Rabu, 20 Januari 2010

Wacana Takwim Urfi Dalam Penanggalan Islam

Wacana Takwim Urfi Dalam Penanggalan Islam[1]












Abstrak
Takwim Urfi adalah sistem penanggalan yang bersifat perhitungan rata-rata. Takwim yang berdasarkan hisab Urfi disepakati oleh para ulama tidak sah untuk dijadikan pedoman dalam pelaksanaan ibadah dalam Islam. Namun karena kemudahan dan keajegan perhitungan takwim yang berdasarkan hisab Urfi, maka dapat dijadikan alternatif dalam wacana unifikasi penanggalan Hijriah Internasional dalam Islam.

Kata Kunci: Takwim, Hisab Urfi, Hisab Hakiki.




Pendahuluan

Perbedaan dalam penetapan awal bulan Ramadan, Syawal, dan Zulhijah sering kita jumpai di kalangan umat Islam di Indonesia. Dalam mengawali puasa Ramadan terkadang terdapat beberapa hari yang berbeda, demikian juga ketika melaksanakan hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Maka lalu muncullah istilah lebaran ganda.
Perbedaan seperti ini setelah reformasi di Indonesia seolah menjadi hal yang lumrah terjadi. Walaupun terwujud  kesepakatan para ulama ahli ilmu Falak dari kalangan pesantren dan para ahli astronomi di Indonesia dalam penentuan awal bulan  Ramadan, Syawal, dan Zulhijah tetap saja ada kelompok-kelompok yang berbeda dengan hasil kesepakatan tersebut.
Misalnya kita kilas balik pelaksanaan ibadah puasa Ramadan 1430 H. Pemerintah mengumumkan bahwa berdasarkan hasil perhitungan hisab dan pelaksanaan rukyah pada tanggal Jumat, 29 Syakban 1430 H/ 18 September 2009 bahwa posisi hilal masih di bawah ufuk  maka hilal tidak mungkin bisa dirukyah. Sehingga esok harinya; Sabtu merupakan hari terakhir di bulan yang sedang berjalan; bulan Syakban. Permulaan ibadah puasa atau jatuhnya tanggal 1 Ramadan 1430 H adalah hari Minggu 20 September 2009.
Namun sebagian kelompok tarekat tertentu dan pengikut Kejawen yang menggunakan penanggalan Aboge atau Asopon memulai puasa Ramadan mereka pada hari yang berbeda dengan hasil penetapan pemerintah di atas. Perbedaan ini lebih banyak lagi jika menelusurinya pada kelompok-kelompok yang lebih kecil scopenya di masyarakat.
Penentuan dan penetapan waktu dalam pelaksanaan ibadah-ibadah tersebut itu menjadi sangat penting artinya untuk kemantapan; keyakinan serta menghapuskan keragu-raguan apa lagi dalam hal pelaksanaan ibadah mahdhah. Dan masyarakat tidak dibuat bingung dengan beranekaragamnya praktek yang terdapat di tengah-tengah masyarakat.
Di antara sumber yang merupakan salah satu akar permasalahan penyebab perbedaan tersebut adalah perhitungan takwim atau kalender yang berdasarkan hisab Urfi. Kalender berdasarkan hisab Urfi inilah yang dipedomani oleh pengikut Kejawen yang menggunakan penanggalan Aboge atau Asopon.   
Dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut tentang penetapan kalender berdasarkan hisab Urfi, karakteristiknya, wacana menjadikan kalender berdasarkan hisab Urfi menjadi alternatif dalam wacana unifikasi penanggalan dalam Islam, dan aspek hukum  menjadikan kalender berdasarkan hisab Urfi sebagai pedoman dalam pelaksanaan ibadah bagi umat Islam.

