Selasa, 16 Desember 2014

PERMASALAHAN MENARCHE DINI (TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP KONSEP MUKALLAF)

PERMASALAHAN MENARCHE DINI

 (TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP KONSEP MUKALLAF)[1]




abstrak

Menarche dini atau  haid pertama yang dialami wanita lebih cepat dari kebiasaan secara umum merupakan masalah yang menarik untuk dipelajari dan teliti lebih lanjut. Perubahan pola hidup dan meningkatnya kesejahteraan masyarakat, di antaranya berdampak pada pertumbuhan fisik yang cepat pada anak-anak yang mengakibatkan terjadinya pergeseran pada usia menarche mereka. Secara fisik mereka telah tumbuh besar seperti orang dewasa, namun secara psikis mereka mungkin masih anak-anak. Dengan kata lain diibaratkan dengan anak-anak yang terjebak pada tubuh orang dewasa. Dalam kajian hukum Islam, wanita yang telah mengalami haid dianggap telah memasuki usia kedewasaan. Sebagai orang dewasa, ia dikenakan kewajiban keagamaan dan bertanggung jawab penuh atas perbuatan yang dilakukannya, padahal mereka masih anak-anak.      Itulah permasalahan seputar wanita dengan problem kewanitaannya. Diduga banyak anggota masyarakat yang belum memahami permasalahan ini. Sehingga memungkinkan kesimpangsiuran dalam penyikapinya. Untuk itu perlu kiranya permasalahan ini dibahas dari segi pandangan hukum Islamnya.

Kata Kunci: menarche, haid

 

Pendahuluan

 Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi berhasil meningkatkan kesejahteraan hidup manusia. Peningkatan taraf kesejahteraan ini pada tahap selanjutnya mengakibatkan perubahan pada pertumbuhan fisik atau tubuh mereka; di mana secara fisik,  tubuh anak-anak Indonesia sekarang  jauh lebih baik dibandingkan dengan orang tua mereka. Selain itu juga berpengaruh pada tingkat kematangan secara bilogis misalnya permasalahan menarche bagi anak wanita. Menarche merupakan  menstruasi pertama kali yang ditandai dengan keluarnya darah dari vagina akibat peluruhan dinding endometrium. Membaiknya standar kehidupan terutama faktor asupan makanan dan genetik akan berdampak pada usia menarche dini; menstruasi pertama yang terjadi lebih awal atau lebih cepat dari kebiasaan yang berlaku secara umum di tengah-tengah masyarakat tersebut. Di antara faktor yang memicu usia menarche dini adalah rendahnya asupan serat dan tingginya asupan lemak maupun kalsium.[2]
 Masa remaja merupakan masa peralihan antara masa anak-anak dan dewasa yang terjadi antara usia 10-18 tahun. Saat memasuki usia remaja, maka seseorang wanita mengalami masa pubertas terlebih dahulu. Pada masa pubertas ini  akan terjadi percepatan pertumbuhan dan perkembangan fisik  dari anak-anak menjadi dewasa serta mengalami kematangan organ reproduksi seksual. Masa pubertas pada wanita ditandai dengan pertumbuhan fisik yang cepat, menarche, perubahan psikologis, dan timbulnya ciri-ciri kelamin sekunder.[3]
Menarche dini atau  haid pertama yang dialami wanita lebih cepat dari kebiasaan secara umum merupakan masalah yang menarik untuk dipelajari dan teliti lebih lanjut. Pertumbuhan fisik yang cepat pada anak-anak mengakibatkan terjadinya pergeseran pada usia menarche mereka. Secara fisik mereka telah tumbuh besar seperti orang dewasa, namun secara psikis mereka mungkin masih anak-anak. Dengan kata lain diibaratkan dengan anak-anak yang terjebak pada tubuh orang dewasa. Dalam kajian hukum Islam, wanita yang telah mengalami haid dianggap telah memasuki usia kedewasaan. Sebagai orang dewasa, ia dikenakan kewajiban keagamaan dan bertanggung jawab penuh atas perbuatan yang dilakukannya, padahal mereka masih anak-anak.   
Itulah permasalahan seputar wanita dengan problem kewanitaannya. Diduga banyak anggota masyarakat yang belum memahami permasalahan ini. Sehingga memungkinkan kesimpangsiuran dalam penyikapinya. Untuk itu perlu kiranya permasalahan ini dibahas secara tuntas dari segi pandangan hukum Islamnya. 

Haid Dalam Kajian Hukum Islam

Dalam wacana hukum Islam, terdapat tiga kategori darah yang keluar dari rahim wanita, yaitu haid, Nifas, dan Istihadhah. Haid secara bahasa berarti mengalir. Haid adalah darah yang keluar dari rahim melalui kemaluan wanita dalam kondisi sehat, bukan disebabkan proses melahirkan dalam jangka waktu tertentu.[4] Sebagian besar ulama menyatakan usia baligh bagi wanita itu di atas 9 tahun menurut perhitungan tahun Kamariah. Jika sebelum  itu, maka tidak dikategorikan sebagai darah haid tapi merupakan darah penyakit/ istihadhah. Haid itu berlangsung sampai akhir hayatnya; sampai usia menoupose (masa berakhir/berhentinya haid).[5]  Menurut al-Sayid Sabiq darah haid itu ada yang berwarna hitam, merah, kuning, atau abu-abu (antara putih dan hitam).[6]
Tidak ditentukan masa minimal atau maksimal berlangsungnya haid tapi tergantung kondisi masing-masing wanita yang bersangkutan secara individual. Para ulama sepakat menyatakan bahwa tidak terdapat batasan  maksimal panjang masa suci di antara dua haid. Tetapi mereka berikhtilaf tentang lama masa minimalnya. Sebagiannya menyatakan 15 hari, yang lain menyatakan 13 hari. Hal ini karena tidak terdapat dalil tentang ketentuan batasan masa minimal masa haid tersebut.[7]
Terdapat perbedaan di kalangan para ulama tentang usia menoupose. Menurut Hanafiah  usia 55 tahun, Malikiah usia 72 tahun, Syafi’iah tidak menjelaskan kapan masa menoupose, tapi biasanya usia 62 tahun, dan Hanabilah usia 50 tahun.[8]
Nifas adalah darah yang keluar dari kemaluan wanita disebabkan melahirkan walaupun pada kondisi keguguran.[9] Tidak terdapat batasan minimal masa nifas. Sebagian ulama menyatakan minimal sesaat saja (sekejap) sekita melahirkan lalu berhenti setelah proses melahirkan tersebut. Atau mereka yang melahirkan tanpa proses mengeluarkan darah. Sedangkan kebanyakannya masa nifas itu 40 hari.[10]
Hal-hal yang diharamkan ketika haid dan nifas menurut as-Sayid Sabiq adalah Puasa dan Berhubungan Suami Istri. [11]  Sedangkan Wahbah az-Zuhaili menyatakan bahwa hal-hal yang diharamkan bagi wanita haid sama dengan dalam kondisi junub, yaitu:
1.Salat
2.Sujud Tilawah
3.Menyentuh Mushaf
4.Masuk Masjid
5.Thawaf
6.I’tikaf
7.Membaca al-Qur’an, namun kalangan Malikiah membolehkannya.
8.Puasa
9. Talak
10.Jima’ pada kemaluan sebelum berakhirnya haid
11.Jima’ pada selain kemaluan sebelum berakhirnya haid
12.Jima’ setelah berakhirnya haid tapi belum mandi[12]

Permasalahan hukum bagi wanita yang haid dan Nifas:
1.Wajib mandi ketika berakhirnya
2.Haid merupakan tanda kedewasaan wanita dan dipandang cakap untuk kenakan kewajban keagamaan (mukallaf).
3.Dihukumkan bersihnya rahim bagi wanita yang menjalani iddah ketika ia mengalami haid (karena ia tidak sedang hamil).
4.Menjadi patokan untuk perhitungan masa iddah menurut Hanafiah dan Hanabilah. Menurut mereka perhitungan tiga quru’ itu adalah tiga kali haid.[13]

Istihadhah adalah berkelanjutan keluarnya dan mengalirnya pada selain masa haid dan nifas karena sakit atau permasalahn secara fisik. [14] Cara menentukan kondisi istihadhah:
1.Diketahui masa haid sebelum terjadinya istihadhah
2.Berkelanjutan keluarnya darah yang tidak dapat diketahui dan diprediksi kapan terjadinya. Kadang masih dianggap haid dan tidak dapat membedakannya.
3.Tidak merupakan kebiasaan. Jika bisa dibedakan antara darah haid dari selainnya maka perlu dilakukan klarifikasi terlebih dahulu.[15]

