Minggu, 28 Februari 2010

Penentuan Awal Bulan: Kriteria Hisab Rukyat Sebagai Salah Satu Penyebab Utama Perbedaan Hari Raya dan Rukyat Global Vs Rukyat Lokal


Masalah Penentuan Awal Bulan:



a.Kriteria Hisab Rukyat Sebagai Salah Satu Penyebab Utama Perbedaan Hari Raya


Perbedaan antara  golongan yang berpedoman kepada hisan saja atau golongan yang berpedoman kepada rukyah saja sudah tidak mengemuka lagi. Karena penentuan awal bulan Kamariah dapat dilakukan berdasarkan hisab dan atau rukyah.
Di Indonesia, wacana yang sedang bergulir adalah penyatuan kriteria dalam merayakan hari raya dan memulai ibadah puasa Ramadan, semua golongan dan ormas Islam seperti Nahdhatul Ulama, Muhamadiyah, Persis, serta lainnya duduk bersama para ahli ilmu Falak dan astronomi dalam forum diskusi dan seminar membicarakan permasalahan ini.
Beberapa kriteriapun telah coba untuk ditawarkan sebagai alternatif solusi, Seperti kriteria Lapan T Djamaluddin, kriteria Rukyatul Hilal Indonesia (RHI), dan kriteria Suwandojo Siddiq. Kriteria-kriteria tersebut dirumuskan berdasarkan data-data visibilitas hilal di Indonesia dan atau dari berbagai hasil observasi di berbagai negara lainnya.
Terwujudnya upaya penyatuan kriteria visibilitas hilal di Indonesia ini mendesak untuk diupayakan. Mungkin pada tahun yang lalu; 1430 H adalah tahun yang relatif “aman”. Karena dalam penentuan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah hilal pada awal-awal bulan tersebut relatif  tinggi dan memenuhi kriteria untuk dirukyah.
Tapi pada beberapa tahun ke depan tidak “aman” lagi. Sehingga apabila tidak segera terwujud kesepakatan, maka akan terulang lagi terjadinya perbedaan dalam mengawali ibadah puasa Ramadan dan berhari raya (terjadinya hari raya kembar).

Toleransi Galat Arah Kiblat Untuk Tidak Mudah Menyalahkan Arah Kiblat Masjid-Masjid Yang Ada

Toleransi Galat Arah Kiblat
Untuk Tidak Mudah Menyalahkan Arah Kiblat Masjid-Masjid Yang Ada




Pensyari’atan Menghadap Kiblat  dalam pelaksanaan ibadah antara lain berdasarkan firman Allah dalam QS al-Baqarah/2: 149-150:

Dan dari mana saja kamu keluar (datang), Maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram, Sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu. dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan. Dan dari mana saja kamu (keluar), Maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu (sekalian) berada, Maka palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang zalim diantara mereka. Maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku (saja). dan agar Ku-sempurnakan nikmat-Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk.

Serta hadis Rasulullah yang menjelaskan bahwa ”Baitullah adalah kiblat bagi orang-orang di al-Masjid al-Haram. Al-Masjid al-Haram adalah kiblat bagi orang-orang penduduk tanah haram (Mekah), dan tanah haram adalah kiblat bagi semua umatku di Bumi, baik di barat ataupun di timur” (HR. al-Baihaqi dari Abu Hurairah).

Kedua nash tersebut dijadikan landasan pensyari’atan kewajiban menghadap kiblat dalam pelaksanaan ibadah. Fuqaha kemudian menyatakan bahwa mengatakan bahwa menghadap kiblat merupakan syarat sah dalam pelaksanaan salat lima waktu. Dengan lain perkataan jika seseorang salat tidak menghadap kiblat, maka salat yang dilaksanakannya tidak sah.

Bagi mereka yang melaksanakan salat di masjidil haram dapat secara langsung melaksankan salat menghadap ke Ka’bah Baitullah. Dan bagi mereka yang jauh dari Ka’bah dalam melaksanakan syariat menghadap kiblat ini terdapat perbedaan pendapat para ulama. Jumhur Ulama (selain Syafi’i) mensyari’atkan untuk menghadap jihat (arah) Ka’bah. Sedangkan Syafi’i berpendapat bahwa kewajiban menghadap kiblat itu adalah menghadap ke ‘ainul Ka’bah (az-Zuhaili: 758)

Penyempurnaan arah kiblat yang terjadi di tengah-tengah masyarakat bukan berarti adanya perubahan  arah kiblat. Sebenarnya arah kiblat tidak berubah tapi  dilakukannya perubahan bagi arah kiblat masjid yang melenceng jauh dari arah Ka’bah. Perlu penyempurnan atau pemeriksaan ulang arah kiblat masjid dan musala di sekitar kita. Hal ini karena beberapa pertimbangan:

Waktu Salat Ditinjau Dari Segi Hisab Rukyat : 5 Waktu Salat Wajib, Waktu Salat Di Wilayah Sekitar Kutub, Waktu Salat Bagi Astronot, dan Waktu Salat Gerhana Matahari Dan Bulan

Waktu Salat Ditinjau Dari Segi Hisab Rukyat :







1. 5 Waktu Salat Wajib
Secara syar’i, salat yang diwajibkan (salat maktubah) itu mempunyai waktu-waktu yang telah ditentukan (sehingga didefinisi sebagai ibadah muwaqqat). Al-Qur’an menguraikan waktu-waktu salat tersebut walaupun belum secara terperinci. Penjelasannya yang terperinci diterangkan dalam hadis Nabi. Berdasarkan dalil-dalil tersebut, para ulama memberikan batasan-batasan waktu salat. Ada sebagian yang mengasumsikan bahwa cara menentukan waktu salat dengan menggunakan cara melihat langsung pada tanda-tanda alam sebagaimana secara tekstual dalam hadis-hadis Nabi, seperti menggunakan alat bantu tongkat istiwa’ atau miqyas atau hemispherium.  Inilah metode atau cara yang digunakan oleh madzhab rukyah dalam persoalan penentuan waktu-waktu salat (http://www.alhusiniyah.com).

Sedangkan yang lain mempunyai pemahaman kontekstual, sesuai dengan maksud dari nash-nash tersebut, di mana awal dan akhir waktu salat ditentukan berdasarkan posisi matahari dilihat dari suatu tempat di bumi, sehingga metode atau cara yang dipakai adalah hisab, pada hakikatnya waktu salat adalah menghitung kapan matahari akan menempati posisi-posisi seperti tersebut dalam nash-nash tentang waktu salat itu (http://www.alhusiniyah.com).