SISTEM HISAB AWAL BULAN KAMARIAH
Studi Terhadap pemikiran KH. Zubair Umar al-Jailani dalam Kitab al-Khulashatu al-Wafiyyah)
Oleh:
Dahlia Haliah Ma’u
Pendahuluan
Perkembangan ilmu falak di Indonesia (awal abad ke-20), tidak lepas dari peran yang dilakukan para ulama muda Indonesia yang melakukan rihlah ilmiah di negara Timur Tengah (Mekkah, Mesir, dll). Mereka tidak hanya mempelajari ilmu tauhid, tasawuf, akhlaq, tafsir, hadis, dan fiqh, tapi juga mempelajari ilmu falak. Ketika kembali ke Indonesia , mereka mentransfer pengetahuannya kepada para muridnya masing-masing.[1] Proses ini secara kontinyu dilanjutkan oleh para muridnya, yang sampai sekarang proses tersebut dapat kita rasakan bersama, dan berdampak secara signifikan terhadap perkembangan ilmu falak di Indonesia .
Seiring dengan perkembangan di bidang ini, salah satu yang menjadi fokus studi adalah mengenai sistem hisab awal bulan kamariah, yang saat ini terdapat lebih dari dua puluh sistem dan referensi yang digunakan masyarakat Indonesia . Yang kemudian diklasifikasikan dalam tiga kelompok besar[2] yaitu; Hisab Taqriby ; dengan mengambil data dan teori pada abad pertengahan yang berdasarkan teori geosentris, tingkat akurasinya tergolong rendah, karena tanpa menggunakan ilmu ukur segitiga bola. Hisab Tahqiqy; mengambil data pada abad modern yang berdasarkan teori heliosentris, tingkat akurasinya tergolong sedang, karena telah menggunakan kaidah-kaidah ilmu ukur segi tiga bola. Dan Hisab Kontemporer; sama dengan hisab tahqiqy, perbedaannya terletak pada sarana yang digunakan berupa komputer dan lain-lain, koreksinya juga jauh lebih teliti sehingga tingkat akurasinya lebih tinggi.
Salah satu kitab yang dikelompokkan dalam hisab tahqiqy adalah al-khulashatu al-Wafiyyah hasil karya KH. Zubair Umar al-Jailani. Pengelompokan ini tentunya atas dasar pengamatan dan penelitian terhadap data-data yang terdapat dalam kitab tersebut. Tulisan ini akan mencoba mengungkap metode hisab awal bulan kamariah yang terdapat dalam kitab tersebut, serta bagaimana hasil perbandingannya dengan sistem hisab kontemporer saat ini.
BIOGRAFI KH. ZUBAIR UMAR AL-JAILANI
KH. Zubair Umar al-Jailani, yang akrab dipanggil Kyai Zubair, adalah salah satu ahli falak di Indonesia . Ia dilahirkan pada tanggal 16 september 1908 di Padangan Kabupaten Bojonegoro - Jawa Timur, kemudian menetap di Salatiga.[3] Ia wafat di Salatiga pada hari senin 22 Jumadil Ula 1411/10 Desember 1990 M. Kyai Zubair adalah salah satu santri KH. Hasyim Asy’ari (Tebuireng-Jombang).[4] Pendidikannya diawali di madrasah Ulum pada tahun 1916-1921, kemudian pondok pesantren Termas Pacitan tahun 1921-1925, pondok pesantren Simbang Kulon Pekalongan tahun 1925-1926, pondok pesantren Tebu Ireng Jombang tahun 1926-1929. Selanjutnya pada tahun 1930-1935 studi di kota Mekkah al-Mukarromah.[5] Guru beliau di Mekkah dalam bidang ilmu falak adalah Syeikh Umar Hamdan dengan kitab kajian al-Matlaus Sa’id karya Husain Zaid al-Misra dan al-Manahijul Hamadiyah karya Abdul Hamid Mursy.[6]
Murid-murid Kyai Zubair diantaranya; Kyai Musaffa (Salatiga), Kyai Subkhi (Jawa Timur), KH. Zainuddin (Suruh Salatiga), Hamid Nawawi (Bulumanis Pati), Drs. KH. Slamet Hambali (Dosen ilmu falak IAIN Walisongo), dan Drs. H. Habib Thoha, MA (Kakanwil Depag Jawa Tengah). Drs. KH. Slamet Hambali salah satu diantara murid beliau yang meneruskan kepakarannya dalam bidang ilmu falak.[7]