Sejarah Penanggalan Islam
Di masa pra Islam, belum dikenal penomoran tahun sebagaimana yang dikenal dan dapati pada masa sekarang. Sebuah tahun ditandai dengan nama peristiwa yang terjadi, seperti tahun Fil/Gajah (tahun lahirnya nabi Muhammad) karena pada waktu itu, terjadi penyerbuan Ka’bah oleh pasukan bergajah yang dipimpin raja Abrahah yang berasal dari Yaman Selatan, sebagaimana diabadikan dalam QS. al-Fil/105. Setelah datangnya Islam, dinamakanlah tahun wafatnya Siti Khadijah dan paman nabi; Abu Thalib dengan tahun Huzn (tahun penuh duka cita), tahun pertama hijrahnya Nabi sebagai tahun Idzn/Izin yaitu tahun diizinkannya untuk berhijrah. Tahun kedua disebut tahun Amr/perintah yaitu tahun diperintahkannya untuk berperang, tahun kesepuluh disebut tahun Wada' (haji Wada'/Perpisahan). Penamaan suatu tahun itu terkait dengan peristiwa monumental yang terjadi pada tahun tersebut sehingga melalui peristiwa penting itu namanya diabadikan (T. Djamaluddin, http: //t-djamaluddin.space.live.com).
Terhadap penamaan bulan, bangsa Arab telah mengenal dan menetapkan nama-nama bulan seperti yang kita dapati hingga saat ini yang juga selalu dikaitkan dengan fenomena alam, yaitu: Muharam, Safar, Rabiul awal, Rabiul akhir, Jumadil awal, Jumadil akhir, Rajab, Syakban, Ramadan, Syawal, Zulkaidah, dan Zulhijah. Menurut al-Biruni sebagaimana dikutip oleh Ali Hasan Musa bahwa nama-nama bulan dalam Kalender Kamariah mulai dikenalkan sejak tahun 412 M. Nama-nama bulan Kamariah tersebut berubah-ubah selama empat kali sampai yang kini dipakai oleh umat Islam. Dalam uraiannya, Ali Hasan Musa menyatakan bahwa nama-nama bulan Kamariah yang berkembang sekarang mulai digunakan sejak akhir abad V Masehi (Azhari dan Ibnor Azli Ibrahim, 2008: 136).[2] Susiknan Azhari, mengilustrasikan tentang perkembangan penamaan bulan-bulan tersebut, sebagai berikut:




No
I
II
III
IV
1
Natiq
Mujab
Al-Mu’tamar
Muharam
2
Thaqil
Mujar
Najir
Safar
3
Thaliq
Murad
Khawan
Rabiul Awal
4
Najir
Malzam
Sawan
Rabiul Akhir
5
Samah
Masdar
Hantam
Jumadil Awal
6
Amnah
Hubar
Zubar
Jumadil Akhir
7
Ahlak
Hubal
Al-Asam
Rajab
8
Kasa’
Muha’
‘Adil
Syakban
9
Zahir
Dimar
Nafiq
Ramadan
10
Bart
Dabir
Waghil
Syawal
11
Harf
Hifal
Hawagh
Zulkaidah
12
Na’s
Musbal
Burak
Zulhijah



(Azhari, pdf)


Pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab ra. (tahun 17 H) kalender Islam terbentuk dengan nama kalender Hijriah. Dengan berbagai usulan dan pendapat akhirnya rapat memutuskan dan memilih awal kalender Islam dimulai dari tahun hijrahnya nabi Muhammad dari Mekah ke Madinah, yang merupakan usulan dari Ali ra. Sejak saat itu, ditetapkan tahun hijrah nabi sebagai tahun satu, 1 Muharram 1 H bertepatan dengan 15 Juli 622 M. Dan tahun dikeluarkannya keputusan itu langsung ditetapkan sebagai tahun 17 H (hhtp://afdacairo.blogspot.com). Dengan demikian maka perhitungan tahun Hijriah itu diberlakukan mundur sebanyak tujuh belas tahun.