Aspek hukum terkait   kondisi Istihadhah:
1.Tidak diwajibkan mandi untuk mengerjakan salat, kecuali pada waktu berakhirnya masa haid. Ini merupakan pendapat Jumhur ulama Salaf dan Khalaf.
2.Wajib berwuduk setiap melaksanakan salat.
3.Mencuci atau membersihkan kemaluannya untuk membersihkan darah Istihadhah (yang merupakan najis).
4.Tidak berwuduk sebelum masuknya waktu salat menurut Jumhur.
5.Diperbolehkan berhubungan suami istri menurut Jumhur.
Dihukumkan sama dengan kondisi suci. Tetap diwajibkan melaksankan salat, puasa, I’tikaf, membaca/ menyentuh/ membawa al-Qur’an, dan mengerjakan setiap ibadah.[16]

Menarche Dini Dan Perkembangan Pada Usia Remaja

Menarche adalah haid pertama yang terjadi akibat proses sistem hormonal yang kompleks. Setelah panca indra menerima rangsangan yang diteruskan ke pusat dan diolah oleh hipotalamus, dilanjutkan dengan hipofise melalui sistem fortal dikeluarkan hormon gonatropik perangsang folikel dan luteinizing hormon untuk merangsang indung telur. Hormon perangsang folikel (FSH), merangsang folikel primordial yang di dalam perjalanannya dominan mengeluarkan hormon esterogen sehingga terjadi pertumbuhan dan perkembangan tanda seks sekunder, ini juga merupakan tanda-tanda remaja sedang mengalami pubertas.[17]
Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia adalah antara 10 sampai 19 tahun dan belum kawin. Menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional adalah 10 sampai 19 tahun.[18] Masa remaja adalah masa transisi yang ditandai oleh adanya perubahan fisik, emosi dan psikis. Masa remaja, yakni antara usia 10-19 tahun, adalah suatu periode masa pematangan organ reproduksi manusia, sering disebut masa pubertas. Masa remaja adalah periode peralihan dan masa anak ke masa dewasa.[19] Pada masa remaja tersebut terjadilah suatu perubahan organ-organ fisik (organobiologik) secara cepat, dan perubahan tersebut tidak seimbang dengan perubahan kejiwaan (mental emosional). Terjadinya perubahan besar ini umumnya membingungkan remaja yang mengalaminya. Maka dipandang perlu akan adanya pengertian, bimbingan dan dukungan dari linkungan di sekitarnya, agar dalam sistem perubahan tersebut, terjadi pertumbuhan dan perkembangan yang sehat sehingga kelak remaja tersebut menjadi manusia dewasa yang sehat secara jasmani, rohani dan sosial.[20] Terjadinya kematangan seksual atau alat-alat reproduksi yang berkaitan dengan sistem reproduksi, merupakan suatu bagian penting dalam kehidupan remaja sehingga diperlukan perhatian khusus, karena bila timbul dorongan-dorongan seksual yang tidak sehat akan menimbulkan prilaku seksual yang tidak bertanggung jawab. Para ahli berpendapat bahwa kesetaraan perlakuan terhadap remaja pria dan wanita diperlukan dalam mengatasi kesehatan reproduksi remaja, agar dapat tertangani secara tuntas .[21]
Perubahan fisik pada masa remaja, pada masa remaja itu terjadilah suatu pertumbuhan fisik yang cepat disertai banyak perubahan, termasuk di dalamnya pertumbuhan organ-organ reproduksi. Perubahan yang terjadi pada pertumbuhan tersebut diikuti munculnya tanda-tanda sebagai berikut :
1.    Tanda-tanda seks primer
Semua organ reproduksi wanita tumbuh selama masa puber, namun tingkat kecepatan antara organ satu dengan lainnya berbeda. Sebagai kematangan organ reproduksi pada perempuan adalah datangnya haid. Ini adalah permulaan dari serangkaian pengeluaran darah, lendir dan jaringan sel yang hancur dari uterus secara berkala yang akan terjadi setiap 28 hari, hal ini akan terus berlangsung sampai menjelang menopause.
2.    Tanda-tanda seks sekunder
a.Rambut kemaluan pada wanita juga tumbuh seperti pada laki- laki. Tumbuhnya rambut kemaluan ini terjadi setelah pinggul dan payudara mulai berkembang. Bulu ketiak dan wajah mulai tumbuh setelah haid.
b.Pinggulpun mulai berkembang menjadi besar dan bulat.
c.Seiring pinggul membesar, maka payudara juga membesar dan puting susu menonjol. Hal ini terjadi secara harmonis sesuai pula dengan berkembang dan makin besarnya kelenjar susu sehingga payudara menjadi lebih besar dan bulat.
d.Kulit menjadi lebih kasar, lebih tebal, dan pori-pori membesar. Akan tetapi beda dari  laki-laki, pada wanita kulit tetap lebih lembut.
e.Kelenjar lemak dan Kelenjar keringat lebih aktif. Sumbatan kelenjar lemak dapat menyebabkan jerawat. Kelenjar keringat dapat menyebabkan bau.
f.Menjelang akhir masa puber otot semakin membesar dan kuat. Akibatnya akan membentuk bahu, lengan, dan tungkai.
g.Suara berubah semakin merdu, suara serak jarang terjadi pada wanita.[22]

Perubahan-perubahan yang berkaitan dengan kejiwaan pada remaja adalah:
1. Perubahan Emosi
a.Sensitif atau peka misalnya mudah menangis, cemas, frustasi, dan sebaliknya bisa tertawa tanpa alasan yang jelas.
b.Mudah bereaksi bahkan agresif terhadap gangguan atau rangsangan luar yang mempengaruhinya. Itulah sebabnya mudah terjadi perkelahian.
c.Ada kecenderungan tidak patuh pada orang tua, dan lebih senang pergi bersama dengan temannya dari pada di rumah.
2.Perkembangan Intelegensi, pada perkembangan ini menyebabkan remaja :
a.Cenderung mengembangkan cara berpikir abstrak, suka memberikan kritik.
b.Cenderung ingin mengetahui hal-hal baru, sehingga muncul perilaku ingin mencoba-coba. Tetapi dari semua itu, proses perubahan kejiwaan tersebut berlangsung lebih lambat dibandingkan perubahan fisik.[23]

Pertumbuhan dan Perkembangan moral remaja secara umum, sebagai berikut:
1. Perubahan konsep moral, perubahan konsep moral yang khusus terjadi pada remaja menjadi konsep yang berlaku secara umum ter golong sulit, baik yang berkaitan dengan benar-salah atau baik-buruk.
2.Kata hati yang mengendalikan tingkah laku. Tidak seperti masa anak-anak, remaja tidak bisa lagi diawasi secara intensif oleh orang tua dan guru, sehingga mau tidak mau remaja harus bertanggung jawab untuk mengendalikan diri dan tingkah lakunya. Pengendalian utama remaja memang bukan lagi terfokus pada orangtua atau guru, tetapi pada hatinya, yaitu perasaan khawatirnya dari hukuman dan penolakan sosial sehingga mencegahnya dari perbuatan salah atau memotivasinya untuk berbuat baik.
3.Minat dan perilaku seks, tekanan-tekanan sosial, terutama minat remaja pada seks dan keingintahuan tentang seks mendorong rmaja untuk menjalin berbagai hubungan baru yang lebih matang dengan lawan jenis. Karena minat pada seks yang semakin meningkat, remaja selalu berusaha mencari informasi yang lebih banyak tentang seks.
4.Perkembangan heteroseksual, mengingat pembentukan hubungan baru dan yang lebih matang dengan lawan jenis merupakan masalah yang serius bagi remaja, ketika telah matang secara seksual, remaja mulai mengembangkan sikap yang baru pada lawan jenisnya dan juga mengembangkan minat pada berbagai kegiatan yang melibatkan kedua jenis kelamin itu. Apabila kematangan seksualnya telah tercapai, minat seks itu lebih romantis.

