Kamis, 13 Mei 2010

Rukyatul Hilal Dalam Penetapan Awal Bulan Kamariah

Rukyatul Hilal Dalam Penetapan Awal Bulan Kamariah[1]









Abstrak
Perdebatan seputar penetapan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah telah banyak menguras energi umat Islam Indonesia. Inti permasalahannya adalah pendefinisaian tentang hilal. Hilal merupakan patokan untuk memulai awal bulan Kamariah. Rasulullah saw mengisyaratkan memulai puasa Ramadan dan Idul Fitri ketika melihat hilal dan mengakhirinya ketika melihat hilal di akhir bulan. Jika terhalang awan, genapkanlah Syakban atau Ramadan menjadi tiga puluh hari. Dalam makalah ini diulas tentang pelaksanaan observasi hilal; rukyatul hilal. Perlu persiapan matang agar observasi yang dilaksanakan dapat memberikan hasil optimal. Selanjutnya dapat berkontribusi bagi pengembangan observasi awal bulan Kamariah di Indonesia.




Kata Kunci: Observasi Awal Bulan, Rukyatul Hilal, Hilal


Pendahuluan

Observasi awal bulan di Indonesia yang dikoordinir oleh Pemerintah dalam hal ini dilaksanakan oleh Departemen Agama, awalnya hanya untuk penetapan awal Ramadan dan Syawal. Semenjak pemerintahan Megawati Soekarno Putri ditambah dengan pengoservasian awal bulan Zulhijah. Jika pada sembilan bulan lainnya tidak dilakukan observasi secara “resmi”, berbeda dengan ketiga bulan  di atas karena pada ketiganya terdapat momen penting dalam rangkaian ibadah umat Islam. Yakni untuk mengawali pelaksanaan ibadah Ramadan, pelaksanaan hari raya Idul Fitri, dan pelaksanaan rangkaian ibadah haji serta hari raya Idul Adha.
Tingkat keberhasilan observasi awal bulan dengan kata lain pelaksanaan rukyatul hilal di Indonesia masih rendah. Misalnya kita ambil contoh rukyatul hilal yang dilaksanakan untuk penetapan awal Syawal 1430 H lalu. Dari sekian

banyak tempat observasi hilal di Indonesia[2], dilaporkan bahwa yang berhasil melihat hilal hanyalah di dua tempat. Laporan melihat hilal tersebut datang dari tempat observasi Pelabuhan Ratu, Sukabumi Jawa Barat dan Menara mesjid Agung Jawa Tengah.
Berdasarkan laporan dari kedua tempat inilah dan dikuatkan dengan hasil perhitungan hisab, pemerintah dalam hal ini Departemen Agama mengumumkan besoknya adalah tanggal 1 Syawal; pelaksanaan hari raya Idul Fitri dan pertanda berakhirnya puasa Ramadan.
Rendahnya tingkat keberhasilan rukyatul hilal di Indonesia ini dipengaruhi oleh banyak faktor baik teknis maupun non teknis. Dalam makalah ini selanjutnya akan dipaparkan lebih lanjut tentang observasi hilal awal bulan Kamariah ini. Bagaimana mengoptimalkan pelaksanaan rukyatul hilal ini sehingga diharapkan dapat memberikan kontribusi yang positif dalam perkembangan ilmu Falak di Indonesia. Serta diulas tentang pelaksanaan observasi awal bulan Muharam 1430 H lalu di pantai Bandengan Jepara, Jawa Tengah.



Pengertian Observasi Awal Bulan Kamariah

Rukyatul hilal adalah suatu kegiatan atau usaha melihat hilal atau bulan sabit di langit (ufuk) sebelah Barat sesaat setelah Matahari terbenam menjelang awal bulan baru—khususnya menjelang bulan Ramadan, Syawal dan Zulhijah—
untuk menentukan  kapan bulan baru itu dimulai.[3]
Rukyah yang dapat dijadikan dasar penetapan awal bulan Ramadan, Syawal, dan Zulhijah adalah rukyah yang mu’tabar. Yakni rukyah yang dapat dipertangungjawabkan secara hukum dan ilmiah. Rukyah yang demikian harus memenuhi syarat sebagai berikut:
1.Rukyah dilaksanakan pada saat Matahari terbenam pada malam tanggal 30 atau akhir 29 nya.
2.Rukyah  dilaksanakan dalam keadaan cuaca cerah tanpa penghalang antara perukyah dan hilal.
3.Rukyah dilaksanakan dalam keadaan posisi hilal positif terhadap ufuk (di atas ufuk)
4.Rukyah dilaksanakan dalam keadaan hilal memungkinkan untuk dirukyah (imkanur rukyah)
5.Hilal yang dilihat harus berada di antara wilayah titik Barat antara 30 derajat ke Selatan dan 30 derajat ke Utara[4].


Ketika Matahari terbenam atau sesaat setelah itu, langit di sebelah Barat berwarna kuning kemerah-merahan, sehingga antara cahaya hilal yang putih kekuning-kuningan dengan warna langit yang melatarbelakanginya tidak begitu kontras. Maka bagi mata orang awam yang belum terlatih melakukan rukyah akan menemui  kesulitan menemukan hilal yang dimaksud[5].  
Dalam penanggalan hijriah, awal berlangsungnya tanggal di mulai pada saat matahari terbenam (ghurub). Sedangkan awal bulan hijriah bergantung pada posisi hilal saat ghurub tanggal 29 bulan hijriah bulan yang sedang berjalan, seperti berikut:
  1. Jika pada saat ghurub tanggal 29, posisi bulan belum mencapai ijtimak, secara astronomis maka bulan yang sedang berjalan berumur 30 hari, atau keesokan harinya masih berada di bulan yang sedang berjalan pada tanggal 30.
  2. Jika pada saat ghurub tanggal 29 ijtimak sudah terjadi, posisi hilal terhadap Matahari negatif atau hilal terbenam terlebih dahulu dibanding Matahari, maka umur Bulan yang sedang berjalan berumur 30 hari
  3. Jika pada saat ghurub tanggal 29, ijtimak sudah terjadi sebelum ghurub, posisi hilal positif atau matahari tenggelam terlebih dahulu dibanding bulan, maka penentuan awal bulan berdasarkan kriteria Syari’ah. Keesokan harinya jika memenuhi kriteria yang dipakai berarti sudah masuk awal bulan atau tanggal 1 bulan baru hijriyah. Jika belum memenuhi kriteria maka besoknya tanggal 30 bulan yang sedang berjalan.
  4. Dalam beberapa kasus tertentu, tinggi hilal sudah positif pada saat ghurub, namun ijtimak belum terjadi. Secara astronomis dapat diterangkan bahwa hilal yang berada di atas ufuk tersebut bukan hilal awal bulan melainkan bulan sabit tua menjelang bulan baru atau bulan mati, sehingga keesokan harinya berada pada tanggal 30 bulan yang sedang berjalan[6].  