Fungsi Penanggalan
Acuan yang digunakan untuk menyusun penanggalan adalah siklus pergerakan dua benda langit yang sangat besar pengaruhnya pada kehidupan manusia di Bumi, yakni Bulan dan Matahari. Kalender yang disusun berdasarkan siklus sinodik Bulan dinamakan Kalender Bulan (Kamariah, Lunar). Kalender yang disusun berdasarkan siklus tropik Matahari dinamakan Kalender Matahari (Syamsiah, Solar). Sedangkan kalender yang disusun dengan mengacu kepada keduanya dinamakan Kalender Bulan-Matahari (Kamariah-Syamsiah, Luni-Solar) (http://www.nu.or.id).
Sistem penanggalan dan ukuran waktu ini dibutuhkan dalam kehidupan kita untuk mendata, mencatat; proses dokumentasi, merencanakan peristiwa dan kegiatan penting dalam kehidupan secara pribadi maupun sosial dalam arti yang lebih luas. Dalam pengertian yang praktis dan sederhana kita membutuhkan kalender untuk penentuan hari dan tanggal.[3] Adapun pada awalnya kalender merupakan sebuah tabel astronomi yang menggambarkan pergerakan Matahari dan Bulan untuk kepentingan ibadah dan bercocok tanam saja. Sehingga satuan tahun bukanlah hal yang penting. Tahun seringkali/diawali dengan peristiwa bersejarah ataupun pergantian kekuasaan (Setyanto, 2008: 40).
Pelaksanaan ibadah dalam Islam sebagian dikaitkan pada waktu atau tanggal tertentu. Seperti seputar penetapan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah. Tetapi sesungguhnya bukan hanya persoalan yang terkait dengan penetapan bulan-bulan itu saja yang ada di tengah-tengah masyarakat muslim. Tapi juga misalnya perhitungan haul yang terkait dengan kewajiban berzakat bagi mereka yang berada serta ibadah puasa-puasa sunnah yang dilaksanakan pada tanggal-tanggal tertentu.
Selain itu, fungsi lain dari kalender adalah merekonstruksi peristiwa atau sejarah di masa lampau. Banyak peristiwa yang terjadi sebelum dimulainya penanggalan Islam pada masa kekhalifahan Umar ibn Khattab yang dapat dihitung ulang,  seperti tentang kelahiran nabi Muhammad saw.  Alat uji atau mengecek ulang kebenaran perhitungan penanggalan tersebut adalah riwayat yang menggambarkan peristiwa tersebut.  Riwayat kronologis kehidupan Rasulullah menyatakan tentang hari atau musim merupakan alat uji terbaik dalam analisis konsistensi historis-astronomisnya. Urutan hari tidak pernah berubah dan berisifat universal. Pencocokan musim diketahui dengan melakukan konversi sistem kalender Hijriah ke sistem kalender Masehi. Program komputer sederhana konversi kalender Hijriah-Masehi dapat digunakan sebagai pendekatan awal yang praktis dalam merekonstruksi kronologi kejadian penting dalam kehidupan Rasulullah (T. Djamaluddin, http: //t-djamaluddin.space.live.com).
         Beragam informasi dijumpai di buku-buku tarikh tentang kejadian-kejadian itu. Haekal menyatakan tentang kelahiran Nabi Muhammad saw saja terdapat berbagai pendapat. Ada yang menyatakan lahir pada tanggal 2, 8, 9, atau 12. Bulannya pun beragam: Muharam, Safar, Rabiul awal, Rajab, atau Ramadan tahun Gajah, 15 tahun sebelum tahun Gajah, 30 tahun setelah tahun Gajah, atau bahkan 70 tahun setelah tahun Gajah. Namun kebanyakan pendapat menyatakan Rasulullah saw dilahirkan pada hari Senin 12 Rabiul awal tahun Gajah. Peristiwa itu terjadi 53 tahun sebelum hijrah (secara matematis-astronomis dapat dinyatakan sebagai tahun -53 H). Sehingga saat kelahiran nabi tersebut bertepatan dengan hari Senin 5 Mei 570 M (http: //t-djamaluddin.space.live.com).