Dalam ilmu kesehatan, pembahasan menarche dini ini erat kaitannya dengan pembahasan pubertas sebelum usia normal yang disebut pubertas dini atau pubertas prekoks (precocious puberty). Anak yang memiliki pubertas dini sudah mulai menunjukkan tanda-tanda pubertas, meskipun misalnya usianya baru 5 tahun. Tanda-tanda tersebut adalah sebagai berikut:
1.Pada anak perempuan: perkembangan payudara, pertumbuhan rambut kemaluan dan ketiak, pertumbuhan tinggi badan yang pesat, menstruasi pertama (menarche), jerawat, dan bau badan.
2.Pada anak Laki-laki: pembesaran testis dan penis, pertumbuhan rambut kemaluan, ketiak dan wajah, pertumbuhan tinggi badan yang pesat, suara lebih berat, jerawat, dan bau badan. [24]

Diperkirakan bahwa sekitar 1 dari 5.000 anak mengalami pubertas dini, sepuluh kali lebih sering terjadi pada anak perempuan dibandingkan anak laki-laki. Secara umum anak-anak sekarang lebih cepat memulai pubertas dibandingkan generasi kakek-nenek mereka, meskipun tidak semuanya dikategorikan pubertas dini.[25]
Pubertas dini dapat disebabkan oleh penyebab tertentu atau tanpa sebab lain. Kondisi yang dapat menyebabkan pubertas dini adalah masalah struktural dalam otak (misalnya tumor), cedera otak akibat trauma kepala, infeksi (seperti meningitis), masalah di indung telur, atau tumor kelenjar adrenal/kelenjar pituitari/kelenjar tiroid. Paparan terhadap hormon seks seperti krim/salep estrogen atau testosteron, atau zat lain yang mengandung hormon tersebut seperti obat-obatan atau suplemen untuk orang dewasa  juga dapat meningkatkan risiko anak mengalami pubertas dini. Untungnya, kondisi-kondisi tersebut sangat jarang terjadi. Pada sebagian besar perempuan, pubertas dini tidak disebabkan oleh masalah lain yang mendasari. Mereka hanya memulai pubertas lebih awal saja, tanpa suatu sebab tertentu.[26]
Menurut penelitian Agres Vivi Susanti  menyatakan bahwa faktor yang menyebabkan resiko kejadian menarche dini adalah rendahnya asupan serat dan tingginya asupan lemak maupun kalsium, di mana faktor resiko paling dominan adalah asupan serat yang rendah. Riwayat ibu yang mengalami menarche dini dan asupan tinggi protein hewani beresiko kecil terhadap kejadian menarche dini. Akan tetapi rendahnya asupan protein nabati terbukti beresiko terhadap usia menarche dini.[27]
Pada anak laki-laki, pubertas dini memang jauh lebih jarang terjadi namun lebih mungkin terkait dengan masalah lain yang mendasari. Selain itu, sekitar 5% pubertas dini pada laki-laki adalah kondisi yang diwariskan, yaitu ayah atau kakek mereka juga memiliki kelainan tersebut di waktu kecil. Kurang dari 1% pubertas dini pada anak perempuan yang merupakan kondisi warisan.
Dampak Pubertas ini antara lain: satu, tinggi badan. Pubertas dini dapat membuat anak menjadi orang dewasa yang pendek. Ketika pubertas berakhir, pertumbuhan tinggi badan anak terhenti. Karena memulai pubertas lebih awal, mereka juga mengakhirinya lebih awal yaitu di umur ketika anak-anak lain seusianya masih terus tumbuh. Mereka memang mengalami pertumbuhan pesat di awal, tetapi pertumbuhan mereka berhenti sebelum mencapai potensi maksimalnya. Kedua, Emosional dan sosial: pubertas dini bisa menyulitkan seorang anak secara emosional dan sosial. Seorang anak perempuan yang mengalami pubertas dini mungkin bingung atau malu dengan perubahan fisik seperti memiliki payudara yang membesar sebelum waktunya. Mereka dapat menjadi murung atau mudah tersinggung. Anak laki-laki bisa menjadi lebih agresif dan menunjukkan gairah seks yang tidak pantas untuk usia mereka.[28]
Penanganan secara psikologis perlu dilakukan untuk mencegah anak selalu memikirkan perkembangan seksualnya atau menjadi rendah diri dan kurang percaya diri. Untuk menciptakan lingkungan yang mendukung, orangtua perlu menahan diri untuk tidak berfokus pada penampilan tetapi lebih banyak memberikan pujian untuk prestasi-prestasinya dan mendukung partisipasi anak Anda dalam kegiatan-kegiatan yang positif.[29]
   Al-Qur’an menjelaskan tentang fase kehidupan manusia dalam surat Ar-Rum/30 ayat 54:
Allah, dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, Kemudian dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, Kemudian dia menjadikan (kamu) sesudah Kuat itu lemah (kembali) dan beruban. dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan dialah yang Maha mengetahui lagi Maha Kuasa.

Dari ayat di atas dapat disimpulkan terdapat tiga fase kehidupan yaitu: (1) fase kanak-kanak (al-thifl), fase seseorang lemah atau bayi (2) fase baligh, fase seseorang menjadi kuat dan dewasa (3) fase usia lanjut, kondisi tubuh kembali melemah. Fase yang mendekati maknanya dengan pubertas adalah fase baligh. Individu yang telah mencapai fase baligh telah diberi tanggung jawab (taklif), terutama tanggung jawab agama dan sosial.

Haid Adalah Pertanda Kedewasaan/ Baligh Seorang Wanita Menurut Hukum Islam

Haid, hamil, melahirkan, dan menyusui adalah peran kodrati perempuan yang terkait dengan reproduksi biologis.[30] Peran ini tidak dapat digantikan atau dipertukarkan dengan laki-laki.[31]
Secara biologis menstruasi merupakan siklus reproduksi yang menandai sehat dan berfungsinya organ-organ reproduksi perempuan. Menstruasi menandakan kematangan seksual seorang perempuan dalam arti ia mempunyai ovum yang siap dibuahi, bisa hamil, dan melahirkan anak. Dalam bahasa agama kita menyebut siklus ini dengan haid.[32]
Siklus menstruasi adalah suatu perubahan fisiologis yang terjadi tiap bulanan pada wanita usia subur. Rata-rata lama siklus haid normal adalah 28 hari. Interval normal yang masih dianggap wajar adalah jika lama siklus berlangsung 21-35 hari. Penghitungan siklus haid ini bermanfaat untuk pengenalan kapan masa subur atau ovulasi.[33]
Pada siklus haid, juga terjadi perubahan di sistem lain seperti kelabilan emosi, rasa tegang di payudara, mudah marah dan sensitif. Kejadian menstruasi pertama kali dinamakan menarche, dan normalnya terjadi pada usia 12-13 tahun, dan berhentinya siklus menstruasi dinamakan menopause, dengan rata-rata kejadian menopause pada usia 45-55 tahun.[34]
Islam memberikan penghormatan kepada perempuan yang sedang haid. Ini berbeda dengan tradisi agama Yahudi misalnya, yang memandang perempuan yang sedang haid adalah najis sehingga harus diasingkan dari kampung halamannya. Dalam Islam, haid dipandang sebagai siklus bulanan biasa. Perempuan yang sedang haid bebas bergaul dengan semua orang dan bebas berhubungan dengan suaminya kecuali melakukan hubungan suami istri.
Pandangan teologis agama Yahudi yang demikian negatif ini kemudian ditentang oleh al-Qur’an dan dipertegas dalam hadis. Hal ini tampak ketika kita melihat sebab turunnya (asbab al-nuzul) ayat QS. Al-Baqarah/2: 222. Diriwayatkan oleh Muslim bahwa  sekelompok sahabat Nabi bertanya kepada Nabi tentang perilaku orang Yahudi yang tidak mau makan bersama dan bergaul dengan istrinya di rumah ketika si istri haid. Sebagaimana diriwayatkan:
Hadis riwayat Ahmad bin Hanbal dari Anas. Dalam hadis tersebut diceritakan bahwa jika perempuan Yahudi haid, masakannya tidak dimakan dan ia tidak boleh berkumpul bersama keluarga di rumahnya. Salah seorang sahabat menanyakan hal itu kepada Nabi, kemudian Nabi berdiam sementara maka turunlah ayat tersebut di atas. Setelah ayat itu turun, Rasulullah bersabda "Lakukanlah segala sesuatu (kepada isteri yang sedang haid) kecuali bersetubuh". Pernyataan Rasulullah ini sampai kepada orang-orang Yahudi, lalu orang-orang Yahudi dan mantan penganut Yahudi seperti shock mendengarkan pernyataan tersebut. Apa yang selama ini dianggap tabu tiba-tiba dianggap sebagai hal yang alami. Kalangan mereka bereaksi dengan mengatakan apa yang disampaikan oleh laki-laki itu (Rasulullah) adalah suatu penyimpangan dari tradisi besar kita. Usayd bin Hudayr dan Ubbad bin Basyr melaporkan reaksi tersebut kepada Rasulullah; lalu wajah Rasulullah berubah karena merasa kurang enak terhadap reaksi tersebut dan kami (Usayd ibn Hudayr dan Ubbad bin Basyr) mengira beliau marah kepada mereka berdua. Mereka berdua langsung keluar (sebelumnya) beliau menerima air susu hadiah dari mereka berdua. Lalu Rasulullah mengutus orang untuk mengejar mereka dan memberi mereka minum susu, sehingga mereka berdua tahu bahwa Rasulullah tidak marah kepada mereka.[35]

Lalu turunlah ayat QS. Al-Baqarah/2:222:

Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. QS. al-Baqarah/2: 222.[36]

Diceritakan dalam hadis, bahwa Rasulullah pun tidak pernah melakukan suatu tindakan diskriminatif terhadap istri-istrinya yang sedang haid.[37]  Perempuan yang sedang haid tidak diperbolehkan melakukan ibadah-ibadah tertentu. Persoalan ini sering disalahfahami bahwa perempuan itu qalil ad-din (kurang agama)nya. Karena mereka terhalang untuk melaksanakan ibadah-ibadah tertentu ketika haid. Atau sering juga difahami bahwa sebagai kecemburuan mereka tidak diperkenankan untuk melaksanakan ibadah-ibadah tertentu ketika haid. Ibadah-ibadah itu antara lain salat, puasa, thawaf, dan i’tikaf.
Ini tidak berarti didiskriminasikan. Karena mentaati perintah Allah sama nilainya dengan menjauhi larangan-Nya. Jika dalam keadaan suci perempuan berhak mendapatkan pahala karena menjalankan perintah-Nya. Dalam kondisi haid merekapun berhak mendapatkan pahala karena patuh untuk meninggalkan larangan-Nya.[38]
Secara umum dapat dikatakan bahwa paradigma dasar fiqh tentang haid, nifas, dan istihadhah merupakan kelanjutan dari ajaran yang terdapat dalam al-Qur’an dan hadis. Artinya fiqh Islam tidak memposisikan perempuan yang sedang haid, nifas dan istihadhah sebagai kelompok manusia yang kotor dan perlu diisolasi. Fiqh memandang status mereka sama dengan orang yang sedang mengalami hadas besar (suatu kondisi yang mewajibkan seseorang untuk mandi wajib sebelum melakukan ibadah tertentu) seperti orang yang habis bersetubuh dan laki-laki yang mengeluarkan sperma. Dalam perspektif fiqh, hadas baik besar maupun kecil (suatu kondisi yang mewajibkan seseorang untuk berwuduk sebelum melakukan ibadah tertentu seperti habis kencing, buang air besar, dan tidur) dianggap sebagai sesuatu yang alamiah, temporer dan aksidental dan dialami oleh setiap manusia. Sehingga hadas sama sekali bukan hal yang dipandang negatif. Dengan menempatkan haid, nifas, dan istihadhah sejajar dengan kondisi-kondisi hadas yang lain, maka fiqh sesungguhnya telah meletakkan proses reproduksi perempuan ini sebagai bagian dari kodrat perempuan yang perlu diberikan solusi hukumnya.[39]
Dalam tradisi fiqh, terdapat lima hukum yang berkaitan dengan perempuan haid, sebagaimana yang dirumuskan oleh para ahli fiqh. Yakni:
1.Perempuan yang haid wajib mandi setelah selesai masa haidnya
2.Haid sebagai pertanda baligh.
3.Penentuan kosongnya rahim seorang perempuan pada masa iddah dengan haid. Sebab, pada dasarnya hikmah iddah adalah untuk mengetahui kosongnya rahim.
4.Penghitungan mulainya masa iddah dengan haid, menurut mazhab Hanafi dan Hanbali. Karena mereka memaknai lafaz tsalasata quru’ dengan haid. Iddahnya perempuan yang tidak hamil otomatis selesai dengan selesainya haid yang ketiga dan haid yang terjadi ketika talak tidak terhitung. Sedangkan menurut mazhab Maliki dan Syafi’i quru’ berarti al-thuhru, maka penghitungan iddah dimulai dengan masa suci dan berakhirnya masa iddah dengan mulainya haid yang ketiga. Masa suci saat jatuhnya talak terhitung dalam hitungan tsalasata quruwalaupun cuma sebentar.
5.Ditetapkannya kafarah atau hukuman karena melakukan jima pada masa haid.[40]

Pandangan Para Fuqaha Tentang Konsep Mukallaf 

Dalam kajian Ushul Fiqh, pembahasan tentang mukallaf; seseorang yang dipandang cakap dihadapan hukum untuk menerima hak, dikenai kewajiban, dan melaksanakan tugasnya sebagai seorang muslim, dikaji dalam pembahasan mahkum ‘alaih (subjek hukum).
Ulama ushul fiqih sepakat bahwa mahkum ‘alaih (subjek hukum) adalah mukallaf yang diartikan sebagai orang yang dibebani hukum atau orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah Allah maupun dengan larangan-Nya. Tindakan hukum yang dilakukan mukallaf akan dimintai pertanggungjawabannya baik di dunia maupun di akhirat.[41]
Syarat mahkum ‘alaih itu sebagai berikut:
1.Mengetahui dan memahami syari’at. Ia harus mampu memahami nash-nash hukum yang dibebankan al-Qur’an dan Sunnah baik yang langsung maupun melalui perantara.
2.Pengetahuan dan pemahaman seseorang terhadap syari’at sangat terkait dengan kesempurnaan akal seorang muslim tersebut. 
3.Kelayakan (ahliah) seorang muslim dalam menerima pembebanan hukum syara’.  Ahliah secara adalah sifat yang menunjukkan seseorang itu telah sempurna jasmani dan akalnya, sehingga seluruh tindakannya dapat dinilai oleh syara’.[42] Kemampuan bertindak hukum seseorang tidak datang secara sekaligus, melainkan secara berangsur-angsur melalui tahapan-tahapan tertentu, sesuai tingkat perkembangan jasmani dan akalnya. Atas dasar itu, maka ulama ushul fiqh membagi ahliah kepada dua bagian sebagai berikut:
a.Ahliah al-Wujub, yakni kelayakan seseorang untuk mendapatkan hak dan kewajiban, tetapi belum cakap atau mampu untuk dibebani seluruh kewajiban. Misalnya ia telah berhak menerima hibah, akan tetapi ia tidak sah memberikan hibah. Ia telah dianggap berhak menerima perintah ibadah, tetapi ia belum dianggap mampu untuk melaksanakannya seperti salat, puasa, maupun ibadah lainnya. Kalaupun dia menunaikannya, semua itu dianggap sebagai pendidikan, pembinaan, dan pembiasaan. Ahliah al-wujub ini, merupakan kemampuan yang diberikan dan dimiliki oleh seluruh manusia tanpa kecuali.
b.Ahliah al-Ada’, yakni kecakaan seseorang untuk melaksanakan kewajibannya secara syar’i.[43]

Secara etimologi, ahliah maknanya adalah al-shalahiah; kepantasan atau kelayakan. bila ada seseorang yang memilki kemampuan dalam satu bidang maka dia dianggap ahli. Adapun secara terminologi, para ahli ushul mendefinisikan ahliah  merupakan: suatu sifat yang dimiliki seseorang yang dijadikan ukuran oleh Syari’ untuk menentukan seseorang telah cakap dikenai tuntutan syara’.
Dalam subjek hukum dijelaskan bahwa di antara syarat subjek hukum adalah kecakapan untuk memikul beban hukum yaitu kemampuan dikenai hukum dan kemampuan berbuat hukum.Adapun kemampuan atau kecakapan dikenai hukum atau ahliyah al-wujub berlaku untuk seseorang dalam kapasitas sebagai manusia; dimulai dari janin dalam perut ibunya, kemudian lahir, berkembang, sampai dewasa dan berakhir dengan kematian. Dan kemampuan atau kecakapan untuk berbuat hukum atau ahliyah al-ada’ tidak berlaku untuk semua manusia. Kecakapan ini dibatasi oleh syarat-syarat tertentu, dalam hal ini adalah baligh dan berakal. Bila seseorang sudah mencapai umur dewasa yang menurut biasanya diiringi dengan kemampuan akal, maka ia dinyatakan cakap untuk melaksanakan hukum atau mukallaf.[44]
Keadaan Manusia Dikorelasikan dengan ahliyah al-wujub dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1.Ahliyah al-wujub al-naqisah; manusia terkadang mempunyai ke-ahliyah-an yang kurang sempurna, artinya apabila hanya pantas baginya diberikan beberapa ketentuan namun tidak hak, wajib atasnya beberapa kewajiban, atau sebaliknya. Ulama memberikan contoh janin  dalam kandungan ibunya. Sesungguhnya janin itu mempunyai beberapa hak, di antaranya: hak menerima harta pusaka dan hak menerima wasiat, tetapi ia tidak dikenakan atas kewajiban-kewajiban orang lain.
2.Ulama ushul fiqh sepakat bahwa ada empat hak bagi janin yang dalam kandungan, yaitu: a). Hak keturunan dari ayahnya. b). Hak warisan dari pewarisnya yang meninggal dunia. Dalam kaitannya, bagian harta yang harus dia terima diperkirakan dari jumlah terbesar yang akan ia terima yakni bagian anak laki-laki. Maka apabila terlahir wanita, maka kelebihan bahagian yang diancar-ancar tadi dikembalikan kepada ahli waris yang lain. c).Wasiat yang ditunjukan kepadanya, dan  d). Harta wakaf yang ditujukan kepadanya.
3.Ahliyah al-wujub al- kamilah, manusia terkadang mempunyai kelayakan seseorang dikarenakan layaknya ada hak-hak dan kewajiban padanya secara permanen, artinya apabila pantas baginya diberikan hak dan kewajiban. Keahlian ini bersifat permanen bagi semua manusia sejak ia lahir, jadi setiap orang sejak masa kanak-kanak hingga baligh/ dewasa dan dalam keadaan bagaimanapun, memiliki ahliyah al-wujub secara sempurna, dan kondisi ini dimiliki oleh setiap orang, sehingga dapat dikatakan bahwa tidak ada seorang pun yang tidak mempunyai ahliyah al-wujub. Patokan bagi adalah dzimmah (pengakuan) atas keberadaan/ kemanusiaan  seseorang itu.