Sekembalinya ke Indonesia beliau banyak mengabdikan dirinya dalam bidang keagamaan dan pendidikan. Disamping mengadakan pengajian rutin para kyai, dosen dan guru agama se-kabupaten Semarang, beliau mengajar di beberapa madrasah dan pesantren, diantaranya; madrasah salafiyah Tebuireng Jombang, PGA di Salatiga, madrasah kuliyatul muballigh di Semarang, dan pesantren Mambaul Ulum Kauman Johar. Kemudian memimpin pondok pesantren al-Ma’had al-Diniy Rekosari Suruh Salatiga, mendirikan pesantren Luhur yang kemudian menjadi IKIP NU dan akhirnya menjadi fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo di Salatiga, selanjutnya mendirikan dan membentuk yayasan PKP Joko Tingkir. Semenjak menjadi PNS, jenjang karir beliau diantaranya; penghulu pada PN Salatiga, koordinator urusan agama karesidenan Pati, kepala KUA Jateng di Semarang, ketua Mahkamah Islam Tinggi di Surakarta,[8] kemudian pernah menjabat sebagai Rektor IAIN Walisongo Semarang pada tahun 1970-1972.[9]
Hasil karya populernya dalam bidang ilmu falak adalah al-Khulashatu al-Wafiyyah fi al-Falak bijadwal al-Lugharitmiyyah. Kitab ini pertama kali dicetak oleh percetakan Melati solo, kemudian dicetak ulang oleh percetakan Menara Kudus.[10]
DESKRIPSI SINGKAT KITAB AL-KHULASHATU AL-WAFIYYAH
Kitab al-Khulashatu al-Wafiyyah, yang judul lengkapnya adalah al-Khulashatu al-Wafiyyah fi al-Falak bijadwal al-Lugharitmiyyah, memiliki karakteristik yang hampir sama dengan kitab al-Matlaus Sa’id, Badiatul Mitsal, Hisab Hakiki, New Comb, Jean Meeus dan Islamic Calender.[11] Data astronomis yang digunakan sama dengan data yang ada pada kitab al-Matlaus Sa’id, tetapi menggunakan epoch (mabda’) Mekkah (39º50'), karena kitab tersebut dikonsep ketika KH.Zubair bermukim di Mekkah.[12] Berdasarkan hasil pembacaan penulis, kitab al-Khulashatu al-Wafiyyah termasuk kitab yang bisa dikatakan kaya akan khazanah keilmuan di bidang falak. Hal ini tergambar dari materi yang terdapat dalam kitab tersebut. Pada bagian mukaddimah, penyusun menguraikan gambaran umum tentang ilmu falak, mencakup definisi, ruang lingkup, manfaat, keharusan mempelajarinya, sejarah munculnya, tokoh-tokoh yang terkait, serta dilengkapi dengan pentingnya memahami penentuan waktu yang terkait dengan ibadah.
Pada bab pertama dijelaskan tentang penanggalan tahun masehi dan hijriyah dilengkapi dengan cara penambahan angka menjadi penanggalan jawa. Pada bagian ini juga, penyusun menjelaskan cara konversi tahun masehi ke hijriyah, begitu pula sebaliknya (secara urfi), disertai dengan beberapa contoh, sehingga memudahkan pembaca dalam memahami perhitungan yang dimaksud. Kemudian pada bab kedua dijelaskan tentang hal-hal yang berkaitan dengan ilmu falak, termasuk pendapat Ptolomeus dengan teori geosentrisnya, Copernicus dengan teori heliosentrisnya, dan pendapat Kepler yang memperkuat teori heliosentris. Dilanjutkan dengan penjelasan tentang; dairah al-buruj (ekliptika) yang berjumlah 12 buruj, tentang equator, ufuq, meridian, peredaran semu matahari, gerak dan peredaran bulan, mercurius, venus, mars, jupiter, saturnus, gerak dan peredaran bumi, waktu rata-rata dan hakiki.
Pada bab ketiga, dijelaskan tentang ta’dil, thul al-balad, thul al-syams, thul al-qamar, sabaq al-syams, sabaq al-qamar, qaidah logharitma, mail awwal, mail al-tsani, ‘ardh al-qamar, irtifa’, nishf qaush al-nahr, al-sa’ah zawal dan ghurub. Pada bab keempat, tentang waktu shalat dan arah kiblat, lebar pagi dan lebar malam, irtifa’. Kemudian pada bab kelima, tentang ijtimak, istiqbal, dan mathla’. Bab keenam, tentang hilal yang terdiri atas nur al-hilal, irtifa’ al-hilal dari ufuk, rukyat, al-mathla’ dan kemudian dijelaskan pula tentang masalah fiqhiyyah yang terkait dengan ilmu falak. Pada bab ketujuh, tentang gerhana bulan. Bab kedelapan, tentang gerhana matahari. Bab kesembilan, wasath al-mu’addal, markaz al-mu’addal. Bab kesepuluh, tentang bintang berekor / komet. Bab kesebelas, tentang syafaq dan fajar. Bab keduabelas, tentang bintang sejati, jalan bintang susu / bima sakti, manzilah-manzilah dan buruj. Kemudian khatimah yang menjelaskan tentang istilah-istilah falakiyah dan beberapa petunjuk dalam pengambilan data.