Penanggalan Berdasarkan Hisab Urfi

Dalam sistem penetapan kalender Urfi yang berdasarkan pada perhitungan rata-rata dari peredaran Bulan mengelilingi Bumi. Perhitungan secara Urfi ini bersifat tetap, umur bulan itu tetap setiap bulannya. Bulan yang ganjil; gasal berumur tiga puluh hari sedangkan bulan yang genap berumur dua puluh sembilan hari. Dengan demikian bulan Ramadan sebagai bulan kesembilan (ganjil) selamanya akan berumur tiga puluh hari (Anwar: 8).
Biasanya untuk memudahkan dan kepentingan praktis perhitungan dalam pembuatan kalender Kamariah dibuat secara Urfi. Kalender Kamariah Urfi didasarkan pada peredaran bulan mengelilingi bumi dalam orbitnya dengan masa 29 hari, 12 jam, 44 menit, 2,8 detik  setiap satu bulannya. Rentang waktu tersebut adalah rentang waktu dari konjungsi (ijtimak) ke konjungsi berikutnya. Dengan perkataan lain, rentang waktu antara posisi titik pusat Matahari, Bulan, dan Bumi berada pada bidang kutub ekliptika yang sama. Rentang waktu itu disebut dengan satu bulan/month. Dengan demikian, perhitungan kalender Kamariah di mulai dari menghitung  awal bulan atau bulan baru/ new month (Fathurohman SW, 2006).
Kalender ini terdiri 12 bulan, dengan masa satu tahun 354 hari, 8 jam, 48 menit, 35 detik. Itu berarti lebih pendek hari, 21 jam (sekitar 11 hari) dibanding dengan kalender Masehi dalam setiap tiga puluh tahunnya.
Masa satu tahun sama dengan 354 hari, 8 jam, 48 menit, 35 detik yang kalau kita sederhanakan dapat dikatakan bahwa satu tahun itu sama dengan 354 11/30 hari.  Dalam siklus 30 tahun, akan terjadi 11 tahun Kabisah yang berumur 355 hari dan sebagai tambahan satu hari ditempatkan pada bulan Zulhijah (bulan Zulhijahnya berumur 30 hari). Sedangkan 19 tahun sisanya merupakan tahun Basitah yang berumur 354 hari. Dengan demikian jumlah hari dalam masa 30 tahun = 30 x 354 hari + 11 hari = 10631 hari, yang diistilahkan dengan satu daur (hhtp://afdacairo.blogspot.com). Sistem hisab ini tak ubahnya seperti Kalender Miladiah (Syamsiah), bilangan hari pada tiap-tiap bulan berjumlah tetap kecuali bulan tertentu pada tahun-tahun Kabisah tertentu jumlahnya lebih panjang satu hari.
Menurut Susiknan Azhari dan Ibnor Azli Ibrahim penanggalan berdasarkan hisab urfi memiliki karakteristik:
1.awal tahun pertama Hijriah (1 Muharam 1 H) bertepatan dengan hari Kamis tanggal 15 Juli 622 M;
2.satu periode (daur) membutuhkan waktu 30 tahun;
3.dalam satu periode/ 30 tahun terdapat 11 tahun panjang (kabisat) dan 19 tahun pendek (basitah). Untuk menentukan tahun kabisat dan basitah dalam satu periode biasanya digunakan syair:
كف الخليل كفه ديا نه * عن كل خل حبه فصانه
Tiap huruf yang bertitik menunjukkan tahun kabisat dan huruf yang tidak bertitik menunjukkan tahun basitah. Dengan demikian, tahun-tahun kabisat terletak pada tahun ke 2, 5, 7, 10, 13, 15, 18, 21, 24, 26, dan 29 [4];
4.penambahan satu hari pada tahun kabisat diletakkan pada bulan yang kedua belas/ Zulhijah;
5.bulan-bulan gasal umurnya ditetapkan 30 hari, sedangkan bulan-bulan genap umurnya 29 hari (kecuali pada tahun kabisat bulan terakhir/ Zulhijah ditambah satu hari menjadi genap 30 hari); 
6.panjang periode 30 tahun adalah 10.631 hari (355 x 11 + 354 x 19 = 10.631). Sementara itu, periode sinodis bulan rata-rata 29,5305888 hari selama 30 tahun adalah 10.631,01204 hari (29,5305888 hari x 12 x 30 = 10.631,01204) (Azhari dan Ibnor Azli Ibrahim: 136-137).
7.perhitungan berdasarkan hisab Urfi ini biasanya dijadikan sebagai ancar-ancar  sebelum melakukan perhitungan penanggalan ataupun perhitungan awal bulan berdasarkan hisab Hakiki. Bila tanpa melakukan perhitungan sebelumnya secara Urfi tentulah para ahli Falak tersebut akan mengalami kesulitan.


