisan al-Qur’an. Pembinaan juga dilakukan melalui forum lokakarya para penerbit al-Qur’an. Inti dari program pembinaan, adalah ajakan kepada para penerbit Al-Qur’an untuk lebih meningkatkan dedikasi dan komitmennya dalam menjaga dan memelihara kitab suci al-Qur’an[17].
Rekomendasi kegiatan lajnah adalah sebagai berikut:
1. untuk memenuhi kebutuhan umat Islam yang cukup besar dibidang al-Qur’an serta untuk lebih mengamankan mutu penerbitan al-Qur’an, maka amat mendesak didirikan sebuah penerbitan /percetakan al-Qur’an oleh negara/pemerintah.
2. mengingat beban lajnah yang makin luas dan meningkat serta perlu dukungan yang lebih besar dibidang SDM, peralatan, jaringan, dan pembiayaan, maka amat mendesak untuk menindak lanjuti komitmen Menteri Agama untuk memperkuat dan meningkatkan struktur lajnah.
3. perlu penguatan kondisi kerja dengan pengaturan tugas dan tahapan yang jelas, mekanisme yang baik, agenda yang tertib serta pembiayaan yang memadai. Dan keempat, perlu penguatan SDM lajnah melalui rekrutmen satuan tugas lajnah secara terbuka, selektif, profesional, dari Perguruan-perguruan tinggi al-Qur’an, UIN/IAIN/STAIN dan lain-lain sebagai pegawai negeri maupun sebagai tim ad hoc[18]



Fakta Kesalahan Penulisan dalam Buku Yasin yang Beredar di Masyarakat

     

1.      PENTASHIHAN BUKU YASIN YANG DIEDARKAN DI MASYARAKAT
     Dari penelusuran yang peneliti lakukan, semua buku-buku Yasin tersebut tidak mencantumkan keterangan telah ditashih oleh lembaga atau pihak yang berwenang. Buku-buku tersebut sebagiannya hanya mencamtumkan nama penulisnya,  penerbitnya atau bahkan mengutipnya begitu saja tanpa mencantumkan penulis atau penerbitnya saja. Biasanya untuk memperingati tujuh atau empat puluh hari meninggalnya seseorang dicetaklah buku-buku Yasin yang nantinya dijadikan semacam kenangan-kenangan dan diberikan kepada para penta’ziah. Buku-buku Yasin itu biasanya dicetak dengan pembuang cover buku Yasin dengan menggantinya dengan cover yang menjelaskan tentang peringatan meninggalnya seseorang.

2.      DESKRIPSI KESALAHAN BUKU YASIN YANG BEREDAR DI MASYARAKAT

Data yang terkumpul disitematisasikan ke dalam beberapa pokok kesalahan. Kesalahan itu antara lain: kesalahan huruf, kesalahan harakat, kesalahan teknis penulisan, dan konsistensi dalam penulisan menurut rasm Usmani . Berikut ini dideskripsikan temuan-temuan kesalahan tersebut:
Pada bagian berikut akan didiskusikan dan dinterpretasikan tentang temuan penelitian. Kesalahan dalam penulisan buku Yasin itu pada dasarnya dapat dibagi menjadi empat kategori, yakni: kesalahan huruf, kesalahan harakat, kesalahan teknis penulisan, dan inkonsistensi dalam penulisan.
Kesalahan huruf adalah bentuk kesalahan dengan terjadinya tertukarnya huruf dari yang seharusnya. Berikut ini kita dapat melihat contoh kesalahan tertukarnya huruf dalam buku-buku Yasin berikut:

Tabel 2
Kesalahan Aspek Penulisan Huruf

NO
PENERBIT BUKU YASIN/
PENGARANG
INDIKATOR KESALAHAN
HURUF
NOMOR AYAT DAN HALAMAN
TERTULIS
SEHARUSNYA
NO
HLM
1
Seti Aji, Surakarta. Cet.ke-2. Nashir Humam
اذخل
نحيل
رخيم
ادخل
نخيل
رحيم
26
34
58
19
23
36
2
Sinar Pelita, Bandar Lampung, Syarifuddin Ibrahim
متكؤن
متكئون
56
9
3
Nur Amin,Surakarta.. Moch. Tahir (2)
نحيل
المسحون
يخصمون
الأحضر
يحلق

نخيل
المشحون
يخصمون
الأخضر
يخلق

34
41
49
80
81
31
34
39
53
54
4
Nur Amin, Solo. Moch. Tahir (1)
المسحون
يحلق

المشحون
يخلق

41
81
34
54

Dalam buku Yasin terbitan Seti Aji Surakarta yang disusunn oleh Nashir Humam kata ادخل ditulis dengan اذخل . Huruf dal ditulis dengan huruf dzal. Kesalahan ini berakibat berubahnya pengertian dari "memasukkan " dengan kata yang bukan bermakna memasukkan. Begitu juga ditemukan dalam buku Yasin yang disusun oleh Syarifuddin Ibrahim dalam menulis kata نسلخ dengan نسلح, yang seharusnya huruf kha', tetapi ditulis dengan huruf ha'. Kesalahan-kesalahan dalam penulisan huruf lainnya ditemukan juga dalam buku yasin yang disusun oleh Mohc. Tahir baik terbitan buku pertama maupun kedua.
Kesalahan harakat adalah bentuk kesalahan dalam pemberian baris/ harakat dari yang seharusnya. Berikut ini contoh-contoh kesalahan tersebut:

Tabel 3
Kesalahan Aspek Penulisan Harakat

NO
PENERBIT BUKU YASIN/
PENGARANG
INDIKATOR KESALAHAN
HARAKAT
NOMOR AYAT DAN HALAMAN
TERTULIS
SEHARUSNYA
NO
HLM
1
Seti Aji, Surakarta. Cet.ke-2. Nashir Humam

بقادرِِ

            بقادرٍِِ

81

49
2
Sendang Ilmu, Solo, Safuan Afandi (1)
فاسمعونَ

فاسمعونٍ

25
31
3
Solo, Sendang Ilmu (3) Prof.Dr.KH.Safuan Al-Fandi
ينقذون
فاسمعونَ
مبينٌ
َ
ينقذونٍ
فاسمعونٍِ
مبينٍِ
23
25
47
30
31
43
4
Solo, Sendang Ilmu (5) Prof.Dr.KH.Safuan Al-Fandi
ينقذون
فاسمعونَ
مبينٌ
َ
ينقذونٍ
فاسمعونٍِ
مبينٍِ
23
25
47
30
31
43
5
Surabaya, Amanah, t.pengarang
ينقذون
َ

ينقذونٍ

23
9
7
Tanpa Penerbit
Mengenang Wafatnya Agung Faqih S,23-01-2007
عليمُ
عليمٌ
79
48

Kesalahan dalam memberikan/ menuliskan  harakat dapat kita temukan dalam table di atas. Dalam Buku Yasin yang diterbitkan oleh Sendang Ilmu (3) yang disusun oleh Prof.Dr.KH.Safuan Al-Fandi ditemukan ketika kata مبينٍِ ditulis dengan مبينٌ. Seharusnya huruf Nun berharakat kasratain (dua harakat di bawah) ditulis dengan harakat dhammatain (dua harakat di depan). Dalam kaedah ilmu Nahwu  kata مبينٍِ merupakan na't (yang mengikuti) dari ضلال (man'ut)yang berharakat dhammatain, sehingga kata مبينٍِ harus berharakat dhammatain juga mengikuti kata ضلال yang berharakat dhammatain.
Kesalahan teknis penulisan adalah bentuk kesalahan dalam teknis penulisan huruf, di mana dalam penulisan huruf tidak sesuai dengan kaedah baku penulisan dalam bahasa Arab. Berikut contoh-contohnya:

Tabel 4
Kesalahan Aspek Teknis Penulisan

NO
PENERBIT BUKU YASIN/
PENGARANG
INDIKATOR KESALAHAN
TEKNIS PENULISAN
NOMOR AYAT DAN HLM
TERTULIS
SEHARUSNYA
NO
HLM
1
Solo, Sendang Ilmu (2)
كان ا
كانوا
30
7
2
Zul-Yanto
أباؤ
هم

لاتعبد
وا
بقاد
ر

أباؤهم


لاتعبدوا

بقادر
6


60

81
2


20

26
3
Alzier & Bambang
أباؤ
هم

لاتعبد
وا
بقاد
ر

أباؤهم


لاتعبدوا

بقادر
6


60

81
2


20

26
4
PAN, Syabirin HS. Koenang
كان ا
كانوا
30
7
5
Tanpa Penerbit
Mengenang Wafatnya Agung Faqih S,23-01-2007

تعرقهم

نغرقهم

43

32

Dalam table di atas, dapat dipahami, bahwa kesalahan teknis penulisan terjadi pada waktu pemenggalan  kata. Contoh: dalam menulis kata  أباؤهم dipenggal menjadi أباؤ dan هم. Padahal kata tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipenggal. Contoh lain ketika menulis kata لاتعبدوا dipenggal menjadi dua kata لاتعبد dan وا . Sehingga kata tersebut tidak dapat dipahami dan keluar dari kaedah penulisan bahasa arab.
Inkonsistensi dalam penulisan antara mengikuti rasm Usmani dan atau mengikuti rasm Imla’i. Penulis inkonsisten dalam buku Yasin yang ditulisnya dengan mencampur adukkan keduanya. Adapun contohnya sebagai berikut:

Tabel 5
Kesalahan Aspek Konsistensi Kaedah Penulisan



NO

PENERBIT BUKU YASIN/
PENGARANG
INDIKATOR KESALAHAN
Inkonsensistensi Kaedah Penulisan
HLM/
AYAT
TERTULIS
SEHARUSNYA
NO
HLM
1
Sinar Pelita, Bandar Lampung, Syarifuddin Ibrahim
ايات
ايت
7
46
2
Nur Amin, Solo. Moch. Tahir (1)
اغلال
البلاغ
اغللا
البلغ
19
24
8
17
3
Sendang Ilmu, Solo, Safuan Afandi (1)
اغلالا
اغللا
17
8

Dalam tabel di atas, dapat kita ketahui terjadinya inkonsistensi dalam merujuk kaedah penulisan. Di satu tempat kata ايت ditulis dengan kaedah rasm imla'i, tetapi ditempat dan ayat yang lain kata سبحن ditulis dengan menggunakan kaedah rasm Usmani , padahal masih dalam satu buku Yasin. Untuk menghindari keragu-raguan pembaca yang masih awam, hendaknya para penyusun buku yasin harus konsisten dalam menggunakan kaedah penulisan. Jangan sampai dalam satu buku Yasin terdapat dua kaedah penulisan; rasm Usmani  dan rasm imala'i. Penyusun harus memilih salah satu kaedah penulisan.
Jika kita perhatikan dari kesalahan-kesalahnan di atas, maka dapatlah kita kategorisasikan kepada kategori kesalahan yang merubah makna ayat dan kesalahan yang tidak merubah makna ayat. Kesalahan yang merubah makna ayat adalah kesalahan yang fatal, merusak kesucian al-Qur’an karena telah melakukan pengubahan terhadap al-Qur’an. Tindakan ini merupakan suatu dosa besar jika pelakunya melakukannya dengan sengaja. Namun, terlepas ada atau tidaknya unsur kesengajaan dalam hal ini, tentu jika ditemukan kesalahan dalam pencetakan al-Qur’an, tentunya perlu diluruskan.
Kesalahan kesalahan yang tidak merubah makna ayat tetapi penulisan tersebut benar secara kaedah bahasa Arab atau yang dikenal dengan istilah Rasm Imla’i. Menyikapi fenomena ini, muncullah perbedaan pendapat di kalangan para ulama mengenai kedudukan rasm Usmani  tersebut. Jumhur ulama berpendapat Rasm Usmani  yang menggunakan pola tersendiri bersifat tauqifi atau atas petunjuk Nabi saw  yang harus diikuti. Sedang sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa rasm Usmani  itu tidak bersifat tauqifi, tapi merupakan ijtihad para sahabat semata  sehingga ditolerir jika terdapat perbedaan-perbedaan selama tidak menyalahi makna ayat.
3.      PEREDARAN BUKU YASIN YANG TIDAK DITASHIH DI TENGAH-TENGAH MASYARAKAT

    Buku-buku Yasin itu beredar luas di masyarakat seiring dengan mendarahdagingnya tradisi Yasinan tersebut. Berarti juga bahwa buku-buku Yasin yang tidak ditashih oleh pihak yang berwenang dalam hal ini beredar luas. Antara buku Yasin yang sesuai maupun yang menyalahi rasm Usmani  itu bercampur aduk dalam peredarannya.
Dari segi yang memiliki kewenangan, yang paling berhak adalah Lajnah Pentashih al-Qur’an--yang berada di bawah Balitbang Departemen Agama.   Tugas Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur`an Depag dari masa ke masa terus bertambah berat, mengingat bukan hanya bertugas mentashih teks, bacaan, terjemahan atau tafsir al-Qur`an, baik dalam bentuk tulisan maupun media elektronik, melainkan juga termasuk mensosialisasikan al-Qur`an di tengah-tengah masyarakat.[1] Selain itu, tugas Lajnah adalah membina penerbit; mengajak mereka untuk lebih meningkatkan dedikasi dan komitmennya dalam menjaga dan memelihara kitab suci al-Qur’an. [2]
 Diduga motif di balik kekurangtelitian, kecerobohan sehingga menimbulkan kesalahan dalam penulisan al-Qur`an ini karena boleh jadi penerbitnya sekedar berorientasi mengejar keuntungan sehingga terkadang dengan mengabaikan kualitas[3]Motif lainnya boleh jadi untuk membuat keresahan dan huru-hara dalam masyarakat muslim dengan membuat “riak-riak” kecil sehingga menimbulkan perselisihan di antara mereka. Tentu saja ini sangat tidak kita harapkan dan sesalkan jika sampai terjadi. Kurangnya kesadaran ini antara lain bisa jadi disebabkan karena mayoritas percetakan mushaf al-Qur’an dimodali oleh mereka yang non muslim. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Ketua Umum Asosiasi Penerbit Mushaf Al-Qur`an Indonesia (APQI), Ali Mahdami mengungkapkan pengusaha muslim tidak pernah memikirkan betapa pentingnya percetakan, akibatnya 90 persen produksi al-Qur`an dicetak oleh pengusaha non muslim yang tidak mengerti dan menghormati Kitab Suci Al-Qur`an yang dianggap sama dengan buku-buku bacaan biasa.[4]
Penulis tidak punya alasan lebih lanjut untuk menjelaskan persoalan ini; apakah ini semacam monopoli, atau mungkin proses percetakannya butuh modal yang sangat besar sehingga pengusaha-pengusaha besar saja yang bisa bermain, atau mungkin secara bisnis kurang menguntungkan, atau mungkin kurangnya kesadaran pengusaha muslim, atau mungkin berdasarkan alasan-alasan yang sifatnya akumulatif hal-hal di atas. Jadi selain dedikasi dan komitmen Lajnah Pentashih al-Qur’an, di sisi lain dibutuhkan komitmen dari penulis dan pihak percetakan serta kontrol dari setiap  anggota masyarakat.

 Penutup
Tradisi Yasinan perlu dijaga dari hal-hal yang merusaknya, seperti terdapatnya kesalahan dalam buku Yasin yang digunakan. Tentu saja niat dan amal baik itu menjadi tidak atau kurang sempurna bahkan bisa jadi berbuah dosa ketika kita menyaksikan suatu kesalahan dan kemudian mendiamkan atau tidak ada usaha untuk meluruskannya.
Pentashihan buku Yasin adalah salah satu upaya untuk senantiasa memelihara otentisitas al-Qur’an. Suksesnya upaya pemeliharaan al-Qur’an ini sangat membutuhkan dukungan dari seluruh kaum muslimin untuk membentengi upaya-upaya menodai kemurnian al-Qur’an.




Daftar Pustaka
Al-Furqan al-Haq; The True Furqan, pusdai.wordpress.com
Al-Qur'an Banyak Salah Cetak Karena Kejar Laba, kisahislam.com
Al-Qur’an Palsu Beredar di Masyarakat, www.sumenep.go.id.
Anwar, Hamdani, Pengantar Ilmu Tafsir, Jakarta: Fikahati Aneska, 1995
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002, cet.ke-12
Awas peredaran al-Qur‘an Palsu Serang Sukoharjo, forum.swaramuslim.net
Azra, Azyumardi (Ed.), Sejarah dan ‘Ulum al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000
Baidan, Nashruddin, Metode Penafsiran al-Qur’an, Surabaya: Bina Ilmu, 1989
____________, Tafsir Maudhu’i: Solusi Qur’ani atas Masalah Sosial Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, cet.ke-1
Baqi, al, Fuad Abd, Mu’jam Mufahras li alfaz al-Qur’an, Beirut: Dar al-Fikr, t.th
Bisri, Cik Hasan, Model Penelitian Fiqh Jilid I: Paradigma pEnelitian Fiqh dan Fiqh Penelitian, Jakarta: Prenada Media, 2003
____________, Penuntun Penyusunan Rencana Penelitian dan Penulisan Skripsi Bidang Ilmu Agama Islam, Jakarta: Logos, 1998, cet.ke-1
____________, Pilar-pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial, Jakarta:Rajawali Pers, 2004, cet.ke-1
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung: Gema Risalah Press, 1992
Dewan Redaksi PT Ichtisar Baru Van Hoeve, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT Ichtisar Baru Van Hoeve, 2001
Ditemukan 36 Kesalahan dalam 'Alquran Beryesus, swaramuslim.net

Kamal, Ahmad ‘Adil, ‘Ulum al-Qur’an, T.Tp.t.th.
Menag Resmikan Percetakan Al Quran, http://www.eramuslim.com

Nawawi, an, Imam, Adab dan Tata Cara Menjaga al-Qur’an, (terj) Jakarta: Pustaka Imani, 2001

Qadir, Muhammad Thahir Abd. Al-, Tarikh al-Qur’an,, Mesir: Musthafa al-Babi al-Halaby, 1953
Qaththan, Manna’ Khalil, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, T.T: T.Tp, 1978

Sa'id, Labid al-, al-Jami'al-Shawt al-Awwal liAlquran al-Karim, Mesir: Daral-Kitab al-'Arabiy, t.t.

Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung:Penerbit Mizan, 1996, Cetakan 13 
____________, Mu’jizat al-Qur’an: Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, , Isyarat Ilmiyah dan Pemberitaan Ghaib, Bandung: Mizan, 1992
 
____________, Sejarah dan ‘Ulum al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1999
 
____________, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan Keserasian al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2000
 
____________, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan, 1998
 
Syadili, Ahmad dan Ahmad Rafi’i, Ulumul Qur’an I, Bandung: Pustaka Setia, 1997
 
Syauqi, Rif’at dan Muhammad Ali Hasan, Pengantar Ilmu Tafsir, Jakarta: Bulan Bintang, 1992
 
Umar, Muhammad Nasruddin, Klasifikasi Ayat al-Qur’an, Surabaya: al-Ikhlas, 1990



[1] Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung:Penerbit Mizan, 1996, Cetakan 13, h. 21 
[2] Ibid, h.24
[3] Ibid
[4] Ibid, h.23
[5] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Muqaddimah), Bandung: Gema Risalah Press, 1992, h. 23
[6] Ibid
[7] Handono, Irena, et. al, Sejarah dan Keaslian al-Qur’an, T pt: Bima Rodheta, 2004, Cet. 4
[8] Muhammad Thahir Abd. Al-Qadir, Tarikh al-Qur’an, (Mesir: Musthafa al-Babi al-Halaby, 1953), h. 93-94, Lihat juga Ahmad ‘Adil Kamal, ‘Ulum al-Qur’an,(T.Tp.:t.th.), h. 47-48.
[9] Muhammad Thahir Abd. Al-Qadir, Tarikh al-Qur’an, (Mesir: Musthafa al-Bab al-Halabi, 1953), h. 127.
[10] Manna al-Qaththan., ibid., h. 48. Muhammad Rajab al-Farjani, Kayfa Nata'addab ma'a al-Mushhdf (T.Tp.: Dar al-Istihsan, 1978), h. 85. Majma' al-Buhuts al-Islamiyyah, ibid., h.166
[11] Labid al-Sa'id, al-Jami'al-Shawt al-Awwal liAlquran al-Karim (Mesir: Daral Kitab al-'Arabiy, t.t.), h. 372.
[12] Al-Qur'an Banyak Salah Cetak Karena Kejar Laba, http:// kisahislam.com
[13] Ibid
[14] Permasalahan al-Qur’an dan Terjemahannya Versi Depag RI, http://forumqhita.blogspot.com

[15] Kegiatan Lajnah Pentahih Mushaf al-Qur’an tahun 2005, http://www.depag.web.id

[16] Al-Qur'an Banyak Salah Cetak, loc.cit
[17] Kegiatan Lajnah Pentahih, loc.cit
[18] Ibid
[19] Menag Resmikan Percetakan Al Quran, http://www.eramuslim.com

[20] Jangan Berorientasi Untung, http://www.antara.co.id

[21] Al-Qur'an Banyak Salah Cetak, Loc.cit

Tidak ada komentar:

Posting Komentar