Senin, 19 Oktober 2009

Takwim Hijriah Menurut Kitab Nur al-Anwar: Sistem Penanggalan Islam Berdasarkan Hisab Hakiki bi at-Tahqiqi

Takwim Hijriah Menurut Kitab Nur al-Anwar:
Sistem Penanggalan Islam Berdasarkan Hisab Hakiki bi at-Tahqiqi









Abstrak
Konsep kitab Nur al-Anwar tentang penanggalan Islam, dapat kita telusuri melalui rumusannya tentang penentuan permulaan hari, umur bulan Kamariah setiap bulannya, hilal, serta penetapan awal bulan. Permulaan hari di mulai dari terbenamnya Matahari. Sebagai kitab yang berdasarkan perhitungan Hakiki bi at-Tahqiqi; jumlah hari setiap bulannya tidak bersifat tetap atau konstan tetapi tergantung posisi hilal yang sebenarnya pada akhir suatu bulan itu. Dalam penentuan awal bulan, kitab Nur al-Anwar hanya sebagai alat atau metode perhitungan. Ia tidak menetapkan telah masuk atau belumnya new month. Setelah dilakukan perhitungan oleh hasib, selanjutnya hasiblah yang menentukan tentu saja berdasarkan kriteria yang diyakininya.

Key word: Takwim, Penanggalan Islam, KH Noor Ahmad SS, Nur al-Anwar



Pendahuluan
Selama ini sering mengemuka permasalahan seputar penetapan awal dan akhir Ramadan dan awal Zulhijah. Tetapi sesungguhnya bukan hanya persoalan yang terkait dengan penetapan bulan-bulan itu saja yang ada di tengah-tengah masyarakat muslim. Tapi juga misalnya perhitungan haul yang terkait dengan kewajiban berzakat bagi mereka yang berada serta ibadah puasa-puasa sunnah yang dilaksanakan pada tanggal-tanggal tertentu. “Kejelasan” tentang penentuan waktu-waktu tersebut sangat penting artinya dalam kemantapan; keyakinan serta menghapuskan keragu-raguan apa lagi dalam hal pelaksanaan ibadah mahdhah.
Makalah ini akan membahas lebih lanjut tentang penetapan kalender Islam atau Hijriah menurut kitab Nur al-Anwar[1]. Sebagai magnum opusnya KH Noor Ahmad SS, kitab Nur al-Anwar tidak membahas secara mendetail dan sistematis persoalan kalender Islam ini.
Selain menelaah kitab Nur al-Anwar, penulis mencoba menelusuri pemikiran KH Noor Ahmad SS tentang kalender Islam lebih lanjut pada lembaran kertas kerja perhitungan awal bulan yang dilakukannya dan juga dari makalah-makalah yang ditulisnya. Dalam penelusuran ini akan dilihat lebih lanjut tentang rumusannya tentang penentuan permulaan hari, umur bulan Kamariah setiap bulannya, hilal ,serta penetapan awal bulan.

Penanggalan Hijriah
Sistem penanggalan dan ukuran waktu dibutuhkan dalam kehidupan kita untuk mendata, mencatat; proses dokumentasi dan merencanakan peristiwa dan kegiatan penting dalam kehidupan secara pribadi maupun sosial dalam arti yang lebih luas. Dalam pengertian yang praktis dan sederhana kita membutuhkan kalender untuk penentuan hari dan tanggal.[2] Adapun pada awalnya kalender merupakan sebuah tabel astronomi yang menggambarkan pergerakan matahari dan bulan untuk kepentingan ibadah dan bercocok tanam saja. Sehingga satuan tahun bukanlah hal yang penting. Tahun seringkali/diawali dengan peristiwa bersejarah ataupun pergantian kekuasaan.[3]
Sistem kalender Islam; kalender hijriah yang dapat dijadikan acuan dalam hal ibadah adalah kalender yang berdasarkan perhitungan atau hisab hakiki. Hisab hakiki adalah sistem hisab yang didasarkan pada peredaran bulan dan bumi yang sebenarnya. Menurut sistem ini umur bulan tidaklah konstan (tetap) dan tidak pula tidak beraturan, tapi bergantung posisi hilal setiap awal bulan. Boleh jadi umur bulan itu berselang seling antara dua puluh sembilan dan tiga puluh hari. Atau bisa jadi umur bulan itu berturut-turut dua puluh sembilan atau berturut-turut tiga puluh hari. Semua ini bergantung pada peredaran bulan dan bumi yang sebenarnya; posisi hilal pada awal bulan tersebut. [4]
Kalender hijriah dikategorikan sebagai sistem penanggalan astronomical calendar, karena didasarkan pada realitas fenomena astronomi yang terjadi. Hal ini berbeda dengan kalender masehi yang hanya didasarkan pada aturan numerik (rata-rata perhitungan fenomena astronominya), sehingga disebut juga dengan aritmathical calendar. [5]
Dalam kalender hijriah, sebuah hari/tanggal dimulai ketika terbenamnya matahari setiap harinya. Penentuan awal bulan; bulan baru ditandai dengan munculnya hilal di ufuk Barat waktu Magrib setelah terjadinya konjungsi atau ijtimak. Ini berdasarkan firman Allah:
Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji… QS al-Baqarah/ 2 ayat 189
Penanggalan hijriah yang berdasarkan atas astronomical fenomena ini tidak mengenal tahun kabisat. Inilah penanggalan atau kalender hijriah yang didasarkan pada perhitungan/ hisab hakiki, yang dapat dijadikan panduan dalam menjalankan ibadah dalam Islam. Dan ini dibedakan dengan kalender yang didasarkan pada perhitungan/ hisab urfi.
Biasanya untuk memudahkan dan kepentingan praktis perhitungan dalam pembuatan kalender Kamariah secara urfi (bukan secara hakiki) yang didasarkan pada peredaran bulan mengelilingi bumi dalam orbitnya dengan masa 29 hari, 12 jam, 44 menit, 2,8 detik setiap satu bulannya. Kalender ini terdiri 12 bulan, dengan masa satu tahun 354 hari, 8 jam, 48 menit, 35 detik. Itu berarti lebih pendek 10 hari, 21 jam (sekitar 11 hari) dibanding dengan kalender Masehi dalam setiap tahunnya. Masa satu tahun sama dengan 354 hari, 8 jam, 48 menit, 35 detik yang kalau kita sederhanakan dapat dikatakan bahwa satu tahun itu sama dengan 354 11/30 hari. Dalam siklus 30 tahun, akan terjadi 11 tahun Kabisah yang berumur 355 hari dan sebagai tambahan satu hari ditempatkan pada bulan Zulhijah (bulan Zulhijahnya berumur 30 hari). Sedangkan 19 tahun sisanya merupakan tahun Basithah yang berumur 354 hari. Dengan demikian jumlah hari dalam masa 30 tahun = 30 x 354 hari + 11 hari = 10631 hari, yang diistilahkan dengan satu daur. [6]
Di masa pra Islam, belum dikenal penomoran tahun sebagaimana yang dikenal dan dapati pada masa sekarang. Sebuah tahun ditandai dengan nama peristiwa yang terjadi, seperti tahun Fil/Gajah (tahun lahirnya nabi Muhammad) karena pada waktu itu, terjadi penyerbuan Ka’bah oleh pasukan bergajah yang dipimpin raja Abrahah yang berasal dari Yaman Selatan, sebagaimana diabadikan dalam QS. al-Fil/105. Setelah datangnya Islam, dinamakanlah tahun wafatnya Siti Khadijah dan paman nabi; Abu Thalib dengan tahun Huzn (tahun penuh duka cita), tahun pertama hijrahnya Nabi sebagai tahun Idzn/Izin yaitu tahun diizinkannya untuk berhijrah. Tahun kedua disebut tahun Amr/perintah yaitu tahun diperintahkannya untuk berperang, tahun kesepuluh disebut tahun Wada' (haji Wada'/Perpisahan). Penamaan suatu tahun itu terkait dengan peristiwa monumental yang terjadi pada tahun tersebut sehingga melalui peristiwa penting itu namanya diabadikan.[7]
Terhadap penamaan bulan, bangsa Arab telah mengenal dan menetapkan nama-nama bulan seperti yang kita dapati hingga saat ini yang juga selalu dikaitkan dengan fenomena alam, yaitu: Muharam, Safar, Rabiul awal, Rabiul akhir, Jumadil awal, Jumadil akhir, Rajab, Syakban, Ramadan, Syawal, Zulkaidah, dan Zulhijah. [8]
Pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab ra. (tahun 17 H) kalender Islam terbentuk dengan nama kalender hijriah. Dengan berbagai usulan dan pendapat akhirnya rapat memutuskan dan memilih awal kalender Islam dimulai dari tahun hijrahnya nabi Muhammad dari Mekah ke Madinah, yang merupakan usulan dari Ali ra. Sejak saat itu, ditetapkan tahun hijrah nabi sebagai tahun satu, 1 Muharram 1 H bertepatan dengan 16 Juli 622 M. Dan tahun dikeluarkannya keputusan itu langsung ditetapkan sebagai tahun 17 H. [9] Dengan demikian maka perhitungan tahun Hijriah itu diberlakukan mundur sebanyak tujuh belas tahun.
Karakteristik Kalender Hijriah adalah kalender berdasarkan peredaran bulan (qamar) atau disebut juga dengan Lunar calendar yang terdiri 12 bulan. Bulan yang pertama adalah Muharam dan bulan terakhir adalah Zulhijah. Hal ini didasarkan pada firman Allah:
Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram[10]. Itulah (ketetapan) agama yang lurus. QS at-Taubah/9 ayat 36.
Selain untuk keperluan ibadah, fungsi lain dari kalender adalah merekonstruksi peristiwa atau sejarah di masa lampau. Banyak peristiwa yang terjadi sebelum dimulainya penanggalan Islam pada masa kekhalifahan Umar ibn Khattab yang dapat dihitung ulang, seperti tentang kelahiran nabi Muhammad saw. Alat uji atau mengecek ulang kebenaran perhitungan penanggalan tersebut adalah riwayat yang menggambarkan peristiwa tersebut. Riwayat kronologis kehidupan Rasulullah menyatakan tentang hari atau musim merupakan alat uji terbaik dalam analisis konsistensi historis-astronomisnya. Urutan hari tidak pernah berubah dan berisifat universal. Pencocokan musim diketahui dengan melakukan konversi sistem kalender hijriah ke sistem kalender masehi. Program komputer sederhana konversi kalender hijriah-masehi dapat digunakan sebagai pendekatan awal yang praktis dalam merekonstruksi kronologi kejadian penting dalam kehidupan Rasulullah.[11]
Beragam informasi dijumpai di buku-buku tarikh tentang kejadian-kejadian itu. Haekal menyatakan tentang kelahiran Nabi Muhammad saw saja terdapat berbagai pendapat. Ada yang menyatakan lahir pada tanggal 2, 8, 9, atau 12. Bulannya pun beragam: Muharam, Safar, Rabiul awal, Rajab, atau Ramadan tahun Gajah, 15 tahun sebelum tahun Gajah, 30 tahun setelah tahun Gajah, atau bahkan 70 tahun setelah tahun Gajah. Namun kebanyakan pendapat menyatakan Rasulullah saw dilahirkan pada hari Senin 12 Rabiul awal tahun Gajah. Peristiwa itu terjadi 53 tahun sebelum hijrah (secara matematis-astronomis dapat dinyatakan sebagai tahun -53 H). Sehingga saat kelahiran nabi tersebut bertepatan dengan hari Senin 5 Mei 570 M.[12]