Kalender Hijriah yang menganut prinsip Lunar calendar yang terdiri 12 bulan. Bulan yang pertama adalah Muharam dan bulan terakhir adalah Zulhijah.  Hal ini didasarkan pada firman Allah:

Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram[5]. Itulah (ketetapan) agama yang lurus.  QS at-Taubah/9 ayat 36.

Nama-nama dan panjang bulan Hijriah dalam Hisab Urfi sebagai berikut:

No
Nama Bulan
Jumlah Hari
No
Nama Bulan
Jumlah Hari
1
Muharam
30 hari
7
Rajab
30 hari
2
Safar
29 hari
8
Syakban
29 hari
3
Rabiul Awal
30 hari
9
Ramadan
30 hari
4
Rabiul Akhir
29 hari
10
Syawal
29 hari
5
Jumadil Awal
30 hari
11
Zulkaidah
30 hari
6
Jumadil Akhir
29 hari
12
Zulhijah
29/30 hari


Penanggalan Hijriah yang Berdasarkan Hisab Urfi Tidak Bisa Dijadikan Landasan untuk Ibadah

Dalam sistem penetapan kalender Urfi didasarkan pada perhitungan rata-rata dari peredaran Bulan mengelilingi Bumi. Perhitungan secara Urfi ini bersifat tetap, umur bulan itu tetap setiap bulannya. Bulan yang ganjil/ gasal berumur tiga puluh hari sedangkan bulan yang genap berumur dua puluh sembilan hari. Dengan demikian bulan Ramadan sebagai bulan kesembilan (ganjil) selamanya akan berumur tiga puluh hari. Pada tahun Kabisah, bulan Zulhijah yang merupakan bulan terakhir; bulan ke-12 ditambahkan satu hari.
Dalam penetapan awal bulan yang mengemuka di Indonesia, dalam hal ini penetapan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah kadang terdapat perbedaan antara penanggalan berdasarkan perhitungan secara Urfi dengan hasil putusan pemerintah dalam sidang Isbatnya. Patokan pemerintah dalam penetapan sidang Isbat adalah posisi hilal yang sebenarnya sebagai pertanda masuknya awal bulan berdasarkan perhitungan visibilitas hilal; imkanur rukyah yang dikuatkan dengan hasil rukyatul hilal.
Berdasarkan hisab Hakiki, ketentuan masuknya awal bulan itu tergantung posisi hilal. Apabila menurut hasil perhitungan hisab pada tanggal 29 bulan yang sedang berlangsung, ketinggian hilal memungkinkan untuk dirukyah (imkanur rukyah)—dalam hal ini pemeritah kita  mengikuti kriteria yang disepakati MABIMS (Mentri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura), yakni ketinggian hilal minimal 2˚, elongasi minimal 3˚, dan umur hilal minimal 8 jam; maka itu pertanda masuknya awal bulan berikutnya. Esok hari adalah tanggal satu bulan yang baru. Namun apabila belum memenuhi kriteria tersebut, maka besok harinya merupakan hari terakhir (tanggal 30)  dari bulan yang sedang berjalan.
Dengan demikian ketentuan tentang umur suatu bulan sangat bergantung pada visibilitas hilal awal bulan tersebut. Kenyataannya umur bulan itu tidak mesti berselang-seling antara 30 dan 29 hari untuk bulan ganjil dan genap. Bisa saja umurnya justru sebaliknya 29 dan 30 hari. Bisa juga umur bulan itu berturut-turut 29 atau berturut-turut 30 hari.  
Itulah logikanya yang kadang menjadikan perhitungan yang berdasarkan hisab Urfi ini terkadang berbeda dengan kenyataan; yang didasarkan pada perhitungan yang berdasarkan hisab Hakiki. Misalnya untuk perhitungan tanggal 1 Syawal, berdasarkan hisab Urfi Ramadan itu selalu berumur 30 hari (karena merupakan bulan ganjil—bulan ke-9). Pada hal bisa jadi kenyataannya berdasarkan hisab Hakiki, umur Ramadan itu 29 hari. Sehingga mereka yang merayakan Idul Fitri berdasarkan hisab Urfi terlambat satu hari dari ketetapan pemerintah. Atau kejadiannya  adalah kebalikan peristiwa di atas, misalnya dalam penetapan tanggal 1 Ramadan. Berdasarkan hisab Urfi Syakban itu selalu berumur 29 hari (karena merupakan bulan genap—bulan ke-8). Bisa jadi kenyataannya dan berdasarkan hisab Hakiki umur Syakban pada waktu itu 30 hari. Sehingga mereka yang perhitungannya berdasarkan hisab Urfi melaksanakan ibadah puasa Ramadan sehari mendahului ketetapan pemerintah.
Patut dicatat hisab Urfi sudah digunakan di seluruh dunia Islam termasuk di Indonesia dalam masa yang sangat panjang. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan terbukti bahwa sistem hisab ini kurang akurat digunakan untuk keperluan penentuan waktu ibadah. Penyebabnya karena perata-rataan peredaran Bulan tidaklah tepat sesuai dengan penampakan hilal (newmoon) pada awal bulan (Azhari dan Ibnor Azli Ibrahim, 2008: 137). Sehingga perhitungan secara Urfi ini disepakati oleh para ulama tidak dapat dijadikan sebagai pedoman untuk pelaksanaan ibadah (Anwar: 8).