Kemudian dalam kitab ini juga terdapat risalah yang ada di akhir pembahasan yakni al-risalah al-lathifah fi al-maqayis, yang menjelaskan tentang ukuran dan alat pengukur diantaranya dirham, dinar, liter, gram, kilogram, mizan, nishab dan lain-lain.
Di bagian akhir kitab ini, terdapat sejumlah tabel yang digunakan untuk pengambilan data konversi tahun masehi ke hijriyah, hijriyah ke masehi, daftar tahun majmu’ah dan mabsutah, daftar bulan dan jumlah hari tahun masehi dan hijriyah, jadwal harakah al-syams dan al-qamar yang terdiri atas: harakah tahun majmu’ah, bulan kamariah, tahun mabsuthah, hari, jam dan menit tam. Kemudian jadwal ta’dil al-zaman (perata waktu), ta’dil al-syams, ta’dil al-qamar, ta’dil al-khassah dan lain-lain. Tentunya semua tabel yang tercantum dalam kitab ini sebagai patokan dalam pengambilan data pada proses perhitungan falak.
Konsep Harakah (Gerak) Bulan
Dalam kitab al-Khulashatu al-Wafiyyah, terdapat tiga harakah (gerak) bulan, sebagai berikut:
1) Harakah yaumiyah (gerakan harian) dari arah timur ke barat yang mengitari bumi, sampai kembali seperti semula.
2) Harakah Mailiyah (gerakan miring), dan akibat kemiringan ini, setiap hari akan mengalami perbedaan terbit dan terbenamnya.
3) Harakah dzatiyah, dengan ketinggian sekitar 13º setiap hari, dan akibat gerak ini, setiap hari bulan terlambat terbitnya dibanding letak bintang tertentu dibelakangnya sekitar 50'.[13]
Untuk harakah dzatiyah yang dikemukakan KH. Zubair sangat sesuai dengan penjelasan David Morisson, sebagai berikut:
“... that the Moon’s average eastward motion with respect to the stars is about 13º per day. The sun on the other hand, appears to move to the east about 1º per day. With respect to the sun, therefore, the Moon moves eastward about 12º per day. As the earth turns on its axis, the Moon like other celestial objects, appears to rise in the east, move across the sky, and set in the west. But because of its daily eastward motion on the celestial sphere, it crosses the local meridian each day about 50 minutes later, on the average, than on the previous day.[14]
Terkait dengan ketiga harakah bulan di atas, maka peredaran bulan mengelilingi bumi satu kali putaran penuh, memerlukan waktu rata-rata 27 hari 7 jam 43 menit 11 detik, dan inilah yang dinamakan dengan al-harakah al-najmiyah li al-qamar (waktu bulan sideris). Akan tetapi waktu yang digunakan untuk dasar penentuan bulan dan tahun kamariah bukan waktu bulan sideris, melainkan waktu bulan sinodis (al-harakah al-dairiyah), yakni waktu yang ditempuh bulan dari posisi ijtimak yang ditempuh rata-rata 29 hari 12 jam 44 menit 3 detik.[15]
Dengan demikian waktu yang diperlukan oleh bulan berada dalam satu fase bulan baru ke bulan baru berikutnya atau dua konjungsi berturut-turut adalah 29 hari 12 jam 44 menit 3 detik, dan inilah yang dimaksud dengan waktu bulan sinodis (al-harakah al-dairiyah). Dalam hal ini periode sinodis tidak sama dengan periode sideris, karena bumi tidak statis diam tetapi berputar mengelilingi matahari.
Kemudian terkait dengan waktu bulan sinodis (al-harakah al-dairiyah) yang menjadi patokan penentuan tahun kamariah di atas, maka dari ijtimak ke ijtimak berikutnya (untuk satu tahun) memerlukan waktu sebanyak 354 hari 8 jam 48 menit 63 detik.[16] Jika dibandingkan dengan data yang terdapat dalam Almanak Hisab Rukyat, bahwa dalam satu tahun sama dengan 354 hari 8 jam 48,5 menit.[17] Dengan demikian selisihnya hanya 33 detik dengan data yang terdapat dalam khulashoh.