Sekilas tentang Kitab Nur al-Anwar
  1. Biografi Intelektual KH Noor Ahmad SS
KH Noor Ahmad SS lahir di Jepara pada hari kamis Kliwon 14 Desember 1932 M/ 19 Rajab 1351 H. Ia adalah satu di antara ulama ahli ilmu Falak yang disegani di Indonesia yang masih hidup hingga saat ini. Pendidikan pesantren yang pernah ditempuh antara lain di Tebu Ireng Jombang, Langitan Babat Lamongan, dan Lasem. [13]
Guru-gurunya adalah KH Rif’an Kudus, KH Turaichan Adjhuri (Menara Kudus), KH Abdul Jalil (guru dari KH Turaikhan Adjhuri), KH Zubaer Umar al-Jailani (pengarang kitab al-Khulashah al-Wafiyah), H. Abdur Rachim (Murid Sa’adoeddin Djambek), dan KH Misbahul Munir Magelang.[14]
Menurut penulis pengertian guru di sini adalah tidak semata-mata guru dengan pengertian belajar secara langsung atau formal kepada yang bersangkutan. Namun dapat juga berarti berguru secara “tidak langsung”, sebagai teman berdiskusi dalam masalah ilmu Falak atau bahkan sebagai suatu penghormatan kepada seseorang yang diakui ketinggian dan kedalaman ilmunya dengan menganggapnya sebagai guru. Misalnya ada pendapat yang menyatakan KH Noor Ahmad SS berguru kepada H. Abdur Rachim, pada hal menurut penuturannya, ia pernah bertemu dengan H. Abdur Rachim dan sempat berbincang-bincang dengannya.[15] Namun tidak ada pernyataan pernah berguru kepadanya.
Sebagai seorang ahli ilmu Falak yang mumpuni, ia mentransfer ilmunya melalui pelajaran tentang ilmu Falak di pondok pesantren Setinggil, Jepara. Di samping itu, di usianya yang sudah senja, ia masih tetap aktif dalam seminar dan lokakarya ilmu Falak baik pada tingkat lokal dan nasional. Ia adalah “contoh hidup” sebagai seorang yang mendarmabaktikan sepanjang hidupnya untuk pengembangan ilmu Falak.
Di antara bentuk pengakuan atas ketinggian ilmunya di bidang ilmu Falak, ia tercatat sebagai anggota Badan Hisab Rukyah (BHR) Departemen Agama RI dan Penasehat Lajnah Falakiyah PBNU. [16]
  1. Karya-Karyanya
Kitab-kitab ilmu Falak yang pernah ditulis adalah: Taufiq ar-Rahman, Syawariq al-Anwar, Syams al-Hilal, dan Nur al-Anwar. Kitab yang terakhir inilah yang merupakan masterpiece pemikiran ilmu Falaknya. Kitab ini banyak digunakan oleh kalangan pesantren di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dan merupakan salah satu sistem perhitungan ilmu Falak yang dijadikan rujukan Depag RI dalam sidang Muker BHR dan penetapan; itsbat awal dan akhir Ramadan dan awal bulan Zulhijah. Dalam kitab-kitab yang dikarangnya, ia menggunakan nama Abu Sayf al-Mujab Noor Ahmad ibn Shiddiq ibn Saryani. [17] Selain itu ia juga menulis artikel atau tulisan yang dipresentasikan pada seminar atau pertemuan yang pernah diikutinya seperti: Cara Rukyat yang Akurat, Efektifitas Rukyatul Hilal dengan Hisab Hakiki Taqribi, Sistem Hisab Nur al-Anwar dan Fath Ra’uf al-Mannan, Hisab dan Kedudukannya dalam Ibadah Muaqqat, dan Upaya Menyatukan Visi Terhadap Peristiwa Bersejarah Menurut Hisab Nur al-Anwar.
Ia merupakan ahli ilmu Falak yang mempelopori perubahan sistem buruj sebagai basis perhitungan Falak para ulama tradisional Indonesia kepada sistem derajat.[18] Perubahan kecil ini membuat suatu loncatan besar dalam pembelajaran ilmu Falak yang berbasis kitab-kitab ilmu Falak karangan para ulama tradisional sehingga menjadi lebih mudah dalam proses perhitungannya dan lebih sesuai dengan model perhitungan ilmu Falak yang berbasis ilmu Astronomi modern.
  1. Kitab Nur al-Anwar
Kitab Nur al-Anwar selesai disusun pada tanggal 10 Rabiul akhir 1407 H bertepatan dengan 12 Desember 1986 dan diterbitkan oleh penerbit Madrasah Tasywiq ath-Thullab Salafiyah (TBS), Kudus. Ia merupakan hasil pengembaraan intelektual KH Noor Ahmad SS. Karya-karya sebelumnya (Taufiq ar-Rahman, Syawariq al-Anwar, dan Syams al-Hilal) berbasiskan perhitungan atau hisab Hakiki
Taqribi. [19] Sesuai dengan perkembangan pengetahuan dalam ilmu Falak akibat persentuhannya dengan ilmu pengetahuan modern, maka ilmu Falakpun menapaki perhitungan atau hisab berbasiskan hakiki bi at-tahqiqi. Ia pun kemudian mereformulasi ulang pemikirannya dalam ilmu Falak sehingga melahirkan kitab Nur al-Anwar.
Menurut M. Taufik bahwa Falak yang ditulis oleh ulama Falak nusantara yang berbasiskan hisab hakiki bi at-tahqiq ini diduga merupakan cangkokan dari kitab al-Mathla’ as-Sa’id fi Hisbah al-Kawakib ‘Ala Rasd al-Jadid yang merupakan karya ulama Mesir, Zaid Nafi’. Seperti kitab al-Khulashah al-Wafiyah karya Zubair Umar al-Jailani, Hisab Hakiki karya K Wardan Dipo Ningrat, Badi’ah al-Mitsal karya Ma’shum Jombang, dan Almanak Menara Kudus karya Turaican Adjhuri.[20]
Kitab-kitab ilmu Falak karya para ulama Indonesia pada priode selanjutnya, selain menjadikan al-Mathla’ as-Sa’id fi Hisbah al-Kawakib ‘Ala Rasd al-Jadid sebagai rujukan utamanya juga merujuk karya ulama Indonesia sebelum mereka (yang telah mempelajari dan mencangkok kitab al-Mathla’ as-Sa’id fi Hisbah al-Kawakib ‘Ala Rasd al-Jadid)--yang merupakan guru mereka sendiri di antaranya adalah kitab Nur al-Anwar.
Kitab ini terdiri dari dua jilid; Risalah al-Falak Nur al-Anwar dan Jadwal al-Falak Nur al-Anwar. Adapun judul lengkapnya adalah Risalah al-Falak Nur al-Anwar min Muntaha al-Aqwal fi Ma’rifah Hisab as-Sinin wa al-Hilal wa al-Ijtima’ wa al-Kusuf wa al-Khusuf ’ala al-Haqiqi bi at-Tahqiqi bi ar-Rashd al-Jadid dan Jadwal al-Falak Nur al-Anwar min Muntaha al-Aqwal fi Ma’rifah Hisab as-Sinin wa al-Hilal wa al-Ijtima’ wa al-Kusuf wa al-Khusuf ’ala al-Haqiqi bi at-Tahqiqi bi ar-Rashd al-Jadid. Dari judul kedua jilid kitab tersebut diketahui bahwasanya kitab Nur al-Anwar dapat digunakan untuk perhitungan awal bulan, gerhana Bulan dan gerhana Matahari.
Kitab Jadwal al-Falak Nur al-Anwar berisikan:
1. Data tahun hijriah 149 tahun sebelum hijriah s/d 3000 H
2. Data tahun Majmu’ah (pertiga puluh tahuan), yakni 1320 H- 1710 H.
3. Data tahun Mabsuthah atau pertahun (1 s/d 30 tahun)
4. Data astronomis Setiap hari (1 s/d 30 hari)
5. Data astronomis Setiap jam (1 s/d 24 jam)
6. Data astronomis Setiap menit (1 s/d 60 menit)
7. Data koreksian-koreksian (penta’dilan) seputar Matahari dan Bulan
8. Data tentang kemungkinan terjadinya gerhana Matahari dan Bulan
9. Data hisab urfi tentang perhitungan hari dan pasaran
10. Data waktu salat
11. Data bujur dan lintang tempat dan panduan tentang arah kiblatnya


Adapun Kitab Risalah al-Falak Nur al-Anwar berisikan contoh-contoh beserta langkah-langkah perhitungannya tentang hisab awal bulan Kamariah, gerhana Bulan, gerhana Matahari, perhitungan waktu salat lima waktu dan arah kiblat. Dalam kitab ini dicontohkan perhitungan hari-hari penting dalam catatan sejarah umat Islam seperti kelahiran nabi Muhammad, hijrah, haji Wada’, dan wafatnya.
KH Noor Ahmad SS menyebutkan bahwa hisab Nur al-Anwar adalah hisab Qath’i yang disebut juga Hisab hakiki bi at-tahqiq. Sistem perhitungannya dapat dibantu dengan perangkat pendukung modern sesuai dengan kemajuan IPTEK. Hasilnya akurat sesuai dengan perhitungan nautika. Dalam proses perhitungannya didukung oleh data tahun, bulan hari, jam, menit, detik, garis lintang, garis bujur dan lain-lainnya sehingga hasil hisab ini dapat dibuat grafik posisi Matahari dan Bulan secara tepat kapan saja dan di mana saja. Hisab ini praktis digunakan dalam kegiatan rukyatul hilal.[21]
Bahkan sekarang telah dibuat oleh salah seorang anak dari KH Noor Ahmad SS software Nur al-Anwar. Dengan demikian proses perhitungan dengan software ini akan semakin mudah karena usernya hanya tinggal memasukkan data-data yang diminta, maka hasil perhitungannya dengan segera dapat diperoleh.
Keterangan KH Noor Ahmad SS (2000: 3) tentang kitab Nur al-Anwar:
1. Data perhitungan dalam kitab Nur al-Anwar menggunakan data hisab Kamariah. Hasil perhitungannya digunakan sebagai dasar pelaksanaan ibadah.
2. Tabel yang digunakan diambil dari kitab Badi’ah al-Mitsal, Khulashah al­-Wafiyah, Hisab Haqiqi, Mathla’ as-Sa’id, dan Bulugh al-Wathar.
3. Hasil perhitungan awal bulan merupakan “jalan tengah” dari kitab Badi’ah al-Mitsal dan Khulashah al­-Wafiyah.
4. Perhitungan Gerhana Bulan hasilnya sangat mendekati kitab Mathla’ as-Sa’id.
5. Perhitungan Gerhana Matahari hampir mendekati dengan kenyataan.[22]


Kitab Nur al-Anwar menggunakan markaz Jepara 6° 36´ LS (‘urdh al-balad) dan 110° 40´ BT (thul al-balad). Apabila ingin melakukan perhitungan untuk kota-kota lainnya selain Jepara maka harus dilakukan koreksi data terlebih dahulu senilai selisih waktu antara Jepara dengan kota yang akan dilakukan perhitungannya tersebut. Koreksian untuk daerah di sebelah Barat Jepara ditambahkan sedang untuk daerah di sebelah Timurnya dikurangkan.[23]
Dalam penetapan waktu yang digunakan, kitab Nur al-Anwar menggunakan perhitungan jam Zawaliyah (perhitungan waktunya dimulai semenjak zawal; tergelincirnya matahari, jam 00.00 dihitung dari jam 12.00 siang). Maka permulaan hari, yang dihitung saat terbenamnya Matahari adalah pukul 06.00 atau pukul 18.00 WIB.

Takwim; Penanggalan Menurut Kitab Nur al-Anwar
Untuk mengetahui takwim, penanggalan hijriah menurut kitab Nur al-Anwar, maka kita akan menelusurinya melalui beberapa konsep berikut ini:
1. Umur Bulan Kamariah
Sistem hisab kitab Nur al-Anwar adalah hisab Qath’i yang disebut juga Hisab hakiki bi at-tahqiq. Sebagai Hisab hakiki adalah sistem hisab yang didasarkan pada peredaran Bulan dan Bumi yang sebenarnya. Umur bulan Kamariah tidaklah konstan (tetap) dan tidak pula tidak beraturan, tapi bergantung posisi hilal setiap awal bulan. Boleh jadi umur bulan itu berselang seling antara dua puluh sembilan dan tiga puluh hari. Atau bisa jadi umur bulan itu berturut-turut dua puluh sembilan atau berturut-turut tiga puluh hari. Semua ini bergantung pada peredaran Bulan dan Bumi yang sebenarnya; posisi hilal pada awal bulan tersebut.[24] Sistem ini tentu saja berbeda dengan penetapan kalender secara urfi. Dalam sistem penetapan kalender urfi yang berdasarkan pada perhitungan rata-rata dari peredaran Bulan mengelilingi Bumi. Perhitungan secara urfi ini bersifat tetap, umur bulan itu tetap setiap bulannya. Bulan yang ganjil; gasal berumur tiga puluh hari sedangkan bulan yang genap berumur dua puluh sembilan hari. Dengan demikian bulan Ramadan sebagai bulan kesembilan (ganjil) selamanya akan berumur tiga puluh hari. Pada hal dalam kenyataannya tidak selalu seperti itu. Sehingga perhitungan secara urfi ini disepakati oleh para ulama tidak dapat dijadikan sebagai pedoman untuk pelaksanaan ibadah .[25]
2. Permulaan Hari
Kitab Nur al-Anwar dalam masalah penentuan permulaan hari yang baru dimulai dari waktu Magrib, saat terbenamnya Matahari. Ketika masuknya waktu Magrib berarti telah memasuki hari yang baru; terjadinya pergantian tanggal dan sekaligus meninggalkan hari yang sebelumnya.
Dalam ilmu astronomi, pergantian atau permulaan hari berlangsung saat posisi Matahari berkulminasi bawah, yakni pada pukul 24.00 atau pukul 12.00 malam. Ini yang dijadikan patokan dalam kalender yang berbasiskan peredaran Matahari (Solar Calendar). Sementara itu pergantian atau permulaan hari dalam penanggalan Islam dalam penentuan awal bulan Kamariah adalah saat terbenamnya Matahari. [26] Mengenai penentuan permulaan hari yang baru ini, kitab Nur al-Anwar pada prinsipnya mengikuti atau sama dengan permulaan hari dalam kalender Islam.
3. Hilal
Definisi hilal bisa beragam karena itu bagian dari riset ilmiah, semua definisi itu semestinya saling melengkapi satu dengan lainnya. Bukan dipilih definisi parsial, tapi hilal harus didefinisikan dengan sebuatu definisi yang komprehensif. Misalnya, definisi lengkap yang dirumuskan sebagai berikut: hilal adalah bulan sabit pertama yang teramati di ufuk barat sesaat setelah Matahari terbenam, tampak sebagai goresan garis cahaya yang tipis, dan bila menggunakan teleskop dengan pemroses citra bisa tampak sebagai garis cahaya tipis di tepi bulatan bulan yang mengarah ke matahari. Dari data-data rukyatul hilal jangka panjang, keberadaan hilal dibatasi oleh kriteria hisab tinggi minimal sekian derajat bila jaraknya dari matahari sekian derajat dan beda waktu terbenam bulan-matahari sekian menit serta fraksi iluminasi sekian prosen[27]. Penting artinya perhitungan posisi hilal ini. Karena perhitungan posisi hilal terkait dengan penentuan awal bulan (new moon). Jika hilal telah wujud di atas ufuk menurut kriteria sebagian kelompok atau ketinggian hilal telah memenuhi kriteria visibilitas untuk dirukyah (imkanu rukyah) menurut sebagian kelompok yang lain, maka esok harinya adalah tanggal satu bulan yang baru.
4. New Month (Bulan Baru)
Kitab Nur al-Anwar hanya digunakan untuk melakukan perhitungan awal bulan Kamariah. Dalam kitab Nur al-Anwar tidak dijelaskan atau ditentukan standar penetapan yang dijadikan patokan telah masuk atau belumnya awal bulan baru. Semua itu tergantung hasib (orang yang melakukan perhitungan). Standar atau patokan yang digunakan untuk menentukan telah masuknya bulan baru atau pergantian bulan bergantung pada pilihan yang diambil hasib. Dalam penentuan telah masuknya bulan baru atau awal bulan Kamariah terdapat perbedaan ahli hisab, di antaranya yang berpendapat bahwa awal bulan baru itu ditentukan oleh terjadinya ijtimak sedangkan yang lain mendasarkannya atau posisi hilal.
KH Noor Ahmad SS menyatakan ijtimak/ konjungsi/ iqtiran/ pangkreman yaitu apabila Matahari dan Bulan berada pada kedudukan/bujur astronomi yang sama. Dalam astronomi dikenal dengan istilah konjungsi (conjunction) dan dalam bahasa Jawa disebut pangkreman. Ijtimak dalam ilmu hisab dikenal juga dengan istilah ijtimak an-nayyirain. [28]
Dalam kitab Nur al-Anwar dijelaskan bahwa ijtimak itu adakalanya terjadi setelah Matahari terbenam dan pada waktu yang lain terjadi sebelum matahari terbenam. Ijtimak setelah Matahari terbenam, posisi hilal masih di bawah ufuk dan pasti tidak dapat dirukyah. Adapun apabila ijtimak terjadi sebelum matahari terbenam ada tiga kemungkinan, yaitu:
a. Hilal sudah wujud di atas ufuk dan mungkin bisa dirukyah.
b. Hilal sudah wujud di atas ufuk dan tidak mungkin bisa dirukyah
c. Hilal belum wujud di atas ufuk/masih di bawah ufuk dan pasti tidak mungkin bisa dirukyah. [29]
Kelompok yang berpegang pada sistem ijtimak menetapkan jika ijtimak terjadi sebelum Matahari terbenam, maka sejak Matahari terbenam itulah awal bulan baru sudah mulai masuk. Mereka sama sekali tidak mempermasalahkan hilal dapat dirukyah atau tidak.
Sedangkan kelompok yang berpegang pada posisi hilal menetapkan jika pada saat Matahari terbenam posisi hilal sudah berada di atas ufuk, maka sejak Matahari terbenam itulah perhitungan bulan baru dimulai. [30]
Keduanya sama dalam penentuan awal masuknya bulan Kamariah, yakni pada saat Matahari terbenam. Namun keduanya berbeda dalam menetapkan kedudukan Bulan di atas ufuk. Aliran ijtimak qabl ghurub sama sekali tidak mempertimbangkan dan memperhitungkan kedudukan hilal di atas ufuk pada saat sunset. Sebaliknya kelompok yang berpegang pada posisi hilal saat sunset menyatakan apabila hilal sudah berada di atas ufuk itulah pertanda awal masuknya bulan baru. Bila hilal belum wujud berarti hari itu merupakan hari terakhir dari bulan yang sedang berlangsung. [31]
Selanjutnya kedua kelompok ini masing-masingnya terbagi lagi menjadi kelompok-kelompok yang lebih kecil. Perbedaan ini disebabkan atau dikaitkan dengan fenomena-fenomena yang terdapat di sekitar peristiwa ijtimak dan ghurub asy-syams. Dan dalam perkembangan wacana dalam penetapan awal bulan Kamariah, kelompok yang berpegang pada posisi hilal inilah yang lebih mendominasi. Selanjutnya akan dibahas tentang kelompok yang berpedoman pada wujudul hilal dan kelompok yang berpedoman pada imkanu rukyah dalam penentuan awal bulan. Keduanya merupakan bagian dari mereka yang berpegang pada posisi hilal dan memiliki standar atau patokan yang berbeda.
Mereka yang berpedoman pada wujudul hilal menyatakan bahwa pedoman masuknya awal bulan adalah telah terjadi ijtimak sebelum terbenam Matahari dan pada saat sunset itu hilal telah wujud di atas ufuk. Sementara itu mereka yang berpedoman pada imkanu rukyah menyatakan bahwa patokan masuknya awal bulan adalah telah ijtimak terjadi sebelum terbenam Matahari dan pada saat sunset itu hilal telah berada di atas ufuk pada ketinggian yang memungkinkan untuk dirukyah.
Dalam menentukan masuknya awal bulan, mereka yang berpedoman pada wujudul hilal berpatokan pada posisi hilal sudah di atas ufuk tanpa mematok ketinggian tertentu. Jika hilal telah di atas ufuk otomatis pertanda masuknya awal bulan. Mereka yang berpedoman pada imkan ar-rukyah menentukan ketinggian tertentu hilal sehingga memungkinkan untuk dirukyah. Kriteria ketinggian hilal ini pun dimaknai berbeda-beda ada mereka yang menyatakan bahwa ketinggian hilal untuk memungkinkan untuk dirukyah itu harus 2°, 3°, 4°,7°, atau 9°. Di samping itu ada kriteria-kriteria lain sebagai pendukung seperti illuminasi bulan, jarak antara Bulan dan Matahari saat ghurub, posisi hilal terhadap Matahari, jangka waktu antara
ijtimak dan terbenamnya Matahari, dan lainnya. [32]
KH Noor Ahmad SS sendiri dalam hasil perhitungannya terkadang menggunakan pedoman wujudul hilal dalam perhitungan awal bulan Kamariahnya. Ini pernah dipraktikkan ketika ia melakukan perhitungan awal dan akhir bulan Ramadan di masa Rasulullah. Selanjutnya perhatikan tabel berikut.

Data ketinggian hilal masa nabi Muhammad SAW

Ditulis pada oleh Abah Zacky as-Samarani

No
Tahun Hijriah
Ramadan
Syawal
Umur Ramadan
1
Hari
Tinggi Hilal
Hari
Tinggi Hilal
2
2
Sabtu
1,24
Senin
6,57
30
3
3
Kamis
7,26
Jumat
2,29
29
4
4
Selasa
11,50
Rabu
8,02
29
5
5
Sabtu
2,50
Senin
11,41
30
6
6
Kamis
9,32
Jumat
3,59
29
7
7
Senin
7,51
Selasa
1,15
29
8
8
Jumat
7,59
Sabtu
1,22
29
9
9
Selasa
6,03
Rabu
0,36
29
10
10
Sabtu
0,39
Senin
8,42
30










     
Berpuasa Ramadan di Madinah al-Munawwarah


Keterangan:
Penggarapan menggunakan sistem kitab Nurul Anwar, karangan KH Noor Ahmad, SS dengan dasar penghitungan wujudul hilal.
Dihisab oleh KH Noor Ahmad SS. [33]
Sebagai perbandingan disajikan juga data Ramadan di zaman Rasulullah, dihisab menggunakan program Accurate Times dari Muhammad Odeh.[34]

No
Tahun
Tinggi Hilal Awal Ramadan
Tinggi Hilal Akhir Ramadan
Lama Ramadan
1
2 H
3
9
30
2
3 H
9,4
3,9
29
3
4 H
14,2
9,1
29
4
5 H
4,7
13,4
29
5
6 H
11,8
5,7
30
6
7 H
9,9
2,7
29
7
8 H
9,8
2,7
29
8
9 H
7,7
1,8
29
9
10 H
1,7
10,3
30

Sehingga dari kedua data di atas yang sama-sama berpedoman pada wujud al-hilal menghasilkan data ketinggian hilal yang berbeda. Ini dimungkinkan karena menggunakan data yang mungkin berbeda, rumus-rumus perhitungan yang berbeda pula ataupun perbedaan lainnya.
Dari penelusuran penulis, pada perhitungan bulan Kamariah seperti awal dan akhir Ramadan serta awal Zulhijah, KH Noor Ahmad SS menggunakan pedoman imkanu rukyah karena menyatakan bahwa ketinggian hilal kurang 2° dan ijtimak terjadi sesudah zawal maka hari diundur satu hari. Hal ini karena menurut Nur al-Anwar ketinggian minimal hilal untuk dapat dirukyat adalah 2°. Dan ijtimak yang terjadi setelah zawal; dengan pengertian umur hilal kurang dari enam jam sehingga kemungkinan hilal masih di bawah ufuk dan tidak mungkin untuk dirukyah[35].


Catatan Akhir
Ada beberapa catatan yang dialamatkan untuk kitab Nur al-Anwar yang perlu kiranya dicermati:
1. Kitab Nur al-Anwar menggunakan markaz Jepara 6° 36´ LS (‘urdh al-balad) dan 110° 40´ BT (thul al-balad). Data bujur yang digunakan 110° 40´ BT yang digunakan oleh kitab Nur al-Anwar mungkin perlu dilakukan pengamatan dan penelitian secara lebih komprehensif. Karena menurut almanak Hisab Rukyat Depag RI yang datanya diambil dari Atlas Der Gehele Aarde oleh PR Bos Jf Niermeyer, JB Wolter-Groningen, Jakarta, 1951 data bujur Jepara adalah 110° 39´ BT. Di mana terdapat perbedaan sebesar 1´ dengan data yang terdapat dalam kitab Nur al-Anwar. Hal ini sangat erat dengan epoch yang digunakan. [36]
2. Penetapan awal bulan Ramadan, Syawal, dan Zulhijah harus menunggu penetapan Pemerintah RI. Dengan pemikiran wewenang untuk mengumumkan penetapan itu adalah di tangan Pemerintah. Ini sejalan dengan pemikiran gurunya Turaichan Adjhuri yang menyatakan selaku orang awam sebaiknya mengikuti penentuan (itsbat) tanggal yang dilakukan Pemerintah. Dan disesalkan sikap sebagian ahli Falak yang mendahului Pemerintah dalam menentukan tanggal 1 Syawal dengan mengumumkan dan memerintahkan sebagian umat Islam untuk merayakan Idul Fitri berbeda dengan Pemerintah. Padahal yang berhak mengumumkan dan memerintahkan adalah Pemerintah.[37]
3. Dalam perhitungan awal bulan Kamariah, kitab Nur al-Anwar hanya sebagai sebuah metode perhitungan. Ia tidak terkait dengan kriteria tertentu dalam penentuan awal bulan. Setelah menghitung tentang perhitungan awal bulan tertentu, maka yang menentukan awal bulan telah masuk atau belumnya bulan baru tersebut adalah hasib (orang yang melakukan perhitungan). Dari hasil perhitungan yang dilakukan boleh jadi menurut pedoman wujudul hilal telah masih bulan baru tapi mungkin saja menurut pedoman imkanu rukyah visibilitas hilal belum memungkinkan untuk dirukyat sehingga besok masih merupakan hari terakhir dari bulan berjalan.
4. Dalam pembuatan kalender hijriah yang berlandaskan metode perhitungan/hisab kitab Nur al-Anwar juga tentu saja bergantung pada kriteria yang digunakan oleh hasib atau pembuat kalender tersebut. Karena kalender merupakan sebuah konsekuensi dari kriteria yang dijadikan acuan. Dengan demikian penentuan masuknya awal bulan tertentu termasuk awal bulan Ramadan, Syawal, dan Zulhijah merupakan konsekuensi kriteria penanggalan yang digunakan. [38]

Penutup
Sistem penanggalan Islam yang diramu dari kitab Nur al-Anwar karangan KH Noor Ahmad SS tergolong hisab hakiki bi at-tahqiqi yang tingkat akurasinya sedang. Kalender yang dihasilkannya dapat dijadikan acuan dalam penetapan masalah ibadah. Sebagai sebuah sistem perhitungan kitab Nur al-Anwar dapat digunakan oleh semua pihak karena ia tidak menetapkan kriteria tertentu. Dalam penggunaannya untuk pembuatan kalender hasiblah yang menentukan kriterianya. Wa Allah a’lamu bi ash-shawab.


Daftar Pustaka

Ahmad SS, Noor, (Tanpa Judul), Makalah pada Musyawarah Kriteria Imkanur Rukyah di Indonesia, Bogor: 24-26 Maret 1998.

____________, Sistem Hisab Nur al-Anwar dan Fath Ra’uf al-Mannan, Makalah pada Lokakarya Imsakiyah Ramadhan 1421H/2000M se Jawa Tengah dan daerah Istimewa Yogyakarta. Semarang: PPM IAIN Wali Songo, 2000.


____________, Menuju Cara Rukyat yang Akurat, Makalah pada Lokakarya Imsakiyah Ramadhan 1421H/2000M se Jawa Tengah dan daerah Istimewa Yogyakarta. Semarang: PPM IAIN Wali Songo, 2000.


____________, Hisab dan Kedudukannya dalam Ibadah Muaqat, Makalah pada Lokakarya Imsakiyah Ramadhan 1422H/2001M se Jawa Tengah dan daerah Istimewa Yogyakarta. Semarang: PPM IAIN Wali Songo, 2001.


____________, Upaya Menyatukan Visi Terhadap Peristiwa Bersejarah Menurut Hisab Nur al-Anwar, Makalah pada Lokakarya Imsakiyah Ramadhan 1424H/2003M se Jawa Tengah dan daerah Istimewa Yogyakarta. Semarang: PPM IAIN Wali Songo, 2003.


____________, Menuju Cara Rukyat yang Akurat, Makalah pada Lokakarya Imsakiyah Ramadhan 1427H/2006M se Jawa Tengah dan daerah Istimewa Yogyakarta. Semarang: PPM IAIN Wali Songo, 2006.


____________, Risalah Syam al-Hilal al-Juz al-Awal fi Hisab as-Sinin wa al-Hilal wa al-Ijtima’ wa al-Kusuf wa al-Khusuf , Kudus: madrasah Tasywiq ath-Thullab Salafiyah, 1995.


____________, Risalah Syam al-Hilal al-Juz ats-Tsani fi Hisab as-Sinin wa al-Hilal wa al-Ijtima’ wa al-Kusuf wa al-Khusuf , Kudus: Madrasah Tasywiq ath-Thullab Salafiyah, 1995.


____________, Risalah al-Falak Nur al-Anwar min Muntaha al-Aqwal fi Ma’rifah Hisab as-Sinin wa al-Hilal wa al-Ijtima’ wa al-Kusuf wa al-Khusuf ’ala al-Haqiqi bi at-Tahqiqi bi ar-Rashd al-Jadid, Kudus: Madrasah Tasywiq ath-Thullab Salafiyah, 1986.


____________, Jadwal al-Falak Nur al-Anwar min Muntaha al-Aqwal fi Ma’rifah Hisab as-Sinin wa al-Hilal wa al-Ijtima’ wa al-Kusuf wa al-Khusuf ’ala al-Haqiqi bi at-Tahqiqi bi ar-Rashd al-Jadid, Kudus: Madrasah Tasywiq ath-Thullab Salafiyah, 1986.


Anwar, Syamsul, Almanak Berdasarkan Hisab Urfi Kurang Sejalan Dengan Sunnah Nabi saw: Surat Terbuka Untuk Pak Darmis, Almanak_Hijriah.pdf – Adobe Reader


Azhari, Susiknan, Ilmu Falak Teori dan Praktek, Yogyakarta: Lazuari, Cet.ke-1, 2001.


____________, Hisab Hakiki Model Muhammad Wardan: Penelusuran Awal dalam Depag RI, Hisab Rukyat dan Perbedaannya, Jakarta: Depag RI, 2004.


____________, Hisab dan Rukyat Wacana untuk Membangun Kebersamaan di tengah Perbedaan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. Ke-1, 2007.


____________, Ilmu Falak Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, Cet. Ke-2, 2007.


____________, Ensiklopedi Hidab Rukyat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet.ke-2, 2008.


____________ dan Ibnor Azli Ibrahim, Kalender Jawa Islam: Memadukan Tradisi dan Tuntutan Syar'i dalam Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 42 No. I, 2008. 07-susiknan.pdf –Adobe Reader


Depag RI, Ditjen Binbaga Islam, Laporan Keputusan Musyawarah Hisab Rukyat, Jakarta: Depag RI, 1990.


Depag RI, Almanak Hisab Rukyat, Jakarta: Depag RI, 1981.


____________, Hisab Rukyat dan Perbedaannya, Jakarta: Depag RI, 2004.


____________, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung: Gema Risalah Press, 1992.


___________, Pedoman Penghitungan Awal Bulan Qamariyah, Jakarta: Depag RI, 1994/1995.


___________,Pedoman Penentuan Arah Kiblat, Jakarta: Depag RI, 1994/1995.


___________, Pedoman Penentuan Jadwal Waktu Salat Sepanjang Masa, Jakarta: Depag RI, 1994/1995.


Djambek, Sa’adoeddin, Hisab Awal Bulan, Jakarta: Tinta Mas, 1976.


Fathurohman SW, Oman, Kalender Muhammadiyah, Power point disampaikan pada Musyawarah Ahli Hisab Muhammadiyah, Yogyakarta, 29-30 Juli 2006.


___________, Saadoeddin Djambek dan Hisab Awal Bulannya dalam Depag RI, Hisab Rukyat dan Perbedaannya, Jakarta: Depag RI, 2004.


Izzuddin, Ahmad, Fiqh Hisab Rukyat Menyatukan NU dan Muhammadiyah dalam Penentuan Awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha, Jakarta: Erlangga, 2007.


___________, Ilmu Falak Praktis (Metode Hisab Rukyat Praktis dan Solusi Permasalahannya), Semarang: Komala Grafika, 2006.


___________, Problematika Hisab Rukyat di Indonesia, Makalah pada Orientasi Hisab Rukyat se-Jawa Tengah, Semarang 28-30 November 2008.


___________, Melacak Pemikiran Hisab Rukyah Tradisional (Studi atas Pemikiran Muhammad Mas Manshur al-Batawi), Puslit IAIN Wali Songo, 2004.


Hambali, Slamet, Hisab Awal Bulan Sistem Ephemeris Makalah pada Lokakarya Imsakiyah Ramadhan 1429H/2008M se Jawa Tengah dan daerah Istimewa Yogyakarta. Semarang: PPM IAIN Wali Songo, 2008.


Karim MS, Abdul, Mengenal Ilmu Falak, Semarang: Intra Pustaka Utama, Cet.ke-1, 2006


Khazin, Muhyiddin, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Buana Pustaka, Cet.ke-3, 2008.


____________, Hisab Awal Bulan Sistem Nurul Anwar (Kajian Astronomis) dalam Depag RI, Hisab Rukyat dan Perbedaannya, Jakarta: Depag RI, 2004.


Kontribusi Ulama Betawi Terhadap Ilmu Falak, hhtp://islamic-center.or.id.


Murtadho, Moh, Ilmu Falak Praktis, Malang: UIN Malang Press, 2008, cet.ke1.


Rachim, Abdur, Ilmu Falak, Yogyakarta: Liberty, 1983, Cet.ke-1.


____________, Penyerasian Metode dan Sistem Penetapan Awal Bulan Qamariyah di Indonesia, Makalah pada Musyawarah Kriteria Imkanur Rukyah di Indonesia, Bogor: 24-26 Maret 1998.

Saksono, Toto, Mengkompromikan Rukyat & Hisab, Jakarta: Amythas Publicita bekerja sama dengan Center for Islamic Studies, 2007.


Setyanto, Hendro, Membaca Langit, Jakarta: al-Ghuraba, 2008, Cet.ke-1.


Shadiq, Sriyatin, Makalah Simulasi dan Metode Rukyatul Hilal, Pelatihan Hisab Rukyah Tingkat Nasional, Ponpes Setinggil, Kriyan Kalinyamatan Jepara pada tanggal 26-29 Desember 2008M/ 28 Dulhijjah- 1 Muharram 1430H.
 
Taqwim Hijriyah, hhtp://afdacairo.blogspot.com. 


T. Djamaluddin, Rekonstruksi Kejadian Zaman Nabi Berdasarkan Hisab Konsistensi Historis-Astronomis Kalender Hijriyah, http: //t-djamaluddin.space.live.com

____________, Redefinisi Hilal menuju Titik Temu Kalender Hijriyyah, http://t-djamaluddin.space.live.com.

Wawancara dengan KH Noor Ahmad SS, 28 Desember 2008.



[1] Pemakalah dalam hal ini menggunakan istilah kalender Islam atau Hijriah secara bersamaan atau salah satunya secara bergantian. Ini untuk membedakan sistim kalender ini dengan kalender yang juga menggunakan dasar peredaran bulan tetapi perhitungannya secara ‘urfi. Adapun kalender Islam atau Hijriah perhitungannya secara hakiki. Pembahasan lebih lanjut diulas di dalam makalah ini.
[2] Kalender adalah sistem pengorganisasian satuan-satuan waktu dengan tujuan untuk penandaan serta perhitungan waktu dalam jangka panjang. Susiknan Azhari, Ensiklopedi Hidab Rukyat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008) Cet.ke-2, hlm. 115
[3] Hendro Setyanto, Membaca Langit, (Jakarta: al-Ghuraba, 2008), Cet.ke-1, hlm. 40
[4] Susiknan Azhari, Hisab Hakiki Model Muhammad Wardan: Penelusuran Awal dalam Depag RI, 2004, Hisab Rukyat dan Perbedaannya, (Jakarta: Depag RI, 2004), hlm. 30-31
[5] Hendro, Membaca Langit, hlm. 46
[6] Taqwim Hijriyah, hhtp://afdacairo.blogspot.com
[7] T. Djamaluddin, Rekonstruksi Kejadian Zaman Nabi Berdasarkan Hisab Konsistensi Historis-Astronomis Kalender Hijriyah, http: //t-djamaluddin.space.live.com
[8] Menurut al-Biruni sebagaimana dikutip oleh Ali Hasan Musa bahwa nama- nama bulan dalam Kalender Kamariah mulai dikenalkan sejak tahun 412 M. Nama-nama bulan Kamariah tersebut berubah-ubah selama empat kali sampai yang kini dipakai oleh umat Islam. Dalam uraiannya, Ali Hasan Musa menyatakan bahwa nama-nama bulan kamariah yang berkembang sekarang mulai digunakan sejak akhir abad V Masehi. Selengkapnya baca Ali Hasan Musa, At-Tauqit wa at-Taqawim, cet. II (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), hlm. 186. dapat dibaca dalam Susiknan Azhari dan Ibnor Azli Ibrahim, Kalender Jawa Islam: Memadukan Tradisi dan Tuntutan Syar'i dalam Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 42 No. I, 2008, hlm. 136. 07-susiknan.pdf –Adobe Reader
[9] Taqwim Hijriyah, hhtp://afdacairo.blogspot.com
[10] maksudnya antara lain ialah: bulan Haram (bulan Zulkaidah, Zulhijah, Muharam dan Rajab), tanah Haram (Mekah) dan ihram.
[11] T. Djamaluddin, Rekonstruksi Kejadian Zaman Nabi , http: //t-djamaluddin.space.live.com
[12] Ibid
[13] Susiknan, Ensiklopedi Hisab , hlm. 161-162. Konversi tanggal kelahirannya dari masehi ke hijriah, hari, dan pasarannya dihitung sendiri oleh pemakalah.
[14] Wawancara dengan KH Noor Ahmad SS di Kriyan, Kalinyamatan Jepara tanggal 27 Desember 2008
[15] Ibid
[16] Ibid
[17] Ibid dan Noor Ahmad SS, Risalah al-Falak Nur al-Anwar min Muntaha al-Aqwal fi Ma’rifah Hisab as-Sinin wa al-Hilal wa al-Ijtima’ wa al-Kusuf wa al-Khusuf ’ala al-Haqiqi bi at-Tahqiqi bi ar-Rashd al-Jadid, (Kudus: Madrasah Tasywiq ath-Thullab Salafiyah,1986), hlm. i
[18] Susiknan, Ensiklopedi Hisab , hlm. 161-162
[19] Departemen Agama telah mencoba melakukan pengklasifikasian kitab-kitab ilmu Falak karya ulama Indonesia terkait dengan perhitungan penetapan awal bulan Kamariah tersebut ke dalam beberapa kategori sesuai dengan tingkat akurasi penghitunganya. Secara garis besar perhitungan hisab rukyat awal bulan itu ada dua, yakni hisab Urfi dan Hakiki. Kemudian hisab hakiki yang didasarkan pada peredaran bulan yang sebenarnya ini dibagi lagi menjadi tiga tingkatan. Pertama, hisab hakiki taqribi, kitab yang tingkat akurasi penghitungannya rendah. Kedua, hisab hakiki bi at-tahqiqi, kitab yang tingkat akurasi penghitungannya sedang dan ketiga, hakiki kontemporer, kitab yang tingkat akurasi penghitungannya tinggi. Pemilahan ini dalam forum seminar sehari ilmu Falak tanggal 27 April 1997 di Tugu, Bogor, Jawa Barat. Ahmad Izzuddin, Ilmu Falak Praktis (Metode Hisab Rukyat Praktis dan Solusi Permasalahannya), (Semarang: Komala Grafika, 2006), hlm. 135-136
[20] Moh Murtadho, Ilmu Falak Praktis, (Malang: UIN Malang Press, 2008), cet.ke-1, hlm. 36
[21] Noor Ahmad SS Upaya Menyatukan Visi Terhadap Peristiwa Bersejarah Menurut Hisab Nur al-Anwar, Makalah pada Lokakarya Imsakiyah Ramadhan 1424H/2003M se Jawa Tengah dan daerah Istimewa Yogyakarta, (Semarang: PPM IAIN Wali Songo, 2003), hlm. 2
[22] Noor Ahmad SS, Sistem Hisab Nur al-Anwar dan Fath Ra’uf al-Mannan, Makalah pada Lokakarya Imsakiyah Ramadhan 1421H/2000M se Jawa Tengah dan daerah Istimewa Yogyakarta, (Semarang: PPM IAIN Wali Songo, 2000), hlm. 3. pernyataan-pernyataannya di atas perlu dibuktikan lebih lanjut melalui penelitian-penelitian yang intensif.
[23] Muhyiddin Khazin, Hisab Awal Bulan Sistem Nurul Anwar (Kajian Astronomis) dalam Depag RI, Hisab Rukyat dan Perbedaannya, (Jakarta: Depag RI, 2004), hlm. 126
[24] Susiknan Azhari, Hisab Hakiki Model Muhammad Wardan: Penelusuran Awal dalam Depag RI, Hisab Rukyat dan Perbedaannya, (Jakarta: Depag RI, 2004), hlm. 30-31
[25] Syamsul Awar, Almanak Berdasarkan Hisab Urfi Kurang Sejalan Dengan Sunnah Nabi saw: Surat Terbuka Untuk Pak Darmis, Almanak_Hijriah.pdf – Adobe Reader, hlm. 8
[26] Oman Fathurohman SW, Saadoeddin Djambek dan Hisab Awal Bulannya dalam Depag RI, 2004, Hisab Rukyat dan Perbedaannya, (Jakarta: Depag RI, 2004), hlm. 114-115
[28] Noor Ahmad SS, Risalah al-Falak Nur al-Anwar, hlm. 6
[29] Ibid, hlm. 33
[30] Depag RI, 1981, Almanak Hisab Rukyat, (Jakarta: Depag RI, 1981), hlm. 99
[31] Susiknan Azhari, Ilmu Falak Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2007), Cet. Ke-2, hlm. 109
[32] Misalnya Muhammadiyah dalam hal ini memilih posisi Bulan dan Matahari terhadap ufuk sebagai tanda awal bulan, yakni apabila Matahari lebih dulu terbenam daripada Bulan setelah sebelumnya telah terjadi ijtimak. Inilah yang dikenal dengan “wujudul-hilal”.Kata “hilal” pada kata “wujudul-hilal”, dengan demikian, bukan hilal dalam arti visual sebagaimana ditunjukkan dalam hadis-hadis Nabi saw. melainkan hilal dalam arti konsepsual, yakni bagian permukaan Bulan yang tersinari Matahari menghadap ke Bumi. Atau lebih tepat lagi, istilah itu harus diartikan Matahari sudah terlampaui oleh Bulan dalam peredarannya dari arah barat ke timur; pembatasnya adalah ufuk. Oman Fathurrohman SW, Kalender Muhammadiyah, Power point disampaikan pada Musyawarah Ahli Hisab Muhammadiyah, Yogyakarta, 29-30 Juli 2006
[33] Samarani, as-, Abah Zacky, Data ketinggian hilal masa nabi Muhammad SAW, http://blogcasa.wordpress.com dan Noor Ahmad SS, Upaya Menyatukan Visi Terhadap Peristiwa Bersejarah Menurut Hisab Nur al-Anwar, Makalah pada Lokakarya Imsakiyah Ramadhan 1424H/2003M se Jawa Tengah dan daerah Istimewa Yogyakarta. Semarang: PPM IAIN Wali Songo, 2003, hlm. lampiran
[34] Toto Saksono, Mengkompromikan Rukyat & Hisab, (Jakarta: Amythas Publicita bekerja sama dengan Center for Islamic Studies, 2007), hlm. 196
[35] Catatan KH Noor Ahmad SS pada setiap hasil hisab awal bulan Qamariyah yang dilakukannya:
1. Penetapan awal bulan Ramadan, Syawal, dan Zulhijah menunggu penetapan Pemerintah RI.
2. Bila ketinggian hilal kurang 2° dan ijtimak terjadi sesudah zawal maka hari diundur satu hari.
3. Ijtimak sesudah matahari terbenam, maka bulan masih di bawah ufuk.
4. Permulaan hari dimulai dari Matahari terbenam. Lihat lebih lanjut contih hasil perhitungan awal bulan dalam Noor Ahmad SS, Risalah al-Falak Nur al-Anwar
[36] Muhyiddin, Hisab Awal Bulan, hlm. 126
[37] Susiknan Azhari, Ilmu Falak Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2007), Cet. Ke-2, hlm. 124-125
[38] Hendro, Membaca Langit, hlm. 55

2 komentar:

  1. penyebab perbedaan dalam agama adalah pemimpin umat yang belum memahami betul dalam agama tetapi dia berpendapat dalam hal agama sehingga kemajuan ilmu teknologi merubah sisi pandang dalam hal menentukan titik nol perjalanan bulan mengelilingi bimi. demi jelasnya baca rotasi bulan blogspot.com bakrisyam

    BalasHapus
  2. setelah saya simak paparan di atas terlihatlah kurang lengkapnya dalam mencerna ilmu teknologi, merujuk dari hadist rasullulah saw khusus untuk memulai dan mengakhiri puasa ramadan tampaknya hilal.
    telah majunya ilmu teknologi, jarak dari matahari ke bumi dan bulan serta besarnya bumi dan bulan telah di ketahui, tentu bisa di simulasikan geraknya dengan bersekala dan di cerna dengan ilmu fisika maka terlihatlah kapan hilal itu terbentuk(ujud) di lihat dari bumi.
    tersesat di ujung jalan kembalilah ke pangkal jalan. pangkalnya ada di Kitab Insanul Uyun Juz III Karangan Syekh Nuruddin . terimakasih

    BalasHapus