                                                                                   
Takwim Berdasarkan Hisab Urfi: Alternatif Dalam Wacana Unifikasi Penanggalan Dalam Islam

Unifikasi kalender Hijriah Internasional digagas pertama kali oleh Mohammad Ilyas (ahli ilmu Falak berkebangsaan Malaysia). Sejak digulirkan telah banyak wacana yang berkembang seputar hal ini, antara lain pembagian penanggalan berdasarkan pembagian wilayah atau zona tertentu, penentuan tentang perhitungan permulaan hari, garis tanggal, penentuan tentang dasar acuan penanggalannya, pihak yang punya otoritas yang mengambil kebijakan jika terjadipermasalahan, dan persoalan-persoalan lainnya.
Pada kesempatan kali ini kita tidak akan membahas unifikasi kalender Hijriah ini lebih jauh. Tapi akan disinggung salah satu aspek dalam penentuan kalender Hijriah Internasional tersebut yakni tentang penentuan dasar acuan penanggalannya.
Di antara alternatif yang ditawarkan para ahli Astronomi dan ilmu Falak dalam penentuan dasar acuan penanggalannya berlandaskan penanggalan bulan Kamariah yang berdasarkan hisab Urfi.
KH Slamet Hambali (2008) adalah anggota Lajnah Falakiah Nahdatul Ulama di antara ahli Falak yang mendukung pendapat di atas. Menurutnya penanggalan berdasarkan pada kalender hisab Urfi bersifat tetap dan tidak berubah-ubah sehingga akan memudahkan. Umur bulan dalam penanggalan berdasarkan hisab Urfi bersifat tetap sama dengan penanggalan Syamsiah/ Masehi.
Penanggalan Hijriah Internasional dengan menggunakan hisab Urfi sebagai acuan penanggalannya menyisakan beberapa persoalan, antara lain: perhitungan berdasarkan hisab Urfi ini disepakati oleh Ulama tidak bisa dijadikan panduan dalam melaksanakan ibadah. Karena penanggalan tersebut tidak bisa dijadikan panduan dalam melaksanakan ibadah, maka penggunaannya dibatasi untuk keperluan administrasi kenegaraan dan sosial saja.
Untuk keperluan penentuan pelaksanaan ibadah diperlukan penanggalan tersendiri yang berbeda. Pada hal tujuan utama dari univikasi kalender Hijriah Internasional adalah mengatukan umat Islam dalam satu penanggalan yang terpadu dan kesatuan dalam pelaksanaan ibadah. Maka dualisme ini selain akan membingungkan masyarakat juga dianggap kurang efektif dan efisien.  