Lebih lanjut KH. Zubair menjelaskan tentang perubahan penampakan wajah bulan, seperti yang terlihat dari bumi adalah sebagai akibat posisi relatif bulan terhadap bumi dan matahari. Dalam hal ini wajah bulan nampak berbeda dari waktu ke waktu, yang dimulai dengan muhaq (bulan mati) yakni ketika terjadi peristiwa ijtimak antara bulan dan matahari, selanjutnya hilal (bulan baru) yakni ketika bulan bergerak maka ada bagian bulan yang menerima sinar dari matahari terlihat dari bumi, berikutnya Tarbi’ Awwal (kwartir pertama) yakni ketika bulan bergerak semakin jauh dari titik ijtimak, selanjutnya badr (bulan purnama) yakni ketika terjadi peristiwa istiqbal dimana semua permukaan bulan menghadap matahari, kemudian Tarbi’ Akhir (kwartir terakhir) ketika bulan meninggalkan matahari setelah terjadinya peristiwa istiqbal, dan akhirnya kembali pada bentuk muhaq hingga pada proses ijtimak kembali.[18]
Dalam hal ini bentuk semu bulan yang selalu berubah-ubah diatas merupakan siklus yang selalu terjadi berulang-ulang. Sebagaimana ditegaskan dalam QS. Yasin (36): 39:
وَالْقَمَرَ قَدَّرْنَاهُ مَنَازِلَ حَتَّى عَادَ كَالْعُرْجُونِ الْقَدِيمِ
” Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua.[19]
Berdasarkan ayat di atas, dapat dipahami bahwa satu siklus peredaran bulan melalui manzilah-manzilahnya adalah mulai dari keadaan sebagai bentuk tandan tua hingga kembali lagi pada keadaan serupa itu. Ayat ini juga mengisyaratkan bahwa dimulainya bulan baru kamariah apabila bulan telah kembali pada bentuknya yang paling kecil, dan bentuk yang paling kecil ini dicapai oleh bulan disekitar saat ijtimak.
KONSEP BULAN BARU DAN SISTEM PERHITUNGAN
Penentuan awal bulan kamariah sangat penting bagi umat Islam, karena terkait dengan ibadah yang pelaksanaannya terkait dengan perhitungan bulan kamariah, seperti ibadah puasa dan haji. Dalam hal ini terdapat dua sistem yang dipegang oleh para ahli hisab dalam menentukan awal bulan kamariah, yaitu:
1) Sistem Ijtimak (konjungsi), kelompok yang berpegang pada sistem ini menetapkan bahwa jika ijtimak terjadi sebelum matahari terbenam, maka sejak matahari terbenam itulah awal bulan baru sudah masuk.
2) Sistem posisi hilal, kelompok yang berpegang pada sistem ini menetapkan jika pada saat matahari terbenam posisi hilal sudah berada di atas ufuk, maka sejak matahari terbenam itulah bulan baru mulai dihitung.[20]
Bagi penganut sistem ijtimak, terbagi lagi dalam beberapa aliran, yakni:
a. ijtimak qabla al-ghurub; aliran ini mengaitkan saat ijtimak dengan saat terbenam matahari, dengan kriteria jika ijtimak terjadi sebelum terbenam matahari, maka malam hari itu sudah dianggap bulan baru (newmoon). Namun bila ijtimak terjadi setelah terbenam matahari, maka malam itu dan keesokan harinya ditetapkan sebagai hari terakhir dari bulan kamariah yang sedang berlangsung.
b. ijtimak qabla al-fajr, aliran ini mengaitkan permulaan bulan kamariah ditentukan pada saat ijtimak dan terbit fajar, dengan kriteria bahwa apabila ijtimak terjadi sebelum terbit fajar maka sejak terbit fajar itu sudah masuk bulan baru, dan bila ijtimak terjadi sesudah terbit fajar maka hari sesudah terbit fajar itu masih termasuk hari terakhir dari bulan kamariah yang sedang berlangsung.
c. ijtimak dan tengah malam, dengan kriteria awal bulannya adalah bila ijtimak terjadi sebelum tengah malam maka mulai tengah malam itu sudah masuk awal bulan. Akan tetapi bila ijtimak terjadi sesudah tengah malam maka malam itu masih termasuk bulan yang sedang berlangsung dan awal bulan ditetapkan mulai tengah malam berikutnya.[21]
Kemudian kelompok yang berpegang pada sistem posisi hilal juga terbagi atas beberapa aliran:
a. kelompok yang berpegang pada ufuk hakiki (true horizon), kelompok ini mengemukakan bahwa awal bulan kamariah adalah ditentukan oleh tinggi hakiki titik pusat bulan yang diukur dari ufuk hakiki (ufuk yang berjarak 90º dari titik zenith / titik puncak bola langit).
b. kelompok yang berpegang pada ufuk mar’i (visible horizon), kelompok ini menetapkan bahwa awal bulan kamariah mulai dihitung jika pada saat matahari terbenam posisi piringan bulan sudah lebih timur dari posisi piringan matahari, yang menjadi ukuran arah timur dalam hal ini adalah ufuk mar’i. Artinya jika pada saat matahari terbenam tinggi lihat piringan atas hilal sudah berada diatas ufuk mar’i, maka sejak itu bulan baru sudah mulai dihitung.
c. kelompok yang berpegang pada imkanur ru’yah. Kelompok ini mengemukakan bahwa untuk masuknya awal bulan baru, posisi hilal pada saat matahari terbenam harus berada pada ketinggian tertentu sehingga memungkinkan untuk dapat dirukyat.[22]
Dalam kitab khulashoh, sepanjang pemahaman penulis, hanya disebutkan bahwa ketika telah terjadi ijtimak,[23] maka itulah proses awal bulan baru, dan ijtimak juga, tidak memiliki waktu yang khusus, bisa terjadi pada malam hari atau siang hari, sebelum zawal atau sesudah zawal.[24] Kitab ini tidak menetapkan standar / patokan awal bulan kamariah, melainkan hanya menunjukkan sistem perhitungan awal bulan kamariah dengan didasarkan pada data-data astronomis yang ada. Dengan melakukan perhitungan berdasarkan sistem tersebut, maka akan memudahkan dalam proses pelaksanaan rukyat.[25] Dengan demikian dapat dipahami bahwa penetapan awal bulan kamariah tergantung hasil perhitungan yang dilakukan para hasib serta hasil rukyat dilapangan.
Adapun sistem perhitungan dalam kitab al-Khulashatu al-Wafiyyah adalah diawali dengan menghitung thul al-syams (longitude matahari) dan thul al-qamar (longitude bulan) pada saat matahari terbenam tanggal 29 bulan kamariah. Untuk mendapatkan hasil thul al-syams dan thul al-qamar, diperlukan data:
(1) wasath al-syams (kedudukan matahari yang diukur pada busur equator kearah timur, dari titik hamel/aries setelah bergeser ke arah barat, sampai kaki deklinasi matahari).
(2) khassah al-syams (kedudukan matahari yang diukur pada busur lintasannya kearah timur, dari apogium (titik yang terjauh antara matahari – bumi), sampai pusat matahari.
(3) wasath al-qamar (kedudukan bulan yang diukur pada busur equator, kearah timur, dari titik hamel/aries setelah bergeser kearah barat, sampai kaki deklinasi bulan).
(4) khassah al-qamar (kedudukan bulan yang diukur pada busur lintasannya kearah timur, dari apogium (titik yang terjauh antara bulan – bumi), sampai pusat bulan.
(5) ’uqdah (kedudukan simpul naik yang diukur pada busur ekliptika kearah barat, dari titik hamel/aries setelah bergeser ke arah barat, sampai simpul tersebut.
Kelima data di atas, tercantum pada tabel di bagian akhir kitab khulashoh, selanjutnya berdasarkan perhitungan data-data tersebut, akan diketahui saat terjadinya ijtimak, ketinggian hilal, lama hilal di atas ufuq, besar cahaya hilal, dan azimuth.
Untuk menghitung data gerak (harakah) matahari dan bulan yang dimaksudkan di atas, caranya adalah sebagai berikut:
Pertama; Mengambil data gerak matahari dan bulan rata-rata untuk tahun tam (tahun lengkap atau tahun yang bersangkutan dikurangi satu), misalnya tahun 1430 Hijriyah, tahun tamnya adalah 1429. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada kitab tersebut, yakni pada tabel di bagian akhir kitab. Tahun majmu’ah (tahun kelipatan 30), seperti tahun 1320, 1350, 1380, 1410, dan seterusnya.[26] Maka untuk tahun 1430, harus mengambil tahun majmu’ah 1410. Kemudian karena tahun tamnya 1429, maka tahun mabsutah (tahun pertiga puluhan) adalah 19. Tahun majmu’ah ditambah tahun mabsutah sama dengan tahun tam (1410+19=1429). Kemudian diambil data harakah al-syams dan qamar tahun yang dimaksud (1410 dan 19), yang terdapat dalam wasath al-syams, khassah al-syams, wasath al-qamar, khassah al-qamar dan ’uqdah.
Kedua; Mengambil data gerak untuk bulan tam (al-syahr al-tam),[27] yakni bulan sebelumnya. Misalnya yang dicari Ramadhan, maka bulan tamnya adalah Sya’ban. Selanjutnya data pada bulan tam, dimasukkan dalam perhitungan (untuk 5 jenis harakah).
Ketiga; Mengambil data gerak jam dan menit saat matahari terbenam hari itu, dengan menggunakan jam wastiyyah, yaitu waktu hakiki yang telah dikoreksi dengan data ta’dil al-zaman (equation of time), sehingga menjadi jam wastiyyah setempat (local mean time).
Keempat;Setelah dimasukkan semua data (dari langkah pertama sampai ketiga), kemudian dijumlahkan sesuai dengan jenisnya (untuk buruj maksimal 12, jika jumlahnya 12 maka di tulis 0, jika lebih dari 12, maka dikurangi 12). Setelah dijumlahkan, kemudian dilakukan koreksi (ta’dil). Hasil koreksi mendapatkan hasil thul al-syams dan thul al-qamar yang hakiki.
Kelima; Setelah diperoleh hasil thul al-syams dan thul al-qamar yang hakiki, setelah itu mencari waktu ijtimak dengan rumus ijtimak (jam WIB): 12 + jam ghurub (wastiyah) + (thul al-syams - thul al-qamar) / (sabaq bulan – sabaq matahari) + (105 thul al-balad) / 15. Kemudian dilanjutkan dengan mencari tinggi hilal (irtifa’ al-hilal) dan kedudukan hilal (simt al-irtifa’).
Keenam; Mengambil kesimpulan dari perhitungan yang telah dilakukan yakni waktu terjadinya ijtimak (hari, tanggal, jam), waktu matahari terbenam, tinggi dan arah hilal, lama hilal di atas ufuk, serta besar cahaya hilal.
Lebih jelasnya, algoritma untuk mencari tinggi hilal dapat diringkas dalam prosedur berikut ini:
1) Menentukan terlebih dahulu waktu ijtimak dengan menggunakan metode hisab hakiki taqribi. Dimana untuk mencari ijtimak pada suatu tempat harus dengan menambahkan perbedaan waktu setempat dengan waktu Mekkah. Karena waktu ijtimak dalam tabel kitab khulashoh menggunakan waktu Mekkah.
2) Jika hasil ijtimak terjadi sebelum matahari terbenam, maka tinggi hilal yang dicari adalah hari itu juga, namun jika terjadi sesudahnya maka tinggi hilal yang dihitung adalah sehari sesudahnya.
3) Menghitung waktu ghurub matahari berdasarkan wasat matahari pada waktu ijtimak dengan waktu zawali wasati.
4) Menjumlahkan waktu ghurub tersebut dengan perbedaan waktu antara tempat observasi dengan waktu Mekkah.
5) Menghitung posisi matahari dan bulan dengan menggunakan waktu butir empat tersebut dengan menggunakan tabel posisi bulan dan matahari.
6) Menghitung thul (longitude) matahari dengan mengoreksi wasat rata-rata matahari dengan koreksi matahari berdasarkan tabelnya.
7) Menghitung khassah hakiki dengan mengoreksi koreksi pada tabel satu, dua, dan empat.
8) Menemukan koreksi perata pusat dari tabel tiga.
9) Koreksi wasat rata-rata dengan koreksi tabel satu, dua, dan tiga.
10) Menghitung koreksi keempat dengan argumen selisih antara wasat terkoreksi dengan thul matahari.
11) Koreksi ’uqdah dari tabel koreksi ’uqdah.
12) Menghitung koreksi kelima dari tabel lima dengan argumen jumlah antara ’uqdah yang telah terkoreksi dengan wasat yang terkoreksi keempat.
13) Menghitung thul bulan dengan mengoreksi wasat terkoreksi keempat dengan koreksi kelima.
14) Menghitung waktu ijtimak hakiki bi al-tahkik dengan membagi selisih antara thul bulan dengan thul matahari dengan selisih antara sabaq bulan dan sabaq matahari.
15) Sedangkan untuk menghitung tinggi hilal diatas ufuk menggunakan rumus astronomi modern.[28]
TINGKAT AKURASI DAN PERBANDINGANNYA DENGAN SISTEM HISAB KONTEMPORER
Sebagaimana dipahami bahwa kitab al-Khulashatu al-Wafiyyah termasuk kitab yang dikelompokkan dalam hisab hakiki tahqiqy, karena di dalam perhitungannya menggunakan data gerak (harakah) matahari dan bulan harian, sampai kehitungan menit dan detik. Kemudian ketika menghitung ketinggian hilal menggunakan rumus-rumus ilmu ukur segitiga bola dan penyelesaiannya menggunakan tabel logaritma, sehingga hasil perhitungan yang diperoleh cukup akurat. Disamping itu, karena kitab ini menggunakan data dan teori heliosentris yang sampai sekarang masih diakui kebenarannya, maka hasil hisabnya tidak jauh berbeda dengan hasil hisab kontemporer. Sebagai perbandingan dapat dilihat dalam tabel hasil perhitungan ijtimak dan tinggi hilal awal Syawal 1429 H / 2008 M, sebagai berikut:
N0
|
DATA HISAB
|
IJTIMAK
|
TINGGI HILAL
|
AWAL BULAN
| ||
Hari
|
Tanggal
|
J a m
| ||||
1.
|
Khulashoh
|
Senin
|
29 Sept
|
14:40
|
-2º42'
|
01-10-2008
|
2.
|
Mawaqit 2001
|
Senin
|
29 Sept
|
15:12
|
-1º11'
|
01-10-2008
|
3.
|
New Comb
|
Senin
|
29 Sept
|
15:13
|
-0º47'
|
01-10-2008
|
4.
|
Sistem Ephemeris
|
Senin
|
29 Sept
|
15:14
|
-0º54'
|
01-10-2008
|
Berdasarkan hasil rekapitukasi perhitungan pada tabel di atas, menunjukkan bahwa hasil yang diperoleh pada kitab khulashoh dan sistem hisab kontemporer, untuk irtifa’ al-hilal sama-sama menunjukkan hasil negatif, walaupun terdapat selisih beberapa menit. Dan waktu ijtimak sama-sama terjadi pada hari senin, 29 september 2008, selisihnya hanya pada menit waktu. Kemudian jika dibandingkan dengan hasil rekapitulasi ijtimak dan tinggi hilal awal bulan ramadhan 1426 Hijriyah (tiga tahun yang lalu), hasil yang diperoleh berdasarkan sistem Khulashoh, Mawaqit, New Comb dan Ephemeris, untuk ijtimak sama-sama terjadi pada hari senin 3 oktober 2005: khulashoh jam 17:30, Mawaqit jam 17:29, New Comb jam 17:29, dan Ephemeris jam 17:30:22. Selanjutnya hasil tinggi hilal: khulashoh -00º42'00", Mawaqit -01º21'00" , New Comb -01º39'00", dan Ephemeris -00º42'00". Dari hasil ini menunjukkan bahwa hasil perhitungan khulashoh hampir sama dengan sistem hisab kontemporer (hasil perhitungan tinggi hilal khulashoh dengan sistem ephemeris menunjukkan hasil yang sama yaitu -00º42'00", dengan demikian hasil perhitungannya cukup akurat untuk dijadikan acuan dalam penentuan awal bulan kamariah.
Selanjutnya tingkat keakurasian kitab khulashoh juga, terletak pada adanya koreksi paling tidak lima kali dalam menghitung posisi bulan[29] yaitu:
1) Koreksi sebagai akibat berubahnya eccentricity bulan yang interval perubahan tersebut selama 31.8 hari. Besar koreksi ini ialah 1.2739 sin (2C-Mm). 2C adalah dua kali lipat selisih antara wasath matahari dengan wasath rata-rata bulan. Sehingga Mm adalah simbol bagi khassah bulan.
2) Koreksi perata tahunan sebagai akibat gerak tahunan bulan bersama-sama dengan bumi mengelilingi matahari dalam orbit yang berbentuk ellip. Besarnya adalah 0.1858 sin M. M adalah simbol bagi khassah matahari.
3) Variasi yang mengakibatkan bulan baru atau bulan purnama tiba terlambat atau lebih cepat. Besarnya adalah 0.37 sin M. M adalah simbol bagi khassah matahari. Ketiga koreksi tersebut digunakan mengoreksi khassah bulan.
4) Koreksi perata pusat sebagai bentuk ellip orbit bulan. Besarnya adalah 6.2886 sin Mm'. Mm' adalah simbol khassah yang telah dikoreksi.
5) Koreksi lain untuk mengoreksi wasath bulan adalah A4= 0.214 sin (2Mm'). Mm' adalah khassah yang telah dikoreksi. Dengan demikian wasath bulan yang telah terkoreksi didapatkan dengan cara mengoreksi wasath rata-rata dengan koreksi yang pertama, kedua, ketiga dan keempat.
6) Koreksi variasi sebesar 0.6583 sin 2 (I'-L). L adalah Thul matahari dan I' adalah wasath bulan yang telah terkoreksi tersebut.
7) Koreksi bagi ’uqdah ialah sebesar 0.16 sin (M). M adalah khassah matahari.
PENUTUP
Berdasarkan hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa dalam kitab khulashoh tidak ditetapkan standar / patokan awal bulan kamariah, melainkan hanya menunjukkan sistem perhitungan dengan didasarkan pada data-data astronomis yang ada. Dengan melakukan perhitungan berdasarkan sistem tersebut, maka akan memudahkan dalam proses pelaksanaan rukyat. Untuk penetapan awal bulan kamariah tergantung hasil perhitungan yang dilakukan para hasib serta hasil rukyat dilapangan. Selanjutnya, perhitungan berdasarkan sistem khulashoh hasilnya cukup akurat untuk dijadikan acuan dalam penentuan awal bulan kamariah. Asumsi ini didasarkan atas beberapa alasan: dalam perhitungannya menggunakan data harakah matahari dan bulan sampai kehitungan menit dan detik, ketika menghitung ketinggian hilal menggunakan rumus-rumus ilmu ukur segitiga bola, penyelesaiannya menggunakan tabel logaritma, dan terdapat beberapa kali koreksi. Allahu a’lam.
DAFTAR PUSTAKA
al-Jailani, Zubair Umar. al-Khulashatu al-Wafiyyah fi al-Falak bijadwal al- Lugharitmiyyah, Kudus: Menara Kudus, t.th.
Azhari, Susiknan, Ensiklopedi Hisab Rukyat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet.II, 2008.
--------------, Ilmu Falak Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2007.
Almanak Hisab Rukyat, Departemen Agama RI: Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, t.th.
Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Depag, Hisab Rukyat dan Perbedaannya, 2004.
Buku Kenangan Wisuda Magister, Sarjana dan Diploma IAIN Walisongo, tahun 2008.
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang : Alwaah, 1993.
Izzudin, Ahmad. Zubaer Umar al-Jaelany dalam Sejarah Pemikiran Hisab Ruktyat di Indonesia, dalam Jurnal Walisongo, Edisi 20 tahun 2002.
Muhyiddin, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Buana Pustaka, t.th.
-------------, Kamus Ilmu Falak, Jogjakarta: Buana Pustaka, 2005.
Morrison, David. et.al, Exploration of the Universe, Edisi ke-lima, New York : Saunders College Publishing, 1987.
[1] Sebagai contoh Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau yang belajar di Mekkah, diantara muridnya yang terkenal adalah Syeikh Tahir Jalaluddin, diteruskan oleh Saaduddin Djambek, kemudian diteruskan oleh Abdur Rachim, yang memiliki murid yang terkenal di bidang falak, diantaranya: Wahyu Widiana, Muhyiddin, Sriyatin, Susiknan, dll). Terkait dengan silsilah tokoh hisab Indonesia ini, dapat dibaca dalam Susiknan, Ensiklopedi Hisab Rukyat, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, Cet.II, 2008), h. 446.
[2] Pengklasifikasian tersebut muncul dalam forum seminar sehari ilmu falak tanggal 27 april 1992 di Tugu Bogor , yang diselenggarakan Depag. Terkait pengelompokan ini juga, dapat dibaca dalam Hisab Rukyat dan Perbedaannya, (Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Depag, 2004). h. 6-8.
[3] KH. Zubair adalah Putra dari Umar Rais bin Ibrahim bin Jailani. Ia memiliki 12 putra. Tapi tidak ada satupun dari putranya yang melanjutkan kepakarannya di bidang falak. Karena ketekunan dan semangat dalam menuntut ilmu, ia melanjutkan studi ke kota Mekkah. (Wawancara dengan Ibu Anisa Mahbub, salah satu Putra KH. Zubair. Semarang, tanggal 6 Mei 2009 M / 11 Jumadil Ula 1430 H).
[4] Muhyiddin, Kamus Ilmu Falak, (Jogjakarta: Buana Pustaka, 2005), h. 118.
[5] Wawancara dengan Ibu Anisa, Loc.cit. Sumber lainnya terdapat dalam daftar riwayat hidup KH. Zubair, disusun di Salatiga tanggal 22 maret 1976 yang disimpan pihak keluarga.
[6] Izzudin, Zubaer Umar al-Jaelany dalam Sejarah Pemikiran Hisab Rukyat di Indonesia, dalam Jurnal Walisongo, Edisi 20 tahun 2002, h. 71.
[7] Ibid., h.72.
[8] Wawancara dengan Ibu Anisa, Loc.cit.
[9] Susunan Pimpinan IAIN Walisongo, sejak pendiriannya sampai sekarang, dapat dibaca dalam Buku Kenangan Wisuda Magister, Sarjana dan Diploma IAIN Walisongo, tahun 2008, h.9.
[10] Susiknan, Op.cit., h.247.
[11] Ibid., h.25.
[12] Muhyiddin, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktek, (Yogyakarta: Buana Pustaka, t.th), h.32.
[13] Zubair Umar al-Jailani, al-Khulashatu al-Wafiyyah fi al-Falak bijadwal al-Lugharitmiyyah, (Kudus: Menara Kudus, t.th), h. 41.
[14] Morrison, et.al, Exploration of the Universe, edisi ke-lima, (New York: Saunders College Publishing, 1987), h. 117.
[15] Zubair Umar, Op.cit., h. 41-42.
[16] Ibid.
[17] Almanak Hisab Rukyat, (Departemen Agama RI: Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, t.th), h. 43.
[18] Zubair Umar, Op.cit., h. 42-43.
[19] Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: Alwaah, 1993), h. 710.
[20] Almanak Hisab Rukyat, Op.cit., h. 99.
[21] Susiknan, Ilmu Falak Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2007), h. 107-108.
[22] Almanak Hisab Rukyat, Op.cit., h. 100.
[23] Dalam kitab khulashoh ijtimak diartikan sebagai suatu peristiwa saat bulan dan matahari terletak pada posisi garis bujur yang sama. Zubair Umar, Op.cit., h. 116.
[24] Ibid., h.131. Waktu zawal yaitu waktu kulminasi (midday ).
[25] Lihat penjelasan tentang Rukyat, Ibid., h. 132-134.
[26] Zubair Umar, Op.cit., h. 212.
[27] Ibid., h. 214.
[28] Izzudin, Op.cit., h. 74-75.
[29] Ibid., h. 73.
saya mencari foto beliau di internet kok nggak ketemu2 ya, salam kenal.
BalasHapussalam kenal Mas Lutfi Hakim. Ane juga belum pernah melihat foto beliau.
Hapus