Tolak ukur ahliah al-ada’ adalah akal, bila akal sempurna maka sempurna pulalah ahliah atau kelayakannya dalam menerima hak dan melaksanakan seluruh kewajibannya—sehingga seluruh perbuatannya yang baik maupun buruk harus dipertanggungjawabkan secara Syar’i. Manusia sebagai subyek hukum, bila dikaitkan dengan ke-ahli-an ini, maka terbagi menjadi 3 (tiga) tingkatan sebagai berikut:
a.'Adim al-Ahliah: manusia secara determinis terkadang tidak mempunyai keahlian melaksanakan, atau kehilangan keahlian melaksanakan. Dalam hal ini berlaku pada anak-anak (semenjak lahir sampai sebelum masa mumayiz). Anak-anak dinyatakan tidak mempunyai akal, juga tidak memiliki keahlian melaksanakan, dan segala ucapan maupun perbuatan tidak kenai syara’. Maka seluruh akad dan pengelolaan (tasharruf) yang dilaksanakannya dianggap batal. Apabila mereka melakukan tindak pidana terhadap jiwa atau harta orang lain, maka hukuman baginya dikenai hukuman harta bukan hukuman fisik. Jadi apabila anak-anak itu membunuh atau merusak harta orang lain maka hukumannya adalah denda—yang diambil dari hartanya atau orang tuanya--atas harta yang dirusak atau pembunuhan yang telah mereka lakukan, dan tidak diberlakukan hukumam qishash bagi mereka.
b.Ahliah al-Ada’ al-Naqishah, manusia terkadang tidak sempurna dalam ahliah al-ada’-nya, yaitu saat anak usia remaja (mumayiz). Hal ini berarti mencakup anak-anak yang masih dalam usia remaja sebelum ia baligh. Remaja itu sah secara pribadi tanpa perantara untuk mengelola sesuatu yang berguna, seperti menerima hibah dan sedekah tanpa harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari walinya. Adapun mengelola sesuatu secara pribadi tanpa perantara yang merugikannya seperti transaksi jual beli yang merugikannya, maka perbuaatannya dianggap tidak sah. Sementara tindakannya dalam  mengelola sesuatu yang berpotensi bisa mengguntungkan dan juga bisa merugikannya, dianggap sah pengelolaannya setelah ada izin dari walinya.
c.Ahliah al-Ada’ al-Kamilah, manusia terkadang sempurna dalam ke-ahliyahan melaksanakan (ahliah al-ada’). Yaitu orang yang telah sampai pada usia dewasa dan berakal, Sehingga ahliah al-ada’ yang sempurna dinyatakan dengan kedewasaan atau akalnya. Dalam hal ini para ulama mendasarkan pendapatnya dengan merujuk kapada surah QS. al-Nisa/4: 6 berikut:

Dan ujilah[45] anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka Telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, Maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).

Ahliah al-wujub itu bersifat permanen bagi manusia selama masih memiliki sifat  kemanusiaan, meskipun manusia itu masih dalam kondisi janin dalam perut ibunya, dan akan sempurna ketika ia dilahirkan ke dunia. Selama hidup ke-ahliahan ini tidak akan menjadi berkurang atau hilang.
Adapun ke-ahliahan ’ada itu tidak permanen bagi manusia sehingga seorang dikatakan mempunyai ke-ahliyah-an penuh ketika sudah baligh dan berakal. Tapi terkadang ada berbagai penghalang dalm ke-ahliahan-nya itu. Terkadang terjadi, seseorang yang telah mempunyai kemampuan yang sempurna mengalami halangan yang mengurangi atau menghilangkan  kemampuannya.
Ahliah al-ada’ itu adalah kemampuan membedakan sesuatu dengan pertimbangan akal, sedangkan indikasinya adalah sifat kedewasaan. Maka orang yang telah dewasa dan berakal, ahliah al-ada’-nya dianggap sempurna. Oleh sebab itu apabila datang sesuatu yang baru keadaan atau kondisi belakangan (tidak sejak semula), sedang dampaknya dapat menghilangkan akal orang dewasa tersebut, atau sesuatu yang dapat melemahkannya, atau keadaan yang dapat menghilangkan kecerdasannya, maka sesuatu yang baru itu dapat menjadi penghalang yang menyebabkan  seseorang itu  dianggap kurang atau mungkin tidak cakap sama sekali.
Di sini ditemukan sisi humanistik hukum Islam. Islam dalam berbagai demensinya, sepanjang sejarah kemanusiaan akan tetap sesuai dengan fitrah dan kebutuhan manusia. Allah yang telah menciptakan kita, maka tentu saja Dia pulalah yang lebih tentang kebutuhan kita. Sesungguhnya keadaan manusia yang demikian itu, terkadang menyebabkan mereka tidak cakap sehingga terhalang untuk melakukan aktivitas-aktivitas hukum. Para ulama ushul memabagi sifat penghalang yang dapat mengurangi atau menghilangkan kecakapan seseorang itu kepada 2 (dua) bagian, yaitu:
1.Ada yang berasal dari ketentuan Allah; di luar kekuasaan atau kemampuan manusia untuk menghindarinya; yang dinamakan (awaridh al-samawiah). Awaridh al-samawiah ini bersifat given.
2.Dan yang berasal atau memiliki porsi dari perbuatan atau usaha  mukallaf sendiri yang dinamakan awaridh al-muktasabah.[46]

Kedua bentuk halangan yang menyebabkan berubahnya kecakapan bertindak hukum seseorang. Para ulama berbeda dalam pengklasifikasian hal-hal yang termasuk awaridh al-samawiyah  dan  awaridh al-muktasabah, seperti ilustrasi berikut ini:
Tabel 1

‘Awaridh al-Samawiyah

No
‘Awaridh al-Samawiyah
Pendapat Fuqaha
Wahbah al-Zuhaili
Amir Syarifuddin
Nasrun Haroen
1
Gila
V
V
V
2
Anak Kecil
V


3
Idiot
V
V
V
4
Lupa
V
V
V
5
Tertidur
V
V

6
Kondisi Koma
V


7
Perbudakan
V

V
8
Sakit
V

V (sakit sebelum meninggal)
9
Haid
V


10
Nifas
V


11
Meninggal
V


12
Pingsan

V


Tabel 2

‘Awaridh al-Muktasabah

No
‘Awaridh al-Muktasabah
Pendapat Fuqaha
Wahbah Zuhaili
Amir Syarifuddin
Nasrun Haroen
1
Bodoh
V
V
V
2
Mabuk
V
V
V
3
Bermain-Main (Olok-Olok)
V


4
Safih
V
V
V
5
Tersalah
V
V
V
6
Dalam Perjalanan
V
V

7
Terpaksa
V
V
V
8
Meninggal

V

9
Sakit

V


Dari daftar tabel di atas, antara Wahbah al-Zuhaili, Amir Syarifuddin, dan Nasrun Haroen, terdapat perbedaan dalam pengklasifikasian suatu halangan itu termasuk kategori ‘awaridh al-samawiah dan ‘awaridh al-muktasabah, misalnya kondisi sakit dan meninggal pada kedua tabel di atas. Wahbah al-Zuhaili memasukkan kondisi sakit dan meninggal sebagai ‘awaridh al-samawiah, sedangkan Amir Syarifuddin memasukkan keduanya ke dalam kategori‘awaridh al-muktasabah. Menurut hemat penulis, bisa saja halangan-halangan yang termasuk sekaligus masuk ke dalam kategori ‘awaridh al-samawiah dan ‘awaridh al-muktasabah. Ataupun bertukar tempat dari halangan yang tergolong ‘awaridh al-samawiah lalu berubah menjadi ‘awaridh al-muktasabah, ataupun sebaliknya. Kondisi ini tergantung pada faktor yang paling dominan yang menyebabkan terjadinya halangan tersebut. Jika yang dominan adalah faktor kehendak Allah; di luar kekuasaan atau kemampuan manusia untuk menghindarinya, maka halangan tersebut termasuk kategori ‘awaridh al-samawiah contoh: seseorang meninggal karena sudah tua renta, faktor usia. Tapi pada halangan yang sama, tapi faktor yang dominannya adalah perbuatan atau usaha  mukalaf itu sendiri, maka termasuk kategori ‘awaridh al-muktasabah seseorang yang meninggal dunia disebabkan kecelakaan lalu lintas karena yang bersangkutan kebut-kebutan atau ugal-ugalan dalan berkendaraan.

Pandangan  Para Fuqaha Terhadap  Menarche Dini

Menarche adalah haid yang pertama kali datang. Sebelum seorang wanita siap menjalani masa reproduksi, terdapat masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa kedewasaan yang lebih dikenal dengan masa pubertas. Permulaan masa pubertas yang sering disebut sebagai pematangan fungsi reproduksi, pada perempuan ditandai dengan haid. Remaja putri yang telah memasuki masa pubertas akan mengalami menarche.[47]
Terjadi perbedaan tentang usia seorang anak perempuan di Indonesia mengalami menarche. Ada yang menyatakan bahwa menarche terjadi sekitar umur 10-11 tahun.[48] Adapula yang berpendapat bahwa usia remaja putri pada waktu mengalami menarche bervariasi lebar, yaitu antara usia 10–16 tahun, tetapi rata-rata terjadi pada usia 12,5 tahun.[49]
Di Amerika sekitar 95% anak perempuan mempunyai tanda pubertas pada umur 12 tahun dan umur rata-rata 12,5 tahun. Usia untuk mencapai fase terjadinya menarche dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain faktor suku, genetik, sosial, ekonomi, dan lain-lain. Di Inggris usia rata-rata untuk mencapai menarche adalah 13,1 tahun, sedangkan suku Bunding di Papua, menarche pada usia 18,8 tahun. Bahwa di Indonesia gadis remaja pada waktu Menarche bervariasi antara 10-16 tahun dan rata-rata Menarche 12,5 tahun, usia Menarche lebih dini di daerah perkotaan dari pada yang tinggal di Desa dan juga lebih lambat wanita yang kerja berat.[50]
Menurut Waryana, menarche yaitu biasanya terjadi pada usia 12-13 tahun. Cepat atau lambatnya kematangan seksual meliputi menstruasi, dan kematangan fisik individual, juga di pengaruhi faktor ras atau suku bangsa, faktor iklim, cara hidup yang melingkungi anak. Usia menarche adalah menstruasi pertama yang biasanya terjadi pada perempuan umur 12-13 tahun dalam rentang umur 10-16 tahun. Dalam keadaan normal menarche diawali dengan periode pematangan yang dapat memakan waktu 2 tahun. Menarche merupakan tanda diawalinya masa puber pada perempuan.[51]
Seiring dengan perubahan pola hidup saat ini ada kecenderungan anak perempuan mendapatkan menstruasi yang pertama kali usianya makin lebih muda. Ada 2 faktor yang menyebabkan terjadinya menstruasi datang lebih dini, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal biasanya terjadi karena adanya ketidakseimbangan hormonal yang dibawa sejak lahir. Kondisi ini kemudian dipicu pula oleh faktor eksternal, seperti makanan (terutama junkfood), lingkungan yang modern serta tingkat kemakmuran masyarakat di suatu daerah.[52]
Dari uraian sebelumnya, difahami bahwa usia menarche itu wanita Indonesia 10-16 tahun dengan rata-rata 12,5 tahun. Telah terjadi perubahan dalam banyak hal pada pola kehidupan masyarakat, termasuk di Indonesia. Perubahan tersebut juga berdampak pada  usia menarche. Pada sebagian mereka, menarche terjadi lebih awal dari yang berlaku di masyarakat secara umumnya. Dengan demikian, menarche sebelum usia 10 tahun, dapat dikategorikan sebagai menarche dini. 
Menjawab permasalahan ini, dalam kajian fiqh, pembahasan menarche ini, tentu saja dikaji dalam bahasan dima’ al-mar’ah, yakni haid. Haid adalah darah yang keluar dari rahim melalui kemaluan wanita  dalam kondisi sehat, bukan disebabkan proses melahirkan dalam jangka waktu tertentu.[53] Sebagian besar ulama menyatakan usia baligh bagi wanita itu di atas 9 (sembilan) tahun[54] menurut perhitungan tahun Kamariah. Jika sebelum itu, maka tidak dikategorikan sebagai darah haid tapi merupakan darah fasad atau istihadhah. Haid itu berlangsung sampai akhir hayatnya; sampai usia menoupose (masa berakhir/ berhentinya haid).[55]Jika tidak mengalami haid atau haidnya datang lebih lambat atau belakangan, maka balighnya ditetapkan pada usia  15 (lima belas tahun).[56]
Itulah di antara pendapat para ulama yang ditemukan dalam kitab fiqh. Pada masyarakat di tempat para ulama fiqh tersebut tinggal, mungkin seperti itulah kebiasaan yang berlaku pada perempuan dalam menghadapi kondisi menarche. Mereka mendapati bahwa perempuan itu mengalami menarche pada usia di atas 9 (sembilan) tahun. Dan bagi perempuan yang terlambat atau haidnya lebih belakangan dari kebiasaan yang berlaku dari kebiasaan umum di masyarakat, maka balighnya ditetapkan pada usia  15 (lima belas tahun).
Adapun jika ditinjau dengan kondisi yang berlaku di Indonesia, bahwa usia menarche itu wanita Indonesia 10-16 tahun dengan rata-rata 12,5 tahun. Maka menarche sebelum usia 10 tahun dapat dikategorikan dengan menarche dini.  Apabila menggambil pendapat para ulama sebelumnya bahwa darah yang keluar dari rahim perempuan sebelum usia menarche; maka darah tersebut tidak dikategorikan sebagai darah haid tapi merupakan darah fasad atau istihadhah.
Pada hal kondisi ini akan berlanjut sebagaimana halnya haid; yang berlangsung sepanjang hidupnya sampai ia mengalami menaupouse. Perempuan yang mengalami menarche dini, memberlakukan darah yang keluar dari rahimnya tersebut sebagai darah fasad atau istihadhah sampai yang bersangkutan memasuki usia menarche yang berlaku secara umum di Indonesia; yakni 10 (sepuluh) tahun sebagai bataas bawah (minimal).
 Namun sebagaimana yang dipahami dalam kajian ilmu kesehatan, bahwa darah yang keluar dari rahim perempuan tersebut adalah haid;  haid yang terjadi lebih dini atau lebih awal dibandingkan dengan kondisi yang berlaku umum pada masyarakat tersebut. Menurut penulis lebih tepat kiranya kondisi ini dihukum sebagai haid dengan segala konsekuensi hukum yang terkait. Karena jika dihukumkan darah fasad atau istihadhah, pada kondisi ini adalah haid yang datang setiap bulannya pada perempuan tersebut. Bukan darah istihadhah yang terjadi karena faktor kondisi fisik yang sakit, kelelahan, atau beban fikiran yang berat.

Pandangan  Hukum  Islam Terhadap Hubungan Menarche Dini Dan Kemukallafan Yang Bersangkutan

Syarat mahkum ‘alaih; orang yang dapat mempertanggungjawabkan semua perbuatan yang dilakukannya (mukallaf) itu sebagai berikut:
1.Mengetahui dan memahami syari’at. Ia harus mampu memahami nash-nash hukum yang dibebankan al-Qur’an dan Sunnah baik yang langsung maupun melalui perantara. Sebab orang yang tidak orang  mampu memahami dalil taklif tidak akan dapat mengikuti apa yang dibebankan kepadanya dan memahami maksudnya.
Kemampuan untuk memahami dalil itu hanya diperoleh melalui akal. Sebab akal adalah alat untuk memahami dan mengetahui sesuatu. Dengan akallah kemampuan itu dapat terbimbing. Namun karena akal itu merupakan sesuatu yang tidak dapat diindrawi secara lahiriah, maka Syar’i telah menghubungkan taklif dengan hal yang nyata dan dapat diindra, dan yang menjadi asumsi bagi akal, yaitu kedewasaan.[57] Maka orang yang telah mencapai tingkat kedewasaan tanpa menampakkan sifat-sifat yang merusak akalnya, berarti telah sempurna untuk terkena beban hukum.
Atas dasar itulah orang gila dan anak-anak tidak dikenai beban hukum karena ketiadaan akal yang digunakan untuk memahami apa yang dibebankan padanya. Demikan pula orang yang lupa, tidur, dan mabuk, karena dalam keadaan tersebut seorang itu tidak memiliki kemampuan untuk memahami. Sebagaimana Hadis Rasulullah,”Diangkatkan pena itu (tidak dikenai beban hukum) dari tiga orang; orang yang tidur hingga terbangun, anak-anak hingga ia dewasa, dan orang gila hingga ia berakal.”  Adapun mewajibkan zakat, nafkah, dan jaminan atas anak-anak, dan orang gila, hal itu bukanlah berarti memberikan beban kepadanya, akan tetapi hanya membebani walinya agar melaksanakan kewajiban harta yang menjadi milik anak-anak  dan orang gila tersebut.[58] Adapun mereka yang tidak mengerti bahasa Arab dan tidak dapat memahami dalil-dalil dan tuntutan syara’ dari al-Qur’an dan Sunnah, maka menurut aturan syara’ tidak sah memberi beban kecuali jika mereka itu belajar bahasa Arab dan dapat memahami nas-nash bahasa Arab, atau melalui dalil-dalil tuntutan syara’ yang diterjemahkan ke dalam bahasa mereka.
2.Pengetahuan dan pemahaman seseorang terhadap syari’at sangat terkait dengan kesempurnaan akal seorang muslim tersebut. 
3.Kelayakan (ahliah) seorang muslim dalam menerima pembebanan hukum syara’.  Ahliah adalah sifat yang menunjukkan seseorang itu telah sempurna jasmani dan akalnya, sehingga seluruh tindakannya dapat dinilai oleh syara’.[59]

Persyaratan mahkum ‘alaih adalah pengetahuan dan pemahaman seseorang terhadap syari’at sangat terkait dengan kesempurnaan akal seorang muslim tersebut.  Sebagaimana disinggung sebelumnya bahwa kesempurnaan akal adalah sesuatu hal yang tersembunyi. Mengukur kesempurnaan akal tersebut dilakukan berdasarkan pada baligh (kedewasaan) seseorang.
Baligh (kedewasaan) seseorang dalam hukum Islam didasarkan pada kondisi fisik seseorang. Seorang laki-laki itu dianggap telah baligh ketika ia telah mengalami ihtilam (mimpi basah) sedangkan perempuan itu dinyatakan baligh ketika ia telah mengalami haid.[60] Permulaan baligh tidak dapat disamakan bagi semua orang karena permulaan haid tidak sama bagi semua wanita.
Seorang yang memasuki usia baligh, secara umum dialami oleh seseorang yang memasuki usia remaja. Remaja mengalami banyak sekali perubahan dalam hidupnya. Perubahan dari fase anak-anak menuju dewasa. Seorang perempuan yang mengalami menarche di masa remajanya, selain mengalami perubahan secara fisik, juga mengalami perubahan dalam pola berfikir, phsikologis, perkembangan kejiwaan; emosi dan intejensi, serta moralnya. Perkembangan yang terjadi pada masa  remaja terjadi secara berangsur-angsur dan bertahap sebelum memasuki fase kedewasaan.
Terjadi tahapan-tahapan dalam perkembangan pada masa remaja. Pada tahapan masa remaja akhir, seseorang itu dianggap telah matang cara berfikir dan phsikologis serta tentu saja fisiknya untuk menjadi seorang yang dewasa.
Persyaratan mahkum ‘alaih selanjutnya adalah kelayakan (ahliah) seorang muslim dalam menerima pembebanan hukum syara’.  Ahliah menurut istilah adalah sifat yang menunjukkan seseorang itu telah sempurna jasmani dan akalnya, sehingga seluruh tindakannya dapat dinilai oleh syara’.
Ahliah (kecakapan) yang dimiliki seseorang itu tidak datang secara sekaligus, melainkan secara berangsur-angsur melalui tahapan-tahapan tertentu, sesuai tingkat perkembangan jasmani dan akalnya. Atas dasar itu, maka ulama ushul fiqh membagi ahliah kepada dua bagian sebagai berikut: Pertama, Ahliah al-Wujub, yakni kelayakan seseorang untuk mendapatkan hak dan kewajiban, tetapi belum cakap atau mampu untuk dibebani seluruh kewajiban. Misalnya anak kecil telah berhak menerima hibah. Ia telah dianggap berhak menerima perintah ibadah, tetapi ia belum dianggap mampu untuk melaksanakannya seperti salat, puasa, maupun ibadah lainnya. Kalaupun dia menunaikannya, semua itu dianggap sebagai pendidikan, pembinaan, dan pembiasaan. Ahliah al-wujub ini, merupakan kemampuan yang diberikan dan dimiliki oleh seluruh manusia tanpa kecuali.
Kedua, ahliah al-Ada’, yakni kecakapan seseorang untuk melaksanakan kewajibannya secara syar’i.[61] Adapun ke-ahliahan ’ada itu tidak permanen bagi manusia sehingga seorang dikatakan mempunyai ke-ahliyah-an penuh ketika sudah baligh dan berakal. Tapi terkadang ada berbagai penghalang dalm ke-ahliahan-nya itu. Terkadang terjadi, seseorang yang telah mempunyai kemampuan yang sempurna mengalami halangan yang mengurangi atau menghilangkan  kemampuannya.
Perempuan yang mengalami menarche dini, berarti mengalami tanda kedewasaan lebih awal dari yang berlaku secara umum pada masyarakat tersebut. Tanda kedewasaan yang lebih awal dialaminya tersebut, belum tentu seiring dengan kesempurnaan perkembangan yang dialaminya sebagai seorang remaja putri.  Adapun jika ditinjau dengan kondisi yang berlaku di Indonesia, bahwa usia menarche itu wanita Indonesia 10-16 tahun dengan rata-rata 12,5 tahun.  Usia menarche yang berlaku secara umum di Indonesia; yakni 10 (sepuluh) tahun ini dijadikan ketentuan minimal kedewasaan atau balighnya seorang perempuan sedangkan batasan usia 16 (enam belas tahun)—bagi perempuan yang terlambat atau haidnya lebih belakangan dari kebiasaan yang berlaku dari kebiasaan umum di masyarakat--dijadikan batas maksimal usia kedewasaan seseorang dalam wacana hukum Islam.

Penutup


Demikianlah, permasalahan menarche dini ditinjau dari perspektif hukum Islam. Semoga memberikan pengetahuan seputar permasalahan menarche dini. Dengan mengetahui dan memahami permasalahan ini diharapkan lebih tenang lagi dalam menyikapi persoalan tersebut kaitannya dalam melaksanaan ibadah. Wallahu a’lam.



Daftar Pustaka

BKKBN, Aborsi Harus Diselesaikan Secara Sosiologis.http://www//blog abortion. Diakses tanggal1 Oktober 2014

Fayyumi, Badriyyah, Haid, Nifas, dan Istihadhah, Modul Daurah Fiqh Perempuan, http://kursusislamdangender.wordpress.com/2010/07/11/haid-nifas-dan-istihadhoh/h. 211 diakses 5 Maret 2013


Gambaran Tingkat Pengetahuan Dan Sikap Remaja Putri Tentang Menarche di SMP N 1 Salem Tahun 2010?” , http://wwwcatchro.blogspot.com/2011/01/gambaran-tingkat-pengetahuan-dan-sikap.html, 1 Oktober 2014

Haroen, Nasrun. Ushul Fiqih 1, Jakarta: Logos, 1997


Karim, Syafi’i, Fiqh/Ushul Fiqh, Bandung, CV. Pustaka setia, Cet.1, 1997

Katsir, Abu al-Fida  Ismail Ibnu, Tafsir al Quran al Adzim,Beirut: Dar al-Fikr, 1986

Khallaf, Abd al-Wahab, Ilmu Ushulul Fiqh, Kairo: Syababul Azhar

Manuaba, Ida Ayu Chandranita, dkk, Memahami Kesehatan Reproduksi Wanita, Jakarta : EGC, 2009


Mulia, Siti Musdah (ed),  Keadilan dan Kestaraan Gender Perspektif Islam, Jakarta: Lembaga kajian Agama dan Jender,  2003, Cet. ke-2

Naisaburi, al-, Abu Hasan Ali bin Hamid al-Wahdi, Asbabun Nuzul, Beirut: Dar al-Fikr, 1986

Sabiq, Al-Sayid, Fiqh al-Sunnah, Beirut: Dar KItab al-Arabi, 1987, Juz I

Salma, Pubertas Dini: Apakah Perlu Dicemaskan?, http://majalahkesehatan.com/pubertas-dini-apakah-perlu-dicemaskan/ di akses tanggal  5 Maret 2014.

Siklus Menstruasi Wanita... Apa dan Bagaimana ?, http://tanyadokterspog.com/masalah-kandungan/siklus-menstruasi-wanita-apa-dan-bagaimana diakses tanggal 5 Maret 2013

Susanti, Agres Vivi, Faktor Risiko Kejadian Menarche Dini Pada Remaja di SMPN 30 Semarang, Program Studi Ilmu Gizi Fakultas kedokteran Universitas Diponegoro, 2012 eprints.undip.ac.id/38409/1/456_AGRES_VIVI_SUSANTI_G2C008001.pdf diakses tanggal 3 Maret 2013

Syafe’i, Rachmat, Ilmu Ushul Fiqih, Untuk UIN, STAIN, PTAIS, Bandung: Pustaka Setia

Syarifuddin ,Amir, Ushul Fiqh Jilid I, Jakarta: Logos, 2000

Waryana.  Gizi Reproduksi. Yogyakarta : Pustaka Rihama, 2010

Widyastuti, Yani, dkk,  Konsep Kesehatan Reproduksi, Yogyakarta : Fitramaya, 2009

Wiknjosastro, Hanifa, Ilmu Kandungan, Jakarta : Yayasan Bina Pustaka, 2005

Zaidan Abd al-Karim, al-Wajiz Fi Ushul al-Fiqh, Beirut:Maktabah al-Batsair, 1990

Zuhaili, al-, Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Beirut: Dar al-Fikr, 1997, Juz I





[1] Jayusman, Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Raden Intan Lampung,  http: //jayusmanfalak.blogspot.com  dan  email: jayusman_falak@yahoo.co.id
[2] Agres Vivi Susanti, Faktor Risiko Kejadian Menarche Dini Pada Remaja di SMPN 30 Semarang , Program Studi Ilmu Gizi Fakultas kedokteran Universitas Diponegoro, 2012 eprints.undip.ac.id/38409/1/456_AGRES_VIVI_SUSANTI_G2C008001.pdf diakses tanggal 3 Maret 2013
[3] Ibid
[4] Al-Sayid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Beirut: Dar KItab al-Arabi, 1987, Juz I, h. 74 dan lih juga Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Beirut: Dar al-Fikr, 1997, Juz I, h. 610
[5] Ibid Zuhaili, h. 611
[6] Sabiq,op.cit,  h. 75
[7] Ibid, h. 76
[8] Zuhaili, oop.cit,  h. 611
[9] Sabiq, loc.it
[10] Ibid
[11] Ibid Sabiq, h. 77
[12] Zuhaili, op.cit,  623-624. Adapun larangan nomor 8-12 adalah tambahan dari kalangan Malikiah.
[13] Ibid
[14] Sabiq, op.cit, h. 78 dan  Zuhaili, op.cit,  h. 633
[15] Sabiq, loc.cit
[16] Ibid, h. 80
[18] BKKBN, Aborsi Harus Diselesaikan Secara Sosiologis.http://www//blog abortion. Diakses tanggal 21 Mei 2010
[19] Yani Widyastuti, dkk. Konsep Kesehatan Reproduksi,Yogyakarta: Fitramaya, 2009
[20] Ibid
[21] Ibid
[22] Ibid
[23] Ibid
[24] Salma, Pubertas Dini: Apakah Perlu Dicemaskan?, http://majalahkesehatan.com/pubertas-dini-apakah-perlu-dicemaskan/ di akses tanggal  5 Maret 2014.
[25] Ibid
[26] Ibid
[27]Agres Vivi Susanti , Faktor Risiko Kejadian Menarche Dini Pada Remaja di SMPN 30 Semarang , Program Studi Ilmu Gizi Fakultas kedokteran Universitas Diponegoro, 2012 eprints.undip.ac.id/38409/1/456_AGRES_VIVI_SUSANTI_G2C008001.pdf diakses tanggal 3 Maret 2013 
[28] Salma, loc.cit
[29] Ibid
[30] Pengertian reproduksi biologis berkaitan dengan proses-proses biologis dan seksualitas.
[31] Siti Musdah Mulia (ed),  Keadilan dan Kestaraan Gender Perspektif Islam, Jakarta: Lembaga kajian Agama dan Jender,  2003, Cet. ke-2, h. 126 dan 132.
[32] Badriyyah Fayyumi, Haid, Nifas, dan Istihadhah, Modul Daurah Fiqh Perempuan, http://kursusislamdangender.wordpress.com/2010/07/11/haid-nifas-dan-istihadhoh/h. 211 diakses 5 Maret 2013lih juga Wahbah az-Zuhaili, op.cit, h.  623-624

[33] Siklus Menstruasi Wanita... Apa dan Bagaimana ?, http://tanyadokterspog.com/masalah-kandungan/siklus-menstruasi-wanita-apa-dan-bagaimana diakses tanggal 5 Maret 2013

[34] Ibid
[35] Abu al-Fida  Ismail Ibnu Katsir, Tafsir al Quran al Adzim,Beirut: Dar al-Fikr, 1986,  h. 259, lihat juga Abu Hasan Ali bin Hamid al-Wahdi an-Naisaburi, Asbabun Nuzul, Beirut: Dar al-Fikr, 1986, h. 46. 
[36] Kata haid ini,  disebutkan dalam dua ayat al-Qur’an. Selain pada QS. al-Baqarah/2: 222, juga debutkan dalam QS ath-Thalaq/65: 4 berikut:
Ï«¯»©9$#ur z`ó¡Í³tƒ z`ÏB ÇÙŠÅsyJø9$# `ÏB ö/ä3ͬ!$|¡ÎpS ÈbÎ) óOçFö;s?ö$# £`åkèE£Ïèsù èpsW»n=rO 9ßgô©r& Ï«¯»©9$#ur óOs9 z`ôÒÏts 4 àM»s9'ré&ur ÉA$uH÷qF{$# £`ßgè=y_r& br& z`÷èŸÒtƒ £`ßgn=÷Hxq 4 `tBur È,­Gtƒ ©!$# @yèøgs ¼ã&©! ô`ÏB ¾Ín͐öDr& #ZŽô£ç ÇÍÈ
Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya. QS ath-Thalaq/65: 4.
[37] Musda Mulia, op.cit, h. 24.
[38] Ibid
[39] Badriyyah Fayyumi,  op.cit, h. 215-216
[40] Wahbah al Zuhaili, op. cit, h. 534
[41] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, Untuk UIN, STAIN, PTAIS, Bandung: Pustaka Setia, h. 334
[42] Nasrun Haroen. Ushul Fiqih 1, Jakarta: Logos, 1997, h. 308
[43] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid I, Jakarta: Logos, 2000, h.357-362
[44]. Ibid, h. 365
[45] Yakni: mengadakan penyelidikan terhadap mereka tentang keagamaan, usaha-usaha mereka, kelakuan dan lain-lain sampai diketahui bahwa anak itu dapat dipercayai.
[46] Syafi’i Karim, Fiqh/Ushul Fiqh, Bandung, CV. Pustaka setia, Cet.1, 1997, h.135
[48] Ida Ayu Chandranita Manuaba, dkk.  Memahami Kesehatan Reproduksi Wanita, Jakarta : EGC, 2009
[49] Gambaran Tingkat Pengetahuan Dan Sikap Remaja Putri Tentang Menarche di SMP N 1 Salem Tahun 2010?” , http://wwwcatchro.blogspot.com/2011/01/gambaran-tingkat-pengetahuan-dan-sikap.html 1 Oktober 2014
[50] Hanifa Wiknjosastro, Ilmu Kandungan, Jakarta : Yayasan Bina Pustaka, 2005
[51]Waryana.  Gizi Reproduksi. Yogyakarta : Pustaka Rihama, 2010
[53] Al-Sayid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Beirut: Dar Kitab al-Arabi, 1987, Juz I, h. 74 dan lih juga Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Beirut: Dar al-Fikr, 1997, Juz I, h. 610
[54] Perhitungannya berdasarkan perhitungan tahun Kamariah.
[55] Ibid, h. 611 dan Sabiq, op.cit, h. 75
[56] Zuhaili, al-Fiqh, loc.cit
[57] Lihat Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushulul Fiqh, Kairo: Syabab al-Azhar, h. 123.
[58] Abd al-Karim Zaidan, al-Wajiz Fi Ushul al-Fiqh, Beirut:Maktabah al-Batsair, 1990,  h. 88
[59] Nasrun, op.cit, h. 308
[60] Amir op.cit, h. 356
[61] Ibid, h.357-362

Tidak ada komentar:

Posting Komentar