Penutup

Penanggalan Hijriah; penanggalan Islam adalah pedoman bagi seluruh masyarakat Islam dalam pelaksanaan kegiatan ibadah mereka. Kalender yang berdasrkan hisab hakikilah yang dapat dijadikan pedoman untuk hal tersebut. Karena kalender hisab hakiki didasarkan pada peredaran ril bulan (qamar).
Adapun penanggalan yang didasarkan pada hisab Urfi; penanggalan  yang berdasarkan pada perhitungan rata-rata dari peredaran Bulan mengelilingi Bumi. Perhitungan secara Urfi ini bersifat tetap, umur bulan itu tetap setiap bulannya. Bulan yang ganjil; gasal berumur tiga puluh hari sedangkan bulan yang genap berumur dua puluh sembilan hari. Pada hal dalam kenyataannya tidaklah tepat sesuai selalu seperti itu, dengan penampakan hilal (newmoon) pada awal bulan. Sehingga perhitungan secara Urfi ini disepakati oleh para ulama tidak dapat dijadikan sebagai pedoman untuk pelaksanaan ibadah.  Wa Allah a’lamu bi ash-shawab.

Daftar Pustaka

Ahmad SS, Noor, (Tanpa Judul), Makalah pada Musyawarah Kriteria Imkanur Rukyah di Indonesia, Bogor: 24-26 Maret 1998.


____________,  Hisab dan Kedudukannya dalam Ibadah Muaqat, Makalah pada Lokakarya Imsakiyah Ramadhan 1422H/2001M se Jawa Tengah dan daerah Istimewa Yogyakarta. Semarang: PPM IAIN Wali Songo, 2001.

Anwar,  Syamsul, Almanak Berdasarkan Hisab Urfi Kurang Sejalan Dengan Sunnah Nabi saw: Surat Terbuka Untuk Pak Darmis, Almanak_Hijriah.pdf – Adobe Reader

Azhari, Susiknan, Ilmu Falak Teori dan Praktek, Yogyakarta: Lazuari, Cet.ke-1, 2001.

____________, Hisab Hakiki Model Muhammad Wardan: Penelusuran Awal dalam Depag RI, Hisab Rukyat dan Perbedaannya, Jakarta: Depag RI, 2004.

____________, Hisab dan Rukyat Wacana untuk Membangun Kebersamaan di tengah Perbedaan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. Ke-1, 2007.

____________,  Ilmu Falak Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, Cet. Ke-2, 2007.

____________,  Ensiklopedi Hidab Rukyat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet.ke-2, 2008.

____________ dan Ibnor Azli Ibrahim, Kalender Jawa Islam: Memadukan Tradisi dan Tuntutan Syar'i dalam Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 42 No. I, 2008. 07-susiknan.pdf –Adobe Reader
                         
Depag RI, Almanak Hisab Rukyat, Jakarta: Depag RI, 1981.

____________,  Hisab Rukyat dan Perbedaannya, Jakarta: Depag RI, 2004.

____________,  Al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung: Gema Risalah Press,  1992.

___________, Pedoman Penghitungan Awal Bulan Qamariyah, Jakarta: Depag RI, 1994/1995.

Djambek, Sa’adoeddin, Hisab Awal Bulan, Jakarta: Tinta Mas,  1976.

Fathurohman SW, Oman, Kalender Muhammadiyah Konsep dan Implementasinya, Power point makalah disampaikan pada Musyawarah Ahli Hisab Muhammadiyah, Yogyakarta,  29-30 Juli 2006.

___________, Saadoeddin Djambek dan Hisab Awal Bulannya dalam Depag RI, Hisab Rukyat dan Perbedaannya, Jakarta: Depag RI, 2004.

Izzuddin, Ahmad, Ilmu Falak Praktis (Metode Hisab Rukyat Praktis dan Solusi Permasalahannya), Semarang: Komala Grafika,  2006.

___________, Problematika Hisab Rukyat di Indonesia, Makalah pada Orientasi Hisab Rukyat se-Jawa Tengah, Semarang 28-30 November 2008.

___________,  Melacak Pemikiran Hisab Rukyah Tradisional (Studi atas Pemikiran Muhammad Mas Manshur al-Batawi), Puslit IAIN Wali Songo, 2004.