Urgensi Rukyatul Hilal

Pengurus Lajnah Falakiyah PBNU, Hendro Setyanto secara optimis mengatakan bahwa rukyatul hilal atau dalam bahasa lain observasi menyebabkan disiplin ilmu astronomi terus berkembang hingga saat ini. Tanpa observasi itu ilmu astronomi akan mandeg dan umat Islam hanya mengandalkan data astronomis, apalagi sekarang data itu tidak dikembangkan sendiri tapi diperoleh begitu saja dari kalangan non Muslim[7].
Sejatinya, kegiatan observasi dan eksperimen merupakan asas semua cabang ilmu alam. Melalui kegiatan tersebut diperoleh data, yang setelah melalui proses reduksi dan pengolahan, disintesiskan menjadi sebuah model atau teori tentang suatu fenomena alam. Model atau teori tersebut sepatutnya mampu menerangkan fenomena alam yang dikenal dan bahkan dapat memprediksi hal-hal baru yang belum dijumpai yang kebenarannya akan dibuktikan melalui observasi dan eksperimen baru.
   Oleh karenanya, dengan alasan ilmiah, yaitu bahwa kegiatan observasi hilal yang dilakukan memiliki peran dalam upaya menentu-sahkan (verification) pemodelan matematis yang telah dibuat, kegiatan tersebut memiliki relevansi yang tak terbantahkan. Lebih dari sekadar informasi bahwa ketinggian hilal di cakrawala Barat saat Matahari terbenam adalah positif, metode observasi ini juga mensyaratkan terlihatnya hilal baik dengan mata telanjang ataupun menggunakan alat pada ketinggian tersebut.
    Selain itu, data astronomi bersifat dinamis karena posisi benda-benda langit yang senantiasa berubah dari waktu ke waktu. Dengan demikian, kegiatan observasi untuk memperoleh data mutakhir mutlak diperlukan agar perbedaan (jika ada) antara hasil pemodelan menggunakan data terkait dan hasil pengujian empiris di lapangan dapat semakin diminimalkan. Dengan kata lain, observasi hilal diperlukan untuk pengembangan sains hilal itu sendiri[8].  Rukyat ini  menurut Ghazalie Masroerie, dengan kata lain sekaligus menjadi sarana koreksi atas hitungan hisab[9].
   Dengan mengamati keteraturan gerak Matahari dan Bulan, manusia telah dapat merumuskan dan memodelkan gerak benda-benda langit tersebut untuk keperluan praktis sehari-hari. Bahkan dengan menyertakan faktor koreksi, pergerakan benda-benda langit untuk kurun masa yang akan datang pun telah dapat ditentukan dengan cermat. Inilah yang dimaksud dengan hisab. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan ini, berkembang pula pemahaman terhadap nash agama yang membuat observasi/rukyat tidak lagi menjadi satu-satunya metode dalam penentuan awal bulan[10].
Pengalaman pengamatan Hilal berulang-ulang perlu dilakukan bagi seorang pengamat atau bagi yang mau menekuni sebagai pemburu Hilal. Pengalaman akan dapat memberi saran perbaikan bagaimana cara efektif untuk mengamati Hilal (misalnya cara mencari lokasi Hilal di langit, sistem pencatatan dan merancang alat bantu sederhana untuk pengamatan Hilal). Pengalaman akan membentuk sikap kritis dalam menilai apakah yang sedang diamati sebuah Hilal atau bukan. Atau menemukan pengalaman baru melihat Hilal termuda dengan membandingkan hasil pengamatan baru dengan ingatan dan pengalaman yang sudah-pernah diperoleh.

Pengalaman berbeda akan memberi judgement yang berbeda, daya lihat pengamatan juga berbeda. Derajat kesiapan mental pengamat pada waktu pengamatan yang singkat akan lebih baik bagi pengamat yang terlatih, sikap independen pengamat juga perlu dibentuk agar tidak mudah terpengaruh oleh pengamat yang lainnya yang belum tentu benar, jangan berkata melihat Hilal karena ada rekan yang bisa melihat Hilal dan juga sebaliknya bila yakin melihat Hilal jangan ragu-ragu mengatakan berhasil melihat Hilal.

Pendek kata kejujuran dan profesionalisme sangat diperlukan untuk pengamatan Hilal yang tergolong objek langit yang sulit. Sulitnya pengamatan Hilal jangan juga mempersulit kehidupan kita. Pembentukan sikap tersebut berkaitan erat dengan prospek pengamatan Hilal dengan mata bugil masih akan memberi kontribusi bagi dunia ilmu pengetahuan tentang visibilitas Hilal di equator. Indonesia negeri yang luas, pengamatan Hilal secara profesional di banyak lokasi akan merupakan kontribusi umat Islam Indonesia pada umat Islam di belahan Bumi lain dan dunia ilmu pengetahuan.
  Bagi sebagian umat Islam yang berijtihad menggunakan metode hisab sebagai landasan penentu awal bulan alih-alih metode observasi yang telah dibahas sebelum ini, di antaranya berdasar pada ketiadaan dalil yang mengharuskan merukyat bila hendak melakukan ibadah puasa Ramadan ataupun berhari raya. Adapun hadis-hadis yang berkenaan  dengan rukyat dan ibadah puasa dipahami bukan sebagai dalil keharusan melakukan rukyat, melainkan dalil kewajiban berpuasa dan berbuka (berhari raya) setelah diketahui munculnya hilal yang menjadi penanda masuknya awal bulan yang baru[11].
  Ketua Lajnah Falakiyah PBNU; Ghazalie Masroeri dalam pertemuan dengan Majelis Tarjih Muhammadiyah di kantor PP Muhammadiyah, menegaskan kembali bahwa NU tetap memakai hisab. Bahkan beberapa ahli di kalangan pengurus Lajnah Falakiyah menyusun sendiri metode hisab dalam satu kitab. Namun demikian rukyatul hilal tetap harus dilakukan[12].
Banyak kalangan yang mengira bahwa penentuan awal bulan Hijriah dengan cara rukyatul hilal sangat awam dan kelihatan tidak atau kurang berpengetahuan. Selain itu rukyat sangat menyulitkan dan menambah pekerjaan, sia-sia dan membuang-buang waktu karena harus bersusah-susah mencari bulan pada tanggal setiap tanggal 29 pada kalender Hijriah. Karena sebagian berpendapat bahwa metode hisab atau perhitungan astronomis yang relatif mudah dan kelihatan berpengetahuan (baca ilmiah). Tetapi sebenarnya persoalannya ternyata tidak sesederhana itu. Rukyatul hilal dalam bahasa yang lebih ilmiyah adalah semacam observasi untuk membuktikan berbagai perkiraan mengenai datangnya awal bulan. Rukyat berfungsi untuk mencapai akurasi tertinggi[13].
Rukyatul hilal juga bernilai ibadah (ta’abuddi) karena diperintahkan secara langsung oleh nabi Muhammad saw. Rukyat juga punya nilai tafakkur dan tadabbur kepada ciptaan Allah karena dengan melakukan itu maka secara otomatis umat Islam akan berfikir mengenai alam, Matahari, Bulan dan jutaan bintang, yang akan menambah keimanan kepada sang Khaliq[14].
Kalangan Muhammadiyah berpandangan bahwa rukyatul hilal diperintahkan oleh Nabi Muhammad karena ada illat atau penyebabnya. Pada waktu itu masyarakat masih awam dan belum berpengetahuan. “Karena situasi waktu itu umat Islam belum mampu melakukan hal itu karena ilmu pengetahuan itu belum berkembang luas,” kata Syamsul Anwar, Ketua Majelis Tarjih PP Muhammdiyah. Pendapat ini dibantah oleh Lajnah Falakiyah NU. Bahwa pada saat itu bukan berarti nabi Muhammad dan para sahabat sama sekali tidak mengerti ilmu hisab. Paling tidak ilmu hisab sudah berkembang meski di luar Arab, dan iklim dagang sangat memungkinkan untuk saling bertukar informasi dan ilmu pengetahuan. Namun memang demikianlah bahwa pada priode awal, bahwa awal bulan Hijriah ditentukan oleh rukyatul hilal atau observasi langsung itu[15].
Ada pertanyaan-pertanyaan pelik yang dilontarkan Lajnah Falakiyah NU kepada Majelis Tarjih Muhammdiyah, kalau rukyat tidak dilakukan kemudian hanya menggunakan hisab saja. Yakni terkait dengan hadis nabi Muhammad yang jumlahnya lebih dari dua puluh hadis yang memerintahkan untuk melakukan rukyah. Jika tidak fungsional, apakah hadis-hadis tersebut dibuang atau diabaikan. Dalam hadis ditegaskan juga bahwa apabila bulan tidak terlihat karena tertutup awan maka umat Islam diperintahkan untuk menyempurnakan ibadah puasa hingga 30 hari. Sederhana saja, umat Islampun bisa terlibat semuanya, dan ini tentu memudahkan umat Islam dalam menentukan awal Ramadhan, Syawal dan Zulhijah, apalagi kini dibantu dengan alat teropong rukyah[16].



Hal-hal yang mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan praktik rukyatul hilal
           
 Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan praktik rukyatul hilal, sebagai berikut:
1. Faktor cuaca.
Apabila di ufuk Barat terdapat awan tebal, maka hal ini menyulitkan rukyatul hilal. Mungkin saja rukyatul hilal gagal; tidak dapat dilaksanakan. Rukyah  dilaksanakan dalam keadaan cuaca cerah dan tidak terdapat penghalang antara perukyah dan hilal. Penghalang ini bisa saja berupa awan, asap, maupun kabut.

2. Faktor Hilal yang diobservasi
Kondisi hilal yang akan diobservasi, juga menjadi hal penting untuk menunjang visibilitas hilal:
a.beda tinggi hilal dan Matahari
b.beda azimut hilal dan Matahari
c.jarak elongasi
d.umur bulan
e.fraksi eluminasi
f.garis batas tanggal bulan Hijriah[17]
g.paralaks horison
h.refraksi angkasa
i.Kerendahan ufuk[18]
3.Faktor manusia[19].
Untuk melakukan praktik rukyatul hilal, seseorang itu harus memiliki keterampilan tertentu, antara lain:
a.Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa bagi mata orang awam yang belum terlatih melakukan rukyah akan menemui  kesulitan menemukan hilal yang dimaksud. Terkait dengan warna hilal yang lembut dan tidak kontras dengan langit yang melatarbekanginya[20].
b.Mengetahui posisi hilal saat Matahari terbenam (ghurub). Sehingga ketika proses rukyah, ia tidak melihat ke arah yang salah dan tentu saja ia tidak akan menemukan hilal pada arah (yang salah) tersebut. Data-data ini diperoleh dari perhitungan hisab.
c.Seorang yang akan melakukan rukyatul hilal juga harus mengetahui bentuk hilal yang dimaksud. Menurut penuturan Sriyatin Shadiq, pernah ada kesaksian beberapa orang yang telah melihat hilal awal bulan, dan setelah diklarifikasi bentuk hilal yang mereka lihat ternyata posisi hilal yang seharus “telentang” tapi menurut mereka “telungkup” tentu saja pengakuan ini dianggap aneh dan tidak masuk akal.[21]
d.Hasil rukyah tersebut tidak bertentangan dengan perhitungan yang telah disepakati bersama menurut perhitungan ilmu hisab yang qath’i (terjadi kesepakatan ahli Falak).



peta lokasi rukyah










Persiapan dan Pelaksanaan Rukyatul Hilal di Lapangan

Dalam pelaksanaan rukyatul hilal, terlebih dahulu dipersiapkan peralatan dan data-data yang butuhkan sebelum keberangkatan ke tempat obsrvasi, antara lain:
1.Peralatan rukyah al-hilal:
a. Teodolit adalah alat yang digunakan untuk menentukan tinggi dan azimut suatu benda langit. Alat ini mempunyai dua buah sumbu, yaitu: sumbu vertikal untuk melihat skala ketinggian benda langit. Dan sumbu horizontal untuk melihat skala azimutnya, sehingga teropongnya yang digunakan untuk mengincar benda langit dapat bebas bergerak ke semua arah[22].
b.  Kompas adalah alat penunjuk arah mata angin. Kompas merupakan salah satu alat penting dalam kegiatan praktik rukyatul hilal. Ketika menggunakannya hendaklah diperhatikan agar terhindar dari pengaruh medan magnet benda-benda yang mengandung medan magnet yang berada di sekitarnya. Karena komponen kompas itu antara lain adalah magnet maka dalam penggunaannya akan mudah terpengaruh oleh medan-medan magnet yang terdapat di sekitarnya[23]. Karena medan magnet tersebut mempengaruhi arah yang seharusnya dituju  kompas sehingga arah yang ditunjukkan itu tidak akurat[24]. Dalam penggunaan kompas harus dikoreksi dengan koreksian magnetik untuk daerah tersebut. Daftar besaran koreksi tersebut dapat diperoleh dari BMG (Badan Meteorologi dan Geofisika).
c. GPS (Global Positioning System): Alat ukur koordinat dengan menggunakan satelit yang dapat mengetahui posisi lintang, bujur, ketinggian tempat, jarak dan lain-lain[25].
d. Benang, paku, dan meteran untuk membuat Benang Azimut. Benang Azimut adalah benang-benang yang telah diukur dengan kepanjangan tertentu dan ditambatkan dengan paku  setelah ditentukan  terlebih dahulu arah-arah yang dimaksudkan. Di antaranya, benang  yang menunjukkan arah Utara sejati, Barat sejati, azimut hilal dan azimut Matahari sesuai dengan data-data hasil hisab. Benang azimut ini adalah salah satu alat tradisional yang digunakan oleh para ahli Falak dalam merukyah hilal.
e. Gawang lokasi; semacam tiang-tiang yang dipancangkan yang berguna mengarah dan menfokuskan pandangan kita pada saat tertentu. Dalam penggunaannya tentu saja merujuk data-data hasil hisab.
f. Teleskop adalah alat pencitraan benda-benda yang jarak jauh. Digunakan dalam praktek rukyatul hilal untuk mengintip hilal.
g.Jam untuk petunjuk waktu; waktu terbenamnya Matahari dan waktu lamanya hilal dalam posisi imkanur rukyah (hilal dapat dirukyah).
2.  Data-data yang dibutuhkan dalam praktik rukyatul hilal


Data perhitungan awal bulan untuk tempat pelaksanaan rukyah yang telah diperlukan seperti data tentang  beda tinggi Bulan dan Matahari,  beda azimut Bulan dan Matahari, jarak busur Bulan dan Matahari, umur Bulan, luas Hilal dan sebagainya. Sebagai gambaran diulas tentang observasi hilal awal bulan Muharrom 1430 H yang dilaksanakan di pantai Bandengan, yang merupakan bagian dari daerah Jepara. Maka dibutuhkan data perhitungan awal bulan untuk daerah Jepara. Data ini telah dihitung sebelumnya. Antara lain: Penentuan waktu Ijtimak atau konjungsi atau Bulan baru, Waktu Matahari terbenam dan Bulan terbenam, Posisi Bulan pada saat Matahari terbenam Matahari, dan Obyek terang (bintang terang, planet dan lain sebagainya di sekitar lokasi Bulan jika ada saat observasi).
Data observasi awal bulan yang digunakan adalah perhitungan kitab Syams al-Hilal dan kitab Nur al-Anwar karangan Noor Ahmad SS. Dalam penentuan waktu Ijtimak menggunakan perhitungan kitab Syams al-Hilal dan untuk penghitungan lainnya dengan menggunakan perhitungan berdasarkan kitab Nur al-Anwar. Adapun data itu adalah sebagai berikut:
a.       Data kitab Syam al-Hilal
Awal Muharrom 1430 H
1)Ijtimak  pada:hari sabtu/ malam Minggu
2)Jam          : 0.58
3)Tinggi Hilal : 11 52/100 derajat
4)Tinggi Hilal dengan meter    : 8,29 m
5)Lamanya di atas ufuk         : 46,32 menit
6)Keadaan Hilal: miring ke utara tegak turus
7)Besar cahaya Hilal           : 4/5 jari
b. Data kitab Nur al-Anwar
Awal Muharrom 1430H
1)1 Muharrom 1430H             : Senin, 29 Desember 2008
2)Ijtimak      : Sabtu, 27 Desember 2008
3)Jam          : 19.18 WIB
4)Tinggi Hilal : 9.5.22
5)Letak Matahari           : -23,25.22 (dari Barat ke Selatan)
6)Kedudukan Hilal               : -0,14,47 (Selatan Matahari)
7)Keadaan Hilal                                 : Telentang
8)Lama di atas Ufuk             : 0 jam 40 menit 55 detik
9)Besar Cahaya                  : 0,716 (7/10)



Data-data itu  yang akan dijadikan acuan dalam pelaksanaan praktik rukyatul hilal.


Ijtimak adalah peristiwa segaris/sebidangnya pusat Bulan dan pusat Matahari dari pusat Bumi. Dalam astronomi pada saat demikian Bulan dan Matahari memiliki bujur ekliptika atau bujur astronomi yang sama. Posisi demikian ditandai fraksi iluminasi (persentase penampakan cahaya hilal terhadap cahaya bulan penuh) minimum. Pada saat posisi-posisi tertentu yang istimewa, yakni bumi, bulan dan matahari segaris ditandai berlangsungnya gerhana matahari di permukaan Bumi. Tidak setiap ijtimak berlangsung gerhana Matahari, karena bidang orbit bulan miring sekitar 5,2 derajat busur terhadap bidang ekliptika (bidang orbit bumi mengedari matahari); Selain itu garis perpotongan kedua bidang orbit tersebut bergerak[26].  

Ijtimak berlangsung pada saat yang bersamaan di seluruh permukaan Bumi. Walaupun seringkali dinyatakan dalam waktu lokal atau waktu setempat. Adanya perbedaan waktu lokal di berbagai tempat di muka bumi terjadi akibat perbedaan ketinggian Matahari dari pengamat saat berlangsungnya ijtimak[27].
Melanjutkan kembali tentang pelaksanaan observasi, sesampainya di lokasi pantai Bandengan, lalu mulailah dilakukan pemasangan alat atau media rukyah yaitu: benang azimut, teodolit dan teleskop. Kemudian dilakukan pengecekan waktu agar terdapat ketepatan dan kesamaan waktu yang digunakan baik oleh panitia dan peserta pelatihan dalam penentuan waktu pelaksanaan rukyah al-hilal. Pengecekan waktu ini dengan menelpon BMG, atau dengan menghubungi operator dari masing-masing melalui hand phone, atau menghubungi RRI (Radio Republik Indonesia) pada nomor 105 setempat[28].

Kira-kira lima belas menit sebelum tenggat waktu perukyahan, diadakanlah acara seremonial. Pada acara tersebut, ada pengarahan dari panitia dan doa bersama. Dalam pengarahannya dinyatakan beberapa hal:
1.      Untuk terampil dalam merukyah hilal ini berproses. Keterampilan ini harus terus diasah, misalnya dengan terus mempraktikkan rukyah al-hilal pada setiap awal bulannya. Dengan terus latihan barulah seseorang itu terampil dan ahli.
2.      Penggunaan kompas membantu untuk menentukan true north. Untuk mendapatkan true north harus diadakan koreksi deklinasi  magnetis. Koreksi ini tidak sama untuk setiap saat dan tempat. Koreksi untuk penggunaan kompas di pulau Jawa, untuk daerah di utara khatulistiwa + 1,5 derajat dan untuk daerah bagian selatan khatulistiwa –1,5 derajat[29].
3.      Karena posisi hilal selama proses rukyah itu tidak tetap, namun sedikit demi sedikit dari menit ke menit akan turun ke ufuk. Maka ketika merukyah hilal mata kita tidak tetap pada posisi awal ketika hilal dapat dirukyah (pada saat terbenan matahari) tapi juga turun mengikuti turunnya hilal.
4.       Untuk membuat mata kita lebih awas dalam memantau posisi hilal, tipsnya antara lain ketika melihat hilal hendaknya tidak memantau ke arah hilal itu secara terus menerus tapi lihatlah ke arah hilal beberapa waktu lalu pejamkan mata beberapa saat lalu setelah itu ulangi melihat ke arah hilal. Lakukan secara berulang-ulang. Hal ini terkait dengan tidak begitu kontrasnya warna langit yang melatarbelakangi hilal yang akan kita rukyah, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya[30].

Lalu pengarahan ini ditutup dengan do’a. Di antara doa yang dipanjatkan KH Noor Ahmad SS adalah,”Alahumma yassir lanaa ziarah makkah wa ka’bah wa al-madiinah fi al-ayyaam al-aatiyah wa fi kulli yaumin ma’a as-salaamah”. (ya Allah mudahkanlah jalan bagi kami untuk mengunjungi kota Makah, ka’bah, dan kota Madinah pada masa-masa yang akan datang dan setiap harinya dengan penuh keselamatan [setiap harinya dalam salat maupun ketika mengunjungi kota Makah, ka’bah, dan kota Madinah nantinya]).Do’a ini menurutnya terkait dengan praktik rukyah al-hilal yang salah satu fokus dalam kajiannya adalah posisi ka’bah[31].
Tepat waktu maghrib—terbenamnya Matahari praktik rukyat al-hilalpun dilaksanakan. Seluruhnya lalu mengarahkan pandangannya ke posisi yang telah diperhitungkan sebelumnya sebagai posisi hilal yang akan dirukyah. Dalam pelaksanaan rukyah juga dapat menggunakan media yang telah disiapkan.
Setelah kira-kira dua puluh menit mencoba merukyah, namun karena terdapat awal tebal pada posisi hilal yang akan dirukyah, maka hilalpun tidak berhasil dirukyah. Akhirnya diumumkan bahwa hilal tidak bisa dirukyah karena terhalang awan tebal dan seluruh kontingen diharapkan kembali ke kendaraan masing-masing untuk bersiap pulang.
Pengamatan hilal menunggu kesempatan meredupnya senja dan Bulan masih berada di atas ufuk/horizon. Pada saat meredupnya senja diafragma mata pengamat langit malam akan membesar. Membesarnya diafragma mata berarti makin banyak foton dari cahaya hilal yang bisa dikoleksi oleh lensa mata sehingga mempunyai kesempatan untuk bisa dikenali oleh mata manusia bila jumlah foton sudah melewati suatu batas ambang pengenalan objek[32].
Waktu terbaik untuk pengamatan /rukyat hilal adalah dua puluh menit setelah matahari terbenam (sunset) karena sinar matahari sudah tidak mengganggu. Namun karena cuaca mendung itu hilal tidak mungkin terlihat[33]. Tentu saja  hilal yang masih dapat dirukyah setelah dua puluh menit matahari terbenam adalah hilal yang cukup tinggi. Jika diasumsikan hilal 1˚ berada di atas horizon selama empat menit, maka dibutuhkan ketinggian hilal lebih dari 5˚ untuk dapat dirukyah dengan tanpa gangguan cahaya matahari.










Hilal Halusinasi: Pengakuan Rukyah Hilal di Indonesia Kontroversial

Hilal Halusinasi dapat juga dinyatakan sebagai kasus-kasus yang menyatakan telah melihat hilal namun pengakuan tersebut bertentangan dengan fakta ilmiah. Kasus-kasus kontroversial tentang pernyataan melihat hilal tersebut antara lain:
1.Beberapa kasus keberhasilan melihat Hilal, padahal pada saat pengamatan kondisi langit di arah horizon barat tempat Matahari dan Bulan terbenam mendung, berawan tebal sehingga tak memungkinkan bisa melihat Matahari yang akan terbenam serta Hilal.
2.Beberapa kasus keberhasilan melihat Hilal, padahal pada saat pengamatan Bulan telah terbenam lebih dahulu dari Matahari atau Bulan telah terbenam.
3.Beberapa kasus keberhasilan melihat Hilal, padahal ijtimak belum berlangsung[34].
4.Sering dalam kesaksian seseorang yang menyatakan telah melihat hilal namun setelah dikonfirmasi ternyata kesaksiannya tersebut diragukan. Karena yang bersangkutan ketika menunjukkan posisi hilal yang dilihatnya menunjuk ke arah yang salah dan tidak mungkin hilal berada di posisi tersebut[35].
5.Pernah ada kesaksian beberapa orang yang telah melihat hilal awal bulan, dan setelah diklarifikasi bentuk hilal yang mereka lihat ternyata posisi hilal yang seharus “telentang” tapi menurut mereka “telungkup” tentu saja pengakuan ini dianggap aneh dan tidak masuk akal[36].
6.Pengakuan yang telah melihat hilal namun menurut perhitungan ilmu hisab yang qath’i (terjadi kesepakatan ahli Falak) tidak mungkin untuk dirukyah karena masih di bawah ufuk atau telah di atas ufuk tapi belum mungkin untuk dirukyah karena terlalu rendah


Penolakan Hasil Rukyah

Ada beberapa persyaratan syahid/perukyatan hilal, secara formil dan materil, yaitu :
1.   Syarat formil :
a. Aqil baligh atau sudah dewasa.
b. Beragama Islam.
c. Laki-laki atau perempuan.
d. Sehat akalnya.
e. Mampu melakukan rukyat.
f. Jujur, adil dan dapat dipercaya.
g. Jumlah perukyat lebih dari satu orang.
h. Mengucapkan sumpah kesaksian rukyat hilal.
i. Sumpah kesaksian rukyat hilal di depan sidang Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah dan dihadiri 2 (dua) orang saksi.

2.  Syarat materiil :
a.  Perukyat menerangkan sendiri dan melihat sendiri dengan mata kepala maupun menggunakan alat, bahwa ia melihat hilal.
b.  Perukyat mengetahui benar-benar bagaimana proses melihat hilal, yakni kapan waktunya, dimana tempatnya, berapa lama melihatnya, di mana letak, arah posisi dan keadaan hilal yang dilihat, serta bagaimana kecerahan cuaca langit/horizon saat hilal dapat dilihat.
c.  Keterangan hasil rukyat yang dilaporkan oleh perukyat tidak bertentangan dengan akal sehat perhitungan ilmu hisab, kaidah ilmu pengetahuan dan kaidah syar’i.

Di kalangan Nahdatul Ulama; selaku kelompok yang berpegang teguh dengan rukyah dalam penetapan awal bulan Hijriah, penetapan pemerintah yang berpihak (hanya berdasarkan) hisab dan mengingkari hasil rukyatul hilal tidak boleh diikuti dengan syarat sebagai berikut :
1.Mempercayai kebenaran rukyah.
2.Rukyah Mutawatir.
3.Jika orang yang melihat satu atau dua, maka tidak boleh mengikuti hisab baik yang mempercayai kebenaran rukyah atau tidak, hal ini menurut imam Romli. Dan bagi yang tidak mempercayai, maka wajib menerima penetapan pemerintah menurut imam Subki. Sedangkan imam Ibnu Hajar mewajibkan mengikuti penetapan pemerintah bagi yang tidak mempercayai rukyah, kecuali dengan syarat : Ahli hisab memastikan belum mungkin rukyah, hisabnya qath'i,  ahli hisab yang menyatakan tidak mungkin rukyah mencapai bilangan tawatur. Sedangkan bilangan tawatur  menurut imam Alawi adalah minimal lima kitab hisab qath'i dengan berbeda pengarang (Muallif)[37].

Ketetapan NU itu sejalan dengan pendapat imam Ibnu Hajar al-Haitami, imam Subki, imam Ibbadi, dan imam Qolyubi. Imam Subki menyatakan jika ada satu atau dua orang bersaksi melihat hilal, sedang menurut hisab tidak mungkin terlihat, kesaksian itu ditolak. Imam Ibbadi menyatakan apabila hisab qat'i menunjukkan hilal tidak dapat dirukyat, kesaksian orang yang melihatnya harus ditolak. Bahkan, imam Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan jika semua ahli hisab (mutawatir/mayoritas) sepakat hilal tidak dapat dirukyat, kesaksian rukyat itu ditolak, tetapi kalau tidak terjadi kesepakatan, kesaksian rukyat itu tidak dapat ditolak.
Dengan demikian para imam tersebut menghendaki adanya rukyat hilal yang berkualitas. Demikian pula NU menghendaki rukyat hilal yang berkualitas dan bertanggung jawab karena untuk kemaslahatan umat Islam[38].

Penutup

Pemerintah maupun lembaga-lembaga yang konsen dengan permasalahan hisab rukyah gencar mensosialisasi dan melibatkan perihal penetapan awal bulan Kamariah maupun kajian ilmu Falak lainnya. Terkait dengan  observasi rukyatul hilal awal bulan dilaksanakan sebagai salah satu metode penentuan awal bulan diharapkan lebih berkembang dan  berkalitas. Hal ini tentu saja akan memberikan kontribusi yang positif bagi perkembangan ilmu Falak di masa yang akan datang. Wallahu a’lamu bi ash-shawab.

Daftar Pustaka

Ahmad SS, Noor, 2008A,  Pengarahan dalam Acara Praktik Rukyah al-Hilal, Pelatihan Hisab Rukyah Tingkat Nasional, Ponpes Setinggil, Kriyan Kalinyamatan Jepara pada tanggal 26-29 Desember 2008M/ 28 Dzulhijjah- 1 Muharram 1430H

____________, 2008B, (Pimpinan Ponpes Setinggil, Kriyan Kalinyamatan Jepara) Wawancara, tanggal 28 Desember 2008

____________, 2006, Menuju Cara Rukyat yang Akurat, Makalah pada Lokakarya Imsakiyah Ramadhan 1427H/2006M se Jawa Tengah dan daerah Istimewa Yogyakarta yang diselenggarakan oleh PPM IAIN Wali Songo Semarang.

Arsyad, A Rusli, Rukyat Hilal perspektif NUhttp://www.badilag.net

Azhari, Susiknan, 2001, Ilmu Falak Teori dan Praktek, Yogyakarta: Lazuari, Cet.ke-1

____________, 2008, Ensiklopedi Hidab Rukyat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet.ke-2

Danawas, Djoni N, 1994, Kemungkinan Penampakan Hilal Untuk Penentuan Awal Ramadhan dan Syawal 1414 H, dalam Jurnal Mimbar Hukum no. 14 Tahun V,
Hambali, Slamet, 2008,  Orasi Ilmiah dengan makalah berjudul Hisab Awal Bulan Sistem Ephemeris pada Orientasi Hisab Rukyat se-Jawa Tengah, Semarang 28-30 November 2008

Khazin, Muhyiddin, 2008, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Buana Pustaka, Cet.ke-3,

Latihan Rukyat Bersama "1 Muharram 1428 H" (JAC-CASAC-CASA) http://aguscb.blogspot.com


Mujab, Saiful, 2008, (Narasumber Pelatihan Hisab Rukyah Tingkat Nasional, Ponpes Setinggil, Kriyan Kalinyamatan Jepara pada tanggal 26-29 Desember 2008M/ 28 Dulhijjah- 1 Muharram 1430H), Wawancara, tanggal 28 Desember 2008

Menuju Penyatuan Awal Bulan Hijriyah (2) Bagi NU Rukyat adalah Observasi, Bagi Muhammadiyah Perintah Rukyat Sudah Tidak Berlaku
http://www.nu.or.id

Pengamatan Hilal Penting untuk Mengoreksi Perhitungan. kompas.com

Raharto, Moedji, 1994, Catatan Perhitungan Posisi dan Pengamatan Hilal Dalam Penentuan Kriteria Penampakan Hilal, dalam Jurnal Mimbar Hukum no. 14 Tahun V

__________, 2006,
Perangkat Rukyat Hilal: Binokuler, Teleskop dan Sistem Mounting, makalah pada Pendidikan dan Pelatihan Nasional Pelaksanaan Rukyat Nahdlatul Ulama dengan Tema Menciptakan Rukyat yang Berkualitas Untuk Mengukur Perbedaan Hisab dan Fakta di lapangan pada hari Ahad – Sabtu, 26 Dzulqa’dah – 2 Dzulhijjah 1427 H atau  tanggal  17 – 23 Desember 2006.

____________, 2006, Pergantian Bulan Qamariah Dalam Perspektif Astronomi,  power point makalah dalam “Seminar Sehari Tentang Penyatuan Kalendar Hijriah Menuju Kerukunan Umat”, rangkaian kegiatan dalam rangka Dies Natalies ke 38 diselenggarakan oleh Fakultas Syariah IAIN Raden Intan, pada hari Senin, tanggal 4 Desember 2006, 13 Dzulkaedah 1427 H


Setyanto, Hendro,  2008, Membaca Langit, Jakarta: al-Ghuraba

__________, Hisab-Rukyah: Media Sains Santri, http://assalaam.or.id/casa.

Shadiq, Sriyatin, 2008, Makalah Simulasi dan Metode Rukyatul Hilal, Pelatihan Hisab Rukyah Tingkat Nasional, Ponpes Setinggil, Kriyan Kalinyamatan Jepara pada tanggal 26-29 Desember 2008M/ 28 Dulhijjah- 1 Muharram 1430H


Utama, Judhistira Aria, Hilal, judhistira@students.itb.ac.id

Zabidi, Ahmad, 2008,  Pengarahan dalam Acara Praktik Rukyah al-Hilal, Pelatihan Hisab Rukyah Tingkat Nasional, Ponpes Setinggil, Kriyan Kalinyamatan Jepara pada tanggal 26-29 Desember 2008M/ 28 Dzulhijjah- 1 Muharram 1430H








[1] Jayusman;  lektor Fakultas Ushuluddin, IAIN Raden Intan Lampung. E mail: jay_falak@yahoo.co.id

[2] Banyak sekali tempat yang biasanya dijadikan  untuk observasi awal bulan Kamariah di Indonesia. Di antara tempat observasi yang terkenal antara lain: (1) Boscha ITB Lembang Kabupaten Bandung, Jawa Barat, (2)  POB Pelabuhan Ratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, (3) Pos Observasi Tanjung Kodok, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, (4) Menara ITC Bulevart Menado, Sulawesi Utara, (5) Pantai Jerman Kute Denpasar Bali, (6) Pos Observasi Lemong Krui Lampung Barat, (7) Menera Mesjid Agung Jawa Tengah Semarang, dan (8) Pos Observasi Lhoknga Aceh.

[3] Khazin, Muhyiddin, 2008, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Buana Pustaka, Cet.ke-3, h.173. Definisi hilal bisa beragam karena itu bagian dari riset ilmiah, semua definisi itu semestinya saling melengkapi satu dengan lainnya. Bukan dipilih definisi parsial, tapi hilal harus didefinisikan dengan sebuatu definisi yang komprehensif. Misalnya, definisi lengkap yang dirumuskan sebagai berikut: hilal adalah bulan sabit pertama yang teramati di ufuk barat sesaat setelah Matahari terbenam, tampak sebagai goresan garis cahaya yang tipis, dan bila menggunakan teleskop dengan pemroses citra bisa tampak sebagai garis cahaya tipis di tepi bulatan bulan yang mengarah ke matahari. Dari data-data rukyatul hilal jangka panjang, keberadaan hilal dibatasi oleh kriteria hisab tinggi minimal sekian derajat bila jaraknya dari matahari sekian derajat dan beda waktu terbenam bulan-matahari sekian menit serta fraksi iluminasi sekian prosen. T Djamaluddin, Redefinisi Hilal menuju Titik Temu Kalender Hijriyyah, http://t-djamaluddin.space.live.com

[4]  Noor Ahmad SS, 2006, Menuju Cara Rukyat yang Akurat, Makalah pada Lokakarya Imsakiyah Ramadhan 1427H/2006M se Jawa Tengah dan daerah Istimewa Yogyakarta yang diselenggarakan oleh PPM IAIN Wali Songo Semarang.

[5] Khazin, loc.cit
[6] Cecep Nurwendaya, Simulasi Pergerakan Benda langit Pedoman Rukyatul Hilal, makalah disampaikan pada :  Pendidikan dan Pelatihan Nasional Pelaksana Rukyat Nahdlatul Ulama, Tanggal 18 Desember 2006 M. / 27 Dzulqa’dah 1427 H, Di Masjid Agung Semarang – Jawa Tengah.
[7] Menuju Penyatuan Awal Bulan Hijriyah (2) Bagi NU Rukyat adalah Observasi, Bagi Muhammadiyah Perintah Rukyat Sudah Tidak Berlaku http://www.nu.or.id
[8]   Judhistira Aria Utama, Hilal, judhistira@students.itb.ac.id

[9]  Pengamatan Hilal Penting untuk Mengoreksi Perhitungan. kompas.com


[10] Hisab dalam arti luas dapat diterjemahkan sebagai sebuah metode atau sistem perhitungan yang diperoleh dari penalaran analitik maupun empirik. Sedangkan rukyat dapat diterjemahkan sebagai sebuah pengamatan sistematik yang didasarkan atas data yang ada. Hisab bukanlah sebuah metode yang muncul secara tiba-tiba. Sebab, adanya hisab diawali dari rukyat yang panjang.  Benar tidaknya sebuah hisab tentunya harus diuji secara langsung melalui pengamatan (rukyat) terhadap fenomena alam yang dihisab. Seberapa pun bagus dan baik sebuah metode hisab, jika tidak sesuai dengan fenomena yang dihisab tentu tidak dapat dikatakan benar. Demikian juga halnya dengan rukyat, pelaksanaan rukyat yang tidak pernah menghasilkan sebuah sistem atau metode perhitungan (hisab) yang dapat membantu dalam pelaksanaan rukyat berikutnya merupakan rukyat yang sia-sia. Karena, apa yang dilakukan hari ini tidak lebih baik daripada apa yang pernah dilakukan. Oleh karena itu, kombinasi hisab dan rukyat merupakan kombinasi harmonis agar ilmu Falak di Indonesia dapat berkembang. Sesuai dengan asalnya, ilmu Falak yang tidak lain merupakan bagian dari astronomi modern saat ini merupakan observational sains. Sebuah observational sains merupakan sains yang berkembang atas dasar pengamatan. Dengan kata lain, menafikan rukyat yang notabene merupakan proses pengamatan bagaikan menghilangkan ruh dari jasad. Hal ini bahkan dapat mengakibatkan ilmu Falak menjadi sesuatu yang tidak menarik dan sulit untuk dipahami. Hendro Setyanto, Hisab-Rukyah: Media Sains Santri, http://assalaam.or.id/casa. Untuk itu bisa dikatakan bahwa penggunaan hisab tanpa rukyat hanya akan melahirkan tukang hisab bukan ahli hisab apalagi ahli Falak. Begitu juga rukyat tanpa hisab tidak akan memberikan nilai tambah apapun. Rukyat dan Hisab bagaikan dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan yang dalam astronomi dikenal sebagai observasi dan teori (pemodelan) yang mau dan tidak mau harus dilakukan untuk mencari satu nilai kriteria visibilitas hilal. Sehingga penetapan awal bulan akan memiliki karakter sains (ilmu pengetahuan). Latihan Rukyat Bersama "1 Muharram 1428 H" (JAC-CASAC-CASA) http://aguscb.blogspot.com

[11] Judhistira Aria Utama , Hilal, judhistira@students.itb.ac.id
[12] Menuju Penyatuan Awal Bulan Hijriyah (2) Bagi NU Rukyat adalah Observasi, Bagi Muhammadiyah Perintah Rukyat Sudah Tidak Berlaku, Sabtu, 8 Desember 2007,  NU Online
[13] Ibid

[14] Ibid

[15] Ibid

[16] Ibid

[17]  Moedji Raharto, Catatan Perhitungan Posisi dan Pengamatan Hilal Dalam Penentuan Kriteria Penampakan Hilal, dalam Jurnal Mimbar Hukum no. 14 Tahun V, 1994,  h. 29

[18] Djoni N. Danawas, Kemungkinan Penampakan Hilal Untuk Penentuan Awal Ramadhan dan Syawal 1414 H, dalam Jurnal Mimbar Hukum no. 14 Tahun V, 1994,  h. 7

[19] Syarat-syarat seorang perukyah antara lain: harus adil dalam persaksiannya, harus mengucapkan dua kalimat Syahadah, dan dalam mengucapkan dua kalimat Syahadah, perukyah harus di dampingi dua orang saksi. Ahmad SS, 2006, loc.cit

[20]  Khazin, loc.cit

[21] Sriyatin Shadiq, Makalah Simulasi dan Metode Rukyatul Hilal, Pelatihan Hisab Rukyah Tingkat Nasional, Ponpes Setinggil, Kriyan Kalinyamatan Jepara pada tanggal 26-29 Desember 2008M/ 28 Dulhijjah- 1 Muharram 1430H


[22]  Susiknan Azhari, 2008, Ensiklopedi Hidab Rukyat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet.ke-2, h. 216

[23] Ibid, h.  125-126

[24] Slamet Hambali, 2008,  Orasi Ilmiah dengan maklah berjudul Hisab Awal Bulan Sistem Ephemeris pada Orientasi Hisab Rukyat se-Jawa Tengah, Semarang 28-30 November 2008

[25] Azhari, 2008, op.cit, h. 72

[26] Cecep Nurwendaya, loc.cit

[27] Ibid

[28] Zabidi, Ahmad, 2008,  Pengarahan dalam Acara Praktik Rukyah al-Hilal, Pelatihan Hisab Rukyah Tingkat Nasional, Ponpes Setinggil, Kriyan Kalinyamatan Jepara pada tanggal 26-29 Desember 2008M/ 28 Dzulhijjah- 1 Muharram 1430H

[29] Noor Ahmad SS 2008B, (Pimpinan Ponpes Setinggil, Kriyan Kalinyamatan Jepara) Wawancara, tanggal 28 Desember 2008 dan Slamet Hambali, loc.cit

[30] Ahmad SS, Noor, 2008A,  Pengarahan dalam Acara Praktik Rukyah al-Hilal, Pelatihan Hisab Rukyah Tingkat Nasional, Ponpes Setinggil, Kriyan Kalinyamatan Jepara pada tanggal 26-29 Desember 2008M/ 28 Dzulhijjah- 1 Muharram 1430H

[31] Noor Ahmad SS 2008B, loc.cit

[32]  Moedji Raharto,  2006,
Perangkat Rukyat Hilal: Binokuler, Teleskop dan Sistem Mounting, makalah pada Pendidikan dan Pelatihan Nasional Pelaksanaan Rukyat Nahdlatul Ulama dengan Tema Menciptakan Rukyat yang Berkualitas Untuk Mengukur Perbedaan Hisab dan Fakta di lapangan pada hari Ahad – Sabtu, 26 Dzulqa’dah – 2 Dzulhijjah 1427 H atau  tanggal  17 – 23 Desember 2006.

[34] Moedji Raharto, Pergantian Bulan Qamariah Dalam Perspektif Astronomi,  power point makalah dalam “Seminar Sehari Tentang Penyatuan Kalendar Hijriah Menuju Kerukunan Umat”, rangkaian kegiatan dalam rangka Dies Natalies ke 38 diselenggarakan oleh Fakultas Syariah IAIN Raden Intan, pada hari Senin, tanggal 4 Desember 2006, 13 Dzulkaedah 1427 H

[35]  Sriyatin Shadiq, loc.cit

[36] Ibid
[38] Arsyad, A Rusli, Rukyat Hilal perspektif NUhttp://www.badilag.net

2 komentar:

  1. Mantap bang, terima kasih atas ilmunya.

    Udi Wardoyo

    BalasHapus
  2. rukyat itu khusus untuk puasa ramadan untuk bulan yang lainnya cukup dilakukan hisab saja. tetapi titik nol rotasi bulan terhadap bumi menurut ilmu agama bukan pada cunjungsi. jelasnya baca rotasi bulan blogspot.com bakrisyam

    BalasHapus