TELAAH ULANG PENENTUAN WAKTU SALAT DI DAERAH SEKITAR KUTUB [1]
Abstrak
Penentuan awal waktu salat di daerah sekitar kutub memerlukan bahasan tersendiri. Hal ini karena perbedaan posisi harian matahari pada waktu-waktu tertentu dengan yang biasa dialami oleh daerah-daerah di sekitar khatulistiwa. Misalnya kondisi syafak pada saat Magrib bersambungan dengan Fajar; yang disebut dengan continous twilight. Matahari tetap di horizon tidak turun ke bawah ufuk sehingga posisi matahari tidak mencapai posisi -20° (kriteria awal waktu Isya dan Subuh). Ini menyebabkan awal waktu Isya dan Subuh tidak teridentifikasikan secara ilmu Falak. Untuk menyelesaikan persoalan tersebut akan dikaji berbagai perdapat para ulama sehingga dihasilkan sulosi yang satu sisi punya landasan secara Syar’i dan aplikatif dalam pelaksanaannya.
Kata Kunci: Awal Waktu Salat, Waktu Puasa, Daerah Sekitar Kutub, Waktu Salat Yang Teridentifikasi, Panjang Siang
Pendahuluan
Menarik untuk membicarakan waktu-waktu salat di daerah dekat kutub; daerah-daerah yang memiliki lintang tinggi. Karena daerah-daerah tersebut memiliki perbedaan dengan daerah yang berada di sekitar Khatulistiwa yang peredaran harian mataharinya relatif teratur sedang daerah-daerah tersebut tidak demikian. Di daerah dekat kutub ini, posisi matahari tidak seperti pada daerah dekat Khatulistiwa. Dekat Khatulistiwa, peredaran matahari setiap harinya relatif sama dan tidak banyak berbeda. Dalam penentuan awal waktu salat yang terkait dengan posisi matahari sebagaimana yang ditentukan oleh para ahli ilmu Falak, dapat tercapai setiap harinya dengan mudah.
Kondisi ini berbeda dengan daerah-daerah dekat kutub. Sebagai contoh penentuan awal waktu salat di daerah Trondheim (10° 23’ BT dan 63° 36’ LU), Norwegia. Pada bulan April sampai September di daerah Trondheim, syafak pada saat Magrib bersambungan dengan Fajar; yang disebut dengan continous twilight. Matahari tetap di horizon tidak turun ke bawah ufuk sehingga posisi matahari tidak mencapai posisi -20° (kriteria awal waktu Isya dan Subuh). Ini menyebabkan awal waktu Isya dan Subuh tidak teridentifikasikan secara ilmu Falak.
Kondisi demikian terkadang memunculkan pemikiran seolah-olah daerah selain daerah Khatulistiwa adalah daerah kurang layak atau kurang baik untuk tidak menyatakan tidak layak dan tidak baik untuk didiami oleh kaum muslimin. Sehingga ada pemikiran sebaiknya semua muslim bermukim di Khatulistiwa dan daerah utara dan selatan untuk orang yang non muslim. Sebenarnya coverage area di mana orang bisa salat dengan normal lebih luas dari sekedar sepanjang garis Khatulistiwa. Yang penting selagi masih ada terbit dan tenggelamnya matahari, maka sistematika waktu-waktu salat sebagaimana yang telah diatur dalam Syariat Islam masih bisa berjalan dan diperhitungkan. Walaupun panjang malam hanya beberapa jam saja. Atau sebaliknya, panjang siang hanya beberapa jam.
Tinjauan astronomis akan membantu mencarikan solusi dalam menarik analogi hukum penentuan awal waktu salat. Perihal ijtihad tentang penentuan awal waktu salat di daerah yang dapat dikatakan tidak normal (jika dibandingkan dengan daerah dekat Khatulistiwa) ini sering diulas oleh ahli fikih. Tetapi dengan kemudahan perhitungan astronomi dalam penentuan waktu, hal yang semula menimbulkan kesulitan, kebingungan pada akhirnya dapat dicarikan solusinya. Ilmu astronomi mestinya tidak hanya membantu menentukan waktu ibadah, tetapi juga mencarikan solusi hukum yang terbaik dalam kasus yang belum terjadi pada zaman Nabi.
Jadwal Salat Di Daerah Sekitar Kutub
Indonesia terletak di daerah Khatulistiwa sehingga panjang hari tidak terlalu bervariasi sepanjang tahun. Di Bandung misalnya, yang termasuk bagian selatan daerah tropik, perbedaan panjang hari puasa antara bulan Juni dan Desember hanya sekitar 50 menit. Untuk wilayah di lintang tinggi (dekat daerah kutub), variasi panjang hari akan sangat mencolok. Musim panas merupakan saat siang hari paling panjang dan malam paling pendek. Sebaliknya terjadi pada musim dingin. Panjang hari ini berpengaruh pada penentuan awal waktu salat yang terkait dengan posisi matahari.[2] Pada saat matahari berada di titik Utara, sekitar bulan Juli, wilayah sekitar kutub Selatan akan mengalami waktu siang yang singkat dan waktu malam yang panjang. Namun ketika matahari berada di titik Selatan, wilayah di sekitar kutub Selatan akan mengalami waktu siang yang panjang dan waktu malam yang relatif singkat. Kondisi yang berlaku di wilayah sekitar kutub Selatan ini adalah kebalikan dari yang terjadi di kutub Utara.
Dengan kata lain terdapat kondisi yang menyebabkan tidak dapat/sulit ditentukannya waktu-waktu salat tertentu. Gambaran kondisi tersebut sebagai berikut:
1. Jadwal Salat di Lintang 60o pada musim panas senja bersambung fajar (tidak ada batasan waktu Isya dan Subuh). Terjadi continous twilight, yaitu bersambungnya cahaya senja dan cahaya fajar. Akibatnya awal fajar tidak bisa ditentukan dan ini berarti sulit memastikan kapan awal waktu Isya dan Subuh. Kondisi tidak normal: tidak ada gelap malam.
2. Jadwal Salat di Lintang 70° pada musim panas, senja bersambung fajar (tidak ada batasan waktu Isya dan Subuh) seperti kondisi di Lintang 60o dan matahari tak pernah terbenam (tidak ada batasan waktu maghrib). Pada musim dingin matahari selalu di bawah ufuk (tidak ada batasan waktu Zuhur, Asar, dan Magrib). [3]
Pendapat Para Ulama Tentang Penentuan Awal Waktu Salat
di Daerah Dekat Kutub
Terdapat perbedaan pendapat ulama menyikapi penentuan waktu salat di wilayah di sekitar atau berdekatan kutub. Berbagai pendapat tersebut dapat dirangkum sebagai berikut:
1. Sa’adoeddin Djambek mengqiyaskannya dengan kondisi seseorang tertidur atau pingsan. Seseorang tertidur atau pingsan di waktu Magrib setelah menunaikan salat Magrib dan terbangun atau siuman pada waktu Subuh. Sehingga waktu Isya tidak disadarinya.[4] Dalam Fikih mazhab Syafi’i ketika ia terbangun atau siuman maka hendaklah melaksanakan salat Subuh lalu mengqadha salat Isya.
2. TM Hasbi Ash-Shiddiqi menyatakan untuk menggunakan pedoman waktu salat daerah lain yang masih dapat ditentukan waktu-waktu salatnya atau keadaan waktu di Madinah.[5]
3. Syeikh As-Sobhi pada acara televisi dalam rubrik Fataawa al-Ulama (fatwa-fatwa ulama) itu berpendapat pula bahwa waktu untuk menjalankan ibadah salat lima waktu bagi warga Muslim yang berada di kawasan kutub utara atau kutub selatan yang lebih afdhal (lebih tepat) adalah mengikuti waktu di Makkah, sebagai titik pusat spiritual umat Islam sedunia .[6]
4. Muhyiddin Khazin, Sayid Sabiq dalam Fiqh as-Sunnahnya, dan MUI menyatakan bahwa jika kita berpedoman pada posisi matahari dalam penentuan awal waktu salat di daerah kutub (maupun di daerah sekitarnya) maka akan mengalami kesulitan. Oleh karena itu penentuan awal waktu salatnya disamakan dengan daerah normal yang terdekat.[7]
5. T Djamaluddin menyatakan bahwa bagi mereka yang berada di sekitar wilayah kutub tetap merujuk kepada waktu setempat; yang dijadikan acuan adalah pada waktu normal terakhir ketika waktu-waktu salat itu masih normal dan bisa diedentifikasi atau ditentukan secara astronomi.[8] Ketika TM Hasbi Ash-Shiddieqy dalam "Pedoman Puasa" berpendapat untuk melakukan perkiraan waktu atau hisab ini dilandaskan pada qiyas dengan hadis tentang Dajal yang diriwayatkan Muslim dari Yunus ibn Syam'an. Dalam hadis itu disebutkan bahwa pada saat itu satu hari sama dengan setahun. Kemudian ada sahabat yang bertanya,"Cukupkah bagi kami salat sehari?" Nabi menjawab,"Tidak, perkirakan waktu-waktu itu". Bila menggunakan qiyas itu, Hasbi Ash-Shiddieqy mendasarkan perkiraan waktunya pada daerah normal di sekitarnya. Sedang T Djamaluddin berpendapat lebih baik dan lebih pasti menggunakan waktu normal setempat, sebelum dan sesudah waktu ekstrim itu. Dengan perhitungan astronomi hal itu mudah dilakukan. [9]
Dari pendapat atau hasil ijtihad para ulama tentang penentuan waktu salat di daerah kutub di atas, terdapat beberapa catatan:
1. Masing-masing pendapat memiliki landasan, penulis dalam hal ini cenderung pada pendapat yang terakhir, yang diungkapkan oleh T Djamaluddin. Argumentasinya adalah jika seseorang yang tinggal di wilayah sekitar kutub tersebut mengacu pada waktu normal terakhir ketika waktu-waktu salat itu masih normal; bisa diidentifikasi atau ditentukan secara astronomi. Hal ini akan memudahkan bagi mereka dalam menyikapi fenomena alam yang terjadi di sekitar mereka.
2. Jika mereka harus mengacu pada ketentuan waktu daerah lain dalam hal ini terdapat pendapat yang mengatakan untuk mengikuti daerah yang terdekat yang normal; masih dapat diidentifikasi/ditentukan waktu-waktu salatnya. Atau pendapat lain yang menyatakan untuk mengikuti acuan waktu salat kota Mekah (ada juga yang mengatakan untuk mengikuti daerah Hijaz atau juga Madinah) yang mungkin sangat jauh berbeda dengan kondisi ril mereka tentu akan menyulitkan.
3. Kondisi ini di mana penentuan waktu-waktu salat tertentu dapat saja tidak terdefinisikan; teridentifikasi, dapat terjadi dalam jangka waktu yang cukup lama. Jika kondisi ini diqiyaskan dengan keadaan tertidur ataupun pingsan, dalam jangka waktu yang lama seperti seseorang yang mengalami koma, pada hal mereka sendiri bangun dan sadar, mungkin kurang tepat.
4. Kasus ekstrim seperti itu untungnya tidak terjadi selamanya. Sekitar bulan Maret dan September, semuanya berjalan normal lagi, seperti halnya penentuan awal waktu salat di daerah ekuator. Pada sekitar bulan Maret dan September, panjang siang dan malam hampir sama di seluruh dunia. [10]
Berikut ini akan dilihat lebih lanjut contoh Tathbiq Waktu Salat di lintang besar; daerah dekat Kutub utara. Daerah yang dijadikan contoh adalah daerah Trondheim (10° 23’BT,63° 36’LU); salah satu daerah di negara Norwegia.
1. Di daerah ini pada tanggal 06 April sampai dengan bulan 05 September 2010 waktu Subuh dan Isyanya tidak teridentifikasikan.
2. Berikut jadwal salat bulan April 2010 sebelum dan setelah koreksi dengan menggunakan waktu normal setempat.
3. Jadwal ini dihitung menggunakan program Mawaqiit 2001 karya Khafid.
Waktu Salat di Trondheim (10° 23’BT,63° 36’LU):
April 2010
April 2010
---------------------------------------------------
Tgl Subh Syuruq Zuhr Ashr Magrib Isya
---------------------------------------------------
01 01:48 05:37 12:24 16:41 19:09 23:00
02 01:38 05:33 12:23 16:43 19:12 23:09
03 01:27 05:30 12:23 16:46 19:14 23:19
04 01:14 05:27 12:23 16:48 19:17 23:32
05 00:56 05:23 12:23 16:50 19:20 23:49
06 --:-- 05:20 12:22 16:52 19:23 --:--
07 --:-- 05:16 12:22 16:54 19:26 --:--
08 --:-- 05:13 12:22 16:56 19:29 --:--
09 --:-- 05:09 12:22 16:58 19:32 --:--
10 --:-- 05:06 12:21 17:00 19:35 --:--
11 --:-- 05:02 12:21 17:02 19:38 --:--
12 --:-- 04:59 12:21 17:04 19:41 --:--
13 --:-- 04:55 12:21 17:06 19:44 --:--
14 --:-- 04:52 12:20 17:08 19:47 --:--
15 --:-- 04:48 12:20 17:10 19:50 --:--
16 --:-- 04:45 12:20 17:12 19:53 --:--
17 --:-- 04:41 12:20 17:14 19:56 --:--
18 --:-- 04:38 12:19 17:16 19:59 --:--
19 --:-- 04:35 12:19 17:18 20:02 --:--
20 --:-- 04:31 12:19 17:19 20:05 --:--
21 --:-- 04:28 12:19 17:21 20:08 --:--
22 --:-- 04:24 12:19 17:23 20:11 --:--
23 --:-- 04:21 12:18 17:25 20:14 --:--
24 --:-- 04:18 12:18 17:27 20:17 --:--
25 --:-- 04:14 12:18 17:29 20:20 --:--
26 --:-- 04:11 12:18 17:31 20:23 --:--
27 --:-- 04:08 12:18 17:32 20:26 --:--
28 --:-- 04:04 12:18 17:34 20:29 --:--
29 --:-- 04:01 12:18 17:36 20:32 --:--
30 --:-- 03:57 12:17 17:38 20:35 --:--
---------------------------------------------------
Jadwal awal waktu salat untuk kota Trondheim, Norwegia (10° 23’ BT dan 63° 36’ LU) setelah dilakukan koreksi. Koreksi yang dilakukan berupa awal waktu salat Isya dan Subuh yang tidak dapat didefinisikan secara ilmu Falak mengikuti waktu normal sebelumnya. Awal waktu salat Isya dan Subuh sejak tanggal 06 sampai dengan akhir bulan April 2010 tidak teridentifikasikan. Maka awal waktu salat Isya dan Subuh tanggal 06 sampai dengan 30 April 2010 tersebut mengikuti jadwal pada tanggal 05 April yang masih normal; dapat diidentifikasi lalu dilakukan interpolasi. Demikanlah perhitungan awal waktu salat Subuh dan Isya sampai dengan tanggal 05 September 2010.
Waktu Salat di Trondheim (10° 23’BT dan 63° 36’LU) : April 2010
---------------------------------------------------
Tgl Subh Syuruq Zuhr Ashr Magrib Isya
---------------------------------------------------
01 01:48 05:37 12:24 16:41 19:09 23:00
02 01:38 05:33 12:23 16:43 19:12 23:09
03 01:27 05:30 12:23 16:46 19:14 23:19
04 01:14 05:27 12:23 16:48 19:17 23:32
05 00:56 05:23 12:23 16:50 19:20 23:49
06 00:56 05:20 12:22 16:52 19:23 23:49
07 00:56 05:16 12:22 16:54 19:26 23:49
08 00:57 05:13 12:22 16:56 19:29 23:50
09 00:57 05:09 12:22 16:58 19:32 23:50
10 00:57 05:06 12:21 17:00 19:35 23:50
11 00:57 05:02 12:21 17:02 19:38 23:50
12 00:57 04:59 12:21 17:04 19:41 23:50
13 00:58 04:55 12:21 17:06 19:44 23:51
14 00:58 04:52 12:20 17:08 19:47 23:51
15 00:58 04:48 12:20 17:10 19:50 23:51
16 00:58 04:45 12:20 17:12 19:53 23:51
17 00:58 04:41 12:20 17:14 19:56 23:51
18 00:59 04:38 12:19 17:16 19:59 23:52
19 00:59 04:35 12:19 17:18 20:02 23:52
20 00:59 04:31 12:19 17:19 20:05 23:52
21 00:59 04:28 12:19 17:21 20:08 23:52
22 00:59 04:24 12:19 17:23 20:11 23:52
23 00:59 04:21 12:18 17:25 20:14 23:52
24 01:00 04:18 12:18 17:27 20:17 23:53
25 01:00 04:14 12:18 17:29 20:20 23:53
26 01:00 04:11 12:18 17:31 20:23 23:53
27 01:00 04:08 12:18 17:32 20:26 23:53
28 01:00 04:04 12:18 17:34 20:29 23:53
29 01:01 04:01 12:18 17:36 20:32 23:54
30 01:01 03:57 12:17 17:38 20:35 23:54
---------------------------------------------------
Waktu Salat Bagi Astronot
Menarik kiranya kita juga membahas tentang penentuan waktu salat bagi para astronot. Karena dengan pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak tertutup peluang bagi seorang muslim menjadi astronot. Seperti beberapa waktu yang lalu seorang astronot muslim asal Malaysia yang terbang ke luar angkasa.
Penentuan waktu salat bagi astronot yang berada di luar angkasa, tidak dapat mengacu pada peredaran stasiun ruang angkasa tempat ia berada. Sebagai contoh kasus Sheikh Muszaphar Shukor, seorang Astronot muslim berwarga negara Malaysia yang ikut bergabung dalam Tim Soyuz dalam misi 10 hari ke Luar Angkasa di Stasiun Antariksa Internasional (ISS) pada tahun 2006 lalu. Penentuan waktu salat selama berada di sana tidak sama dengan di Bumi. Karena Stasiun antariksa mengelilingi Bumi sebanyak 16 kali dalam 24 jam. Dan itu berarti Ia akan menemui 16 kali matahari terbit dan terbenam dalam 24 jam tersebut.[11] Demikian juga dengan fenomena peredaran matahari yang menjadi patokan dalam penentuan awal waktu salat. Ia akan menemui enam belas kali awal waktu salat Subuh, Zuhur, Asar, Magrib, dan Isya. Jika dinyatakan fenomena peredaran matahari itu sebagai sebab dalam kewajiban salat lima waktu, berarti ia wajib melaksanakan delapan puluh kali salat sehari semalam. Tentu saja ini akan menimbulkan suatu kesulitan bagi muslim tersebut.
Panduan pelaksanaan ibadah di luar angkasa bagi Sheikh Muszaphar Shukor yang dibuat Kantor Kemajuan Islam Malaysia (Jakim) menyatakan bahwa dalam menentukan waktu salat berdasarkan tempat lepas landas, yaitu Baikonur, Kazakhstan.[12]
Pakar Syariah Islam dari Mesir, Syeikh Mohammad Ahmad as-Sobhi berpendapat astronot Muslim, yang menjalankan misinya di luar angkasa, dapat beribadah puasa dan salat lima waktu dengan berpatokan pada waktu Mekah, Arab Saudi.[13]
Dalam menyikapi kedua pendapat di atas, penulis cenderung untuk mengambil pendapat yang pertama. Pendapat yang menyatakan bahwa dalam menentukan waktu salat berdasarkan tempat lepas landas. Ini akan memudahkan karena menyesuaikan jadwal salatnya dengan jadwal aktivitasnya ketika terakhir di Bumi sebelum terbang ke luar angkasa.
Penutup
Dalam penentuan awal waktu salat di daerah-daerah yang berada di dekat kutub pada saat awal waktu salatnya tidak dapat diedentifikasi pendapat T Djamaluddinlah lebih memudahkan. Dalam mengikuti pendapat T Djamaluddin, masyarakat tinggal mengikuti saat awal waktu salat yang masih teridentifikasi sebelumnya dan kemudian menginterpolasi. Sehingga tidak perlu misalnya untuk mengikuti daerah yang berdekatan yang awal waktu salatnya teridentifikasi. Karena dikhawatirkan terdapatnya loncatan/ pergeseran awal waktu salat ketika digunakan di daerah yang awal waktu salatnya tidak teridentifikasi tadi ataupun ketika berpedoman pada waktu Mekah.
Daftar Pustaka
Ahmad SS, Syawariq al-Anwar, Kudus: TBS, T.th
Astronaut Muslim Pertama Berlebaran di Luar Angkasa, http://irwan.dagdigdug.com/astonaut-muslim-pertama-berlebaran-di-luar-angkasa/ diakses 30 Oktober 2009.
Azhari, Susiknan, Ilmu Falak Teori dan Praktek, Yogyakarta: Lazuari, Cet.ke-1, 2001
____________, Hisab dan Rukyat Wacana untuk Membangun Kebersamaan di tengah Perbedaan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. Ke-1, 2007
____________, Ensiklopedi Hisab Rukyat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet.ke-2, 2008
Depag RI, Ditjen Binbaga Islam, Laporan Keputusan Musyawarah Hisab Rukyat, Jakarta: Depag RI, 1990
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung: Gema Risalah Press, 1992
___________,Pedoman Penghitungan Awal Bulan Qamariyah, Jakarta: Depag RI, 1994/1995
___________, Pedoman Penentuan Jadwal Waktu Salat Sepanjang Masa, Jakarta: Depag RI, 1994/1995
Djamaluddin, T, Posisi Matahari Dan Penentuan Jadwal Salat, http://t-djamaluddin.spaces.live.com diakses 15 November 2009
___________, Analisis Hisab Astronomi Ramadan dan Hari Raya di Berbagai Negeri , http:// media.isnet. org diakses tanggal 30 Oktober 2009
Djambek, Sa’adoeddin, 1974, Salat dan Puasa di Daerah Kutub, Jakarta: Bulan Bintang
____________, 1974 a, Pedoman Waktu Salat Sepanjang Masa, Jakarta: Bulan Bintang
Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Juz I, Beirut: Dâr al-Fikr, T.Th.
Izzuddin, Ahmad, Ilmu Falak Praktis (Metode Hisab Rukyat Praktis dan Solusi Permasalahannya), Semarang: Komala Grafika, 2006
Hambali, Slamet, Proses Menentukan Awal-Awal Waktu Shalat, makalah dipresentasikan pada tanggal 5 Oktober 2009, di PPS IAIN Walisongo Semarang
Hidayat, Bambang, Perjalanan Mengenai Astronomi, Cet. I, Bandung: ITB, 1995.
Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia No. 145, Majelis Ulama Indonesia dalam Musyawarah Nasional II tanggal 11-17 Rajab 1400 H, bertepatan dengan tanggal 26 Mei 1980 M. http://mui.or.id/ yang diakses pada tanggal 06 November 2010
Ijtihad Astronot Muslim Puasanya Berpatokan pada Mekkah, http://www.infoanda.com/ diakses 30 Oktober 2009
Jaziri, al-, Abdurrahman, Kitâb al-Fiqh ‘alâ Madzâhib al-Arba’ah, Cet. IV, Beirut: Dâr al-Fikr, T.Th.
Karim MS, Abdul, Mengenal Ilmu Falak, Semarang: Intra Pustaka Utama, Cet.ke-1, 2006
Khafid, Mawaaqit 2001
Khazin, Muhyiddin, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Buana Pustaka, Cet.ke-3, 2008
____________, 99 Tanya Jawab Masalah Hisab & Rukyat, Yogyakarta: Ramadan Press
Murtadho, Moh, Ilmu Falak Praktis, Malang: UIN Malang Press, 2008, cet.ke1
Rachim, Abdur, Ilmu Falak, Yogyakarta: Liberty, Cet.ke-1, 1983
Sabiq, al-Sayyid, Fiqh al-Sunnah, Cet. IV, Beirut: Dâr al-Fikr, 1403H./1983 M.
Shalat di Luar Angkasa, http://www.infoanda.com/ diakses 30 Oktober 2009
Shiddieqy, ash-, TM Hasbi, Pedoman Puasa, Cet. I, Jakarta: Bulan Bintang, 1954.
Waktu Salat, http://www.alhusiniyah.com diakses 15 November 2009
Zuhaili, az, Wahbah, tt, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Jilid I, Dimsyiq: Dar al-Fikr
[1]Jayusman, Lektor fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung. http://jayusmanfalak.bolgspot.com dan e mail jay_falak@yahoo.co.id
[2] T Djamaluddin, Analisis Hisab Astronomi Ramadan dan Hari Raya di Berbagai Negeri , http:// media.isnet. org diakses tanggal 30 Oktober 2009
[3] T Djamaluddin, Shalat di Daerah Sekitar Kutub dan Antariksa, makalah perkuliahan Hisab Kontemporer, Semarang, IAIN Walisongo, 11 Juni 2010 dan Shaum
[4] Sa’adoeddin Djambek, Salat dan Puasa di Daerah Kutub, Jakarta: Bulan Bintang, 1974: 17.
[5] TM Hasbi Ash-Shiddiqie, Pedoman Shalat, Jakarta: Buan Bintang, 1978, cet. ke-x, h. 143
[6] Shalat di Luar Angkasa, http://www.infoanda.com/ diakses 30 Oktober 2009
[7] Muhyiddin Khazin, 99 Tanya Jawab Masalah Hisab & Rukyat, Yogyakarta: Ramadhan Press, 2009, h.47 dan Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia No. 145, Majelis Ulama Indonesia dalam Musyawarah Nasional II tanggal 11-17 Rajab 1400 H, bertepatan dengan tanggal 26 Mei 1980 M. Ketua MUI ketika itu adalah Hamka, lihat http://mui.or.id/ yang diakses pada tanggal 06 November 2010
[8] T Djamaluddin, Shalat, loc.cit dan lihat juga T Djamaluddin, Analisis, loc.cit
[9] Ibid
[10] Ibid
[11] Astronaut Muslim Pertama Berlebaran di Luar Angkasa, http://irwan.dagdigdug.com/astonaut-muslim-pertama-berlebaran-di-luar-angkasa / . diakses 30 Oktober 2009
[12] Shalat di Luar Angkasa, http://www.infoanda.com/ diakses 30 Oktober 2009
artikelnya bagus banget. izin copas untuk di share...
BalasHapusBagaimana TEknik Interpolasi mohon di terangkan.....
BalasHapusMas Latief. Kita memerlukan:
BalasHapus1. data terakhir awal waktu salat yang masih bisa diidentifikasikan,
2. data waktu yang tidak bisa diidentifikasi,
3. dan data awal waktu salat dapat diidentifikasi kembali.
Berapa lama waktu (2) : selisih waktu (1)dan(3).
utk area trondheim, kami pertama kali berada di daerah tsb saat ini hingga syawal 1434H mhn lebih konkrit jadwal sholat dan shaum ramadhan 1434H,,,utk sholat syafar kami jamak taqdim/takhir,,abis isya sebentar lg subuh,,ada riwayat yg mengatakan,,,bolehkan aku melanjutkan shaum setelah berbuka krn aku mampu,,,jawab Rosul SAW "tidak La, bersahurlah kamu krn didalam sahur walau seteguk air ada berkah didalamnya"
BalasHapusartinya ada jedah waktu dan dipertegas adanya qiyyamullail...lailatul berarti ada malam yg dinikmati,,,wassalam
Untuk Mbak/Mas yang berada di Trondheim. Ane mencoba melakukan mengecekan jadwal salatnya menggunakan program Mawaqiit karya Khafid, waktu yang tidak dapat diidentifikasinya untuk salat Isya dan Subuh di Trondheim mulai 11 April s/d 30 Agustus. Untuk lebih lanjut bisa tlg dkirimkan emailnya atau berteman dengan ane di FB biar ane kirimkan datanya. Terima kasih
Hapus