Hambali, Slamet, Orasi Ilmiah dalam Seminar Nasional tanggal 7 November 2009, Semarang: PPM IAIN Wali Songo, 2008.

Khazin, Muhyiddin, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Buana Pustaka, Cet.ke-3,  2008.

Kontribusi Ulama Betawi Terhadap Ilmu Falak, hhtp://islamic-center.or.id.

Murtadho, Moh, Ilmu Falak Praktis, Malang: UIN Malang Press, 2008, cet.ke1.

Rachim, Abdur,  Ilmu Falak, Yogyakarta: Liberty, 1983, Cet.ke-1.

Saksono, Toto, Mengkompromikan Rukyat & Hisab, Jakarta: Amythas Publicita bekerja sama dengan Center for Islamic Studies, 2007.

Setyanto, Hendro, Membaca Langit, Jakarta: al-Ghuraba, 2008, Cet.ke-1.

Shadiq, Sriyatin, Makalah Simulasi dan Metode Rukyatul Hilal, Pelatihan Hisab Rukyah Tingkat Nasional, Ponpes Setinggil, Kriyan Kalinyamatan Jepara pada tanggal 26-29 Desember 2008M/ 28 Dulhijjah- 1 Muharram 1430H.
 
Taqwim Hijriyah,  hhtp://afdacairo.blogspot.com.

T. Djamaluddin,  Rekonstruksi Kejadian Zaman Nabi Berdasarkan Hisab Konsistensi Historis-Astronomis Kalender Hijriyah, http: //t-djamaluddin.space.live.com

____________, Redefinisi Hilal menuju Titik Temu Kalender Hijriyyah, http://t-djamaluddin.space.live.com.


Wawancara dengan KH Noor Ahmad SS, 28 Desember 2008.





[1] Jayusman, Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung, http://jayusmanfalak.blogspot.com  email: jay_falak@yahoo.co.id
[2] Selengkapnya baca Ali Hasan Musa. At-Tauqit wa at-Taqawim, cet. II (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), hlm. 186.

                [3] Kalender adalah sistem pengorganisasian satuan-satuan waktu dengan tujuan untuk penandaan serta perhitungan waktu dalam jangka panjang. Susiknan Azhari, Ensiklopedi Hidab Rukyat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008) Cet.ke-2, hlm. 115. Oman Fathurohman SW mendefinikannya sebagai sejumlah sistem untuk menata hari-hari secara teratur. Kalender merupakan koleksi kaidah atau peraturan yang dijadikan dasar untuk menyusun kronologis waktu secara tepat. Dalam kehidupan sehari-hari, kalender digunakan dalam pengertian penanggalan. Kalender dalam arti penanggalan, di samping memuat pengelompokkan hari ke dalam minggu, bulan, dan tahun, juga kadang memuat informasi lain seperti hari-hari libur, hari-hari atau tanggal-tanggal bersejarah, jadwal waktu shalat, dan sebagainya. Oman Fathurohman SW, makalah Kalender Muhammadiyah Konsep dan Implementasinya,  disampaikan dalam Musyawarah Ahli Hisab Muhammadiyah di Yogyakarta, 29-30 Juli 2006.

[4]   Cara menentukan suatu tahun itu termasuk tahun Kabisah atau basitah adalah dengan membagi tahun tersebut dengan angka 30. Jika sisanya termasuk deretan angka-angka pada syair di atas maka tahun tersebut termasuk tahun Kabisah, jika tidak maka termasuk tahun Basitah. Sebagai contoh tahun 1430 H, 1430: 30= 47 daur sisa 20. Bilangan 20 tidak termasuk tahun Kabisah, maka tahun 1430 H adalah tahun Basitah. Contoh yang lain adalah tahun 1431 daur sisa 21. Bilangan 21 termasuk tahun Kabisah. Sa’aduddin Djambek agak berbeda dalam penentuan tahun Kabisah ini, ia memasukkan tahun ke 16 sebagai tahun Kabisah dan tidak tahun yang ke 15.

[5] maksudnya antara lain ialah: bulan Haram (bulan Zulkaidah, Zulhijah, Muharam, dan Rajab), tanah Haram (Mekah) dan ihram.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar